Cinderella Complex LANDASAN TEORI
banyak perhatian dan pertolongan terhadap anak perempuan daripada terhadap anak- laki-laki Anggriany, 2003. Penelitian Anggriany
dan Astuti 2003 menunjukkan bahwa pola asuh anak yang tidak berwawasan gender perlakuan dan pengasuhan terhadap anak laki-
laki dan perempuan yang dibedakan berdasarkan gender mempengaruhi tingginya kecenderungan cinderella complex pada
anak perempuan. Sebaliknya, pola asuh yang setara antara anak laki- laki dan anak perempuan seperti pemberian hukuman yang sama bila
melakukan kesalahan, mendidik anak untuk tidak bersikap manja dalam menghadapi masalah namun berusaha mengatasi masalah
tersebut, dll, dapat membuat anak perempuan menjadi lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada orang lain Anggriany, 2003.
Horney plaza.ufl.edubjparisindex.html menambahkan bahwa anak perempuan membutuhkan kesempatan yang sama dengan anak laki-
laki untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya. 3 Kebutuhan untuk dicintai yang tidak terpenuhi selama masa kecil.
Dowling 1981 mengungkapkan bahwa kebutuhan untuk dicintai yang tidak terpenuhi selama masa kecil seperti kurang atau hilangnya
kasih sayang orang tua dan keluarga, menimbulkan ketergantungan akan rasa aman dan kasih sayang dari orang lain. Hal ini mendorong
wanita untuk merendahkan diri di hadapan orang lain demi memperoleh rasa aman dan dicintai.
4 Dominasi orangtua yang terkadang membatasi dan menentukan segala aktivitas anak sehingga anak tidak mampu mengambil
keputusan sendiri Dowling, 1981. b. Perlakuan dalam lingkungan masyarakat
1 Pemberian pertolongan dan perlindungan yang berlebihan pada perempuan.
Wanita dianggap sebagai makhluk yang rapuh dan lemah. Maka lingkungan cenderung segera memberikan pertolongan setiap kali
wanita mengalami kesulitan semenjak kecil hingga dewasa sehingga tidak terbiasa untuk mengatasi masalah-masalahnya dan tergantung
pada lingkungan sekitar untuk menolongnya Dowling, 1981. Hal ini menyebabkan wanita sulit untuk mengambil keputusan sendiri,
tidak tegas, dan tidak percaya diri dalam menghadapi kesulitan. Wilkinson 1995 menambahkan bahwa banyak wanita yang
memandang bahwa perkembangannya menuju dewasa merupakan suatu proses yang sulit dan berat.
2 Stereotipe wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat. Meskipun emansipasi wanita telah berkembang, namun masyarakat
tidak lepas dari budaya patriarki yang berlaku dari generasi ke generasi Murniati, 2004. Budaya patriarki merupakan kondisi
dimana wanita harus mengikuti keputusan pria, terutama suami, dan cenderung bekerja di belakang pria, membuat wanita tampak sebagai
makhluk yang lemah dan dijadikan sebagai kaum kelas dua yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
status sosialnya selalu mengikuti status sosial suami dan ayah dalam keluarga Barnhouse, 1988.
3 Kemandirian sebagai perilaku yang tidak feminin Sehubungan dengan status wanita sebagai kaum kelas dua dalam
masyarakat, maka ambisi wanita untuk bebas dan mencapai kemandirian seorang wanita dianggap tidak feminin dan tidak jarang
mendapat kecaman lingkungan sosial Barnhouse, 1988. Salah satu contohnya adalah wanita dianggap tidak feminin ketika ia
memperbaiki atap rumahnya yang bocor, memasang lampu di rumahnya, atau memperbaiki motornya seorang diri.
4 Perbedaan perlakuan gender dalam hidup bermasyarakat. Budaya bahwa wanita sebagai makhluk yang lemah dan cenderung
menggunakan perasaan menyebabkan masyarakat memberi peluang lebih besar pada pria untuk meraih kesuksesan karir, kenaikan status
sosial dan jabatan dalam pekerjaan Dowling, 1981. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya
cinderella complex dibagi menjadi dua. Dalam lingkungan keluarga berupa pola asuh anak selama enam tahun pertama, pola asuh anak yang tidak
berwawasan gender, kebutuhan akan kasih sayang yang tidak terpenuhi di masa kecil, dan dominasi orangtua. Sedangkan dalam lingkungan
masyarakat berupa pertolongan yang berlebihan terhadap wanita, stereotipe wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat, anggapan akan
kemandirian sebagai perilaku yang tidak feminin, dan perbedaan perlakuan gender dalam masyarakat.
3. Aspek-aspek Cinderella Complex Berdasarkan teori Cinderella complex yang diungkapkan oleh
Dowling 1981, aspek-aspek dari cinderella complex dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Rasa rendah diri Bardwick dalam Dowling, 1981 mengungkapkan bahwa wanita
memiliki rasa rendah diri, dimana wanita seringkali meragukan kemampuannya dalam menjalankan suatu tugas. Anggriany 2003
mengungkapkan bahwa rasa rendah diri berkaitan dengan emosi wanita. Wanita yang memiliki perasaan rendah diri nampak pada perasaan tidak
mampu pesimis, seperti perasaan cemas atau panik ketika menghadapi sesuatu yang baru, ketika berbicara di hadapan orang banyak, atau dalam
suatu kesulitan. Perasaan tidak mampu tersebut kemudian dapat mempengaruhi segi kognitif sehingga wanita memiliki anggapan bahwa
ia adalah orang yang tidak berguna dan memiliki banyak kekurangan. b. Ketakutan kehilangan feminitas
Proses pertumbuhan dan perkembangan wanita tentunya tidak lepas dari pengaruh budaya masyarakat disekitarnya. Dalam masyarakat, wanita
diinternalisasikan secara kognitif untuk memiliki anggapan sebagai berikut:
1 Pria lebih kuat dari wanita dan dapat melakukan segalanya dengan lebih mudah.
2 Wanita yang baik adalah wanita yang dapat berperan sebaga istri dan ibu yang baik.
3 Hidup seorang wanita akan aman bila dirawat atau dipelihara oleh orang lain, seperti kebutuhan finansial dan fisik dipenuhi oleh suami.
4 Wanita tidak perlu bekerja bila kebutuhan finansialnya sudah terpenuhi, kalaupun bekerja, ia tidak perlu mengejar prestasi dan
bekerja seumur hidup. 5 Perilaku mandiri, seperti memperbaiki atap rumah yang bocor,
memperbaiki motor sendiri, dsb, merupakan perilaku yang tidak feminin.
6 Kesuksesan terutama dalam karir dan lingkungan sosial merupakan hasil dari perilaku maskulin dan sulit diraih oleh wanita.
Wanita yang tidak mampu bertindak dan bersikap sesuai dengan budaya yang berlaku di masyarakat akan memperoleh penolakan dari
lingkungannya. Hal inilah yang menyebabkan wanita kehilangan kapasitas untuk bekerja produktif dan orisinil, serta memiliki motivasi
kerja yang lebih disebabkan oleh krisis ekonomi dan keterpaksaan Anggriany, 2003.
c. Locus of control eksternal yang tinggi. Masrun dalam Anggriany, 2003 mengungkapkan bahwa perempuan
cenderung melekatkan keberhasilan pada factor-faktor dari luar seperti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keberuntungan dan merasa tidak memiliki control dari dalam diri untuk mengatasi masalah. Locus of control eksternal ini berkaitan dengan
kognisi wanita. Wanita dengan locus of control eksternal yang tinggi akan memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu yang diperolehnya, baik
dalam bentuk keberhasilan atau kegagalan, disebabkan oleh faktor keberuntungan atau ketidakberuntungan semata. Keyakinan ini dapat
mengurangi produktifitas wanita dalam bekerja dan dalam mengembangkan dirinya.
d. Pasif dalam mengambil keputusan dan mengembangkan diri Rasa rendah diri membuat wanita cenderung meragukan
kemampuannya. Akibatnya wanita cenderung bersikap dan berperilaku pasif seperti ketidakinginan untuk mengatasi suatu masalah atau
mengambil keputusan sendiri Dowling, 1981. Disamping itu, Dowling 1981 juga mengungkapkan bahwa wanita sulit untuk mengambil
inisiatif yang bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan dirinya. Perilaku pasif ini tampak ketika wanita tidak ingin menghadapi suatu
pekerjaan yang sulit dan beresiko besar, seperti persaingan antar rekan kerja, namun lebih menyukai pekerjaan yang mudah dan beresiko kecil,
tidak menyukai perubahan hidup, cenderung tidak asertif dalam menghadapi tantangan untuk mengembangkan diri, dan lebih
mengutamakan keterikatan emosional dengan keluarganya daripada karir dan pekerjaan Dowling, 1981.
e. Kecenderungan mengandalkan orang lain Berkaitan dengan kepasifan pada diri wanita, wanita cenderung memiliki
perilaku untuk mengandalkan orang lain dalam menghadapi suatu kesulitan, seperti meminta suatu pendapat atau dukungan dalam
mengambil keputusan atau dalam mengatasi suatu masalah Anggriany, 2003. Kecenderungan mengandalkan orang lain juga berkaitan dengan
perbedaan gender yang berlaku dalam masyarakat, dimana wanita cenderung dilihat sebagai makhluk lemah yang perlu diberi pertolongan
saat menghadapi suatu kesulitan dan berada dalam dominasi pria. Dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari cinderella complex
adalah rasa rendah diri, ketakutan kehilangan feminitas, locus of control yang rendah, sikap pasif dalam mengambil keputusan dan mengembangkan
diri, serta kecenderungan mengandalkan orang lain.