344
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Sumber: Semarang Metro, 21 Juni 2011 Gambar 47. Pedagang Bakso bersitegang dengan Aparat
Satpol PP di Jl.Pandanaran Semarang
Sikap membandel dari pedagang bakso di atas merupakan salah
satu contoh dari perlawanan “wong cilik” terhadap kebijakan penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot.
Perlawanan yang hebat dan sistematis, terjadi di lokasi PKL Sampangan dan Basudewo, karena bangunan dan lapak mereka
dibongkar oleh petugas Satpol PP. Bukan hanya itu yang membuat mereka melawan. Tidak adanya kepastian relokasi
yang representatif, membuat mereka menolak dipindahkan dan tetap bertahan di lokasi.
B. Keberhasilan Penataan PKL: Belajar dari Relokasi PKL
Monjari Surakarta merupakan sedikit dari pemerintah daerah yang
memiliki kebijakan dan strategi dalam menata dan membina pedagang kaki lima PKL tanpa adanya penentangan yang
berarti dari para PKL. Pemindahan pedagang kaki lima PKL
345
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Monumen Banjarsari Monjari ke sentra PKL Notoharjo merupakan contoh dari kebijakan relokasi yang bagus. Sejak
dilakukan boyongan pada tanggal 23 Juli 2006 ke lokasi PKL Semanggi, praktis pemerintah kota Surakarta tidak menemui
hambatan berarti dalam penataan PKL.
Namun demikian, persoalan PKL di kota Surakarta tidak berarti telah selesai, sebab jumlah PKL yang berhasil ditangani
baru 989 yakni mereka yang dahulu melakukan aktivitas ekonomi di Monumen Banjarsari. Padahal sebagaimana
diketahui, jumlah PKL di Surakarta pada tahun 2006 yang lalu saja sudah mencapai angka 5.817 pedagang. Mereka belum
semua tertangani dengan baik, namun pendekatan yang ditempuh Pemkot Surakarta berpedoman pada Perda Nomor 3
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, ditengarai dapat mengatasi masalah pedagang kaki lima di kota
Surakarta, apalagi Pemkot Surakarta juga telah melakukan banyak hal untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan
para PKL, yakni selain memperbaiki pasar yang dapat menampung para PKL, juga membuat selter-selter dan
memberikan bantuan gerobak kepada PKl yang bersedia dibina dan dikembangkan. Seperti halnya pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta pun tidak segan- segan melakukan penertiban bagi pedagang kaki lima yang
melanggar Perda.
Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke pasar Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari
penataan PKL di kota Surakarta. Bagi Walikota dan Wakil Walikota Surakarta, keberhasilan penataan PKL Monumen
Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Surakarta telah paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL Monumen
Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman, dan pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat
lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah kota dan masyarakat memiliki tekat yang sama, yaitu ingin
346
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menjadikan kota Surakarta tetap BERSERI, yakni bersih, sehat, rapi, dan indah. Komitmen Jokowi, sang walikota yang
penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah,
termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi keberhasilan penataan PKL. Keberpihakan pak walikota kepada
rakyat kecil, utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan secara terang-terangan, seperti dalam ungkapan berikut.
“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset ekonomi bagi kota Surakarta
pak…dengan dididik dan diberdayakan,
mereka akan
tumbuh menjadi
pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari pengusaha kaya yang memiliki mall-mall di Surakarta. Saya
sendiri tidak
anti mall,
juga tidak
anti pengusaha…tetapi kita harus cermat dalam
memberikan izin mendirikan mal l…jangan sampai
karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati”
wawancara dengan Joko Widodo, walikota Surakarta, Kamis, 28 April 2011.
Kepemimpinan Jawa yang dihayati pak Jokowi, diduga memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini.
Dalam kepemimpinan Asthabrata, pak Jokowi termasuk tipe pemimpin yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki
manfaat yang besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam ajaran Asthabrata Suratno 2006:79. Sebagai sang surya,
matahari menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk, baik hidup maupun makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak
matahari memiliki karakter yang sama dengan matahari, yaitu menerangi dunia, memberikan kehidupan kepada semua
makhluk, sabar dalam menjalankan tugas, dan ikhlas memberikan miliknya kepada orang lain Suratno 2006:79.
Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang halus, menunjukkan bahwa pak Jokowi orang yang tidak
arogan, sok kuasa; justru sebaliknya, pak Jokowi adalah tipe
347
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
walikota ideal, yang kehalusan budi dan kesederhanaannya, patut menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sifat tidak “tega”
melihat rakyatnya menderita, membuat pak Jokowi dicintai oleh masyarakatnya.
Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya,
yaitu “ngayomi” memberi perlindungan, “ngayemi” membuat tenteram
, dan “ngayani” memberi kesejahteraan atau dikenal dengan prinsip 3N.
Seseorang dijadikan atau dipilih sebagai pemimpin, sesuai dengan prinsip 3N di atas, harus mampu memberikan
perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah mereka rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat berada
atau mempunyai harta berlebih.
Pemimpin dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak menyakiti hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru
dengan kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan nyaman hidupnya. Pemimpin seperti ini, jika pergi akan
dirindukan bawahannya dan ketika ada di tengah-tengah bawahannya, membuat bawahan merasa senang.
Pemimpin Jawa juga harus berjiwa “memberi”, memiliki sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan akan sedih
hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Apa pun akan dilakukan pemimpin untuk
menyenangkan dan membuat bahagia rakyatnya.
Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang “Njawani”, karena
mampu menterjemahkan prinsip
3N, dengan
memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Surakarta, khususnya mereka yang berada pada lapisan menengah ke bawah.
Strategi komprehensif yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan,
terutama dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang,
348
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
bahkan mereka sangat antusias merespon kebijakan relokasi yang ditentukan Pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar
Notoharjo Semanggi,
merasa dirinya
“diuwongke” dimanusiakan, sehingga kepindahannya ke Pasar Notoharjo
Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon
kebijakan pak walikota, menjadi preseden yang bagus sekaligus bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan
dalam penataan pedagang kaki lima.
Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke Notoharjo Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3
faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL Monjari oleh Pemkot Surakarta.
Pertama, kepemimpinan Walikota Surakarta Joko Widodo yang “Njawani”, yang lebih berpihak kepada kepentingan wong
cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh masyarakat Surakarta, utamanya rakyat kecil.
Kedua, pendekatan kebudayaan berbasis budaya Jawa dalam kebijakan penataan PKL menjadikan apa yang
dikehendaki walikota Surakarta juga merupakan keinginan PKL, sehingga relokasi ke pasar Notoharjo tidak menemui
hambatan.
Ketiga, relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo berjalan dengan baik, karena adanya
blue print penataan PKL Surakarta, mulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan relokasi dan pasca
relokasi. Keberhasilan Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan
Walikota Joko Widodo dalam menata pedagang kaki lima, membuat banyak pemimpin daerah kabupaten dan kota belajar
dari kisah sukses pak Jokowi. Bahkan delegasi negara tetangga, yaitu Philipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand pernah
berkunjung ke Surakarta untuk belajar bagaimana pemerintah
349
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
kota, terutama walikotanya dalam menata PKL tanpa menimbulkan gejolak Kompas, Kamis, 24 Juni 2010, halaman
22. Kondisi PKL pasca relokasi juga menjadi daya tarik bagi pemimpin daerah dalam negeri maupun luar negeri yang
hendak belajar dalam menata dan membina PKL. Aktivitas ekonomi yang berjalan baik di Pasar Notoharjo Semanggi,
didukung oleh fasilitas pasar dan kebersihan yang bagus, memberikan nilai plus kepada kebijakan pemerintah kota
Surakarta, utamanya kebijakan pasca relokasi.
Tidak banyak pemerintah kota dan pemerintah kabupaten yang sukses dalam menata PKL pasca relokasi. Ambil contoh,
relokasi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono liar ke sentra PKL Kokrosono, yang dilakukan Pemkot Semarang,
hingga kini masih menyisakan persoalan. Sentra PKL Kokrosono yang menjadi tempat relokasi bagi PKL Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono liar terdapat gedung untuk relokasi yang tidak dilengkapi kios yang dapat digunakan oleh PKL
untuk menjalankan usahanya.
Di tempat tersebut, kios harus dibuat sendiri dengan biaya sendiri, sehingga standar kios tidak ada. Hal ini jelas
memberatkan dan menjadi salah satu alasan mengapa PKL yang direlokasi tidak segera pindah ke sentra PKL Kokrosono. Kios
yang harus dibangun di lantai dua menjadi hambatan bagi PKL yang berdagang nasi, membuka usaha bengkel, dan PKL yang
menjalankan usaha mebel. Pembeli yang enggan naik ke lantai dua menjadi alasan pula mengapa cukup banyak PKL yang
tidak bersedia pindah menempati gedung yang sudah disediakan pemerintah.
Tidak ada adanya standar bangunan kios dan tidak adanya bantuan dana untuk membuat kios, menyebabkan para PKL
yang bersedia dipindah, membuat sendiri kiosnya dengan bahan-bahan baku bekas, seperti papan kayu untuk ruang kios,
cat seadanya, dan lantai ada yang “dikeramik” dan ada pula
350
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
yang dibiarkan polos dari lantai beton. Kios yang ditempati juga dimanfaatkan untuk sembarang usaha dan aktivitas, seperti
pembuatan mebel, ternak ayam, warung minuman, kamar tidur, dan lain-lain. Gambar di bawah ini adalah beberapa kios
PKL yang dibangun sendiri oleh pedagang di gedung PKL Kokrosono blok H.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 48. Kios PKL Kokrosono yang harus dibuat sendiri
oleh PKL yang direlokasi
Tidak adanya perencanaan dan pengendalian yang bagus dari Pemkot, membuat banyak kios yang diperjualbelikan oleh
PKL tanpa sepengetahuan Pemkot. Konflik antar PKL juga tidak dapat dihindari, karena tidak adanya ketegasan dari
Pemkot. Kegiatan penataan kios di gedung G dan H dari 8 gedung berlantai dua yang disediakan untuk kepentingan PKL,
yang tidak dikontrol dengan baik oleh Pemkot, menyebabkan terjadinya perebutan tempat antar PKL. Praktik jual beli kios
secara liar membuat kondisi PKL Kokrosono menjadi kian tak terkendali. Adanya “free rider” dalam penempatan PKL yang
351
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
dipindahkan dari tempat lain, membuat lokasi PKL Kokrosono tidak nyaman untuk aktivitas ekonomi. Belum lagi tempat yang
kumuh dan kotor di sekeliling gedung PKL Kokrosono, membuat pembeli tidak betah berlama-lama di Kokrosono.
Sikap lepas tangan dari pejabat Pemkot membuat para PKL yang berada di Kokrosono bertindak seenaknya terutama dalam
menjualbelikan kios kepada orang lain. Jika dibandingkan dengan sentra PKL di Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta,
lokasi PKL Kokrosono jauh dari ideal, karena tidak ada fasilitas yang mendukung kelancaran dan kenyamanan bagi PKL dalam
menjalankan aktivitas ekonomi, seperti yang terlihat di Pasar Notoharjo. Gambar berikut menunjukkan bahwa bangunan
PKL Kokrosono dan lingkungan fisik di sekitarnya tidak terawat dan terkesan kumuh.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 49. Sentra PKL Kokrosono yang kumuh dan tidak
terawat
Keberhasilan walikota Surakarta dalam melakukan penataan dan pembinaan PKL memberi inspirasi kepada
walikota Semarang yang baru, yaitu Soemarmo HS untuk
352
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
memperindah dan mempercantik kota Semarang tanpa menyakiti warga masyarakat miskin, khususnya pedagang kaki
lima. Itu pun dilakukan setelah memperoleh masukan dari Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang PPKLS, LSM,
dan tokoh-tokoh masyarakat. Apa yang dilakukan walikota Semarang tersebut juga berkaitan dengan “grand strategy”
Pemkot untuk mewujudkan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa sesuai dengan arahan Perda kota
Semarang
Nomor 6
Tahun 2010
tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJPD kota Semarang Tahun 2005-2025, Perda kota Semarang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD kota Semarang Tahun 2010-1015, dan Perda kota
Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Semarang Tahun 2011-2031.
Berdasarkan Perda-perda
tersebut, walikota
sejak kepemimpinannya pada tahun 2010 melakukan penataan fisik
kota Semarang. Daerah pusat kota, seperti area bundaran Simpang Lima dan sekitarnya, jalan Pahlawan, jalan Menteri
Soepeno, jalan Pemuda, area Monumen Tugu Muda dan jalan- jalan di sekitarnya ditata dengan apik, yang membuat ruang
publik di sekitarnya menjadi indah dan bersih.
353
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 50. Ruas jalan Pahlawan yang telah ditata rapi oleh
Pemkot
Sejak itu, banyak warga masyarakat, utamanya anak-anak muda berbondong-bondong mendatangi pusat-pusat kota untuk
menikmati keindahan malam kota Semarang. Ada di antara mereka yang sekedar bercengkerama, berbincang-bincang ke
sana kemari sekedar untuk melepaskan ketegangan karena lelah beraktivitas pada pagi hingga sore hari. Ada pula yang
menyalurkan hobi, seperti berkumpulnya anggota geng motor dan mobil, beradu ketangkasan bersepeda, bermain sepatu roda,
menari dan berdansa, serta banyak juga yang menyalurkan hobinya dengan memfoto objek-objek menarik di Tugu Muda
maupun di jalan Pahlawan. Ruang publik yang berada di bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Menteri
Soepeno, jalan Pemuda, dan Monumen Tugu Muda ramai dipadati warga kota Semarang terutama pada hari Jumat hingga
Minggu malam.
Selain menata ruang publik menjadi lebih rapi, indah, dan bersih, Pemkot Semarang juga membangun
shelter yang
354
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
diperuntukkan bagi pedagang kaki lima di sekitar bundaran Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno.
Shelter-shelter ini diberikan secara gratis kepada para PKL yang sejak awal sudah
berdagang di sekitar bundaran Simpang Lima dan di tepi jalan Pahlawan. Para PKL yang berjualan di tepi jalan Pahlawan pada
akhir tahun 2010 direlokasi ke sentra PKL di jalan Menteri Soepeno, tepatnya di sekeliling Taman KB. Di lokasi PKL yang
baru ini, para PKL mendapatkan fasilitas shelter dan gerobak gratis. Berkat kerjasama dengan PT. Coca-Cola, gerobak dapat
diberikan secara gratis kepada para pedagang. Gambar di bawah ini memperlihatkan
shelter yang disediakan Pemkot di jalan Menteri Soepeno.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 51. Shelter yang disediakan Pemkot untuk PKL
jalan Menteri Soepeno
Oka 30 tahun adalah salah seorang pedagang yang memperoleh fasilitas sarana prasarana gratis dari pemerintah
kota Semarang. Semula ia berdagang di jalan Pahlawan membantu pamannya. Sejak akhir tahun 2010 ia pindah di jalan
Menteri Soepeno, sesuai dengan kebijakan Pemkot Semarang
355
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
yang merelokasi PKL yang berjualan di jalan Pahlawan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno.
Menurut penuturan Oka, semua fasilitas untuk berdagang, yaitu tempat shelter dan gerobak disediakan gratis oleh
Pemkot. Selain itu, juga disediakan fasilitas air dan listrik. “Sekarang enak pak, serba gratis…kita hanya bayar retribusi
untuk Dinas Pasar, yaitu Rp14.000,00, itu sudah termasuk air dan listrik; sedangkan untuk paguyuban
kita bayar Rp2.000,00”, kata Oka. Ketika ditanya, berapa pendapatan per hari, dengan
agak malu- malu, ia menjawab: “ya tidak pasti pak…kalau
dirata- rata per hari hanya Rp50.000,00…sepi pak, tidak seperti
ketika berjualan di jalan Pahlawan, ramainya hanya hari Sabtu d
an Minggu” Wawancara dengan Oka, Minggu, 9 Oktober 2011.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 52. Mbak Oka dengan barang dagangannya
Di jalan Menteri Soepeno awalnya terdapat 48 shelter yang ditempati PKL, yang diberikan kepada 1 PKL yang pada
356
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
waktu pagi hari berjualan di sekitar Taman KB jalan Menteri Soepeno dan 2 PKL Pahlawan yang dipindah ke jalan Menteri
Soepeno. Pada bulan November 2011 telah dibangun pula shelter di lokasi yang biasa digunakan berdagang oleh pedagang
jagung bakar dan penjual helm. Bulan Desember,
shelter tersebut telah ditempati oleh pedagang jagung bakar yang
berjualan pada malam hari. Di lokasi yang juga berada di jalan Menteri Soepeno ini, dibangun 40 shelter meskipun tempatnya
tidak sebaik
shelter yang berada di sekeliling Taman KB, namun dapat digunakan para pedagang untuk tempat berjualan,
karena juga disediakan fasilitas perlistrikan. Sementara itu,
shelter di Bundaran Simpang Lima jumlahnya ada 87 buah, yang diperuntukkan bagi PKL yang
dahulu berdagang di sekitar Bundaran Simpang Lima. Kedelapan puluh tujuh
shelter tersebut mengelilingi bundaran Simpang Lima, yang berada di sisi barat, selatan, dan timur;
sedangkan sisi utara yang berada di depan hotel Ciputra tidak disediakan
shelter karena adanya keberatan dari pihak manajemen hotel. Demikian pula, di depan masjid
Baiturrahman Semarang yang biasa digunakan oleh PKL untuk berdagang, tidak dibuatkan
shelter karena untuk menghormati warga kota yang hendak sholat di masjid tersebut. Namun
demikian, meskipun tidak ada shelter yang dibangun, para pedagang tetap nekat berjualan di depan masjid.
Shelter yang disediakan untuk pedagang merupakan bagian dari upaya
Pemkot Semarang untuk mempercantik Kota Semarang. Untuk menyelesaikan
shelter tersebut, Pemkot telah menghabiskan anggaran sebesar Rp15 milyar.
Menurut penuturan walikota Semarang, Soemarmo HS, anggaran tersebut digunakan untuk menata dan mempercantik
seluruh bundaran Simpang Lima, termasuk pembuatan shelter
bagi PKL. Ketika ditanyakan mengapa Pemkot harus mengeluarkan sedemikian banyak anggaran guna menata
bundaran Simpang Lima, walikota mengungkapkan bahwa,
357
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
besaran anggaran untuk mempercantik Simpang Lima didasarkan atas keberadaan Simpang Lima sebagai wajah utama
kota Semarang, bahkan Simpang Lima ini sudah menjadi ikon kota sejak lama Harian Semarang, Kamis, 26 Agustus 2010,
halaman 2.
Gambar di bawah ini merupakan salah satu shelter yang
dibuat di depan E-Plaza Semarang, yang berada di sebelah barat bundaran Simpang Lima. Sejak awal tahun baru 2012, seluruh
shelter yang ada di sekeliling bundaran Simpang Lima sudah digunakan pedagang makanan dan minuman untuk berjualan.
Sejak dioperasikan
shelter-shelter tersebut, suasana malam Simpang Lima makin ramai, karena di sekeliling bundaran
Simpang Lima, banyak dipadati para pedagang nasi dan minuman serta pengunjung Simpang Lima yang ingin
menikmati suasana malam Simpang Lima sambil makan dan minum.
Sumber: Dokumen Peribadi
Gambar 53. Shelter yang disediakan bagi PKL Simpang Lima
358
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Secara selintas, kebijakan Pemkot Semarang ini sepertinya memberikan manfaat bagi semua PKL yang ada di kota
Semarang. Sesungguhnya tidak seperti itu. Hanya PKL yang terorganisasi dan yang mudah terjangkau oleh pemerintah kota
Semarang yang diberi perhatian secara memadai oleh Pemkot. Kebijakan diskriminatif dalam penataan PKL ditunjukkan
Pemkot.
PKL yang terorganisasi dan dapat ditata, diberi fasilitas untuk menjalankan usaha ekonomi, seperti dibuatkan shelter
dan dibantu gerobak untuk berdagang, sedangkan PKL liar yang jumlahnya lebih banyak dari PKL terorganisasi dibiarkan
tanpa ada fasilitasi dan mereka rentan terkena penggusuran. Pembuatan
shelter di pinggir bundaran Simpang Lima pun sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi,
pemerintah memang peduli kepada kehidupan wong cilik, yaitu PKL, dengan memberikan tempat berdagang di pusat kota. Pada
sisi lain, bisa saja pembuatan
shelter di pusat kota tersebut untuk memberi kesan bahwa Pemkot Semarang peduli kepada
kehidupan dan nasib rakyat kecil, utamanya PKL. Padahal jika ditilik secara mendalam, sikap diskriminatif Pemkot masih
tampak. PKL yang liar, sulit diatur, dan sulit dikendalikan, seperti mereka yang beraktivitas ekonomi di Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono, tidak ditata dengan baik, bahkan ada kesan dibiarkan, sehingga permasalahan PKL di kota
Semarang belum tuntas diselesaikan.
PKL liar yang berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi tidak hanya yang berlokasi di Sampangan, Basudewo,
dan Kokrosono, yang ketiganya berada di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Masih banyak PKL liar yang menempati
lokasi-lokasi strategis, baik di pusat kota maupun di pinggir kota, yang semuanya belum ditangani secara baik oleh Pemkot.
Ini semua adalah akibat dari tidak adanya pedoman penataan dan pembinaan PKL yang komprehensif.
359
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
C. Hambatan yang dihadapi Pemerintah