364
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Namun demikian, ditemukan pula, bahwa ada di antara petugas Satpol PP yang dalam melaksanakan tugasnya
memanfaatkan kesempatan dengan menarik sejumlah uang kepada para PKL dengan dalih untuk uang keamanan. Perilaku
petugas Satpol PP ini tidak jauh berbeda dengan tindakan preman di sekitar lokasi PKL yang melakukan pungutan liar,
juga dengan dalih untuk dana keamanan.
D. Dampak Kebijakan Penataan PKL
Dalam kasus PKL Monjari, pemerintah kota Surakarta termasuk berhasil dalam melakukan penataan PKL. Sebanyak
989 PKL bersedia dipindah setelah melalui serangkaian strategi yang ditempuh pemerintah kota Surakarta, mulai dari kegiatan
sosialisasi, komunikasi, penyiapan lahan, pembangunan sarana prasarana, hingga kirab budaya kepindahan para PKL ke Pasar
Notoharjo Semanggi Surakarta. Pendekatan budaya yang diterapkan walikota Surakarta, Joko Widodo, membuat para
PKL menjadi
“ewuh pakewuh” dan bersedia pindah tanpa ada konflik.
Di tempat yang baru, yakni di Pasar Notoharjo, para PKL dapat menjalankan usaha dagangnya tanpa ada rasa takut dan
was-was akan digusur petugas Satpol PP, karena di pasar ini mereka berdagang sudah diberi izin untuk menjalankan usaha.
Fasilitas pasar yang memadai, mulai dari kios, area parkir, sarana kebersihan, WC dan toilet, mushola, hingga terminal
angkutan kota, membuat mereka betah bekerja di tempat yang baru. Mereka juga tidak kehilangan pelanggan dan pembeli,
karena pada saat pindah mereka sudah memiliki nomor ponsel pelanggan, sehingga ketika pindah para pelanggan diberitahu
tentang kepindahan tersebut. Hubungan antara penjual dan pembeli, utamanya dengan pelanggan hingga kini tetap
terpelihara.
365
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Pasar Notoharjo sebagai sentra PKL untuk barang-barang klitikan tetap ramai dikunjungi pembeli, tidak hanya warga
dari Surakarta, tetapi juga dari daerah sekitarnya, seperti pembeli dari Sukoharjo dan Karanganyar. Para PKL juga
merasakan dampak positif dari usahanya di Pasar Notoharjo dan hingga kini pun usaha dagangnya masih tetap lancar, sehingga
kebutuhan ekonomi keluarga dapat dipenuhi. Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana kondisi pedagang kaki lima PKL
yang berdagang di Pasar Klitikan Notoharjo, Semanggi, Surakarta.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 54. Suasana di Pasar Klitikan Notoharjo Surakarta
Kebijakan penataan PKL di Surakarta mendapat sambutan positif dari para PKL, salah satunya adalah karena Walikota
Surakarta beserta segenap jajarannya memberi layanan yang sebaik-baiknya kepada para PKL. Mereka yang direlokasi ke
Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta, tidak ditarik iuran sedikit pun. Semua urusan kepindahan, termasuk sarana transportasi
366
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
untuk memindahkan barang-barang pedagang ditangani oleh Pemkot. Pendek kata, PKL tinggal datang ke tempat yang baru
untuk berdagang. Sikap akomodatif yang ditunjukkan Pemkot Surakarta memberikan suasana kondusif bagi kepindahan para
PKL.
Strategi penataan PKL yang komprehensif, dengan melibatkan semua pihak, baik pemerintah provinsi Jawa
Tengah, jajaran pemerintah kota Surakarta, media massa, tokoh-tokoh masyarakat Surakarta, hingga para pedagang kaki
lima yang akan dipindah, membuat para PKL merasa “diuwongke” atau ditempatkan sebagai manusia yang harus
dihormati hak-haknya, sehingga mereka secara sukarela bersedia dipindah.
Kebijakan yang diambil Pemkot Surakarta tersebut berbeda dengan kebijakan penataan PKL yang diimplementasikan
Pemkot Semarang, utamanya dalam menata PKL Sampangan, Basudewo dan Kokrosono. Pendekatan kekuasaan yang
diperagakan Pemkot Semarang memberikan dampak berupa resistensi dari kalangan pedagang kaki lima. Penataan PKL di
kota Semarang tidak dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat kota Semarang. Jika
pemerintah kota Surakarta melibatkan aparat pemerintah, seperti petugas Satpol PP, Dinas Pasar, kalangan DPRD, asosiasi
PKL, tokoh-tokoh masyarakat, media massa, dan PKL; sementara Pemkot Semarang tidak melakukannya.
Pelaksanaan kebijakan penataan PKL di Semarang dilakukan secara sepihak, yakni dari Pemkot yang melibatkan
Dinas Pasar, Satpol PP dan pihak Kepolisian Resort kota Semarang yang lebih banyak bersifat koersif, sehingga perilaku
mereka lebih didasarkan pada pengutamaan tugas orientasi pada tugas ketimbang memperhatikan hubungan antar
manusia. Itulah sebabnya, tidak mengherankan apabila penataan PKL mereka pahami sebagai upaya penertiban
367
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono yang dinilai membangkang dan melanggar Peraturan Daerah tentang
PKL. Bagi mereka, PKL yang melanggar ketentuan Perda harus dihukum dan diberi sanksi, di antaranya dengan dipaksa pindah
dari lokasi berdagang.
PKL yang memiliki bangunan semi permanen dan lapak mereka bongkar secara paksa dan sesuai ketentuan dan
kebijakan walikota, para PKL tersebut dipindahkan ke sentra PKL Kokrosono yang kondisinya tidak memadai untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi, karena yang ada hanya bangunan, sedangkan kios tidak disiapkan oleh Pemkot.
Sempitnya bangunan, kios belum disiapkan, lingkungan yang kumuh, menyebabkan banyak PKL yang tidak bersedia pindah
ke Kokrosono. PKL Sampangan misalnya, hingga tahun 2012 masih menjalankan aktivitas ekonomi di sisi selatan lokasi yang
telah dibongkar Satpol PP. Nasib PKL Basudewo lebih tragis. Sebagian kecil bersedia pindah ke Kokrosono, sedangkan
sebagian besar lainnya tidak diketahui ke mana mereka menjalankan aktivitas ekonomi. Bahkan masih ada beberapa
PKL yang nekat mencari rezeki di Basudewo, meskipun aktivitas proyek masih berlangsung. Sementara itu, PKL
Kokrosono liar masih berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi di lokasi semula, meskipun tempat mereka berdagang
digunakan sebagai lalu lintas truk-truk proyek dan menempatkan material untuk proyek normalisasi sungai Banjir
Kanal Barat.
Para PKL sesungguhnya menyadari bahwa lokasi mereka berdagang atau menjual jasa termasuk tempat terlarang, tidak
boleh dipakai untuk aktivitas ekonomi, tetapi karena tempat ini cukup ramai dikunjungi pembeli, maka mereka tidak mau
beranjak dari lokasi meskipun banyak di antara mereka yang sudah diberi kesempatan menempati lokasi resmi PKL di
Kokrosono yang tempatnya berada di sebelah utara rel kereta api.
368
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pak Mustaqim, salah seorang PKL yang menjual peralatan rumahtangga, pertanian, dan pertukangan, nekat berjualan di
tepi sungai Banjir Kanal Barat, karena menurut penuturannya, lokasinya ramai. Bahkan pak Mustaqim yang sudah pergi haji
dua kali ini, bersedia membayar Rp10 juta asalkan diizinkan tetap berjualan di tepi sungai tersebut. Lain dengan PKL
Sampangan dan Kokrosono yang tetap nekat berjualan di lokasi semula, PKL Basudewo yang berdagang dan menjalankan
aktivitas ekonomi di tepi sungai Banjir Kanal Barat, akhirnya menyerah dan bersedia dipindah ke lokasi PKL Kokrosono. Itu
pun hanya beberapa orang saja yang pindah, sedangkan sebagian besar lainnya yang berprofesi sebagai pengrajin mebel
tidak diketahui lagi kemana mereka menjalankan aktivitas ekonomi.
E. Rangkuman