25
HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Latar Belakang Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli
1. Masalah yang tidak terlalu penting
Fenomena bunuh diri kini semakin marak terjadi di Bali. Media massa, terutama media massa lokal, semakin sering memberitakan kejadian-kejadian
semacam itu. Dilihat dari segi umur, pelakunya berentang dari usai muda hingga tua sedangkan jika dilihat dari motifnya juga beragam, mulai dari maslah
ekonomi, hingga sakit yang tidak tersembuhkan, tidak jarang pula ditemui motif yang bisa dibilang sepele seperti putus cinta atau gagal mencari pekerjaan yang
diharapkan hal ini terjadi terutama dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja.
Peristiwa bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Bangli cukup mengejutkan. Menurut catatan kepolisian Bangli Polres Bangli, angka bunuh diri di kabupaten
tersebut mencapai 14 orang pada tahun 2013. Akan tetapi yang paling mengejutkan, adalah catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli tahun 2012
sampai 2015 tentang upaya-upaya bunuh diri yang terjadi pada rentang tahun Menurut catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli, pada rentang tahun
tersebut, terjadi tidak kurang dari 56 upaya bunuh diri, meskipun beberapa dari korban bisa diselamatkan karena pertolongan di rumah sakit, akan tetapi catatan
angka 56 orang yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri tersebut, merupakan jumlah yang mengkhawatirkan. Ini menandakan ada ketidakberesan di
masyarakat, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor berkaitan dengan perubahan sosial atau faktor-faktor lain.
Mencari informan yang bersedia diwawancarai dalam penelitian ini cukup sulit. Mencari informasi tentang segala hal yang bersangkutan dengan bunuh diri
kepada keluarga korban ataupun korban selamat ibarat membuka luka lama yang tidak setiap orang punya ketegaran untuk kembali menceritakan penderitaan yang
dialami atau pengalaman yang sempat menimpanya bahkan tidak jarang dijumpai trauma psikis yang amat besar yang masih dialami oleh keluarga korban maupun
pelaku yang berhasil selamat sehingga seringkali wawancara terpaksa dihentikan ditengah jalan bahkan gagal.
26
Korban pertama yang berhasil diperoleh datanya dalam penelitian ini berlokasi di Desa Bunutin, Kecamatan Bangli. Korban meninggal berusia 19
tahun. Kejadian ini terjadi pada bulan Juni 2015 berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua korban dapat dijelaskan faktor utama yang mendorong pelaku
melalukan bunuh diri adalah kegagalan mencari pekerjaan yang dicita-citakan sejak kecil. Sikap korban yang suka menyendiri dan tertutup turut andil dalam
kejadian tersebut. Semenjak kegagalan tersebut korban sering mengurung diri di kamar dan linglung. Dalam kondisi seperti ini korban merasa demikian pesimis
pada hidupnya. Dalam ranah psikologi sosial sikap semacam ini dapat disebut dengan kecemasan sosial. Kecemasan sosial adalah perasaan tidak nyaman
dengan kehadiran orang lain, yang disertai oleh perasaan malu dan kecendrungan untuk menghindari interaksi sosial Dayakisni, Hudaniyah, 2009: 125.
KT 50 tahun menjelaskan sebagai berikut: “ anak tiang saya dari kecil memang anaknya pendiam, jarang cerita
apalagi sama kami apalagi sama orang lain. Kalau punya masalah jak pedidine ngabe dibawa sendiri. Kami sangat syok kami kena musibah ini,
anak tiang saya sejak kecil bercita-cita jadi polisi, tes waktu niki ini
gagal, habis itu anak saya sai dikamar suka mentendiri dikamar” Sosiolog pertama yang berbicara banyak tentang bunuh diri adalah
Durckheim Ritzer Smart, 2012: 160 ia mengkategorikan bunuh diri kedalam berbagai tipe. Menurutnya perilaku seseorang yang melakukan bunuh diri bisa
dilihat sejauhmana integrasi yang terjadi ditengah masyarakat terutama integrasi yang dialami oleh pelaku. Berdasarkan kondisi dan sikap pelaku bunuh diri di atas
dapat dikategorikan kedalam tipe bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik adalah tipe bunuh diri yang terjadi karena integrasi masyarakat dengan individu sangat
lemah Ritzer, 2012: 160. lemahnya integrasi menyebabkan perasaan individu bukan bagian dari unit sosial yang lebih besar masyarakat. Lebih lanjut
dijelaskan Durckheim bahwa, jika integrasi individu dan masyarakat kuat maka akan timbul dukungan moral amat kuat yang memampukan seseorang
menghadapi kekecewaan-kekecewaan, frustasi dan tekanan-tekanan hidup. Integrasi yang tidak kuat bisa dilihat dari sikap pelaku yang suka
menyendiri, tertutup dan memisahkan diri dari komunitasnya. jauh dari unit
27
sosial yang lebih luasmasyarakat. Ketika korban mengalami tekanan-tekanan hidup sebagaimana penjelasan diatas, maka tidak ada dukungan moral dari unit
sosial yang lebih luas yang mampu mendorong pelaku keluar dari tekanan tersebut hingga akhirnya memilih jalan bunuh diri untuk mengatasi masalah yang
sedang dihadapi dan seolah tak memiliki kuasa atas hidupnya. Tidak dapat disangkal bahwa sedikit tidaknya dukungan sosial dari lingkungan sekitar pelaku
merupakan dimensi penting paling tidak sebagai pelepas kekalutan dengan berbagi cerita dan mendapatkan solusi atasnya.
Korban tersebut diatas dapat dikategorikan dalam usia remaja jika merujuk pada batasan umur sebagaimana penjelasan Sarwono yang memberi batasan usia
remaja dengan rentang umur 11-24 tahun Sarwono, 2013: 18. Dalam ranah psikologi perkembangan sebagaimana dijelaskan Monk Nugroho, 2012: 32.
Remaja yang memiliki kecendrungan memisahkan diri dari orang tua, berkumpul dengan teman sebayanya dan ada pada masa pencarian jati diri sering kali
menjadikan seseorang secara psikologis amat labil dan rapuh secara kejiwaan sehingga tidak memiliki daya juang yang cukup tinggi untuk keluar dari tekanan
hidup berikut pemaknaan atasnya. Maka tidak salah jika dimensi kelabilan ini menjadi salah satu faktor pendorong angka bunuh diri dikalangan anak muda terus
meningkat. Dalam fase psikologis ini, remaja tidak mempunyai kemampuan resiliensi yang memadai. Hal ini dapat kita lihat dari cara penyelesaian masalah
dengan sengaja mengakhiri hidup yang sejatinya disebabkan oleh hal-hal sepele semisal putus cinta atau gagal mencari pekerjaan.
Dari aspek individu prilaku bunuh diri dapat kita lihat dengan pendekatan atribusi sosial. Atribusi sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari
penyebab dari prilaku orang lain Rahman, 2013: 102. Prilaku-prilaku yang didasari oleh faktor emosi bisa diatribusikan sebagai perilaku yang tidak terencana
karena pelaku tidak memiliki kontrol atas tindakannya. Jika saja pelaku bunuh diri memiliki kontrol atas tindakannya memaknai hidup dan menjadikan setiap
masalah sebagai sumbu ledak vitalitas tentu prilaku bunuh diri sebagai cara keluar dari masalah tidak akan dipilih.
28
Lain lagi dengan korban kedua yang berhasil di peroleh datanya adalah seorang remaja asal Bayung Gede_WK umur 19 tahun laki-laki meninggal dengan
cara meminum pestisida terjadi pada 2013 silam. Kerabat korban yang berhasil ditemui menuturkan bahwa:
“perkiraan
tiange
saya WK meninggal karena
uyut
ribut dengan
tunangane, adanae nak trune jek keweh bene
namanya anak muda sulit kita jelaskankan” S 40 tahun
Kuat dugaan korban meninggal karena putus cinta sebagaimana dijelaskan
kerabat korban di atas. Hal ini terungkap karena malam sebelum kejadian korban sempat berkeluh kesah dengan teman sebayanya tentang peraasaanya. Remaja
yang berada pada fase tanggung_antara anak-anak dan dewasa menjadikan remaja sangat rapuh dan kebingungan akan identitas diri disatu sisi merasa sudah dewasa
dan layak mengambil keputusan disisi lain belum bisa memikul tanggung jawab yang terlalu besar. Kondisi ini menjadikan remaja mudah putus asa dan bingung
ketika menghadapi masalah. Seringkali hal semacam ini memaksa remaja memilih tindakan nekat untuk mengatasi masalah salah satunya adalah dengan sengaja
mengakhiri hidup untuk lari dari masalah. Kajian psikologi perkembangan remaja Blos 1962 menjelaskan remaja
pada tahapan madya sering berada dalam kondisi kebingungan karena sering kali tidak tahu harus memilih peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis
atau pesimis Sarwono, 2013: 30. Kondisi-kondisi semacam inilah yang menjadikan remaja tidak bisa keluar dari tekanan ketika sedang dalam himpitan
masalah sebagaimana yang dialami korban di atas.
2. Kemiskinan