Faktor-Faktor Sosial yang Mendorong Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli.

(1)

1 LAPORAN TAHUNAN/AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

Tahun ke I dari rencana I tahun TIM PENGUSUL

Gede Kamajaya, S.Pd, M.Si (Ketua) NIDN: 9908419706

Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si (Anggota) NIDN: 0005015713

Dr. Drs. GPB Suka Arjawa, M.Si (Anggota) NIDN:0008076403

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA AGUSTUS 2015


(2)

2 HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Faktor Sosial yang Mendorong Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli

Peneliti / Pelaksana

Nama Lengkap : Gede kamajaya, S.Pd.,M.Si NIDN : 9908419706

Jabatan Fungsional : -

Program Studi : Sosiologi Nomor HP :081915686249

Alamat Surel (e-mail) : kamajaya_1965@yahoo.com Anggota (1) :

Nama Lengkap : Dr. Drs. IGPB.Suka Arjawa, M.Si NIDN : 0008076403

Perguruan Tinggi : Universitas Udayana Anggota (2) :

Nama Lengkap : Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini, M.Si NIDN : 0005015713

Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

Anggota (ke n) : …..………

Nama Lengkap :………

NIDN : ………..

Perguruan Tinggi : ……….. Institusi Mitra (jika ada)

Nama Institusi Mitra : ………..

Alamat : ………..

Penanggung Jawab : ………... TahunPelaksanaan : Tahun ke I dari rencana I tahun

Biaya Tahun Berjalan : Rp.25.000.000 Biaya Keseluruhan : Rp.25.000.000

Denpasar, ...Novermber 2015 Mengetahui, Ketua Peneliti, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Cap dan tandatangan Tandatangan

(Dr. Drs. IGPB. Suka Arjawa, M.Si) (Gede Kamajaya, S.Pd.,M.Si) NIP: 196407081992031003 NIP:1987030720130812001

Mengetahui

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana

Cap dan tandatangan

(Prof. Dr.Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.) NIP. 19640807 199203 1 002


(3)

3 PRAKATA

Atas Asung Wara Nugraha Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maa Esa) penelitian ini dapat berjalan sebagaimana yang ditargetkan, meskipun dalam praktek dilapangan ada banyak kendala terutama dalam menggali informasi dari informan karena ibarat membuka luka lama ketika kami tim peneliti mewawancarai informan (keluarga korban/korban selamat) karena berbagai alasan salah satu adalah trauma psikis yang dirasa korban dan keluarga korban sangat besar sehingga dibutuhkan kehati-hatian terkait hal tersebut. Namun sekali lagi bagi kami hal tersebut adalah riak-riak kecil yang menjadikan kami semakin sadar bahwa kesulitan dalam penelitian semacam ini adalah seni dalam menggali informasi.

Harapan besar kami dari penelitian ini tidak hanya menjadi penghias rak-rak buku di instansi terkait tetapi juga mampu memberikan solusi atas masalah yang sedang dihadapi karena bagi kami angka bunuh diri di Kabupaten Bangli cukup mencengengangkan. melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan akar permasalahan yang mendorong upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli sehingga dengan demikian bisa dirumuskan langkah apa kiranya yang tepat dilakukan untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir kondisi tersebut.

Ucapan trimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapakan kepada para paihak yang telah membantu selama penelitian ini berlangsung:

1. Pemerintah Kabupaten Bangli 2. Managemen RSUD Bangli 3. Kapolres Bangli

4. Masyarakat Kabupaten Bangli

5. Seluruh informan yang bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai


(4)

4 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tulisan Terdahulu... 4

II.2 Teori... 5

II.3 Penjelasan Konsep... 7

II.4 Outcome Penelitian... 8

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN III.I Tujuan Penelitian... 9

III.2 Manfaat Penelitian... 9

BAB IV METODE PENELITIAN IV.1 Jenis Penelitian... 10

IV.2 Metode Penentuan Informan... 11

IV.3 Unit Analisis... 12

IV.4 Sumber Data... 12

IV.5 Teknik Pengumpulan Data... 12

IV.6 Teknik Analisis data... 14

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Latar Belakang Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli... 15

V.2 Solusi Atas Tingginya Angka Bunuh Diri di Kabupaten Bangli... 24

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA 27


(5)

5 DAFTAR GAMBAR

Gambar 01: Wawancara dengan Kepala Puskesmas Desa Songan


(6)

6 DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 01: Pencatatan dan Pemaknaan Realitas

1. Dalam kasus bunuh diri yang terjadi di Desa Bunutin realitas yang ditemukan dilapangan bahwa korban meninggal masih berumur 19 tahun. Korban tergolong pemuda yang suka menyendiri dan jarang cerita kepada siapapun jika mempunyai masalah bahkan kepada orang tuanya sekalipun. Dalam kasus ini realitas dilapangan dapat dimaknai bahwa korban mengalami beban yang terlalu berat dan menyalahkan diri sendiri ketika mengalami kegagalan. Penyesalan yang terus menerus pada keadaan menjadikan korban kemudian depresi berat terlebih sikap koran sangat tertutup. Pemaknaan atas realitas ini bisa dilihat dengan teori bunuh diri Durckheim yang disebabkan oleh lemah atau kuatnya integrasi sosial dan dapat dimaknai bahwa individu yang melakukan tindakan bunuh diri karena ada dalam tekanan hidup tidak memiliki dimensi resiliensi dalam dirinya.


(7)

7 Contoh Pencatatan dan Pemaknaan Realitas Dalam Mengumpulkan Data Dan Analisis Data

Realitas di Lapangan Makna Tindak lanjut / Kesimpulan 1). Masyarakat

menyukai judi. Dalam satu minggu, paling tidak ada dua gelaran judi

-Masyarakat yang kurang mampu mendorong pembaruan dan kemajuan dirinya.

-Berorientasi untung-untungan dalam hidup.

-Kurang luwes bergaul.

-Berpotensi menguras penghasilan

-Potensial sebagai penyebab kemiskinan -Perlu arahan dari pemerintah atau tokoh. -Jika pelaku kalah, berpotensi frustrasi. 2). Masyarakat sering

melakukan upacara ritual dengan biaya yang besar.

-Masyarakat yang suka kumpul-kumpul.

-Memamerkan kekayaan melalui ritual

-Berpotensi mengurangi kepemilikan.

-Anggota masyarakat yang tidak mampu mengikuti, akan kecewa.

3). Masyarakat banyak yang merantau. Rumah perantauan megah, sedangkan yang tidak merantau rumahnya kotor.

-Ada kesenjangan sosial Berpotensi menimbulklan kecemburuan sosial.


(8)

8 4). Keluarga

menyendiri, jarak antar rumah dengan rumah lainnya sangat jauh.

-Geografis dan medan berat. -Terganggu dan terhambatnya komunikasi sosial. 5). Pemuda sering

kumpul-kumpul dengan pemuda dari banjar lain.

-Pergaulann luas. -Potensi untuk maju ada.

6). Sering terjadi pertengkaran suami-istri, konflik keluarga.

-Takut menghadapi kemiskinan. -Tidak ada kesepakatan keluarga dalam hal memakai basis pekerjaan.

-Diperlukan intervensi pemerintah dan tokoh. 7). Pemuda suka

berhias daan bersedia kerja jarak jauh.

-Etos kerja tinggi. Kemauan untuk maju ada.

-Rajin bekerja.

-Potensi pencegahan kemiskinan

-Pemerintah harus turun tangan

8). Pemuda suka menyimpan masalah sendiri, suka

menyendiri dan kurang bergaul

suka menyendiri, beban terlalu berat, tuntutan lingkungan pada dirinya terlalu besar

9). Dan sebagainya

2. Pedoman wawancara

1. Berapa angka bunuh diri di Kabupaten Bangli pertahun? 2. Berapa korban yang berhasil selamat dan meninggal?

3. Daerah mana di kabupaten Bangli yang korban bunuh dirinya paling besar?

4. Apakah Bapak tahu tentang anak yang melakukan bunuh diri itu? 5. Apakah Bapak tahu tentang Si... yang berasal dari desa ini? 6. Bagaimana aktivitas remaja disini?

7. Apa pekerjaan ibu/bapak selama ini? 8. Bagaimana tingkat pendidikan warga disni? 9. Adakah korban bunuh diri di desa ini? 10.Apa pekerjaan rata-rata masyarakat disni?

11.Apa dampak masuknya teknologi di desa ini menurut anda? 12.Apa yang menyebabkan korban melakukan bunuh diri ? 13.Bagaimana kepribadian korban?


(9)

9 15.Apa yang mendorong anda melakukan upaya bunuh diri?


(10)

10 BAB I

PENDAHULUAN


(11)

11 Fenomena bunuh diri semakin marak saja di Bali. Media massa, terutama media massa lokal, semakin sering memberitakan adanya peristiwa tersebut. Dilihat dari segi umur, pelakunya berentang dari usai muda sampai dengan tua. Dan jika dilihat dari motifnya juga beragam, mulai dari masalah ekonomi, sakit yang tidak tersembuhkan. Latar belakang seperti ini banyak dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa bahkan berusia lanjut. Namun tidak jarang ditemui motif yang bisa dibilang sepele terutama mereka yang tergolong remaja-muda melakukannya dengan alasan asmara (putus cinta) atau gagal mencari pekerjaan yang diharapkan. Peristiwa seperti ini jelas merupakan contoh tidak bagus bagi masyarakat. Pemuatan berita demikian di media massa, akan mampu memberi dorongan kepada anggota masyarakat lain untuk melakukan tindakan yang sama manakala menemui persoalan (mengakhiri masalah dengan cara bunuh diri menjadi tren). Di tengah kemajuan ekonomi dan perubahan sosial yang demikian deras di Bali, peristiwa-peristiwa seperti harus cepat-cepat diwaspadai dan dicari solusinya. Romi Sudhita (t.t,) pernah mencatat bahwa antara pertengahan tahun 2006 sampai dengan 2009, telah terjadi 227 kasus bunuh diri di Bali.

Meskipun demikian, peristiwa yang terjadi di Kabupaten Bangli cukup mengejutkan. Menurut catatan kepolisian Bangli (Polres Bangli), angka bunuh diri di kabupaten tersebut mencapai 14 orang pada tahun 2013. Akan tetapi yang paling mengejutkan, adalah catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli tahun 2014 tentang upaya-upaya bunuh diri yang terjadi pada rentang tahun 2012 dan 2015. Menurut catatan Rumah Sakit Umum Bangli, pada rentang dua tahun tersebut, terjadi 56 upaya bunuh diri, Meskipun beberapa dari korban bisa diselamatkan, akan tetapi catatan angka 56 orang yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri tersebut, merupakan jumlah yang mengkhawatirkan. Ini menandakan ada ketidakberesan di masyarakat, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor berkaitan dengan perubahan sosial atau faktor lainnya yang harus segera terpecahkan.

Bangli merupakan kabupaten yang paling sejuk di Bali. Dipilihnya kabupaten ini sebagai lokasi rumah sakit jiwa, membuktikan bahwa daerah inilah yang paling sejuk dan memungkinkan bagi orang sakit jiwa secara perlahan bisa


(12)

12 disembuhkan. Akan tetapi, jumlah angka pecobaan bunuh diri dengan jumlah sampai 56 orang dalam rentang wajtu 3 tahun, merupakan angka mengejutkan. Padahal jika dilihat dari sisi perubahan sosial, dibandingkan dengan Denpasar atau Badung, kabupaten ini tidak mengalami perubahan drastis seperti di pusat pariwisata tersebut.

Dalam beberapa wawancara awal yang dilakukan dengan beberapa pegawai rumah sakit, pihak kepolisian maupun pegawai negeri yang telah dijumpai di kabupaten tersebut, banyak yang tidak mengetahui tentang demikian tingginya angka upaya bunuh diri tersebut.

Tulisan ini mencoba mencari latar belakang tingginya angka upaya bunuh diri tersebut dengan melakukan tinjauan kualitatif, yaitu sebuah tinjauan langsung pada daerah asal pelaku upaya bunuh diri itu, berinteraksi dengan lingkungan, mencatat segala fenomena sosial yang ada di lingkungan tersebut, mewawancara pelaku-pelaku percobaan bunuh diri tersebut jika memungkinakan atau jika tidak memungkinkan kelurga korban bunuh diri tidak menutup kemungkinan untuk diwawancarai karena dianggap ckup mewakili , kemudian mengkaitkannya dengan fenomena sosial lain yang ada di Bangli. Dari upaya inilah dicoba ditemukan latar belakangnya sehingga kemudian memudahkan untuk memberikan masukan-masukan, agar pemerintah dan masyarakat pada umumnya di Kabupaten Bangli mampu menekan angka bunuh diri tersebut. Dalam penelitian ini akan coba digali informasi dari korban selamat maupun dari keluarga korban meninggal sehingga dapat diketahui faktor terbesar yang mengakibatkan angka bunuh diri di Kabupaten bangli demikian besar. Mengingat tidak mudah mendapatkan informan dari korban selamat karena ibarat membuka luka lama akibat trauma psikis yang diderita jika korban menceritakan kembali peristiwa yang sempat dialami.

I.2 Perumusan Masalah

1) Apa yang menjadi latar belakang upaya bunuh diri dari anggota masyarakat tersebut?


(13)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tulisan Terdahulu

Romi Sudhita (t.t) dalam Perilaku Bunuh Diri di Kalangan Pelajar, menyebutkan bahwa kasus bunuh diri yang terjadi antara tahun 2006 sampai


(14)

14 2009, mencapai 227 kasus. Data ini didapatkan dari berita yang dimuat media Balipost. Analisis deskriptif yang dilakukannya, mendapatkan beberapa kesimpulan diantaranya bahwa pelajar SMP dan SMA termasuk SMK mendominasi banyaknya angka bunuh diri antara rentang tahun itu. Kesimpulan yang didapatkan, bahwa penyebab dari bunuh diri ini ada beberapa macam seperti merasa tertekan dengan perilaku orang tua, dilarang berpacaran, faktor kemiskinan serta terlambat membayar uang sekolah. Tetapi dalam penelitian itu juga disebutkan bahwa temuan paling besar berupa tidak diketahui penyebabnya. Ini merupakan hasil terbesar dari temuan ini dalam penelitian tersebut.

Dalam sarannya, Romi Sudita menyebutkan bahwa sangat diperlukan diajarkan keterampilan bagi anak-anak sejak dini untuk mengatasi persoalan yang dihadapi, pendekatan spiritual, serta media tidak melakukan pemberitaan secara detail.

Penelitian yang dilakukan Sudita berbeda dengan penelitian penulis yang rencananya dilakukan di Kabupaten Bangli. Ini mempunyai perbedaan cukup besar karena secara geografis, lebih spesifik tempatnya yaitu di Kabupaten Bangli, antara tahun 2012 dengan 2013. Cara pendekatan dan wawancara secara langsung tersebut akan memungkinkan mendapatkan gambaran penyebab yang lebih rinci sehingga solusi dan saran yang didapatkan juga lebih representative.

Sujana (2013) dalam tulisannya menyebutkan bahwa fenomena bunuh diri tersebut dipengaruhi oleh perubahan sosial. Disini disebutkan bahwa perubahan sosial yang demikian deras terjadi di Bali, terutama yang didorong oleh industry pariwisata, memberikan dampak kompleks kepada masyarakat. Beberapa anggota masyarakat tidak mampu mengikuti arus deras perkembangan ekonomi itu sehingga merasa tertinggal. Inilah yang mendorong munculnya fenomena bunuh diri.

Seperti juga Romi Sudhita, tulisan Sujana ini lebih mengupas secara umum tentang fenomena bunh diri yang ada di Bali, tidak spesifik di daerah tertentu. Disamping menekankan pada faktor pemicunya, tulisan Sujana juga mengungkap soal kecemburuan sosial yang mampu mendorong munculnya bunuh diri. Sedangkan penelitian yang hendak dilakukan ini, akan dilaksanakan di


(15)

15 Kabupaten Bangli yang berupaya melihat, disamping penyebabnya juga struktur sosial pelakukunya, wilayah daerah paling banyak dari upaya-upaya bunuh diri tersebut.

II.2 Teori

Penelitian yang hendak dilaksanakan ini memakai pendekatan kualitatif. Dalam penelitian yang memakai pendekatan kualitatif, peran teori tidak terlalu dominan. Penelitian seperti ini seperti ini lebih banyak menggali informasi langsung dari masyarakat (ground research) untuk mencari penyebab munculnya sebuah peristiwa. Dalam hal ini adalah penyebab munculnya upaya bunuh diri tersebut.

Akan tetapi, peran teori tidak mesti hilang sama sekali. Ia bisa menjadi pembimbing dalam pelaksanaan penelitian. Dalam artian, peneliti akan mencoba mengarahkan penelitiannya berdasarkan pada pemahaman-pemahaman yang ada pada suatu teori. Namun, jalannya sebuah penelitian tidak harus sesuai dengan teori tersebut. Garis-garis besar teori itulah yang dipakai patokan dalam melangkah. Penelitian bisa saja menyimpang dari penjelasan teori tersebut apabila diketemukan sebuah fenomena baru yang berbeda dari teori tadi. Atau, dalam keadaan demikian, temuan-temuan di lapangan akan memungkinkan mendatangkan perspektif baru yang berbeda dari teori tadi, atau justru menambah pembaruan dari teori-teori yang sudah ada. Atau bisa juga memunculkan teori baru yang didasarkan dari penelitian tersebut.

Kalau dilihat dari grand theorinya, tekanan-tekanan sosial yang terjadi pada masyarakat itu bisa disebabkan oleh perubahan sosial. Karena itu, pemahaman dan teori tentang perubahan sosial juga akan dipakai sebagai pembimbing, penentu arah dalam penelitian ini.

Sztompka (2007: 5), mengutip beberapa pendapat sarjana tentang pengertian dari perubahan sosial tersebut.

1) Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berfikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu (Macionis, 1987: 638).


(16)

16 2) Perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian

masyarakat (Persell, 1987:586).

3) Perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organsiasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu (Ritzer et. Al, 1987: 560).

4) Perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu (Farley, 1990:626).

Dalam melihat fenomena upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli, pengertian perubahan sosial diatas cukup relevan dipakai. Bangli sebagai sebuah kabupaten, relatif tidak jauh dari Gianyar, daerah tujuan pariwisata yang padat di Bali. Disamping itu, transportasi menuju Bangli, baik dari Denpasar maupun Gianyar telah dihubungkan dengan sarana jalan yang bagus sehingga berbagai perkembangan sosial yang ada di Denpasar dan Badung ikut mempengaruhi dan perkembangan masyarakat yang ada di Bangli.

Kartono (2005:272) menyebutkan bahwa modernisasi, pesatnya pembangunan dan industri menyebabkan banyaknya terjadi gangguan-gangguan pada masyarakat dan masalah-masalah di kota besar. Semakin banyak masyarakat tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan besar tersebut. Mereka banyak mengalami frustrasi, konflik eksternal-internal, ketegangan batin dan menderita gangguan mental. Tidak semua masyarakat mampu menerima perubahan. Masyarakat yang mempunyai struktur sosial yang kaku, dan otoriter, tidak akan mampu menerima perubahan-perubahan yang terjadi. Disini diperlukan penguasa atau pemerintah memerlukan instrumen pemaksa untuk melakukan inovasi (Sarwono, 2007:78)

Kartono juga menyebutkan bahwa gangguan mental itu biasa berupa konflik batin dimana orang merasa tidak aman, nyaman hingga merasa cemas dan takut yang bisa membuat orang bunuh diri. Mental disorder atau kekalutan mental bisa membuat keterputusan komunikasi sosial. Orang seperti ini bisa mempunyai sifat iri hati, curiga, berupaya melakukan perusakan dan juga bunuh diri (Kartono:2005:271).


(17)

17 Disamping mental disorder (gangguan mental itu), perubahan sosial juga bisa menyebabkan apa yang secara sosial disebut dengan alienasi. Artinya adalah ketersaingan dari lingkungan. Keterasingan dari lingkungan membuat kontak sosial menjadi hilang dan membuat manusia tidak mampu melakukan penilaian terhadap lingkungan.

Teori-teori inilah yang akan dipakai sebagai pembimbing atau pemandu arah dalam melakukan penelitian yang sifatnya kualitatif di Kabupaten Bangli. Bukan tidak mungkin temuan-temuan di lapangan akaan mampu memperkaya atau malah menemukan teori baru sehingga memperkaya upaya pencegahan terhadap upaya bunuh diri dan memperkaya kasanah ilmiah, khususnya tentang upaya pencegahan bunuh diri tersebut.

Selain teori tersebut di atas akan dipakai juga teori bunuh diri Durckheim untuk menjelaskan apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan bunuh diri selain karena faktor perubahan sosial sebagaimana disebutkan di atas. Durckheim membagi bunuh diri ke dalam empat kategori berdasarkan derajat tinggi rendahnya solidaritas sosial: bunuh diri egoistik, bunuh diri altruistik, bunuh diri fatalistik, bunuh diri anomic. Tidak menutup kemungkinan pendekatan psikologi juga akan menjadi pisau analisis untuk membedah peristiwa tersebut untuk mendapatkan penjelasan secara personal apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan upaya bunuh diri.

II.3 Penjelasan Konsep

Pengertian bunuh diri sebagaimana dikemukakan Dokter Cokorda Bagus Jaya Lesmana (2006:2), yaitu berkait erat dengan “(1) Kegawatdaruratan dalam bidang Psikiatri, (2) Tindakan pengakhiran hidup yang dilakukan secara sengaja dan sadar, (3) Bukanlah merupakan tindakan yang acak maupun tidak bertujuan, dan (4) Erat kaitannya dengan keinginan yang dihalangi ataupun tidak terpenuhi, rasa tidak berdaya dan tidak berguna, adanya konflik ambivalensi, dihadapkan pada pilihan yang semakin sempit, dan adanya keinginan untuk lari dari masalah (Romi Sudhita, tt, 27.)


(18)

18 II.4 Outcome dari Penelitian

Oucome atau luaran dari penelitian ini adalah berupa laporan hasil penelitian, yang bisa dilanjutkan dengan publikasi dalam bentuk jurnal dari hasil penelitian tersebut.

Secara garis besar, luaran ini akan memuat tentang berbagai faktor yang menjadi penyebab dari begitu banyaknya upaya bunuh di di Kabupaten Bangli. Faktor ini bisa berupa lingkungan, hubungan sosial, perubahan sosial yang ada, baik pada tingkat keluarga maupun pada tingkat masyarakat. Faktor tersebut akan dibagi menjadi dua, yakni hal yang menjadi penyebab munculnya upaya bunuh diri tersebut dan hal yang memicu munculnya upaya itu. Penyebab adalah situasi yang harus ada sehingga membuat upaya bunuh diri itu terjadi.

Hubungan dengan segala kebijakan pemerintah daerah, serta faktor dari pihak swasta (non-pemerintah) juga akan dimuat dalam laporan hasil penelitian ini. Yang tidak ditinggalkan adalah saran-saran kepada pemerintah dan masyarakat agar mampu menekan dan menghilangkan angka upaya bunuh diri tersebut.

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


(19)

19 Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang dari munculnya upaya bunuh diri pada amasyarakat di Bangli.

2. Mendeskripsikan upaya-upaya untuk menekan dan menghapus upaya bunuh diri tersebut.

III.2 Manfaat Penelitian

1. Manfaat utama dari penelitian ini adalah memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat, pemerintah dan berbagai pihak lainnya terhadap munculnya upaya bunuh diri di wilayah Kabupaten Bangli. 2. Memberikan pengetahuan dan infromasi kepada masyarakat tentang

upaya untuk menghindari upaya tersebut dan mampu berbuat positif untuk melihat segala persoalan sosial yang ada.

3. Memberikan inpirasi kepada khalayak agar mampu menginformasikan temuan ini melalui jaringan dan hubungan sosial, demi mencegah munculnya upaya bunuh diri.

4. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bahaya dari kemunculan perubahan sosial.

5. Secara akademis memberikan pengetahuan dan memperbaharui pengetahuan, khsusnya tentang faktor yang memicu munculnya upaya bunuh diri serta memperbaharui teori atau pemahaman tentang penanggulangannya.

BAB IV

METODE PENELITIAN IV.1 Jenis Penelitian


(20)

20 Penelitian ini menggunakan jenis kualitatif. Artinya peneliti akan terjun langsung ke lapangan, melihat gerak dinamika masyarakat di lokasi penelitian, mewawancara, ikut terlibat dalam dinamika sosial tersebut (Bryman, 2004: 267). Tujuannya untuk memahami fenomena secara langsung di lapangan sehingga mampu merekam secara piskologis (terlibat) dan kemudian mampu menjelaskan bagaimana fenomena bunuh diri itu sampai terjadi. Peneliti akan ikut aktivitas, mendekatkan diri dengan aktivitas lingkungan sosial yang ada, sambil mencata segala apersitiwa yang berkaitan dengan kemungkinan perilaku ingin bunuh diri tersebut.

Dengan cara partisipatif seperti itu, penelitian akan mampu memberikan gambaran hasil yang lebih dekat, langsung dari lapangan sehingga keadaan lingkungan, pola pergaulan atau apapaun yang ada di wilayah itu akan mampu memberikan masukan dan gambaran tentang upaya bunuh diri yang terjadi di wilayah bersangkutan.

Penelitian ini direncanakan berlangsung sekitar 7 bulan, yaitu mulai bulan April 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015.

IV.1.1. Keuntungan Pemakaian Metode Kualitatif dalam Penelitian ini

Dipilihnya pendekatan kualitatif dalam penelitian ini karena penelitian ini lebih menekankan pendekatan secara langsung kepada pelakunya untuk bertanya. Dengan berbagai teknik wawancara yang ada, wawancara secara langsung akan lebih mamlu menggali alasan dan informasi tentang alasan upaya bunuh diri, faktor pendorong maupun f aktor pemicu dari upaya ini.

Keterlibatan peneliti di masyarakat secara langsung, memungkinkan bagi peneliti untuk melihat pola perilaku, hubungan sosial, lingkungan, perubahan sosial dan berbagai kaitan dari faktor tersebut yang mungkin menjadi pendorong atau penyebab munculnya upaya bunuh diri tersebut.

IV.I.2. Lokasi Penelitian dan Alasan Memilih Lokasi

Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Bangli di wilayah dimana terjadi upaya bunuh diri tersebut. Kabupaten Bangli dikenal sebagai daerah yang


(21)

21 mempunyai udara sejuk, dengan penghasilan masyarakat dari bertani jeruk dan industri pariwisata. Wilayah ini terkenal dengan jeruk Kintamani, Danau Batur, serta pemandangan indahnya di Kintamani. Terpilihnya Kabupaten Bangli sebagai lokasi berdirinya rumah sakit jiwa menandakan bahwa di masa lalu, daerah ini dipandang sebagai wilayah sejuk yang mampu mengondisikan suasana tenang kepada seseorang.

Akan tetapi, bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Universitas Udayana pada bulan Februari 2014 lalu, mulai menguak fenomena yang ada pada kabupaten ini. Survei awal yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Bangli pada tanggal 5 Maret 2014 yang lalu, memberikan gambaran mengejutkan. Bahwa rentang waktu 2012 sampai 2015, terjadi 56 kali upaya bunuh diri yang dilakukan oleh warga Bangli. Meski sebagian orang berhasil diselamatkan, angka inilah yang mendorong pemilihan tempat di Kabupaten Bangli untuk melakukan penelitian. Dilihat dari alamatnya, peristiwa bunuh diri tersebar di berbagai wilayah di Bangli seperti Bayung Gede, Busung Biu, Batur, Songan, Br. Kawan, sukawana, dan daerah-daerah terpencil lainnya.

IV.2. Metode Penentuan Informan

Pemilihan informan pada penelitian ini dilakukan dengan melihat realitas munculmya upaya-upaya bunuh diri tersebut. Dalam penelitian kualitatif, jumlah informan tidak ditentukan secara pasti akan tetapi ditarik berdasarkan informan yang ada. Secara umum, pemilihan informan dalam penelitian kualitatif dilakukan secara purposif, yakni informan yang sudah ditentukan. Melalui survei awal yang sudah dilakukan di Rumah Sakit Umum Bangli. Informan yang dipilih tidak hanya mereka yang berhasil selamat dari percobaan bunuh diri namun juga keluarga korban meninggal karena bisa jadi akan sangat sulit mendapatkan keterangan dari informan yang masih hidup karena mungkin masih trauma dan ibarat membuka luka lama jika dipaksa diwawancarai.


(22)

22 Unit analisisnya adalah keluarga, dengan individu yang melakukan upaya bunuh diri atau keluarga dari korban yang melakukan bunuh diri tersebut. Individu yang melakukan upaya bunuh diri dan saksi hidup (keluarga/orang terdekat) ini merupakan sumber yang paling mampu memberikan jawaban tentang berbagai faktor yang mendorong mereka melakukan upaya tersebut. Akan tetapi, untuk lebih merepresentasikan hasil penelitian, lingkungan sekitar dari keluarga tersebut juga akan dianalisis melalui pendekatan kualitatif, termasuk juga relasi-relasi sosial yang pernah dilakukan oleh subyek yang melakukan upaya tersebut.

IV.4. Sumber Data

Data yang didapatkan pada penelitian ini berasal dari sumber data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan melakukan wawancara pada informan, yaitu pada individu yang melakukan upaya bunuh diri, keluarga serta berbagai kerabat yang ada di lingkungan tempat tinggal tersebut. Disamping itu, lingkungan yang menjadi wilayah penelitian juga disurvei secara langsung sehingga mampu memberikan gambaran yang lebih konkrit dalam penelitian ini. Sedangkan data sekunder diambil dari data-data di lingkungan seperti kemiskinan yang ada di wilayah lokasi penelitian, baik yang ada di kantor kepala desa, maupun di Kabupaten Bangli, pembangunan. Termasuk juga data sekunder adalah berupa berbagai bacaan dan data yang ada, baik di buku-buku psikologi, catatan-catatan di rumah sakit, catatan-catatan kriminal di pantor kepolisian dan berbagai catatan-catatan terkait yang ada di kantor desa, camat maupun kabupaten.

IV.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, wawancara dan observasi merupakan teknik utama yang dipakai. Wawancara dilakukan kepada informan dan subyek penelitian, yaitu anggota keluarga yang melakukan upaya bunuh diri tersebut dan orang yang melakukan upaya bunuh diri tersebut. Melaksanakan wawancara dengan pelaku, merupakan tindakan yang sulit. Akan tetapi, melalui teknik tertentu, seperti tersenyum, mengajak ngobrol masalah lain, akan mampu menggali secara perlahan motivasi yang dilakukannya.


(23)

23 Sedangkan observasi dilakukan untk mengetahui kondisi lingkungan keluarga maupun lingkungan unit penelitian, secara langsung oleh peneliti. Observasi ini sangat diperlukan untuk mendukung analisis tentang budaya dan lingkungan yang memungkinkan menjadi faktor penyebab atau pendorong dari upaya kemiskinan tersebut. Bunuh diri tersebut.

Wawancara dilakukan dengan wawancara mendalam. Dalam penelitian kualitatif, wawancara mendalam sangat diperlukan untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari subyek penelitian. Daftar pertanyaan juga dibuat, akan tetapi sangat dimungkinkan diperdalam lagi saat melakukan penelitian. Daftar pertanyaan ini hanya memuat hal-hal yang pokok saja.

IV.5.1. Pencatatan Realitas Sosial

Yang dimaksudkan dengan pencatatan realitas sosial ini adalah mencatat, baik dalam bentuk catatan tertulis maupun merekam gambar-gambar realitas sosial yang ada di wilayah tersebut. Hasil pencatatan dan rekaman ini akan ditafsirkan dan dimaknai dalam kaitannya dengan munculnya upaya-upaya bunuh diri tersebut.

Realitas sosial, baik yang bersifat budaya, seni, konflik, hubungan sosial, pola pergaulan dan sebagainya akan dicatat sebagai sebuah upaya untuk pencarian data demi melengkapi hasil analisis dari penelitian kualitatif. Termasuk pula misalnya apabila ada pendapat atau komentar yang mengungkap tentang berbagai faktor penyebab dan faktor pemicu bunuh diri yang berasal dari komentar wilayah lain. Komentar ini akan berupaya dicari buktinya di tempat penelitian. (Contoh ada pada Lampiran)


(24)

24 Data yang telah terkumpul berdasarkan wawancara dan observasi tersebut, dikelompokkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada. Jawaban dari responden dan informan diklasifikasikan dan dikelompokkan ke dalam jenis pertanyaan yang ada. Dimana pertanyaan-pertanyaan ini merupakan turunan atau pengembangan dari perumusan masalah yang ada. Data-data tersebut diintisarikan dan diinterpretasikan serta dikaitkan dengan fakta-fakta yang ada sehingga mampu memberikan penguatan. Atau juga memberikan sebuah gambaran tentang fenomena baru yang ditemukan di lapangan, sesuai dengan perumusan masalah dan judul penelitian.

IV.6.1. Mencari Pemaknaan

Dalam penelitian kualitatif, segala kalimat yang ada, baik kalimat verbal maupun gestur tubuh akan dicatat. Karena itu disamping menggunakan alat perekam, peneliti juga mencatat segala gerak-grik tubuh yang ada saat melakukan wawancara. Makna berbicara sambil tertawa, bisa jadi memaknakan akan kekurangseriusan dari jawaban. Sebaliknya menjawab sambil berbisik, adalah sebuah fenomena serius yang bisa menggambarkan suasana yang sesungguhnya. Demikian pula dengan upaya memberikan jawaban di tempat yang sepi, mengindikasikan adanya upaya serius terhadap masalah yang hendak diungkapkan. (Contoh ada pada Lampiran)


(25)

25 HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Latar Belakang Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli 1. Masalah yang tidak terlalu penting

Fenomena bunuh diri kini semakin marak terjadi di Bali. Media massa, terutama media massa lokal, semakin sering memberitakan kejadian-kejadian semacam itu. Dilihat dari segi umur, pelakunya berentang dari usai muda hingga tua sedangkan jika dilihat dari motifnya juga beragam, mulai dari maslah ekonomi, hingga sakit yang tidak tersembuhkan, tidak jarang pula ditemui motif yang bisa dibilang sepele seperti putus cinta atau gagal mencari pekerjaan yang diharapkan hal ini terjadi terutama dalam kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja.

Peristiwa bunuh diri yang terjadi di Kabupaten Bangli cukup mengejutkan. Menurut catatan kepolisian Bangli (Polres Bangli), angka bunuh diri di kabupaten tersebut mencapai 14 orang pada tahun 2013. Akan tetapi yang paling mengejutkan, adalah catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli tahun 2012 sampai 2015 tentang upaya-upaya bunuh diri yang terjadi pada rentang tahun Menurut catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli, pada rentang tahun tersebut, terjadi tidak kurang dari 56 upaya bunuh diri, meskipun beberapa dari korban bisa diselamatkan karena pertolongan di rumah sakit, akan tetapi catatan angka 56 orang yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri tersebut, merupakan jumlah yang mengkhawatirkan. Ini menandakan ada ketidakberesan di masyarakat, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor berkaitan dengan perubahan sosial atau faktor-faktor lain.

Mencari informan yang bersedia diwawancarai dalam penelitian ini cukup sulit. Mencari informasi tentang segala hal yang bersangkutan dengan bunuh diri kepada keluarga korban ataupun korban selamat ibarat membuka luka lama yang tidak setiap orang punya ketegaran untuk kembali menceritakan penderitaan yang dialami atau pengalaman yang sempat menimpanya bahkan tidak jarang dijumpai trauma psikis yang amat besar yang masih dialami oleh keluarga korban maupun pelaku yang berhasil selamat sehingga seringkali wawancara terpaksa dihentikan ditengah jalan bahkan gagal.


(26)

26 Korban pertama yang berhasil diperoleh datanya dalam penelitian ini berlokasi di Desa Bunutin, Kecamatan Bangli. Korban meninggal berusia 19 tahun. Kejadian ini terjadi pada bulan Juni 2015 berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua korban dapat dijelaskan faktor utama yang mendorong pelaku melalukan bunuh diri adalah kegagalan mencari pekerjaan yang dicita-citakan sejak kecil. Sikap korban yang suka menyendiri dan tertutup turut andil dalam kejadian tersebut. Semenjak kegagalan tersebut korban sering mengurung diri di kamar dan linglung. Dalam kondisi seperti ini korban merasa demikian pesimis pada hidupnya. Dalam ranah psikologi sosial sikap semacam ini dapat disebut dengan kecemasan sosial. Kecemasan sosial adalah perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, yang disertai oleh perasaan malu dan kecendrungan untuk menghindari interaksi sosial (Dayakisni, Hudaniyah, 2009: 125).

KT (50 tahun) menjelaskan sebagai berikut:

“ anak tiang (saya) dari kecil memang anaknya pendiam, jarang cerita apalagi sama kami apalagi sama orang lain. Kalau punya masalah jak pedidine ngabe (dibawa sendiri). Kami sangat syok kami kena musibah ini, anak tiang (saya) sejak kecil bercita-cita jadi polisi, tes waktu niki (ini) gagal, habis itu anak saya sai dikamar (suka mentendiri dikamar)”

Sosiolog pertama yang berbicara banyak tentang bunuh diri adalah Durckheim (Ritzer & Smart, 2012: 160) ia mengkategorikan bunuh diri kedalam berbagai tipe. Menurutnya perilaku seseorang yang melakukan bunuh diri bisa dilihat sejauhmana integrasi yang terjadi ditengah masyarakat terutama integrasi yang dialami oleh pelaku. Berdasarkan kondisi dan sikap pelaku bunuh diri di atas dapat dikategorikan kedalam tipe bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik adalah tipe bunuh diri yang terjadi karena integrasi masyarakat dengan individu sangat lemah (Ritzer, 2012: 160). lemahnya integrasi menyebabkan perasaan individu bukan bagian dari unit sosial yang lebih besar (masyarakat). Lebih lanjut dijelaskan Durckheim bahwa, jika integrasi individu dan masyarakat kuat maka akan timbul dukungan moral amat kuat yang memampukan seseorang menghadapi kekecewaan-kekecewaan, frustasi dan tekanan-tekanan hidup.

Integrasi yang tidak kuat bisa dilihat dari sikap pelaku yang suka menyendiri, tertutup dan memisahkan diri dari komunitasnya. (jauh dari unit


(27)

27 sosial yang lebih luas/masyarakat). Ketika korban mengalami tekanan-tekanan hidup sebagaimana penjelasan diatas, maka tidak ada dukungan moral dari unit sosial yang lebih luas yang mampu mendorong pelaku keluar dari tekanan tersebut hingga akhirnya memilih jalan bunuh diri untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi dan seolah tak memiliki kuasa atas hidupnya. Tidak dapat disangkal bahwa sedikit tidaknya dukungan sosial dari lingkungan sekitar pelaku merupakan dimensi penting paling tidak sebagai pelepas kekalutan dengan berbagi cerita dan mendapatkan solusi atasnya.

Korban tersebut diatas dapat dikategorikan dalam usia remaja jika merujuk pada batasan umur sebagaimana penjelasan Sarwono yang memberi batasan usia remaja dengan rentang umur 11-24 tahun (Sarwono, 2013: 18). Dalam ranah psikologi perkembangan sebagaimana dijelaskan Monk (Nugroho, 2012: 32). Remaja yang memiliki kecendrungan memisahkan diri dari orang tua, berkumpul dengan teman sebayanya dan ada pada masa pencarian jati diri sering kali menjadikan seseorang secara psikologis amat labil dan rapuh secara kejiwaan sehingga tidak memiliki daya juang yang cukup tinggi untuk keluar dari tekanan hidup berikut pemaknaan atasnya. Maka tidak salah jika dimensi kelabilan ini menjadi salah satu faktor pendorong angka bunuh diri dikalangan anak muda terus meningkat. Dalam fase psikologis ini, remaja tidak mempunyai kemampuan resiliensi yang memadai. Hal ini dapat kita lihat dari cara penyelesaian masalah dengan sengaja mengakhiri hidup yang sejatinya disebabkan oleh hal-hal sepele semisal putus cinta atau gagal mencari pekerjaan.

Dari aspek individu prilaku bunuh diri dapat kita lihat dengan pendekatan atribusi sosial. Atribusi sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari penyebab dari prilaku orang lain (Rahman, 2013: 102). Prilaku-prilaku yang didasari oleh faktor emosi bisa diatribusikan sebagai perilaku yang tidak terencana karena pelaku tidak memiliki kontrol atas tindakannya. Jika saja pelaku bunuh diri memiliki kontrol atas tindakannya (memaknai hidup dan menjadikan setiap masalah sebagai sumbu ledak vitalitas) tentu prilaku bunuh diri sebagai cara keluar dari masalah tidak akan dipilih.


(28)

28 Lain lagi dengan korban kedua yang berhasil di peroleh datanya adalah seorang remaja asal Bayung Gede_WK umur 19 tahun laki-laki meninggal dengan cara meminum pestisida terjadi pada 2013 silam. Kerabat korban yang berhasil ditemui menuturkan bahwa:

“perkiraan tiange (saya) WK meninggal karena uyut (ribut) dengan tunangane, adanae nak trune jek keweh bene (namanya anak muda sulit kita jelaskankan)” (S 40 tahun)

Kuat dugaan korban meninggal karena putus cinta sebagaimana dijelaskan kerabat korban di atas. Hal ini terungkap karena malam sebelum kejadian korban sempat berkeluh kesah dengan teman sebayanya tentang peraasaanya. Remaja yang berada pada fase tanggung_antara anak-anak dan dewasa menjadikan remaja sangat rapuh dan kebingungan akan identitas diri disatu sisi merasa sudah dewasa dan layak mengambil keputusan disisi lain belum bisa memikul tanggung jawab yang terlalu besar. Kondisi ini menjadikan remaja mudah putus asa dan bingung ketika menghadapi masalah. Seringkali hal semacam ini memaksa remaja memilih tindakan nekat untuk mengatasi masalah salah satunya adalah dengan sengaja mengakhiri hidup untuk lari dari masalah.

Kajian psikologi perkembangan remaja Blos (1962) menjelaskan remaja pada tahapan madya sering berada dalam kondisi kebingungan karena sering kali tidak tahu harus memilih peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis (Sarwono, 2013: 30). Kondisi-kondisi semacam inilah yang menjadikan remaja tidak bisa keluar dari tekanan ketika sedang dalam himpitan masalah sebagaimana yang dialami korban di atas.

2. Kemiskinan

Kemiskinan sebagai sebuah fenomena ekonomi menjadikan rendahnya tingkat pendapatan dan dan mata pencaharian sebagai tolak ukur utamanya. secara sederhana kemiskinan menyangkut probabilitas orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya (Suyanto, 2013: 2). Dalam kasus bunuh diri di Kabupaten Bangli motif semacam ini banyak


(29)

29 dijumpai pada pelaku yang berusia tua hal ini diakibatkan oleh kebutuhan orang tua kian hari kian beragam dan kompleks.

Friedman menjadikan basis kekuasaan sosial sebagai tolak ukur dalam definisi kemiskinan_kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis sosial. Lebih jauh dijelaskn Friedman basis sosial melingkupi beberapa aspek: Pertama: modal produktif atas aset; Kedua: sumber keuangan; Ketiga: organisasi sosial dan politik untuk mencapai kepentingan bersama semisal koprasi; Keempat: jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan; Kelima: informasi yang berguna untuk kehidupan. (Suyanto, 2013: 4-5).

Ada beberapa ciri mendasar dalam kemiskinan menurut Suyanto mulai dari tidak memiliki faktor produksi sendiri, tidak adanya kemungkinan untuk mendapatkan faktor produksi karena pendapatan yang tidak memadai,tingkat pendidikan yang rendah, bekerja musiman, dan tidak memiliki skill (2013:6).

Desa Siakin, Kecamatan Kintamani_ dalam kurun waktu dua tahun ada tiga orang yang melakukan bunuh diri. Dua orang meninggal dunia dan satu orang berhasil selamat. Satu orang bernama WY 40 tahun meninggal dengan cara meminum racun pestisida dan turut pula memberikan racun itu kepada anaknya yang masih berumur 5 tahun. Korban telah ditinggalkan istrinya sehingga hidup menduda dengan satu anak. Latar belakang prilaku bunuh diri yang terjadi di desa ini diakibatkan oleh faktor kemiskinan dan sakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Sebagai gambaran, hampir 95 % masyarakat Desa Siakin bekerja sebagai petani.

Korban sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dengan penghasialan yang tidak menentu_terlilit keemiskinan absolut sebuah keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (Suyanto, 2013: 3). Mereka yang terkategori miskin bisa dilihat dari ciri yang paling mudah diantaranya tidak memiliki faktor produksi (tanah), modal dan keterampilan. Kondisi ini melekat pada korban WY.

Desa siakin berada ditengah hutan Sukawana dengan jalan yang cukup terjal, dari kota kecamatan Desa Siakin bisa ditempuh dalam waktu sekitar satu jam. Jarak antara sebagian besar jarak pemukiman satu dengan lainnya sangatlah


(30)

30 jauh. Hanya ada satu lokasi tempat dimana masyarakat biasanya berkumpul dan bercengkarama. Lokasi itu berada di pusat desa. Kondisi ini mengakibatkan sosialisasi antar warga menjadi terkendala jarak dan medan. Meskipun jarak antar satu pemukiman dengan pemukiman lainnya sangat jauh namun bukan faktor lemahnya solidaritas yang mendorong seseorang melakukan upaya bunuh diri di Desa ini. Berdasarkan hasil observasi masyarakat Desa Siakin sangatlah guyub, ciri khas masyarakat desa sebagaimana dijelaskan Durckheim dengan solidaritas mekaniknya.

Keluarga korban dan tokoh desa yang berhasil ditemui menjelaskan bahwa:

“ korban masih tergolong keluarga jauh saya. Dia meninggal setahun lalu dengan cara meminum racun. Dugaan saya dia melakukan itu karena masalah ekonomi. Menjadi petani hasilnya tidak seberapa harus menanggung beban ekonomi dengan harga makin mahal, bahkan makan saja dia kadang hanya ubi”. (NR, 57 tahun).

Penjelasan keluarga korban diperkuat oleh salah satu tokoh di desa tersebut: “ dugaan saya dia bunuh diri karena masalah ekonomi, kalau dilihat dari tempat tinggalnya sudah tidak layak huni, dan tinggal agak terpencil. Hidup sendiri hanya dengan anaknya yang masih kecil” (PC 54 tahun). Himpitan ekonomi sebagai akibat dari lonjakan harga kebutuhan pokok, tuntutan hidup yang kian hari kian meningkat mengakibatkan seseorang mengalami tekanan terlebih korban hanya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tidak tetap. Kondisi ini dalam istilah Kartono disebut dengan gangguan mental. Gangguan mental ini sebagai efek samping dari modernisasi (2005:271). pesatnya pembangunan dan industri menyebabkan banyaknya terjadi gangguan-gangguan pada masyarakat. Semakin banyak masyarakat tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan besar tersebut sebagai akibat dari kebutuhan yang kian variatif. Mereka banyak mengalami frustrasi, konflik eksternal-internal, ketegangan batin dan menderita gangguan mental. Tidak semua masyarakat mampu menerima perubahan. Sebagaimana yang menimpa korban tersebut diatas, korban mengalami tekanan mental sangat berat


(31)

31 akibat himpitan ekonomi menghidupi anak yang masih kecil tanpa istri dan pekerjaan yang tetap dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Korban kedua yang berhasil diperoleh datanya adalah seorang laki-laki asal Desa Mungguh bernama KA 46 Tahun mengakhiri hidup dengan cara meminum pestisida. Korban sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dilahan orang lain. Panen yang hanya semusim sekali menjadikan kondisi ekonomi korban makin parah karena korban hanya mengandalkan hasil panen itupun hasil dibagi dengan pemilik tanah dan hanya mendapatkan bagian beberapa persen saja. Pendidikan terakhir korban hanya sebatas Sekolah Dasar itupun tidak sampai selesai. Singkatnya modal pendidikan dan sosial yang dimiliki korban makin memperburuk kondisi ekonominya. Sebagaimana dijelaskan Suyanto bahwa tingkat pendidikan yang rendah, penghasilan yang tidak menenntu, dan tidak punya faktor produksi menjadikan seseorang tak berdaya menghadapi tekanan ekonomi.

Soedjatmoko menjelaskan bahwa petani yang tidak memiliki tanah dengan penghasilan yang tidak menentu termasuk kedalam golongan yang menderita kemiskinan struktural_mereka yang miskin akan hidup dengan kemiskinannya. Struktur sosial yang berlaku melahirkan rintangan bagi seseorang untuk mengalami mobilitas sosial vertikal. Sebagai misal lemahnya kondisi ekonomi seseorang tidak memungkinakan mereka untuk memperleh pendidikan yang ayak dan berimbas pada sektor pekerjaan yang akan dipilihnya nanti (1981: 46). Kondisi inilah yang dialami korban KA hingga akhirnya memilih mengakhiri hidup dengan cara meminum racun.

Data bunuh diri sebagai akibat kemiskinan berikutnya di peroleh dari kerabat korban ML 50 tahun laki-laki karena meminum pestisida pada tahun 2013. Korban berhasil selamat setelah dilarikan ke RSUD Bangli. Kondisi ekonomi korban tidak jauh berbeda dengan sebelumnya _KA. Hanya mengandalkan penghasilan musiman sebagai petani penggarap dengan pendidikan hanya sebatas Sekolah Dasar. Berdasarkan hasil observasi korban tinggal di pondok lahan garapannya, kondisinya bisa dibilang jauh dari kata layak. Korban menjelaskan apa yang melatarbelakanginya melakukan upaya bunuh diri:


(32)

32 “tiang sube med sajan keweh, makan gen keweh, panak sube pade kelih bek ne perluange sedangkan keadaan tiang kene, ngandelang nyakap amen maan medagang nem bulan cepok” (saya sudah bosan hidup susah, makan saja susah, anak sudah besar banyak kebutuhan yang diperlukan sedangkan keadaan saya seperti ini, hanya mengandalkan hasil panen 6 bulan sekali).

Kondisi ekonomi yang melilit korban mengakibatkan korban putus asa mejalani hidup dan memilih mengakhiri hidupnya. Harga kebutuhan pokok yang terus merokoket pad akhirnya tidak bisa dijangkau oleh masyarakat miskin. Ukuran khas kemiskinan di Indonesis menjadikan sembilan bahan pokok sebagai tolak ukur keluarga miskin. Jika dalam sebuah rumah tangga secara terus menerus tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok hidup tersebut maka rumah tangga tersebut dapat di anggap miskin (Suyanto, 2013:4). Dengan kondisi yang serba pas-pasan rumahtangga korban tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok tersebut bahkan tidak jarang mereka hanya makan nasi dan sayur dari hasil petik dikebunnya tanpa daging. Kemiskinan yang dialami korban bisa dikategorikan kedalam kemiskinan kultural sebagaimana dijelaskan Agusta bahwa kemiskinan yang diakibatkan karena tidak memiliki barang-barang dasar (2014:58).

3. Sakit yang tidak kunjung sembuh

Undang- Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menjelaskan bahwa kondisi sehat adalah kondisi dimana keadaan sehat secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan seseorang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Aspek ekonomi terwujud apabila seseorang dikatakan mampu secara produktif _mempunyai kegiatan yang menghasilakn sesuatu yang dapat menopang kehidupan sendiri atau keluarga secara finansial. Sejalan dengan penjelasan di atas, WHO memberikan batasan kesehatan dalam tiga aspek yaitu fisik, mental dan sosial (Edelman & Mandle, 1994 dalam Sunaryo: 2014: 242).

Berkebalikan dengan itu kondisi sakit menurut UU No.23 Tahun 2009 menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis) atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja atau kegiatannya terganggu.


(33)

33 Pelaku bunuh diri karena sakit yang tak kunjung sembuh berariatif mulai dari usia remaja hingga tua. Sakit yang diderita korban kebanyakan adalah sakit kronis yang sulit disembuhkan semisal keterbelakangan mental, hingga struk. Data korban bunuh diri dengan motif sakit yang tak kunjung sembuh diperoleh dari KK 20 Tahun asal Songan seorang perempuan yang mengalami keterbelakangan mental. Keluarga korban menuturkan bahwa korban mengalami keterbelakangan mental sejak baru lahir. Korban mengakhiri hidup dengan cara gantung diri.

“ anak saya meninggal gantung diri tahun 2013, dia mengalami gangguan mental sejak kecil”. Kami tidak tahu harus mengobatinya dengan cara apa dan kami juga tidak punya uang yang cukup.

Sebagaimana orang yang mengalami gangguan mental korban sering melakukan hal-hal di luar kebiasaan orang normal, suka menangis sendiri, teriak sendiri tanpa sebab yang jelas dan mengalami keterlambatan dalam merespons timulus karena mengalami gangguan pada perkembangan fungsi otaknya.

Kepala Desa Songan membenarkan bahwa tahun 2013 silam warga atas nama KK melakukan bunhuh diri kuat dugaan korban melakukan bunuh diri karena sakit yang di derita. Penjelasan lebih lengkap disampikan oleh pegawai Puskesmas korban sakit sudah lama kemungkinan terbesar korban mengakhiri hidup karena depresi. Korban sempat di bawa ke Puskemas Songan untuk dilakukan pemeriksaan setelah dipastikan korban murni bunuh diri korban akhirnya dimakamkan keluarganya. Sejalan dengan definisi sakit sebagaimana dijelaskan UU No 23. Tahun 2009 seseorang dikatakan sakit apabila aktivitas berkegiatan atau lainnya tergangganggu akibat ketidak mampuan fisik dan mental. AT 16 tahun asal Desa Susut juga melakukan bunuh diri karena mengalami keterbelakangan mental tahun 2013. Korban sering linglung dan perkembangan otaknya agak terganggu sehingga sering kali melakukan tindakan-tindakan membahayakan dirinya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan korban ke dua JS 71 tahun bunuh diri dengan cara meminum pestisida. Korban mengalami struk sejak beberapa tahun. Keluarga korban menjelaskan sebagai berikut:


(34)

34 “Bapak saya sudah struk sejak 5 tahun lalu, sehari-hari hanya ditempat tidur sudah tidak bisa beraktivitas. Bisa jalan Cuma beberapa langkah harus diam lagi” (KA, 23 Tahun).

Secara fisik korban sudah tidak bisa melakukan aktivitas bekerja dan hanya terbaring lemas di tempat tidur hanya sesekali berjalan keluar dari tempat tidur beberapa langkah. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya semisal makan atau MCK korban harus membutuhkan orang lain karena fisiknya tidak berfungsi normal. Kondisi ini menjadikan korban depresi berat bahkan kadang menangis dihadapan anak-anaknya. Kondisi inilah yang di duga menjadi latar belakang korban akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara menenggak pestisida.

Korban meninggal bunuh diri berikutnya adalah seorang perempuan asal Desa Songan ML 50 tahun kejadian ini berlangsung tahun 2013 silam. Korban menderita struk kurang lebih setahun. Ketidakmampuan keluarga untuk melakukan pengobatan secara rutin menjadikan kondisi fisik korban kian hari kina memburuk. Kerbat kroban menjelaskan sebagi berikut:

“awalnya ML hanya menderita struk ringan, hanya tangan kiri dan kaki kiri yang agak tidak berfungsi dan bicaranya sudah tidak jelas, tapi karena tidak berobat rutin kondisinya jadi makin memburuk” (WY 30 tahun) Dengan ketidakmampuan fisiknya sebagai akibat dari sakit yang di derita korban mengalami depresi dan mengakhiri hidupnya dengan meminum pestisida.berdasarkan batasan sakit dari WHO yang memberikan batasan kesehatan dalam tiga aspek yaitu fisik, mental dan sosial (Edelman & Mandle, 1994 dalam Sunaryo: 2014: 242) maka korban tidak terbantahkan mengalami sakit fisik dan mental. Sakit mental sebagai akibat dari depresi pada kondisi diri yang tidak berdaya beraktivitas paling mendasar.

2. Solusi Atas Tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli

Dari berbagai faktor yang menjadi penyebab tingginya angka bunuh diri di Bangli hal utama yang harus dibangun adalah menumbuhkan dimensi resiliensi dalam diri setiap individu. Secara sederhana resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dengan penderitaan yang dialami, untuk kemudian bangkit dan melawan mengatasinya (Nugroho, 2012). Jika seseorang


(35)

35 ada dalam tekanan hidup yang demikian besar dan kemudian mampu memberikan makna atasnya, maka tidak menutup kemungkinan masalah yang dihadapi justru menjadi sumber vitalitas dalam menjalani hidup. Usaha-usaha semacam inilah yang bisa melahirkan individu-individu resilien. Pemaknaan atas hidup dan segala tantangannya menjadi penting manakala remaja dihadapakan pada situasi sulit seperti di atas.

Sebagaimana ungkap Dr. Maddi (dalam Scott, 2009: 2), hal pertama yang dapat dilakukan guna meningkatkan dimensi resiliensi pada diri adalah dengan mempelajarinya. Refleksi diri atau yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “pemahaman mendalam atas diri”, merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus-menerus dalam upaya pembentukan dimensi resiliensi pada diri individu. Terkait hal tersebut, Michael Polanyi dalam The Study of Man (2001: 18) mengatakan bahwa sering kali manusia jauh tak mengenal dirinya ketimbang lingkungannya. Prihal mengalami kekecewaan, kegagalan, terkucilkan dan malu sesungguhnya adalah ajang individu melakukan refleksi atas diri. Dalam kacamata resiliensi, refleksi diri berfungsi sebagai sarana pengatur emosi, pengendali impuls,

“pemeka” analisis sebab-akibat, serta pendobrak pemaknaan individu (Nugroho, 2012)

Solusi atas kasus bunuh diri bermotifkan kemiskinan haruslah dicari akar penyebab kemiskinan terlebih dahulu sehingga dengan demikian solusi yang ditawarkan akan lebih tepat guna. Secara teoritik penyebab kemiskinan dapat di pilah menjadi dua: Pertama: kemiskinan alamiah yakini kemiskinan yang timbul sebagai akibat dari sumberdaya yang langka jumlahnya dan atau tingkat perkembangan teknologi yang rendah sehingga dengan demikian dibutuhkan prananta-pranata traditional seperti hubungan patron-clien, jiwa gotong royong yang fungsional untuk meredam kemungkinan terjadinya solidaritas yang renggang dalam masyarakat. Kedua: kemiskinan buatan yakni kemiskinan yang terjadi karena strruktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Pendeknya kemiskinan buatan bersumber dari struktur sosial. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun temurun_terdapat perbedaan yang tajam antara yang kaya dan miskin (Suyanto,


(36)

36 2013: 10). Struktur sosial yang berlaku melahirkan rintangan bagi seseorang untuk mengalami mobilitas sosial vertikal. Sebagai misal lemahnya kondisi ekonomi seseorang tidak memungkinakan mereka untuk memperleh pendidikan yang ayak dan berimbas pada sektor pekerjaan yang akan dipilihnya nanti (1981: 46). Dengan demikian solusi atas tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli karena faktor ekonomi bisa dipecahkan dengan cara mengurangi jurang pemisah yang terlalu jauh antara yang kaya dan miskin.

Konsep lain yang tidak kalah penting harus direalisasikan adalah pemberdayaan masyarakat_sebuah upaya untuk memberikan daya atau penguatan kepada masyarakat (Mardikanto, Soebiato, 2013: 26). Sejalan dengan itu pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat miskin, marjinal) untuk menyampaikan pendapat dan atau kebutuhannya untuk mempengaruhi mengelola kelembagaan masyarakat demi perbaikan kehidupannya. Pemerintah atau dinas terkait bisa memberikan teknologi tepat guna atau pelatihan-pelatihan kewirausahaan sebagai usaha tambahan untuk income rumah tangga miskin. Dengan demikian masyarakat mendapatkan cara agar rakyat, komunitas dan organisasi diarahkan agar mampu menguasai dan berkuasa atas kehidupannya.

BAB VI


(37)

37 Rencana tahapan berikutnya sesudah penelitian ini selesai dilakukan dan mendapatkan temuan atas latar belakang tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli adalah menyerahkan hasil penelitian kepada dinas terkait di Kabupaten Bangli untuk selanjutnya melakukan diskusi dan memberikan masukan serta solusi atas masalahtersebut. Jika dibutuhkan peneliti bisa saja mendampingi masyarakat atau dinas terkait untuk menerapkan solusi-solusi yang akan direalisasikan.

BABVII


(38)

38 7.1 Kesimpulan

Laterbelakang upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: pertama; masalah yang tidak terlalu penting, kedua; kemiskinan, ketiga: sakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi ini tentu membutuhkan solusi cepat dan tepat baik secara regulatif maupun dari individunya. Pemberdayaan masyarakat menjadi penting sebagi solisi atas kemiskinan yang melilit masyarakat. sedangkan secara pribadi seseorang hendaknya menumbuhkan dimensi resilien dalam dirinya sehingga mampu bangkit dari setiap masalah yang sedang menimpa.

7.2 Saran

Angka bunuh diri di Kabupaten Bangli membutuhkan penanganan serius dari berbagai pihak untuk itu berikut beberapa saranyang bisa disampikan kepada beberapa pihak:

1. Kepada Pemerintah Kabupaten Bangli: penyuluhan, pembekalan dan road show ekonomi kreatif bisa dilakukan lebih intens pada rumah tangga miskin agar mereka mempunyai skill dan pemasukan finansial tambahan sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan terbebas dari lilitan kemiskinan.

2. Kepada Pemerintah Tingkat Desa Kabupaten Bangli: pendataan keluarga miskin harus dilakukan dengan sangat cermat dan merata sehingga secara administratif mereka tercatat sebagai KK miskin dan mendapatkan bantuan dari pemerintah baik materi maupun pelatihan-pelatihan untuk menambah income rumah tangga

3. Kepada masyarakat Kabupaten Bangli: solidaritas sosial harus tetap dipertahankan dan meningkatkan fungsi keluarga sebagai tempat setiap anggota keluarga bisa berbagai

4. Kepada remaja Kabupaten Bangli: untuk bisa keluar dari setiap tekanan ketika mengalami masalah dan kegagalan bisa dilakukan dengan menggali makna hidup dari keluarga, orang-orang terdekat dan


(39)

39 agama dan mengisi hari dengan kesibukan yang positif seperti aktif di Banjar atau Desa Pakraman sebagai truna desa tidak kalah penting melakukan refleksi diri dan memaknai setiap kegagalan hidup sebagai tantangan.


(40)

40 Daftar Pustaka

Abdul, Rahman Agus. 2014. Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada Agusta, Ivanovich. 2014. Diskursus, Kekuasaan, dan Praktik Kemiskinan di

Pedesaan. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia

Bryman, Alan. 2004. Social Research Methods, Great Britain, Oxford University Press

Dayakisni, Tri, Hudiniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Pres

Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

_____________.2011.Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat.1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Mardikanto, Totok, Soebiato, Poerwoko. 2013. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bndung: Alfabeta

Reuter, Thomas A. 2003. Inequality, Crisis and Social Change in Indonesia: The Muted Worlds of Bali. London: Routledge Curzon.

Ritzer & Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakata: Nusa Media

Romi Sudhita, I Wayan, t.t, Perilaku Bunuh Diri di Kalangan Pelajar: Analisis Deskriptif Pemberitaan Balipost Tahun 2006-2009

Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Emperik. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sarwono, Solita. 2007. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

_____________.2013. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sherraden, Michael, Abbas, Sirojudin (terj.). 2006. Aset untuk Orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suyanto, bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penangannya. Malang: Intrans Publising


(41)

41 Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Pranada Media Grup. Zan Pieter, Herri, Lumongga Lubis, Namora. 2010. Pengantar Psikologi dalam


(1)

36 2013: 10). Struktur sosial yang berlaku melahirkan rintangan bagi seseorang untuk mengalami mobilitas sosial vertikal. Sebagai misal lemahnya kondisi ekonomi seseorang tidak memungkinakan mereka untuk memperleh pendidikan yang ayak dan berimbas pada sektor pekerjaan yang akan dipilihnya nanti (1981: 46). Dengan demikian solusi atas tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli karena faktor ekonomi bisa dipecahkan dengan cara mengurangi jurang pemisah yang terlalu jauh antara yang kaya dan miskin.

Konsep lain yang tidak kalah penting harus direalisasikan adalah pemberdayaan masyarakat_sebuah upaya untuk memberikan daya atau penguatan kepada masyarakat (Mardikanto, Soebiato, 2013: 26). Sejalan dengan itu pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat miskin, marjinal) untuk menyampaikan pendapat dan atau kebutuhannya untuk mempengaruhi mengelola kelembagaan masyarakat demi perbaikan kehidupannya. Pemerintah atau dinas terkait bisa memberikan teknologi tepat guna atau pelatihan-pelatihan kewirausahaan sebagai usaha tambahan untuk income rumah tangga miskin. Dengan demikian masyarakat mendapatkan cara agar rakyat, komunitas dan organisasi diarahkan agar mampu menguasai dan berkuasa atas kehidupannya.

BAB VI


(2)

37 Rencana tahapan berikutnya sesudah penelitian ini selesai dilakukan dan mendapatkan temuan atas latar belakang tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli adalah menyerahkan hasil penelitian kepada dinas terkait di Kabupaten Bangli untuk selanjutnya melakukan diskusi dan memberikan masukan serta solusi atas masalahtersebut. Jika dibutuhkan peneliti bisa saja mendampingi masyarakat atau dinas terkait untuk menerapkan solusi-solusi yang akan direalisasikan.

BABVII


(3)

38 7.1 Kesimpulan

Laterbelakang upaya bunuh diri di Kabupaten Bangli disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: pertama; masalah yang tidak terlalu penting, kedua; kemiskinan, ketiga: sakit yang tak kunjung sembuh. Kondisi ini tentu membutuhkan solusi cepat dan tepat baik secara regulatif maupun dari individunya. Pemberdayaan masyarakat menjadi penting sebagi solisi atas kemiskinan yang melilit masyarakat. sedangkan secara pribadi seseorang hendaknya menumbuhkan dimensi resilien dalam dirinya sehingga mampu bangkit dari setiap masalah yang sedang menimpa.

7.2 Saran

Angka bunuh diri di Kabupaten Bangli membutuhkan penanganan serius dari berbagai pihak untuk itu berikut beberapa saranyang bisa disampikan kepada beberapa pihak:

1. Kepada Pemerintah Kabupaten Bangli: penyuluhan, pembekalan dan road show ekonomi kreatif bisa dilakukan lebih intens pada rumah tangga miskin agar mereka mempunyai skill dan pemasukan finansial tambahan sehingga bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan terbebas dari lilitan kemiskinan.

2. Kepada Pemerintah Tingkat Desa Kabupaten Bangli: pendataan keluarga miskin harus dilakukan dengan sangat cermat dan merata sehingga secara administratif mereka tercatat sebagai KK miskin dan mendapatkan bantuan dari pemerintah baik materi maupun pelatihan-pelatihan untuk menambah income rumah tangga

3. Kepada masyarakat Kabupaten Bangli: solidaritas sosial harus tetap dipertahankan dan meningkatkan fungsi keluarga sebagai tempat setiap anggota keluarga bisa berbagai

4. Kepada remaja Kabupaten Bangli: untuk bisa keluar dari setiap tekanan ketika mengalami masalah dan kegagalan bisa dilakukan dengan menggali makna hidup dari keluarga, orang-orang terdekat dan


(4)

39 agama dan mengisi hari dengan kesibukan yang positif seperti aktif di Banjar atau Desa Pakraman sebagai truna desa tidak kalah penting melakukan refleksi diri dan memaknai setiap kegagalan hidup sebagai tantangan.


(5)

40 Daftar Pustaka

Abdul, Rahman Agus. 2014. Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada Agusta, Ivanovich. 2014. Diskursus, Kekuasaan, dan Praktik Kemiskinan di

Pedesaan. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia

Bryman, Alan. 2004. Social Research Methods, Great Britain, Oxford University Press

Dayakisni, Tri, Hudiniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Pres

Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

_____________.2011.Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat.1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Mardikanto, Totok, Soebiato, Poerwoko. 2013. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bndung: Alfabeta

Reuter, Thomas A. 2003. Inequality, Crisis and Social Change in Indonesia: The Muted Worlds of Bali. London: Routledge Curzon.

Ritzer & Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakata: Nusa Media

Romi Sudhita, I Wayan, t.t, Perilaku Bunuh Diri di Kalangan Pelajar: Analisis Deskriptif Pemberitaan Balipost Tahun 2006-2009

Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Emperik. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sarwono, Solita. 2007. Sosiologi Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

_____________.2013. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sherraden, Michael, Abbas, Sirojudin (terj.). 2006. Aset untuk Orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suyanto, bagong. 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penangannya. Malang: Intrans Publising


(6)

41 Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Pranada Media Grup. Zan Pieter, Herri, Lumongga Lubis, Namora. 2010. Pengantar Psikologi dalam