323 BAB VII
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Peraturan daerah Perda dan Peraturan walikota merupakan wujud kebijakan yang digunakan oleh pemerintah
kota untuk mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Isi Perda yang mengatur tentang pedagang kaki lima
antara daerah yang satu dengan lainnya tidak jauh berbeda, namun karakter kepemimpinan dan kultur masyarakat daerah
yang
membedakan bagaimana
pemerintah kota
mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan eksistensi pedagang kaki lima.
Demikian pula, akan tampak dalam uraian berikut bagaimana perbedaan implementasi kebijakan yang diambil
oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kota Semarang dalam mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima.
Dalam uraian juga akan dapat diketahui hambatan apa saja yang dialami pemerintah dalam menata pedagang kaki lima PKL,
serta apa dampak dari penataan tersebut terhadap nasib dan masa depan pedagang kaki lima PKL.
A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan
Semarang Hampir semua kepala daerah, bupati dan walikota di
Indonesia merasakan bahwa keberadaan pedagang kaki lima PKL yang makin marak, merupakan persoalan pelik yang
tidak mudah diatasi. Para PKL umumnya melakukan aktivitas di tempat-tempat publik, seperti trotoar, taman, tepi jalan,
tanah kosong, tepi bantaran sungai, alun-alun, depan kantor pemerintah, depan sekolah, dan tempat-tempat strategis
lainnya. Banyak ruang publik berubah fungsi yang tidak sesuai
324
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dengan peruntukannya, karena ditempati PKL untuk berdagang dan menjalankan usahanya. Akibatnya, lingkungan yang
ditempati PKL menjadi kumuh, bau, semrawut, sumpek, tidak sedap dipandang mata, dan tidak jarang mengganggu arus lalu
lintas. Kenyamanan pengguna ruang publik, baik pejalan kaki maupun pengemudi sepeda motor dan mobil menjadi terganggu
pula. Kondisi inilah yang menyebabkan bupati dan walikota yang menghadapi masalah PKL, membuat kebijakan penataan
dan penertiban PKL, tidak terkecuali adalah walikota Surakarta dan Semarang.
Surakarta memiliki tingkat kepadatan density yang cukup
tinggi, seperti halnya Semarang. Surakarta padat, karena menjadi tempat persinggahan serta arus manusia dan kendaraan
yang menuju dari dan ke kota-kota sekitarnya, seperti Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi, Wonogiri,
Pacitan, Klaten, Yogyakarta, Boyolali, Salatiga, dan Semarang. Tidak seperti halnya di Semarang, jalan-jalan di Surakarta,
kecuali jalan Slamet Riyadi, merupakan jalur lalu lintas yang sangat padat. Para pedagang dan jenis usaha sektor informal
lainnya, tumpah ruah menempati tepi jalan, berdesak-desakan dengan toko-toko di sekitarnya. Mall-mall dan pasar swalayan,
seperti Grand Mall, Matahari, dan lain-lain, tidak luput pula dari kerumunan para PKL yang ingin mencari rezeki dari
tempat keramaian.
Alun-alun kota Surakarta dan pasar Klewer juga padat dijejali PKL, baik yang berdagang makanan dan minuman,
maupun yang menjual pakaian dan kerajinan. Kendaraan pun bahkan sering kali padat merayap, sulit masuk dan ke luar dari
area alun-alun hingga pasar Klewer, karena tepi jalan di kanan maupun kirinya, banyak dipakai oleh PKL untuk berdagang.
Bagi para wisatawan kuliner atau batik yang pernah singgah ke pasar Klewer, pasti akan merasakan kesumpekan dan
ketidaknyamanan, akibat dari berjubelnya para pedagang yang
325
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
meluber hingga menjorok ke bahu atau tengah jalan. Tetapi, apakah mereka akan diusir atau digusur.
Demi keindahan kota dan kenyamanan warga kota, sudah semestinya pemerintah layak mengusir mereka. Jika hanya
berpedoman pada Perda tentang PKL, sudah seharusnya PKL ditertibkan, dilarang, dan digusur dari lokasi-lokasi tersebut,
karena menempati lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Namun hal lain yang harus menjadi
pertimbangan sebelum mengambil keputusan adalah masa depan PKL. Pak Joko Widodo, walikota Surakarta, melihatnya
dari sisi lain, yaitu aspek kemanusiaan.
“Rocker juga manusia”, kata Candil, pentolan
“Band Serius”. PKL juga manusia, bukan barang atau patung yang dengan mudahnya dapat dipindah ke
sana kemari. Dalam kaitan ini, pemerintah Surakarta menghadapi
dilema. Di satu sisi, para PKL yang beraktivitas di lahan-lahan yang terlarang, sebagian terbesar adalah untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari diri dan keluarganya. Pada sisi lainnya, pemerintah ingin agar kota bersih, indah, tertib, rapi,
dan nyaman. Kebijakan menggusur PKL jelas akan berhadapan dengan keterbatasan yang dimilikinya, yaitu terbatasnya
kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi warga kota maupun pendatang. Untuk menata PKL, Pemkot
Surakarta mempertimbangkan semua hal, termasuk keinginan memberdayakan PKL dalam rangka menghidupkan dan
mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Penataan terhadap PKL di kota Surakarta dirasakan sangat mendesak, karena beberapa alasan, yaitu 1 jumlah PKL
terlanjur menjamur dan tidak terkontrol, pada tahun 2006 tercatat ada 5.817 PKL, 2 banyaknya fasilitas umum ruang
publik yang digunakan oleh PKL, 3 kesemrawutan lalu lintas di lokasi-lokasi kawasan PKL, 4 permasalahan sosial dan
ekonomi, 5 makin dirasakan perlunya ruang hijau dan ruang
326
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
terbuka untuk perbaikan kualitas lingkungan, serta 6 keinginan dan desakan dari masyarakat untuk pelaksanaan
penataan dan penertiban ruang usaha bagi PKL Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007.
Program penataan PKL ini juga merupakan realisasi dari program prioritas walikota dan wakil walikota Surakarta, Ir. H.
Joko Widodo dan Fx. Hadi Rudyatmo, yang ingin mengembalikan Surakarta sebagai kota yang bersih, sehat, rapi,
dan indah atau terkenal dengan
motto “Surakarta Berseri”. Dalam penataan PKL, pemerintah kota Surakarta menyadari
bahwa PKL merupakan bagian tak terpisahkan dari perekonomian daerah. Penataan PKL ini oleh pemerintah kota,
dimaksudkan untuk memberikan kepastian usaha kepada para PKL, sehingga diharapkan mereka dapat hidup dengan layak
dan perekonomian kerakyatan dapat tumbuh dan berkembang. Ruang publik, yang semula digunakan oleh para PKL, setelah
penataan, diharapkan dapat dikembalikan peruntukannya seperti semula, sehingga dapat diwujudkan tata ruang kota yang
harmonis.
Kebijakan penataan PKL di kota Surakarta secara garis besar dilakukan dengan 1 membuat kawasan PKL dan 2 membuat
kantong-kantong PKL, yang pelaksanaannya dilakukan melalui lima strategi.
Pertama, relokasi, yaitu memindahkan PKL apabila tidak tersedia lahan di lokasi dan jumlah PKL banyak.
Kedua, shelter knock down, yaitu PKL dibuatkan shelter jika di lokasi masih tersedia lahan.
Ketiga, tendanisasi, yakni pemberian tenda kepada PKL, yang diperuntukkan pada PKL pada wilayah yang lahannya
tersedia dan dioperasikan pada malam hari. Keempat, gerobakisasi, yakni pemberian gerobak kepada
PKL pada wilayah yang lahannya tidak tersedia untuk selter
327
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
dan tenda. Gerobak ini bersifat mobile, dapat dipindahkan
setiap saat. Kelima, penertiban, yakni strategi paling akhir yang
diambil pemerintah kota Surakarta, apabila PKL tetap membandel tidak mau mengikuti program penataan yang
direncanakan oleh pemerintah kota. Strategi ini diterapkan untuk seluruh PKL yang ada di kota Surakarta, meskipun
hingga sejauh kini belum semua dapat dijalankan.
Jumlah PKL di Surakarta yang terdata oleh Pemkot sebanyak 5.817 orang pedagang Badan Informasi dan
Komunikasi Pemkot Surakarta 2007. Secara sistematis dan menggunakan skala prioritas, PKL sebanyak itu akan ditata
pemerintah. Dari 5.817 orang pedagang kaki lima tersebut, yang sudah berhasil ditata dengan menggunakan pendekatan
atau strategi penataan PKL kota Surakarta ada 989 PKL. Mereka adalah PKL yang beraktivitas di Monumen Banjarsari Monjari
yang kemudian direlokasi ke pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Sebelum direlokasi, wilayah Monumen Banjarsari
sebagai area publik kumuh dan semrawut. Monumen Banjarsari Monjari dahulu adalah tempat yang nyaman bagi warga
Surakarta untuk berolahraga atau beristirahat. Anak-anak yang sekolahnya berdekatan dengan monumen juga sering
menggunakan tempat tersebut untuk berolahraga. Area monumen yang asri sesungguhnya juga digunakan sebagai salah
satu paru-paru kota Surakarta, karena kehijauannya yang terjaga dengan baik.
Pasca krisis 1998, banyak pedagang menempati area monumen. Mereka mendirikan lapak dan berdagang di sana.
Lama kelamaan jumlahnya bertambah banyak dan menurut catatan pemerintah kota Surakarta, jumlahnya mencapai 989
PKL. Jenis barang-barang yang diperdagangkan di monumen tersebut adalah alat dan perlengkapan mobil dan sepeda motor,
aki, ban, sandal dan sepatu, helm, aneka elektronik, alat
328
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pertanian, pakaian, handphone, alat bangunan, barang-barang antik, las, cat, kasetCD, barang-barang bekas, serta makanan
dan minuman.
Meskipun tergolong PKL liar, mereka memiliki sejumlah kelompok atau paguyuban yang menjadi tempat mereka
bernaung dan memikirkan masa depan mereka. Paguyuban tersebut di antaranya adalah paguyuban Masyarakat Mandiri,
Masyarakat Mandiri jalan Bali, Pengin Maju, Roda-2, PKL 2000, PKL Sumber Urip, PKL Sumber Rejeki, PKL Guyub Rukun A,
PKL Guyub Rukun B, dan PKL non Paguyuban.
Desakan untuk mengembalikan monumen Banjarsari sesuai peruntukannya datang dari berbagai kalangan masyarakat.
Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah kota Surakarta menyediakan layanan hotline pesan singkat dengan cara
mengirim SMS ke Walikota melalui nomor 0817441111 dan ke nomor Wakil Walikota 0817442222. Beberapa SMS yang
pernah terkirim ke Pemkot Surakarta di antaranya berbunyi “Kami merindukan suasana seperti dahulu”, Mohon kepada
bapak Walikota agar menata PKL Banjarsari
”, Tempat yang dahulu indah kini jadi kumuh
”, dan masih banyak SMS lainnya yang sejenis Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot
Surakarta 2007. Pertimbangan
pemerintah kota
Surakarta untuk
mengembalikan fungsi Monumen Banjarsari tidak hanya karena adanya desakan dari warga masyarakat, tetapi juga
karena Monumen Banjarsari merupakan situs sejarah yang harus dilestarikan dan kawasan monumen merupakan wilayah
resapan air dan ruang terbuka. Berbagai pertimbangan itulah yang melatarbelakangi mengapa Pemerintah Kota Surakarta
memilih kebijakan untuk merelokasi PKL Monumen Banjarsari ke
tempat lain,
tanpa mengorbankan
kepentingan kelangsungan usaha PKL. Relokasi yang dilakukan oleh Pemkot
Surakarta tidak dimaksudkan untuk meminggirkan para PKL,
329
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
tetapi lebih kepada pemberian kepastian akan kelangsungan usaha, sekaligus memberi rasa aman kepada para PKL.
Rencana Pemkot Surakarta merelokasi para PKL monumen Banjarsari pada tahun 2005 sempat ditolak oleh sebagian PKL.
Mereka menolak rencana Pemkot, karena mereka ragu apakah Pemkot mampu “membersihkan” kawasan Monumen
Banjarsari pasca relokasi. Demikian pula, para PKL juga meragukan keberanian Pemkot untuk bertanggungjawab
mengenai kelangsungan usaha PKL di Semanggi pasca relokasi. Kelompok PKL lainnya cenderung setuju jika Pemkot hanya
melakukan penataan atas masalah maraknya PKL di Monumen Banjarsari, tidak dengan memindahkan mereka.
Meskipun ada ketidaksetujuan dan penentangan dari sebagian PKL, Pemkot tetap berketetapan hati untuk
merelokasi mereka, meskipun ada sebagian PKL yang mengancam akan turun ke jalan. Walikota Surakarta
menegaskan bahwa kebijakan relokasi tetap akan dijalankan, karena Pemkot sudah berbuat banyak kepada PKL, sehingga
tidak alasan bagi PKL untuk menolak dipindahkan. Relokasi ini sejatinya adalah untuk menjamin kepastian dan kelangsungan
usaha PKL. Seperti diungkapkan pak Walikota berikut ini.
Konsep relokasi PKL didasari pada pemikiran bahwa PKL merupakan salah satu potensi ekonomi yang
dimiliki kota Surakarta, karena itu keberadaannya tetap dipertahankan tanpa harus mengabaikan aturan
hukum dan kepentingan seluruh warga kota Surakarta
…relokasi justru akan menjamin kepastian dan kelangsungan usaha mereka” Badan Informasi
dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007.
Untuk mewujudkan rencana relokasi, Pemkot secara terus menerus melakukan sosialisasi, tidak hanya terhadap para PKL,
tetapi juga kepada warga masyarakat lainnya. Walikota dan Wakil Walikota tidak jarang turun ke lapangan untuk berdialog
330
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
langsung dengan para PKL. Sosialisasi dan dialog juga dilakukan dengan mengadakan pertemuan di Balaikota maupun di rumah
dinas walikota. Media lokal turut mendukung wacana relokasi dengan menerbitkan berita tentang relokasi PKL Monumen
Banjarsari.
Dari upaya yng dilakukan oleh Pemkot Surakarta, akhirnya seluruh PKL Monumen Banjarsari bersedia mendaftarkan diri
untuk direlokasi ke Semanggi sebelum akhir Januari tahun 2006. Bentuk kesediaan dan dukungan PKL Banjarsari terhadap
program relokasi, selain kesediaan mendaftar untuk direlokasi, juga berupa spanduk yang dipasang di berbagai tempat dan
lokasi, misalnya spanduk bertuliskan “Seluruh PKL Monumen’45 Banjarsari siap direlokasi ke Semanggi”, “Terima
kasih kepada Pemkot Surakarta yang telah memikirkan nasib kami”, “Kami pro Relokasi”, “Terima kasih kepada Bapak
Jokowi dan Bapak Rudy yang telah memikirkan nasib dan keluarga kami”, dan sejumlah spanduk lainnya.
Upaya relokasi PKL Banjarsari ke Sentra PKL yang baru, yaitu Semanggi dilakukan secara sistematis dan terstruktur,
terlihat dari jadwal yang disusun oleh Pemkot Surakarta. Jadwal relokasi itu adalah sebagai berikut.
Pertama, pendataan PKL pada bulan September 2005. Kedua, desain teknis dan rancangan penempatan pedagang
atau zoning kios pada bulan Oktober 2005. Ketiga, sosialisasi intern oleh Pemkot Surakarta kepada
PKL, bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan media massa pada bulan
November 2005.
Keempat, persiapan dan pelaksanaan pembangunan konstruksi pada bulan Januari-Mei 2006.
331
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Kelima, pelaksanaan relokasi, yang meliputi persiapan para PKL, pelaksanaan boyongan bersama, peresmian dan
pembukaan oleh walikota pada bulan Juni 2006. Keenam, revitalisasi monumen, yakni persiapan, perataan
tanah, pekerjaan saluran, pemagaran, pavingisasi, pengaspalan jalan, pekerjaan konstruksi sarana bermain anak, jalan setapak,
dan penyelesaian finishing pada bulan Juni-Juli 2006.
Ketujuh , peresmian pemanfaatan kawasan Monumen”45
Banjarsari, diawali dengan upacara bendera dipimpin walikota pada tanggal 17 Agustus 2006.
Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 44. Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi dilihat dari
depan
Tidak seperti halnya pemerintah kabupaten dan kota lainnya, Pemkot Surakarta sangat serius dalam mempersiapkan
lokasi baru bagi pedagang kaki lima yang direlokasi. Pemkot telah menyiapkan lahan di Semanggi seluas 11.950 m² dan di
atas lahan itulah dibangun 1.018 kios dan sarana prasarana lainnya, di antaranya adalah tempat parkir mobil, parkir sepeda
332
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
motor, koridor, kantor pengelola, mushola, dan lavatory atau
kamar mandi dan toilet umum Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007.
Pemilihan lokasi Semanggi bukannya tanpa pertimbangan. Lokasi Semanggi dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi
tersebut memiliki potensi ekonomi dan sosial yang tinggi, di antaranya sarana transportasi lengkap, ada pusat kegiatan
sebagai pemacu pertumbuhan kawasan, seperti pasar besi, pasar ayam, pasar klitikan, pasar rakyat, rumah toko, subterminal dan
bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel, restoran, rumah sakit, dan tempat ibadah.
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 45. Subterminal yang menunjang aktivitas ekonomi
PKL di Pasar Notoharjo
PKL yang dipindah diyakini tetap laku, karena citra usaha PKL Monjari telah terbentuk dengan baik, harga barang lebih
murah dibandingkan dengan harga di toko-toko, sarana angkutan yang memadai, seperti angkota, bis kota, dan bis antar
wilayah, sarana kawasan memadai, seperti jalan, subterminal,
333
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
penunjuk arah dan pusat kegiatan lainnya, serta kenyamanan pembeli pun lebih baik daripada ketika harus berdesak-desakan
membeli barang ketika masih di Monumen Banjarsari. Dalam realitasnya, dagangan dan usaha PKL Monjari yang telah
berpindah di Semanggi laku dan diminati pembeli. Seperti diungkapkan pak Marsudi 40 tahun, salah seorang penjual
pakaian berikut ini.
“awal pindah memang agak sepi pak…setelah 2 tahun di sini, pembeli dan pelanggan mulai berdatangan. Kita
tidak kehilangan pelanggan pak, karena kita sudah punya nomor kontak handphone, sehingga ketika
kita pindah…mereka sudah kita beritahu…kapan mereka butuh barang, mereka tinggal telepon…usaha
kita juga tidak mati, karena kita pindah bersama- sama…istilahnya “bedol deso” pak…jadi ya pasar tetap
hidup” wawancara dengan Marsudi, Kamis, 28 April 2011.
Pedagang kaki lima yang pindah bersama-sama ke Semanggi, menurut pak Marsudi banyak diantaranya yang
lulusan perguruan tinggi. “Mungkin faktor pendidikan inilah yang turut memengaruhi mengapa kepindahan PKL ke
Semanggi berjalan mulus pak”, demikian ungkap pak Marsudi. “Saya sendiri lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di
Semarang, jelek-jelek saya sarjana lho pak, meskipun pekerjaan saya hanya ber
jualan pakaian” wawancara dengan Marsudi, Kamis, 28 April 2011.
Para pedagang kaki lima eks Monumen Banjarsari yang telah pindah ke Semanggi memperoleh fasilitas dan perlakuan
yang baik
dari pemerintah
kota Surakarta.
Untuk memperlancar kepindahan ke Semanggi, utamanya untuk
mengangkut barang-barang
dagangan dengan
segala perlengkapan dagang lainnya, Pemkot telah menyediakan 40
truk dengan 80 orang tenaga angkut Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007. Kios yang ditempati PKL
334
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
juga diberikan secara cuma-cuma, tidak ditarik bayaran sedikit pun. Pembagian kios diserahkan kepada para pedagang atau
paguyuban, didampingi oleh jajaran pemerintah kota. Desain atau tata letak kios juga disesuaikan dengan kebutuhan
pedagang, sehingga setiap pembeli bisa merasakan kenyamanan dalam setiap transaksi.
Sebelum menjalankan usaha sebagai PKL, para pedagang juga difasilitasi Pemkot dalam mengurus izin penempatan.
Mereka yang telah memenuhi persyaratan akan memperoleh izin penempatan dengan diberi Surat Hak Penempatan dan
Kartu Pengenal, yang berlaku satu tahun. Surat hak atau surat izin penempatan yang diberikan kepada PKL gratis. Hal ini
sesuai dengan amanat pasal 7 Perda Nomor Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang berbunyi “dalam
memberikan izin penempatan PKL, pemerintah daerah tidak memungut biaya”.
Kemudahan yang diberikan Pemkot kepada PKL tidak hanya masalah perizinan penempatan PKL, tetapi juga
pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP dan Tanda Daftar Perusahaan TDP, yang semuanya diberikan tanpa
ditarik bayaran. Dalam hal pengembangan usaha PKL di Pasar Notoharjo Semanggi, Pemkot juga membantu pedagang kaki
lima dalam pemasaran produk. Upaya promosi dilakukan, baik melalui media massa cetak dan elektronik, maupun melalui
pemasangan baliho, spanduk, dan penyelenggaraan kegiatan khusus agar lokasi baru cepat dikenal.
Tidak seperti
halnya pemerintah
kabupaten dan
pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan walikota Joko Widodo, telah melakukan
pendekatan budaya dalam menata PKL, utamanya PKL Monumen Banjarsari. Relokasi atau boyongan dari Monumen
Banjarsari ke Pasar Notoharjo Semanggi dilakukan dalam sebuah upacara kirab budaya, yang melibatkan unsur
335
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
pemerintah kota Surakarta, anggota DPRD, beberapa elemen masyarakat, dan para pedagang kaki lima. Prosesi kirab budaya
yang menandai boyongan resmi para pedagang kaki lima PKL dari kawasan Monumen Banjarsari menuju lokasi baru di
Semanggi Pasar Kliwon yang diberi nama baru Pasar Notoharjo dilakukan pada tanggal 23 Juli 2006.
Pin dahan atau “bedol deso” PKL Banjarsari ke Semanggi
terbilang langka, karena 1 jumlah PKL yang pindah secara sukarela relatif banyak, yaitu 989 pedagang, 2 mereka pindah
secara bersama-sama, dan 3 peserta kirab berjalan kaki menuju Semanggi dengan berpakaian adat Jawa, termasuk
walikota dan wakil walikota Surakarta. Kirab budaya juga dimeriahkan oleh kehadiran kereta kuda, barisan prajurit dari
Keraton Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan Kelompok Sadar Wisata. Setelah melalui rute yang telah ditentukan,
peserta kirab disambut Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, di pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Perhatian yang besar dari
pemerintah kota maupun pemerintah provinsi dan perasaan “diuwongke” diperlakukan secara manusiawi inilah yang
menjadi kunci mengapa para pedagang kaki lima di Monumen Banjarsari bersedia pindah ke Semanggi.
Relokasi PKL Monumen Banjarsari sebagai bagian dari kebijakan penataan PKL di kota Surakarta boleh dibilang sukses
dan sudah 6 tahun ini para PKL menjalankan aktivitas ekonominya di lokasi yang baru, yaitu Pasar Klitikan Notoharjo
Semanggi. Selain membangun pasar Notoharjo untuk pedagang kaki lima Monumen Banjarsari, Pemkot Surakarta juga
membangun pasar Panggung Rejo dan Pucang Sawit. Sementara itu, pedagang kaki lima lainnya, yang telah memiliki gerobak
disediakan
Shelter, yaitu di Surakarta Square, DKT, Manahan, Jebres, dan tempat lainnya. Kebijakan yang diambil Pemkot
Surakarta terhadap PKL, tidak hanya bersifat penataan, tetapi juga pemberdayaan dan pembinaan.
336
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dalam rangka pemberdayaan dan pembinaan PKL, Pemkot Surakarta telah memberikan pelatihan atau
training kepada pedagang kaki lima, seperti
training tentang bagaimana melayani pembeli,
training penataan barang, dan training manajemen wawancara dengan Joko Widodo, Walikota
Surakarta, Kamis, 28 April 2011. Pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta sesuai dengan arahan pasal 12
ayat 1 Perda nomor 3 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa untuk pengembangan usaha PKL, Walikota berkewajiban
memberikan pemberdayaan, berupa a bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, b pengembangan usaha
melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, c bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan
d peningkatan sarana dan prasarana PKL.
Ketika ditanya, mengapa pak Walikota berkenan memberdayakan PKL? Berikut jawaban pak Joko Widodo, “PKL
adalah pedagang sektor informal dan mereka merupakan aset ekonomi kota, sehingga harus diberdayakan” wawancara
dengan Joko Widodo, Walikota Surakarta, Kamis, 28 April 2011. “Lagipula,” masih menurut pak Jokowi, panggilan
akrabnya, “pada tahun 2010, PKL bersama pasar memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah
PAD, yaitu sebesar 19 milyar rupiah, sedangkan sektor lainnya termasuk rendah, seperti terminal hanya 2,8 milyar
rupiah; restauran menyumbang 6 milyar rupiah, dan hotel sumbangannya sebesar 9,8 milyar rupiah”. Keberhasilan
Pemkot Surakarta dalam menata PKL, utamanya PKL Monumen Banjarsari sedikit banyak memberi dukungan
terhadap visi kota Surakarta sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan,
pariwisata, dan olahraga.
Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah, maka tidak heran jika Semarang menjadi tempat tujuan para migran
dari desa yang ingin mengubah nasib lebih baik dengan bekerja
337
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
di kota. Tahun 2005, penduduk migran yang datang ke kota Semarang mencapai angka 38.910 orang RPJPD Kota Semarang
Tahun 2005-2025. Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi peningkatan jumlah migran, yaitu tahun 2006 meningkat
menjadi 42.714 orang, tahun 2007 menjadi 43.151 orang, dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 44.187 orang Bappeda dan
BPS Kota Semarang 2010. Tahun 2009 merupakan tahun penurunan jumlah migran di kota Semarang, yakni 35.518
orang, namun demikian jumlah tersebut tetap signifikan jika dikaitkan dengan persoalan kesempatan kerja.
Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang menyediakan berbagai fasilitas ekonomi dan sosial budaya,
yang memberi daya tarik tersendiri bagi para migran. Fasilitas fisik, seperti hotel, mall, ritel, tempat-tempat hiburan, serta
restoran, kafe dan warung-warung makan, memberikan daya tarik bagi migran untuk mencari pekerjaan. Demikian pula,
bangunan kota lama, seperti Gereja Blenduk, Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Kuil Sam Poo Kong, menarik para wisatawan
lokal maupun pendatang untuk berekreasi. Bangunan baru, yaitu Anjungan Jawa Tengah yang ada di pantai Marina dan
Masjid Agung Jawa Tengah juga tidak pernah sepi dari pengunjung, baik lokal Semarang maupun dari luar Semarang.
Industri dan pabrik-pabrik yang ada di kawasan dalam kota Semarang maupun di sekitarnya, seperti pabrik tekstil, kayu
olahan, keramik, mebel, rokok, jamu, makanan, minuman, dan lain-lain, menyediakan lapangan kerja yang mencukupi bagi
warga kota Semarang maupun para migran.
Para migran yang tidak tertampung bekerja di sektor formal dapat mengais rezeki dari sektor informal dengan berdagang
atau menjalankan usaha di tempat-tempat keramaian yang tersebar di 16 kecamatan. Mereka kebanyakan berdagang atau
menjalankan usaha di kota bawah, karena daerah padat penduduk ada di wilayah kota bawah. Daerah padat penduduk
di kota bawah, tersebar di kecamatan Semarang Tengah,
338
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Semarang Utara, Semarang Timur, Gayamsari, Genuk, Pedurungan, Semarang, Candisari, Gajahmungkur, Semarang
Barat, dan Tugu. Kota bawah ini merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan dan
kebudayaan.
Arus lalu lintas manusia yang ada di kota bawah menjadi daya tarik bagi PKL. Tepi bantaran sungai, tepi jalan protokol
dan jalan umum lainnya, lingkungan pabrik, lingkungan kantor, lingkungan pertokoan, lingkungan mall, lingkungan
pasar tradisional, trotoar, taman kota, lingkungan kampus perguruan tinggi dan sekolah, dan tempat-tempat keramaian
lainnya, penuh dengan para pedagang kaki lima PKL. Para PKL ini sering menempati daerah atau area yang terlarang atau
dilarang oleh Perda nomor 11 tahun 2000.
PKL yang terorganisasi dengan baik telah ditata oleh Pemkot Semarang, dengan ditempatkan pada lokasi yang tidak
mengganggu arus lalu lintas, misalnya PKL Kalisari yang menjalankan usaha berdagang tanaman bunga dan PKL Barito
yang menjalankan usaha perdagangan barang-barang klitikan. Para PKL yang berdagang barang-barang klitikan dan alat-alat
pertanian dan rumah tangga juga ditempatkan di sentra PKL Kokrosono. PKL yang berdagang makanan dan minuman yang
semula berada di kawasan jalan Pahlawan, ditempatkan di lokasi PKL jalan Menteri Soepeno. PKL-PKL terorganisasi
tersebut memperoleh perhatian yang memadai dari Pemkot, baik dalam hal perizinan, permodalan, tempat usaha, gerobak
atau lapak, dan perlindungan.
Sementara itu, di luar PKL terorganisasi terdapat PKL lainnya yang oleh pihak Pemkot disebut PKL liar. PKL jenis ini
menempati hampir di semua wilayah kecamatan yang ada di kota Semarang. Mereka berdagang atau menjalankan usaha
tidak hanya pada pagi hingga siang hari, tetapi ada juga yang berdagang dari sore hingga malam hari. Di antara para PKL liar
339
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
tersebut adalah PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi yang ada di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat,
yaitu PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono. Kemacetan
lalu lintas,
kekotoran, kekumuhan,
dan kesemrawutan merupakan pandangan sehari-hari ketika para
pengguna jalan atau siapa pun yang melintasi jalan-jalan yang padat PKL.
Di antara ketiga lokasi PKL yang menjadi objek penelitian ini, lokasi PKL Kokrosono yang dipandang paling ramai,
semrawut, dan kumuh. Hal ini karena: 1 para PKL umumnya menjajakan barang-barang bekas, berupa barang klitikan, 2
mereka kebanyakan berjualan secara lesehan, menggelar barang dagangan seperti apa adanya di tepi jalan, dan 3 jalan
Kokrosono lebarnya tidak lebih dari 6 meter, sehingga ketika ditempati para PKL di sisi kanan dan kiri, akan makin sempit
dan mengganggu arus lalu lintas.
Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang telah lama
menjadi prioritas Kementerian Pekerjaan Umum, mulai dikerjakan pada tahun 2009 dan diharapkan akan berakhir pada
tahun 2014. Proyek normalisasi sungai tentu saja memberikan pengaruh terhadap keberadaan para PKL yang menjalankan
aktivitas ekonomi di sisi sungai. Pembangunan fisik sungai, mulai dari pengerukan lumpur akibat dari sedimentasi sungai
yang sudah terlalu lama dan pembuatan talut, telah menyingkirkan PKL yang menempati tepi sungai, baik mereka
yang ada di Sampangan, Basudewo, maupun Kokrosono.
Sebagai bagian dari pemerintah pusat, tentu saja pemerintah kota Semarang mengambil sikap mendukung
proyek, sehingga diambil kebijakan relokasi bagi PKL yang menempati wilayah tepi sungai. Apalagi rencana normalisasi
sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat juga sudah dituangkan dalam RPJPD kota Semarang tahun 2005-2025,
340
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
RPJMD kota Semarang tahun 2010-1015, dan RTRW kota Semarang tahun 2011-2031.
Normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ditandai dengan aktivitas merapikan sungai, tidak hanya di
dalam dan di pinggir DAS dan sempadan, tetapi juga menata dan merapikan lingkungan di sisi kanan dan kiri sungai yang
ditempati para pedagang. PKL terkena dampaknya, tidak dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan harus keluar dari wilayah
tersebut. Relokasi ini diawali dengan tindakan penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Semarang. Tidak adanya komunikasi
yang efektif antara Pemkot dengan para PKL, penertiban yang dilakukan oleh Pemkot menyebabkan terjadinya perlawanan
dari para PKL, terutama mereka yang menjalankan aktivitas di Sampangan dan Basudewo. Demikian pula, tidak adanya
perencanaan yang komprehensif dari Pemkot, menyebabkan perlawanan resistensi di kalangan para PKL.
Tidak seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota Surakarta, strategi Pemkot Semarang dalam menata PKL lebih
diutamakan pada dua hal, yaitu penertiban penggusuran dan relokasi. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya,
penertiban terhadap PKL dilakukan di hampir semua pelosok kota yang terdapat pedagang sektor informal. Pedagang nasi,
pedagang makanan dan minuman, pedagang jajanan oleh-oleh khas Semarangan, pedagang bunga, dan pedagang barang-
barang bekas yang berjualan di tepi sungai, di trotoir, di taman- taman kota, dan tempat-tempat lain yang terlarang, pernah
mengalami penertiban dan penggusuran. Ada yang kapok, lalu tidak berjualan lagi di tempat tersebut, tetapi banyak juga yang
kembali berjualan ketika mereka merasa aman dan tidak ada tindakan penertiban dari aparat Satpol PP
. Taktik “run and back
” yang mereka gunakan, yaitu lari menyingkir dan kembali lagi setelah kondisi aman.
341
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Pemkot menertibkan para pedagang tersebut, lebih didasari oleh kepentingan sepihak, yaitu menata kota agar tertib, asri,
indah, bersih, aman, dan nyaman. Hal ini dilakukan untuk mengejar tujuan jangka pendek, yaitu dalam rangka meraih
penghargaan Adipura. Sementara itu, kepentingan pedagang, untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tidak
begitu diperhatikan. Pendek kata, yang penting kota bersih, tidak ada lagi PKL yang mengotorinya, demikian yang
dikehendaki Pemkot.
Selain tujuan jangka pendek di atas, kebijakan yang ditempuh Pemkot Semarang dalam menata PKL tersebut juga
didasari oleh tujuan jangka panjang Pemkot untuk mewujudkan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa. Sesuai dengan
Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMD Kota Semarang Tahun
2010-2015, Pemkot Semarang ingin mewujudkan visi kota Semarang, yaitu terwujudnya kota Semarang sebagai kota
Perdagangan dan Jasa yang berbudaya menuju Masyarakat Sejahtera.
Visi kota Semarang ini sejalan dengan visi walikota Semarang Soemarmo HS, yakni yang terkenal dengan sebutan
SETARA atau Semarang Kota Sejahtera. Waktunya Semarang Setara, sebagaimana sering diucapkan walikota dalam berbagai
kesempatan, dimaksudkan untuk membangun motivasi dan mengoptimalkan potensi kota Semarang, melalui komitmen
seluruh pemangku kepentingan pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk bersama-sama membangun kota Semarang dan
mensejajarkannya
dengan kota
metropolitan lainnya.
Waktunya Semarang Setara juga dimaksudkan sebagai momentum kebangkitan seluruh masyarakat kota Semarang
agar mampu menjadikan kota Semarang sejajar dengan kota- kota metropolitan lainnya dalam segala aspek kehidupan, guna
mencapai kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, Semarang
342
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kota Sejahtera merupakan sasaran akhir dari pembangunan kota, terutama pada masa kepemimpinan Soemarmo HS.
Untuk mewujudkan visi kota Semarang, Pemkot Semarang merumuskan misi sebagai berikut.
Pertama, mewujudkan
sumberdaya manusia
dan masyarakat kota Semarang yang berkualitas.
Kedua, mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta
menjunjung tinggi supremasi hukum. Ketiga, mewujudkan kemandirian dan daya saing daerah.
Keempat, mewujudkan
tata ruang
wilayah dan
infrastruktur yang berkelanjutan. Kelima, mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat.
Visi dan misi kota Semarang diwujudkan dengan memprioritaskan program-program pembangunan dalam
bentuk Sapta
Program, yang meliputi
1 program
penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, 2 program penanganan rob dan banjir, 3 program
peningkatan pelayanan publik, 4 program tata ruang dan peningkatan infrastruktur, 5 program peningkatan kesetaraan
dan keadilan gender, 6 program peningkatan pelayanan pendidikan, dan 7 program peningkatan pelayanan kesehatan
http:semarangkota.go.idcmsindex.php?option=com_content task=viewid=34Itemid=53. diunduh pada hari Kamis, 8
September 2011.
Kebijakan Pemkot Semarang yang tidak komprehensif, yang hanya bertumpu pada penertiban dan relokasi, serta
didukung oleh sikap petugas Satpol PP yang arogan, akhirnya menimbulkan tingkat akseptabilitas yang rendah di kalangan
pedagang. Pada hampir semua tempat yang digusur, para pedagang memperlihatkan reaksi yang hampir sama, yaitu
343
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
menolak dan melawan. Penolakan dan perlawanan yang dilakukan PKL memiliki motif yang sama, yaitu untuk
mempertahankan lokasi berdagang demi menyambung hidup. Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana arogansi dari
petugas Satpol PP dan bagaimana reaksi dari pedagang kaki lima yang digusur.
Sumber: Suara Merdeka Kamis, 14 Juli 2011 Gambar 46. Petugas Satpol PP sedang membongkar Lapak
PKL di Indraprasta Semarang
Pembongkaran empat
bangunan PKL
di Jalan
Kusumawardani Semarang pada tanggal 19 Mei 2011 misalnya, menimbulkan perlawanan dari PKL Suara Merdeka, Jumat, 20
Mei 2011. Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka tersebut, proses pembongkaran bangunan sempat diwarnai kericuhan
dan para pedagang melakukan perlawanan karena mereka merasa belum pernah mendapatkan teguran dan peringatan
sebelumnya. Pedagang kecil, seperti pedagang bakso, meskipun sendirian, berani melawan dan menolak digusur ketika sedang
berjualan. Tipologi perlawanan yang dilakukan PKL, yaitu membandel, bertahan di tempat atau tidak mau dipindah.
344
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Sumber: Semarang Metro, 21 Juni 2011 Gambar 47. Pedagang Bakso bersitegang dengan Aparat
Satpol PP di Jl.Pandanaran Semarang
Sikap membandel dari pedagang bakso di atas merupakan salah
satu contoh dari perlawanan “wong cilik” terhadap kebijakan penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot.
Perlawanan yang hebat dan sistematis, terjadi di lokasi PKL Sampangan dan Basudewo, karena bangunan dan lapak mereka
dibongkar oleh petugas Satpol PP. Bukan hanya itu yang membuat mereka melawan. Tidak adanya kepastian relokasi
yang representatif, membuat mereka menolak dipindahkan dan tetap bertahan di lokasi.
B. Keberhasilan Penataan PKL: Belajar dari Relokasi PKL