359
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
C. Hambatan yang dihadapi Pemerintah
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah tentu tidak semuanya dapat diterima masyarakat. Ada pihak yang pro
dan ada pula yang kontra terhadap kebijakan yang diambil. Mereka yang pro atau setuju dengan kebijakan biasanya adalah
pihak yang diuntungkan atau setidaknya tidak dirugikan dari kebijakan yang telah diputuskan. Sementara itu, pihak yang
kontra, menolak, atau menentang kebijakan tersebut adalah pihak yang tidak memperoleh keuntungan apa pun dari
kebijakan tersebut atau mereka berada pada pihak yang dirugikan akibat dari kebijakan yang akan dan telah diambil.
Permasalahan PKL bukan persoalan yang mudah dipecahkan. Banyak faktor yang melingkupinya. Tidak hanya
terkait dengan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor formal, tetapi juga berhubungan dengan faktor-faktor lainnya,
seperti meningkatnya arus migrasi ke kota, bertambahnya jumlah penduduk kota, makin sempitnya lahan kota karena
dipadati oleh gedung-gedung perkantoran, bisnis, perbankan, dan perdagangan, makin lengkapnya fasilitas kota, karakteristik
urban
yang umumnya
rendah pendidikan
dan tak
berketerampilan, dan faktor lainnya, yang membuat kota menjadi tempat menarik bagi migran atau urban yang hendak
mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Para migran dan urban yang tidak terserap oleh sektor ekonomi formal, umumnya mencari rezeki dengan memasuki
sektor informal, misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima. Jenis usaha yang dipilih pun beraneka ragam, ada yang menjadi
pedagang makanan dan minuman, pedagang alat-alat pertanian dan pertukangan, pedagang barang-barang bekas klitikan,
pedagang pakaian, dan lain-lain.
Para PKL yang rata-rata modalnya sedikit ini, biasanya mencari tempat yang ramai atau padat manusia. Tidak adanya
360
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tempat kosong yang khusus disediakan oleh Pemkot, membuat mereka nekat menempati area terlarang, seperti tepi sungai,
trotoar, emperan toko, ruang dekat pasar tradisional maupun modern, ruang dekat sekolah, ruang dekat perkantoran, dan
area lainnya yang mudah diakses pembeli. Anggaran yang terlalu kecil sering menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten
dan kota di Jawa Tengah untuk melakukan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima.
Kota Surakarta dengan jumlah PKL lebih dari 5.000 orang dan Semarang dengan jumlah PKL lebih dari 11.000 orang
mengalami kesulitan dalam menata dan menertibkan PKL. Data jumlah PKL ini bisa saja berubah lebih tinggi, karena data
terbaru belum diperoleh. Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dari sektor ekonomi informal PKL
juga merupakan variabel yang dapat menambah data jumlah PKL.
Keterbatasan lahan yang dimiliki pemerintah kota merupakan kendala tersendiri, apalagi sebagian lahan harus
disediakan pemerintah untuk ruang terbuka hijau RTH yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain, selain untuk
kepentingan RTH. Sikap PKL yang sulit diatur juga menjadi kendala bagi Pemkot untuk menata dan membina PKL. Hari ini
ditertibkan, mereka patuh tidak menempati area terlarang, tetapi begitu tidak ada penertiban, mereka kembali lagi ke
tempat semula. Mirip film Tom and Jerry, petugas Satpol PP sebagai Tom selalu mengejar-ngejar PKL sebagai Jerry. Mereka
tidak pernah akur, Tom dengan gigi taringnya menakut-nakuti Jerry, tetapi Jerry yang cerdik tampaknya tidak pernah jera.
PKL tampaknya memang tidak pernah jera untuk berdagang di tempat terlarang, meskipun acapkali Satpol PP
menertibkannya. Pemerintah kabupaten Grobogan misalnya, mengakui kewalahan dalam mengatur pedagang kaki lima di
Purwodadi. Menurut Kabid Pengendalian Lingkungan BLH
361
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Pemkab Grobogan, Endah Pamularsih, kegagalan kabupaten Grobogan memperoleh Adipura, karena masih adanya kawasan
kumuh yang ditempati para PKL Semarang Metro, Sabtu, 5 November 2011.
Kebanyakan pemerintah kabupaten atau kota melakukan penataan PKL, salah satu tujuan terpenting adalah untuk
memperoleh penghargaan Adipura, sebuah penghargaan prestisius
bagi bupati
atau walikota
yang berhasil
memperolehnya. Untuk keperluan tersebut, tidak segan-segan pemerintah menggusur PKL atau setidaknya mengarahkan PKL
agar tidak mengganggu persiapan dan pelaksanaan penilaian Adipura. Pemkot Semarang biasanya meminta PKL untuk tidak
berdagang beberapa hari ketika tiba masa penilaian Adipura dari pemerintah pusat.
Komunikasi yang kurang antara Pemkot dan PKL juga menjadi penyebab sekaligus hambatan mengapa PKL sulit
ditata. Macetnya komunikasi antara kedua belah pihak, menyebabkan munculnya perasaan saling curiga dan tidak
adanya kepercayaan satu dengan lainnya. Keberhasilan relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo Semanggi Surakarta
merupakan bukti dari berlangsungnya komunikasi yang intensif antara Pemkot dengan PKL.
Komunikasi berlangsung baik ketika walikota beserta wakilnya melepas baju kedinasan dan bersedia berbaur dengan
PKL, sehingga PKL menjadi impresif terhadap apa yang
dilakukan orang nomor satu dan nomor dua di Surakarta tersebut. Perhatian yang besar dari pemimpin tersebut mampu
membuka kunci ketertutupan, kebandelan, dan kenekatan dari PKL, sehingga para PKL akhirnya bersedia dipindah ke tempat
lain yang lebih baik kondisinya. Hal ini tidak terjadi di kota Semarang.
Tidak adanya komunikasi dialogis antara Pemkot Semarang dan PKL menjadikan PKL tidak mudah menerima kebijakan
362
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pemkot. Rapat-rapat yang diadakan PKL tidak pernah dihadiri oleh pejabat kota Semarang. Kalau pun pernah, hanya
menjelang akhir perjuangan PKL Basudewo, wakil walikota bersedia hadir, itu pun hanya sekali untuk menegosiasi PKL
agar mereka bersedia pindah ke sentra PKL Kokrosono. Pejabat kota Semarang yang lebih mengedepankan gengsi kekuasaan,
membuat mereka tidak dengan mudah diterima di kalangan para PKL.
“Kalau diundang untuk membicarakan nasib kita, mereka tidak pernah datang pak, mungkin gengsinya turun
kalau hadir di tengah orang misk in”, demikian ungkap pak
Achmad. Pedagang kaki lima PKL menjadi resisten ketika mereka ditertibkan, apalagi penertiban dilakukan secara tidak
manusiawi.
Penertiban dan penggusuran sebagai bahasa kekuasaan Pemkot menjadi pintu masuk bagi PKL untuk melakukan
perlawanan, apalagi dalam realitas kebijakan yang dikeluarkan Pemkot, para PKL harus berada pada posisi harus mengalah,
kalah dan dikalahkan demi kepentingan yang lebih besar. Mereka harus minggir dari jalanan atau tempat terlarang
lainnya, demi pembangunan yang lebih besar manfaatnya bagi kota dan masyarakat.
Sikap bandel atau membangkang merupakan tipikal dari sebagian PKL di kota Semarang. Sikap bandel dan
membangkang ini juga merupakan hambatan yang dihadapi Pemkot dalam menata PKL. Para PKL pada saat
“dirazia” akan pergi dari lokasi, tetapi begitu kondisi sudah aman, mereka
akan kembali ke tempat semula. Ini terjadi tidak hanya di Semarang, tetapi juga di daerah lainnya.
“Kami berkali-kali telah memperingatkan, tetapi tidak diindahkan, terpaksa ka
mi merazia mereka”, keluh Daniel
Sandanafu, Kabid
pengendalian dan
Operasional Satpol PP Kota Semarang Semarang Metro, Kamis, 17 November 2011.
363
PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG
Kebandelan PKL juga dirasakan oleh Kepala Satpol PP Kabupaten Grobogan, Daru Wisakti.
“Banyak PKL yang membandel meskipun sering kami tertibkan, dan kali ini bagi yang melanggar akan kami
proses sampai Pengadilan atas pelanggaran Perda”, tegas Daru Semarang Metro, Sabtu, 5 November
2011.
Sikap bandel dan tidak disiplin dari PKL Semarang juga ditunjukkan dari banyaknya PKL yang tidak memiliki Surat
Keputusan resmi dari Pemkot untuk izin berdagang. Mereka yang sudah menempati lahan dan telah mendirikan bangunan
dan lapak tidak resmi, juga banyak di antaranya yang menjual lahan kepada pihak lain.
“lahan bukan hak milik banyak yang dijual dan dipindahtangankan kepada pihak lain…sebenarnya hal
ini dilarang dan bertentangan dengan ketentuan Perda PKL, tetapi mereka tetap membandel…di Semarang
banyak PKL liar yang tidak memiliki SK resmi sehingga sulit bagi kami untuk melakukan penataan
dan penertiban”, demikian keluh pak Azis, Ka.Sub. Dinas Pasar Semarang wawancara dengan pak Azis,
Rabu, 29 Februari 2012.
Dalam kaitan dengan sikap petugas Satpol PP, Siswono 2009:94 dalam disertasinya berjudul Resistensi dan
Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima PKL, Preman, dan
Aparat di Depok Jawa Barat, menemukan bahwa petugas Satpol PP sesungguhnya tidak tega ketika akan menggusur PKL,
karena mereka membutuhkan tempat untuk mencari penghidupan, tetapi karena harus taat pada tugas dan perintah
dari pimpinan, maka petugas Satpol PP mau tidak mau harus menertibkan PKL. Ini artinya, bahwa petugas Satpol PP di
Depok dalam melaksanakan perintah sesungguhnya tidak sepenuh hati.
364
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Namun demikian, ditemukan pula, bahwa ada di antara petugas Satpol PP yang dalam melaksanakan tugasnya
memanfaatkan kesempatan dengan menarik sejumlah uang kepada para PKL dengan dalih untuk uang keamanan. Perilaku
petugas Satpol PP ini tidak jauh berbeda dengan tindakan preman di sekitar lokasi PKL yang melakukan pungutan liar,
juga dengan dalih untuk dana keamanan.
D. Dampak Kebijakan Penataan PKL