Deskripsi Data Penelitian METODOLOGI PENELITIAN

49 Mojorejo, Bengkulu yaitu sebesar 75,87 dapat disimpulkan bahwa remaja yang tinggal di kota besar Sleman, Yogyakarta memiliki perilaku bullying yang lebih tinggi dibandingkan perilaku bullying remaja yang tinggal di desa Desa Mojorejo, Bengkulu.

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai t hitung sebesar 15,217 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hasil tersebut menunjukan adanya perbedaan tinggi rendah perilaku bullying antara remaja yang tinggal di kota Sleman, Yogyakarta dan remaja yang tinggal di desa Desa Mojorejo, Bengkulu sehingga dapat dikatakan hipotesis dalam penelitian ini diterima. Perilaku bullying para remaja juga ditentukan oleh daerah kota atau desa dimana mereka tinggal. Faktor sosialkultural salah satunya ditentukan dimana anak tumbuh. Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah. Lingkungan perkotaan yang memiliki ciri lebih keras dimana anak tumbuh akan memberikan dampak pada perilaku mereka. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 Perilaku bullying cenderung lebih dominan atau tampak pada remaja di kota besar. Segi geografis kota diartikan sebagai suatu sistim jaringan kehidupan yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan bercorak materialistis atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah dibelakangnya Bintarto, 1983. Remaja di kota besar akan mendapat lebih banyak tekanan negatif karena kondisi geografis dan sosial. Parson 2000 menyatakan bahwa masyarakat perkotaan cenderung individualistik dan hanya mutu atau prestasi merekalah yang membuat mereka bisa diterima dilingkungan. Pola individualisme membuat masyarakat tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Hal ini tidak lepas dari keberadaan remaja dilingkungan tersebut yang memaksa untuk berkompetisi agar dapat diterima dilingkungannya Ditjen Cipta Karya 1997. Hal ini menjadi semakin berat karena pada saat remaja mereka sendiri sedang mengalami masa transisi dan mendapat banyak perubahan dari dalam diri mereka kemudian dituntut untuk melakukan banyak hal baru diluar mereka Santrock 2003: 26. Oleh karena itu berpeluang bagi mereka bisa melepaskan tekanan tersebut dalam perilaku seperti bullying. 51 Pola masyarakat di kota yang cenderung individualistik dan suasana saling bersaing juga memberikan pengaruh tersendiri bagi kehidupan remaja di kota. Hanya orang yang dianggap memiliki keunggulan yang akan dipandang oleh lingkungan sosial mereka, sehingga membuat adanya ketidakseimbangan. Pihak yang merasa diri mereka memiliki prestasi akan lebih mendominasi dan pihak yang lebih mendominasi akan menganggap bahwa ada sekelompok remaja diluar mereka yang posisinya lebih rendah dari pada mereka. Suasana seperti ini kerap kali memunculkan perilaku semena-mena dari salah satu pihak yang merasa dirinya lebih kuat. Hal ini sering ditemui di wilayah Sleman, Yogyakarta dengan kondisi jumlah penduduknya yang relatif padat. Masyarakatnya juga bersifat heterogen berasal dari berbagai macam daerah, terutama kebanyakan adalah mereka yang datang dari luar kota dan bersekolah atau kuliah ke Yogyakarta. Dengan berbagai latar belakang yang ada mereka akan lebih fokus kepada prestasi atau pencapaian mereka. Mereka juga mungkin tidak akan banyak mengenal satu sama lain, apa lagi bila mereka tidak memiliki kepentingan satu sama lain. Hal ini memunculkan bahwa ada pihak yang dianggap lebih rendah dari mereka. Hal ini bisa memunculkan sikap semena-mena karena merasa diri lebih kuat, lebih hebat dan orang lain dianggap lemah. Hal ini tentunya berbeda dengan sosialkultural di daerah pedesaan. Di daerah pedesaan, sikap, norma dan budaya dalam masyarakat lebih dijunjung tinggi. Kondisi inilah yang mempengaruhi bagamana remaja PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI