Perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dengan di desa.
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI KOTA DENGAN DI DESA
Bonaventura Sri Widyanovan Aditya Chandra
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dengan yang di desa. Sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah adalah suatu bentuk evaluasi baik mendukung atau memihak (favorable) maupun tidak memihak (unfavorable) terhadap segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dalam bentuk bersentuhan, berciuman, bercumbu, maupun berhubungan kelamin dan dilakukan di luar ikatan pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dengan yang di desa, dimana remaja yang tinggal di desa lebih mendukung perilaku seksual dibandingkan dengan di kota. Subjek dalam penelitian ini adalah 72 orang remaja, terdiri dari 41 orang remaja desa dan 31 orang remaja kota. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dan menggunakan metode pengumpulan data berupa Skala Sikap terhadap Perilaku Seksual. Skala disusun berdasarkan struktur sikap dan tahapan dalam perilaku seksual. Skala tersebut terdiri dari 44 item dengan koefisien reliabilitas 0,943. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji - t. Hasil analisis menunjukkan nilai p = 0,000 lebih kecil dari 0,05. Nilai mean untuk remaja desa ialah 99,4634 sementara untuk remaja kota ialah 78,4516. Dengan demikian remaja desa lebih mendukung perilaku seksual dibandingkan dengan remaja kota.
(2)
THE DIFFERENCES ATTITUDE TOWARD SEXUAL BEHAVIOR BETWEEN TEENAGERS WHO LEAVE IN THE CITY AND
TEENAGERS WHO LEAVE IN THE VILLAGE
Bonaventura Sri Widyanovan Aditya Chandra
ABSTRACT
This research purpose to find out the differences attitude toward sexual behavior between teenagers who leave in the city and teenagers who leave in the village. Teenager’s attitude toward pre-married sexual behavior is a type of evaluation, for who is supporting or favoring (favorable) although unfavoring (unfavorable) towards every behavior which is pushed by sexual desire in the form of touching, kissing, flirting, although mating and occurred beyond the legitimate marriage according to the law and religion. This research hypothesize about the differences attitude toward sexual behavior between teenagers who leave in the city and teenagers who leave in the village, which is teenagers who leave in the city are more supporting sexual behavior than teenagers who leave in the village. Our subject in this research is 72 teenagers, consist of 41 village teenagers and 31 city teenagers. The type of this research is descriptive quantitative research and use data collection methode in the form of Attitude towards sexual behavior scale. The scale is arranged by attitude structure and phase in sexual behavior. The scale consist of 44 items with coefficient reliability 0,943. Data analysis in this research use t-test. Analysis result indicate value of p = 0,000 smaller than 0,05. Mean value of village teenagers is 99,4634 while for city teenagers is 78,4516. Therefore, village teenagers are more supporting sexual behavior than city teenagers.
(3)
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI KOTA DENGAN DI DESA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Bonaventura Sri Widyanovan Aditya Chandra NIM : 079114107
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(4)
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI KOTA DENGAN DI DESA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Bonaventura Sri Widyanovan Aditya Chandra NIM : 079114107
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(5)
(6)
(7)
Masa Lalu dapat dijadikan pelajaran untuk melangkah
di masa depan, namun bukan menjadi pedoman
Dan bila, aku berdiri, tegak sampai hari ini Bukan karena kuat dan hebatku
Semua karena Cinta # Karena Cinta
Orang yang sibuk dengan pekerjaannya, dengan prestasinya tak pernah berpikir untuk menjelek-jelekkan orang lain....
(8)
PERSEMBAHAN
SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK
TUHAN YESUS KRISTUS DAN BUNDA MARIA,
PAPA DAN MAMA,
(9)
(10)
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI KOTA DENGAN DI DESA
Bonaventura Sri Widyanovan Aditya Chandra
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dengan yang di desa. Sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah adalah suatu bentuk evaluasi baik mendukung atau memihak (favorable) maupun tidak memihak (unfavorable) terhadap segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dalam bentuk bersentuhan, berciuman, bercumbu, maupun berhubungan kelamin dan dilakukan di luar ikatan pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dengan yang di desa, dimana remaja yang tinggal di desa lebih mendukung perilaku seksual dibandingkan dengan di kota. Subjek dalam penelitian ini adalah 72 orang remaja, terdiri dari 41 orang remaja desa dan 31 orang remaja kota. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dan menggunakan metode pengumpulan data berupa Skala Sikap terhadap Perilaku Seksual. Skala disusun berdasarkan struktur sikap dan tahapan dalam perilaku seksual. Skala tersebut terdiri dari 44 item dengan koefisien reliabilitas 0,943. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji - t. Hasil analisis menunjukkan nilai p = 0,000 lebih kecil dari 0,05. Nilai mean untuk remaja desa ialah 99,4634 sementara untuk remaja kota ialah 78,4516. Dengan demikian remaja desa lebih mendukung perilaku seksual dibandingkan dengan remaja kota.
(11)
THE DIFFERENCES ATTITUDE TOWARD SEXUAL BEHAVIOR BETWEEN TEENAGERS WHO LEAVE IN THE CITY AND
TEENAGERS WHO LEAVE IN THE VILLAGE
Bonaventura Sri Widyanovan Aditya Chandra
ABSTRACT
This research purpose to find out the differences attitude toward sexual behavior between teenagers who leave in the city and teenagers who leave in the village. Teenager’s attitude toward pre-married sexual behavior is a type of evaluation, for who is supporting or favoring (favorable) although unfavoring (unfavorable) towards every behavior which is pushed by sexual desire in the form of touching, kissing, flirting, although mating and occurred beyond the legitimate marriage according to the law and religion. This research hypothesize about the differences attitude toward sexual behavior between teenagers who leave in the city and teenagers who leave in the village, which is teenagers who leave in the city are more supporting sexual behavior than teenagers who leave in the village. Our subject in this research is 72 teenagers, consist of 41 village teenagers and 31 city teenagers. The type of this research is descriptive quantitative research and use data collection methode in the form of Attitude towards sexual behavior scale. The scale is arranged by attitude structure and phase in sexual behavior. The scale consist of 44 items with coefficient reliability 0,943. Data analysis in this research use t-test. Analysis result indicate value of p = 0,000 smaller than 0,05. Mean value of village teenagers is 99,4634 while for city teenagers is 78,4516. Therefore, village teenagers are more supporting sexual behavior than city teenagers.
(12)
(13)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul PERBEDAAN SIKAP TERHADAP
PERILAKU SEKSUAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI KOTA DENGAN DI DESA
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu membimbing dan selalu menjadi tempat curahan hati penulis.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi , Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku dosen pembimbing, terimakasih atas bimbingan, pengarahan, saran serta dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi.
4. Segenap dosen Fakultas Psikologi yang pernah mengajar penulis. Terima kasih atas ilmu dunia Psikologi yang telah diberikan pada penulis.
5. Segenap karyawan fakultas Psikologi ; Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Doni, Mas Muji, Pak Gik, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.
(14)
6. Isabella Maria Sri Amoura Nindya yang telah menjadi pengganggu sekaligus motivator terbesar penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Mama, Papa, Sella, dan Paskha atas semua cinta dan kasih sayang, dukungan moril maupun materil serta doa yang selalu menyertai penulis.
8. Teman-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan doa, dukungan dan masukkan yang berguna untuk skripsi ini. 9. Dan semua orang yang telah mendukung penulis baik secara langsung ataupun
tidak langsung, terimakasih banyak.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan anugrah dari Tuhan YME. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan,.AMIN.
Yogyakarta , September 2015 Penulis
(15)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
PERNYATAAN PUBLIKASI ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
(16)
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Sikap ... 11
B. Remaja ... 14
C. Perilaku Seksual Pranikah ... 16
D. Remaja yang Tinggal di Desa dan di Kota ... 21
E. Perbedaan Sikap Terhadap Perilaku Seksual Antara Remaja yang tinggal di Kota dan di Desa ... 23
F. Hipotesis ... 27
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 28
B. Variabel Penelitian ... 28
C. Definisi Operasional Variabel ... 28
D. Subjek Penelitian ... 30
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 31
F. Validitas dan Reliabilitas ... 32
BAB IV : HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 38
B. Deskripsi Subjek ... 38
(17)
D. Pembahasan ... 43
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 48
B. Saran ... 48
DAFTAR PUSTAKA ... 49
(18)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kisi-Kisi Sebaran Item Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual
(untuk Uji Coba) ... 52
Tabel 2. Distribusi Item Sahih dan Gugur Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual ... 34
Tabel 3. Distribusi Item Sahih Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual ... 35
Tabel 4. Deskripsi Subjek Penelitian ... 38
Tabel 5. Deskripsi Data Subjek Penelitian ... 40
Tabel 6. Hasil Uji Normalitas ... 41
Tabel 7. Hasil Uji Hipotesis ... 42
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Kisi-Kisi Sebaran Item Skala Sikap (untuk Uji Coba) ... 52
Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual (untuk Uji Coba) ... 53
Distribusi Item Sahih dan Gugur Skala Sikap ... 56
Item Sahih dan Gugur dalam Skala Sikap ... 57
Distribusi Item Sahih Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual ... 62
Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual ... 63
Seleksi Item dan Reliabilitas... 66
(20)
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pandangan dan perasaan yang dimiliki individu akan dimunculkan melalui sikap. Menurut para ahli Psikologi, sikap merupakan suatu konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek (Azwar, 2007).Masa remaja ialah masa badai dan tekanan (Santrock, 2003), oleh karena itu pada masa remaja akan terjadi krisis identitas. Menurut Hurlock (1980), mereka yang berada pada usia ini mengalami perkembangan fungsi-fungsi tubuh terutama seks, dan hal itu mengganggu. Selain itu pada usia ini pada diri individu terjadi perubahan-perubahan fisik yang sangat pesat dan mencapai puncaknya. Masa remaja adalah masa peralihan dari tahap anak ke dewasa.Masa remaja ditandai dengan kematangan fisik, sosial, dan psikologis yang berhubungan langsung dengan kepribadian, seksual, dan peran sosial remaja (Ahmadi, 1999). Pada masa remaja, individu menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai ia mencapai kematangan seksual. Kematangan organ seksual dan perubahan hormonal menyebabkan munculnya dorongan seksual dalam diri remaja yang ditunjukkan dalam sebuah perilaku seksual.Pada tahap ini alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai tumbuh, dan emosi cenderung labil. Dalam budaya Jawa, masa remaja bagi anak pria ditandai dengan khitanan yang dilakukan pada saat ia berusia antara 10
(21)
hingga 14 tahun. Sedangkan masa remaja pada seorang gadis ditandai ketika ia mendapatkan haid yang pertama (Koentjaraningrat, 1984). Perubahan fisik tersebut mengakibatkan remaja menjadi sensitif dengan informasi-informasi yang berbau seksual, sehingga remaja cenderung memiliki keinginan yang kuat untuk mengetahui hal itu lebih lanjut. Penyebab internal yang menyebabkan remaja melakukan peilaku seksual yang tidak sehat ialah sikap permissive, kurangnya kontrol diri, serta tidak bisa menentukan sikap asertif terhadap ajakan teman atau pacar (Kartika dan Farida, 2008)
Pada masa remaja awal (Tarwoto et al, 2010), remaja mulai belajar mengambil keputusan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Remaja dapat memilih apa yang menurut remaja tersebut baik. Lingkungan keluarga juga mempengaruhi perilaku seksual remaja, pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak sangat besar karena keluarga merupakan tempat dasar pembentukan tingkah laku, watak moral, dan pendidikan kepada anak (Kartono, 2010).
Menurut Taganing (2008) dalam hidayat (2013), pola asuh juga memiliki pengaruh yang amat besar dalam membentuk kepribadian anak. Pola asuh yang salah dapat menyebabkan anak melakukan perilaku agresif. Berdasarkan penelitian World Health Organization (WHO) pada berbagai literatur kesehatan reproduksi menyatakan bahwa pola asuh merupakan faktor resiko perilaku seksual resiko berat. Berdasarkan penelitian Nursal (2008) di SMU di kota padang, dimana didapat responden dengan pola asuh permisif mempunyai peluang 600,92 kali berperilaku seksual beresiko berat
(22)
dibandingkan pola asuh demokrasi dan otoriter. Hasil penelitian Dwi (2014) menunjukkan bahwa remaja dengan ibu yang menerapkan pola asuh demokrasi melakukan perilaku seksual bebas sebesar 12,26%, sedangkanremaja dengan ibu yang menerapkan pola asuh otoriter dan permissif melakukan perilaku seksual sebesar 99,98%.
Remaja lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah atau dilingkungan pergaulannya. Bagi remaja tekanan teman sebaya dirasakan begitu kuat sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat dari orangtua. Umumnya remaja melakukan hubungan seks hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-teman sebayanya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dari anggota kelompoknya (Dianawati, 2006).
Berdasarkan penelitian Maryatun (2013) di SMA Muhamadiyah 3 Surakarta, terdapat 84% remaja berperilaku seksual pranikah dan sebanyak 62% menyebutkan adanya peranan teman sebaya.
Remaja usia 12-15 tahun merupakan usia yang identik dengan coba-coba (Sarwono, 2011), misalnya mencoba-coba untuk melakukan perilaku seksual dan perilaku menyimpang lainnya. Perilaku tersebut didasarkan oleh pengetahuan remaja tentang efek dari perilaku tersebut.
Seksualitas remaja menjadi bahan yang hangat di bicarakan akhir-akhir ini.Menurut BKKBN, perilaku remaja akhir-akhir-akhir-akhir ini sudah mengindikasi ke arah perilaku berisiko. Hal tersebut terlihat berdasarkan Survei Kesehatan Reproduksi Remaja (SKRR) 2010 yang dilakukan oleh BKKBN.Dalam survei tersebut terungkap sebanyak 85 persen remaja
(23)
mengaku sudah pernah berpacaran dan 30 persen remaja sudah pernah meraba-raba tubuh pasangan dalam berpacaran.Beberapa perilaku berpacaran remaja yang belum menikah sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan survei BKKBN pada tahun 2010, hanya 14,8 persen yang mengaku belum pernah pacaran sama sekali. Sebanyak 79,6 persen remaja pria dan 71,6 persen remaja wanita pernah berpegangan tangan dengan pasangannya. Sebanyak 48,1 persen remaja laki-laki dan 29,3 persen remaja wanita pernah berciuman bibir. Dan sebanyak 29,5 persen remaja pria dan 6,2 persen remaja wanita pernah meraba atau merangsang pasangannya. Perilaku pacaran remaja menurut data diatas menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja dalam
berpacaran mulai menjurus ke arah perilaku seks
bebas.(http://dwinovitaernaningsih.wordpress.com/2011/07/02 /pengaruh-seks-bebas-terhadap-kesehatan-reproduksi-, diakses tanggal 6 November 2012)
Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) merilis sebanyak 62.7% remaja SMP tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah melakukan aborsi. Perilaku tersebut tersebar di kota dan desa dengan tingkat ekonomi kaya dan miskin. Data tersebut berdasarkan survey pada tahun 2008, dengan melibatkan 4726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota besar. (http://www.poskotanews.com/2012/05/27/209-persen-abg-hamil-di-luar-nikah/, diakses tanggal 24 November 2013)
Perilaku pacaran remaja sudah mulai menjurus ke arah perilaku seks bebas. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya data yang menemukan bahwa
(24)
remaja sudah banyak yang kehilangan keperawanan hingga banyak juga yang mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan. Perilaku seks yang dilakukan oleh remaja antara lain menyentuh, berciuman, petting, dan sexual intercourse.
Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik bagi lawan jenis maupun sesama jenis (Sarwono, 1994).Bentuk tingkah laku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Penyaluran dengan orang lain terkadang dilakukan karena banyak dari remaja yang tidak dapat menahan dorongan seksualnya sehingga mereka melakukan hubungan seksual pranikah. (Sarwono, 1994)
Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja ialah tingkat pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan pengaruh teman (Bachtiar,2004). Remaja dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih cenderung melakukan seks pranikah dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi dan berprestasi(Prawestri, 2012). Sedangkan remaja dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah akan cenderung melakukan seks pranikah agar pasangannya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Teman sebaya memiliki pengaruh yang signifikan pada masa remaja. Oleh karena itu, jika remaja berteman dengan banyak orang yang melakukan seks pranikah, maka ia akan cenderung melakukannya juga (Prawestri, 2012).
(25)
Sikap merupakan suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung
(unfavourable) pada suatu objek. Sikap juga merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Bagaimana kita suka atau tidak suka terhadap sesuatu pada akhirnya akan menentukan perilaku kita.
Sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja (Rejeki, 2010). Banyak hal yang dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap perilaku seksual, salah satunya ialah lembaga pendidikan. Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama yang diperoleh dari lembaga pendidikan sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal. Dalam hal ini lembaga pendidikan yang dimaksud ialah tempat dimana remaja tersebut menuntut ilmu. Harus diakui, meskipun di Indonesia sudah dicanangkan sistem pendidikan dasar 9 tahun dan sudah banyak sekolah-sekolah yang didirikan di pelosok daerah namun pada kenyataannya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya dapat merata dinikmati oleh seluruh anak Indonesia. Di kota-kota besar, kabupaten atau kecamatan
(26)
memang kesempatan memperoleh pendidikan sangatlah luas. Namun di tingkat desa terutama di daerah pinggiran kurang karena kurangnya fasilitas pendidikan. Di desa, dalam satu kecamatan terkadang hanya ada satu atau dua sekolah saja, karena sulitnya bantuan yang masuk untuk membangun sekolah serta terkadang sulit mencari guru yang mau mengajar di daerah pedesaan.
Salah satu ciri masyarakat pedesaan ialah masih menjunjung tinggi adat ketimuran (Ansy’ari, 1993), sehingga sebagian besar masyarakat desa masih menganggap perilaku seksual merupakan hal tabu. Kurangnya tingkat pengetahuan remaja di daerah pedesaan menyebabkan pergeseran perilaku seksual pada remaja, sehingga tingkat keingintahuan remaja semakin besar, tetapi remaja tidak mau berdiskusi tentang seksualitas karena dianggap tabu, meskipun dengan keluarga sekalipun.Faktor lain penyebab sikap remaja dalam berpacaran kebablasan menurut Boyke Dian Nugraha (Radar Ngawi, 2011) adalah minimnya pembelajaran seksual di kalangan remaja dan pengawasan orangtua yang lemah. Menurut hasil wawancara dengan salah seorang guru BP di SMA Negeri daerah Bambanglipuro, Bantul, pendidikan seksual belum diajarkan di sekolah dimana ia mengajar, karena tidak disetujui oleh komite. Padahal issue mengenai perilaku seksual muncul dengan sangat cepat. Ketidaktahuan remaja akan perilaku seksual tersebut dapat berakibat pada terjerumusnya mereka untuk melakukan perilaku seksual karena rasa ingin tahu yang tidak ada wadahnya, baik sekolah maupun orangtua. Hasil penelitian untuk siswa di Bogor, menunjukkan
(27)
bahwa perilaku asosial remaja memiliki prevalensi yang cukup tinggi, salah satunya ialah dalam hal akses pornografi, dikota sebesar 25,9% sedangkan didesa sebesar 30,5% (http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/72753). Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja akan melakukan eksplorasi sendiri lewat teknologi, informasi, komunikasi, buku, majalah, internet, film, begitu bebas didapatkan, maka kesempatan remaja untuk memperoleh informasi terhadap berbagai masalah termasuk seks sangatlah terbuka. Tetapi tidak semua informasi yang tersedia merupakan informasi yang benar, tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan bagi kehidupan remaja, jika remaja mendapatkan informasi yang tidak benar dan tidak ada bimbingan dari pihak manapun maka hal tersebut akan dapat berpengaruh pada nilai kehidupan mereka (Rejeki,2010)
Berbeda dengan remaja yang tinggal di daerah perkotaan. Selain kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih besar karena jumlah lembaga pendidikan yang banyak, Remaja kota dapat lebih mudah mendapat lembaga pendidikan yang lebih berkualitas. Kebanyakan dari mereka pun sudah sangat sadar akan pentingnya pendidikan sehingga mereka juga mendapat pendidikan seksualitas yang mumpuni. Proses pendidikan inilah yang nantinya dapat mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, apakah akan mendukung atau menolak, karena pendidikanlah yang akan mengajarkan pemahaman mengenai baik buruknya segala sesuatu.
Pada seorang remaja, perilaku seksual biasanya dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta serta perasaan bergairah yang tinggi kepada pasangannya
(28)
tanpa disertai komitmen yang jelas (Desmita, 2009). Perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh para remaja disadari atau tidak akan menimbulkan banyak permasalahan, misalnya kemungkinan untuk tertular penyakit menular seksual termasuk didalamnya HIV dan AIDS. Data dari Depkes menunjukkan bahwa jumlah pengidap AIDS sampai Maret 2007 sebanyak 8.988 orang, dan 54% dari para pengidap AIDS tersebut adalah remaja usia 20-29 tahun.
Selain itu, kemungkinan terjadinya kehamilan diluar ikatan pernikahan juga semakin besar dan dapat berakibat pada penundaan pendidikan. Jika kehamilan ini juga tidak disikapi dengan baik akibat kurangnya kesiapan untuk membina rumah tangga baik dari segi kematangan, pengetahuan dan finansial, maka dapat juga terjadi perilaku aborsi.Perilaku abortus ini juga pastinya selain bertentangan dengan ajaran agama, dapat mengakibatkan kematian jika dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten. Data survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyebutkan, pada tahun 1997, dari 1.563 perempuan usia subur, terdapat 50,9% melakukan aborsi secara sengaja pada usia 15-19 tahun, dan sekitar 11,9% melakukannya dengan cara tradisional maupun medis. Cara tradisional yang digunakan ialah meminum jamu atau ramuan tradisional, dan jumlahnya pelakunya sekitar 27,5% (dianawati, 20006). Ketika remaja memiliki sikap mendukung para perilaku seksual pranikah, maka kemungkinan besar ia akan melakukannya juga.
(29)
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka penulis ingin meneliti mengenai perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dan di desa dan diharapkan melalui penelitian ini, remaja, orangtua, dan para pendidik dapat memilih langkah yang tepat supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang sudah dijabarkan penulis.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dengan di desa?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di kota dan di desa.
D. MANFAAT PENELITIAN
a.Manfaat Teoritis
Penelitian ini berguna dalam memperkaya khasanah ilmu psikologi terutama psikologi sosial dan perkembangan mengenai gambaran sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah. Penelitian ini juga berguna untuk menambah wawasan dan menjadi inspirasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
(30)
1. Bagi Masyarakat, khususnya Orangtua
Penelitian ini diharapkan dapat membuat para orangtua dan masyarakat lebih membuka mata dan lebih peduli serta lebih waspada terhadap pergaulan dan perilaku anak-anaknya.
2. Bagi Khasanah Ilmu Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mempersiapkan bahan pengajaran dan bimbingan seksual untuk remaja.
3. Bagi Para Remaja
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi para remaja supaya lebih berhati-hati dalam menentukan sikap. 4. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan
(31)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. SIKAP
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz, 1972, dalam Azwar, 2005)
Sedangkan menurut Mara’at (1982) sikap merupakan produk dari proses sosialialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Jika sikap mengarah pada objek tertentu, berarti bahwa penyesuaian diri terhadap objek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesediaan untuk bereaksi dari orang tersebut terhadap objek.
Menurut Azwar (2005) struktur sikap terdiri atas 3 komponen yang saling menunjang, yaitu :
1. Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Sekali kepercayaan itu dibentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dari objek tertentu.
2. Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Pada umumnya, reaksi emosional yang merupakan
(32)
komponen afektif ini banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.
3. Komponen Konatif
Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
Faktor pembentukan sikap menurut Azwar (2005), yaitu : 1. Pengalaman Pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
2. Kebudayaan
Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Sebagai contoh, apabila kita hidup dalam norma budaya yang longgar bagi pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual.
(33)
Pada umunya individu cenderung untuk memiliki sikap konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut, misalnya orangtua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dll.
4. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, suratkabar, majalah, dll mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
5. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Pemahaman baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal.
(34)
Terkadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung maupun perasaan tidak memihak yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan agama, serta emosional.
B. REMAJA
Remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Masa awal remaja adalah waktu dimana konflik antara orangtua dengan remaja meningkat lebih dari konflik orangtua dengan anak. Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan pendewasaan orangtua, meliputi perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif termasuk meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati diri, dan harapan yang tak tercapai (Santrock, 2007)
Sementara itu pendapat Konopka dan Ingersoll dalam Hurlock (2004) mengatakan bahwa secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut:
(35)
1. Masa remaja awal (12-15 tahun) dimana pada masa ini remaja mulai meninggalkan perannya sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua.
2. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun). Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Teman sebaya memiliki peran yang penting. Pada masa ini remaja juga mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar membuat keputusan sendiri dan selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
3. Masa remaja akhir (19-21 tahun) dimana masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan diterima orang dewasa
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst antara lain :
a. Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan akan memperoleh peranan social.
b. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif.
c. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainny.
d. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri. e. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan.
f. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga. g. Membentuk system nilai, moralitas, dan falsafah hidup.
(36)
Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja, yaitu (Wiwan, 2008) :
1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat yang dikenal dengan istilah storm dan stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja, hal ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari sebelumnya. Kemandirian dan tanggung jawab akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir di awal masa kuliah.
2. Perubahan yang cepat secara fisik yang disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuannya. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja. 3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan
orang lain. Banyak hal menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal baru dan lebih matang. Hal ini dikarenakan adanya tanggungjawab yang lebih besar pada masa remaja. Remaja diharapkan dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain.
(37)
Remaja tidak lagi berhubungan dengan individu yang berjenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis dan orang yang lebih dewasa. 4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa
kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa. 5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan
yang terjadi. Disatu sisi mereka menginginkan kebebasan, tapi disisi yang lain mereka takut akan tanggungjawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta ragu akan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggungjawab tersebut.
Ketika memasuki usia remaja terjadi perubahan fisik, emosional, maupun seksual. Hormon seksual di dalam tubuh mulai berfungsi. Perubahan hormon tersebut ditandai dengan kematangan seksual, sehingga dorongan yang timbul semakin meluap. Kematangan seksual ini ditandai dengan mimpi basah untuk anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan ditandai dengan menstruasi. Baik remaja putra maupun putri akan merasakan adanya dorongan seksual. Dorongan seksual inilah yang nantinya akan mendorong remaja untuk melakukan perilaku seksual.
Jadi remaja merupakan masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan dewasa dimana individu berada dalam rentang usia 12 hingga 21 tahun dan terjadi perubahan fisik, emosional, maupun seksual.
(38)
C. PERKEMBANGAN FISIK DAN KOGNITIF REMAJA
Pubertas merupakan awal dari masa remaja, terutama terjadi pada awal masa remaja. Testosteron memainkan peran penting dalam perkembangan pubertas laki-laki, sedangkan estradiol pada perkembangan pubertas perempuan. Testosteron ialah suatu hormon yang berkaitan dengan perkembangan alat kelamin, pertambahan tinggi, dan perubahan suara pada anak laki-laki. Sementara estradiol ialah suatu hormon yang berkaitan dengan perkembangan buah dada, rahim, dan kerangka pada anak-anak perempuan. Pertumbuhan pada remaja laki-laki 2 tahun lebih terlambat daripada remaja perempuan, yakni kira-kira 12 tahun pada usia rata-rata anak laki-laki, dan 10 tahun pada usia rata-rata anak perempuan. Empat perubahan tubuh yang paling menonjol pada perempuan ialah pertambahan tinggi badan yang cepat, menarche, pertumbuhan buah dada dan pertumbuhan rambut kemaluan. Sedangkan empat pertumbuhan yang paling menonjol pada laki-laki ialah pertambahan tinggi badan yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis, dan pertumbuhan rambut kemaluan (Santrock, 2007).
Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin yang membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Gejala ini memberi isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. Berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa (Lerner & Hultsch dalam agustiani, 2006).
(39)
Semua perubahan fisik yang membawa implikasi perubahan emosional tersebut makin rumit oleh adanya faktor bahwa individu remaja juga mengalami perubahan kognitif. Perubahan dalam kemampuan berpikir ini diungkapkan oleh piaget (1972) sebagai tahap terakhir yang disebut sebagai tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Menurut Piaget, remaja merupakan individu yang sudah mampu melepaskan diri dari kenyataan yang ada. Remaja melakukan pemikiran yang jauh kedepan dengan mengkhayalkan peristiwa yang akan terjadi. Rasa empati kepada sesama juga mulai muncul dan sangat kuat terutama kepada orang terdekatnya. Dalam diri remaja terjadi perubahan yang sangat drastis yang berhubungan dengan perubahan sosial. Remaja akan lebih suka bergaul dan berkumpul dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama. Ikatan antara remaja dengan teman sebaya bisa lebih kuat daripada ikatan remaja dengan orangtuanya. Remaja berkumpul dengan teman sebayanya merupakan suatu usaha dari remaja untuk mengaktualisasikan diri. Keputusan dan pemikiran dalam kelompok remaja lebih kuat daripada keputusan yang diambil dari lingkungan remaja. Solidaritas merupakan bentuk dari rasa saling memiliki dan kekeluargaan yang ditunjukan remaja untuk kelompoknya (Santrock, 2007).
D. POLA ASUH ORANGTUA, PENGARUH TEMAN SEBAYA DAN
LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL
Menurut Santrock (1998), ada 3 pola asuh yang diterapkan orangtua pada anak, antara lain :
(40)
1. Authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya.
2. Authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan.
3. Permissive, Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 1998) membagi pola asuh ini menjadi dua, yaitu neglectful parenting dan indulgent parenting. Neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak yang akan menghasilkan anak yang kurang memiliki kompetensi sosial karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau membebaskan) sehingga mengakibatkan kompetensi sosial tidak adekuat karena anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan kebebasannya tanpa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspitadesi (2010), kontribusi figur kelekatan orangtua dan kontrol diri terhadap perilaku seksual lebih menonjol dibandingkan dengan pengaruh dari media, pengaruh teman sebaya, dan gaya hidup remaja.
(41)
Teori perkembangan psikososial menurut Erikson dalam Wong (2009) menganggap bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas. Periode remaja awal dimulai dengan pubertas dan berkembangnya stabilitas emosional dan fisik. Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena mereka merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok dapat memberi mereka status. Bagi sebagian besar remaja, teman sebaya dianggap lebih berperan penting karena memberikan remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan. Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman, dan suka berkelompok. Dengan demikian, kelompok teman sebaya memiliki evaluasi diri dan perilaku remaja. Untuk memperoleh penerimaan kelompok, remaja awal berusaha untuk menyesuaikan diri secara total dalam berbagai hal seperti model berpakaian, gaya rambut, selera music, dan tata bahasa, seringkali mengirbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya.
E. PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun sesama jenis. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan ataupun dirinya sendiri (Sarwono, 2010). Gunarsa menjelaskan hubungan seksual sebagai persenggamaan atau bersatunya antara manusia yang berlainan jenis.
(42)
Hubungan seksual juga merupakan ekspresi akan perasaan cinta, cara berkomunikasi intim, dan cara mencapai kedekatan emosional (Gunarsa, 1991)
Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita di luar perkawinan yang sah (Sarwono, 2005). Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Bentuk-bentuk perilaku seksual remaja menurut Sarwono (2010) dan soetjiningsih (2008) yaitu berkencan, berpegangan tangan, berpelukan, berciuman bibir, meraba/diraba bagian sensitive dalam keadaan berpakaian, menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, saling membuka baju, meraba/diraba bagian sensitive dalam keadaan tanpa pakaian, mencium/ dicium bagian sensitive dalam keadaan tanpa pakaian, menempelkan alat kelamin, dan berhubungan seksual.
Menurut Kinsey et al, 1965, perilaku seksual meliputi 4 tahap sebagai berikut:
1. Bersentuhan (touching) mulai dari berpegangan tangan sampai berpelukan.
2. Berciuman (kissing).Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan
seksual, seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut
(43)
dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam (deep kissing).
3. Bercumbu (petting) menyentuh bagian yang sensitif dari tubuh pasangan dan
mengarah pada pembangkitan gairah seksual. Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan orgabn kelamin. Hal ini juga termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.
4. Berhubungan kelamin (Sexual Intercourse). Bersatunya dua orang secara
seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Menurut Sarwono (2006), secara garis besar perilaku seksual pada remaja disebabkan oleh :
1. Meningkatnya libido seksual
Di dalam upaya mengisi peran sosial, seorang remaja mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido, energi seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik.
2. Penundaan usia perkawinan
Peningkatan taraf pendidikan masyarakat membuat semakin banyak anak-anak perempuan yang bersekolah dan membuat semakin tertundanya kebutuhan untuk mengawinkan anak-anaknya.
(44)
Saat usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana orang tidak boleh melaksanakan hubungan seksual sebelum menikah. Pada masyarakat modern bahkan larangan tersebut berkembang pada tingkatan lain seperti berciuman dan masturbasi, sedangkan untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan mempunyai kecenderungan melanggar larangan tersebut.
4. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
Remaja yang sudah mulai mengalami kematangan seksual secara lengkap kurang mendapat pengarahan dari orangtua mengenai kesehatan reproduksi khususnya tentang akibat-akibat perilaku seks pranikah maka mereka sulit mengendalikan rangsangan-rangsangan dan banyak kesempatan untuk menikmati seksual pornografi melalui media massa yang membuat mereka melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahui resiko-resiko yang dapat terjadi seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual.
5. Pergaulan semakin bebas
Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar, banyak kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, semakin tinggi tingkat pemantauan orangtua terhadap anak remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang menimpa remaja. Oleh sebab itu disamping komunikasi yang baik dengan anak, orangtua juga perlu mengembangkan kepercayaan anak pada orangtua.
(45)
Sedangkan menurut Bachtiar (2004), faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja, yaitu :
1. Pendidikan
Pendidikan yang rendah akan cenderung melakukan seks pranikah dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi dan berprestasi. Jika melihat tingkat pendidkan subjek, dapat dikatakan subjek yang tinggal di kota memiliki pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan di desa sehingga kemungkinan untuk melakukan seks pranikah lebih besar dilakukan oleh remaja yang tinggal di desa. .
2. Sosial Ekonomi
Individu dengan tingkat ekonomi rendah akan cenderung melakukan seks pranikah agar pasangan dapat memenuhi segala sesuatu yang dibutuhkan.
3. Pengaruh teman
Pengaruh teman memang sangat kuat, individu yang berteman dengan banyak orang yang melakukan perilaku seks pranikah akan lebih cenderung melakukan perilaku yang sama juga.
Faktor yang menyebabkan perilaku seks pranikah pada remaja menurut Gunarsa (2004), yaitu :
1. Peluang/ Kesempatan Waktu
Dengan adanya waktu luang yang tidak bermanfaat maka lebih mudah menimbulkan adanya pergaulan bebas, dalam arti remaja mementingkan
(46)
hidup bersenang-senang, bermalas-malas, berkumpul-kumpul sampai larut malam yang akan membawa remaja pada pergaulan bebas.
2. Pengaruh Norma Budaya dari Luar
Remaja menelan begitu saja apa yang dilihatnya dari budaya barat yang cenderung melakukan perilaku seks bebas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual menurut Suryoputro (2006), Sarwono (2010), dan Pangkahila (2005) antara lain Faktor internal yang terdiri dari hormonal atau dorongan seksual, pengetahuan seksual yang dimiliki remaja, citra diri, ajaran agama yang diyakini, dan tingkat pengendalian diri. Sementara faktor eksternal yang terdiri dari penundaan usia perkawinan, tingkat perkembangan teknologi dan informasi, sikap orangtua dan pendidikan seksual yang diajarkan orangtua kepada anaknya, serta norma dan nilai yang berlaku dalam lingkungan sosial bermasyarakat.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah ialah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dalam bentuk bersentuhan, berciuman, bercumbu, maupun berhubungan kelamin dan dilakukan di luar ikatan pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama.
F. REMAJA YANG TINGGAL DI DESA DAN DI KOTA
Menurut Louis Wirth (Ansy’ari, 1993), kota adalah pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen
(47)
kedudukan sosialnya. Sehingga remaja yang tinggal di kota ialah individu usia remaja yang tinggal dipemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya
Ciri-ciri fisik kota antara lain, tersedianya tempat-tempat untuk pasar dan pertokoan, tersedianya tempat-tempat untuk parkir, terdapatnya sarana rekreasi dan sarana olahraga, penataan perumahan dan ruang luar melalui hasil perencanaan, penentuan wilayah teratur, pembangunan secara vertikal keatas, bangunan padat, penduduk padat, penentuan wilayah teratur.
Masyarakat kota merupakan yang tinggal di daerah dekat dengan pusat pemerintahan, untuk daerah Yogyakarta, berarti semakin dekat dengan Kraton, maka berarti ia tinggal di kota. Ciri-ciri masyarakat perkotaan antara lain; dapat mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, pembagian kerja yang lebih tegas dan memiliki batas yang nyata, kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lebih banyak, dan perubahan tampak lebih nyata karena kota biasanya lebih terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.
Menurut Landis (Ansy’ari, 1993), Desa merupakan wilayah yang berpenduduk kurang dari 2500 jiwa dengan ciri-ciri pergaulan hidup yang saling mengenal, mempunyai pertalian perasaan, cara penghidupannya agraris terpengaruh alam dan iklim dan memiliki pekerjaan sambilan non agraris. Sehingga remaja yang tinggal di desa ialah individu usia remaja yang tinggal diwilayah yang berpenduduk kurang dari 2500 jiwa dengan ciri-ciri pergaulan hidup yang saling mengenal, mempunyai pertalian perasaan, cara
(48)
penghidupannya agraris terpengaruh alam dan iklim dan memiliki pekerjaan sambilan non agraris
Ciri-ciri desa adalah sebagai berikut; mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal jauh dengan pusat pemerintahan, untuk daerah Yogyakarta, berarti semakin jauh dengan Kraton, maka berarti ia tinggal di desa. Masyarakat desa memiliki ciri-ciri; lebih cenderung saling tolong menolong, memiliki pekerjaan sebagai petani, fasilitas masih sulit ditemukan, warganya masih sulit untuk menerima hal
(49)
G. PERBEDAAN SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI KOTA DAN DI DESA
Ketersediaan lembaga pendidikan berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lain. Di wilayah kota, ketersediaan lembaga pendidikan lebih banyak dan lebih berkualitas dari pada di desa. Hal ini berakibat pada individu usia anak-anak hingga remaja yang tinggal di kota memiliki lebih banyak kesempatan untuk menempuh pendidikan yang semestinya. Berbeda dengan individu usia anak-anak hingga remaja yang tinggal didesa, karena ketersediaan lembaga pendidikan yang terbatas, maka tidak mengherankan juga sebagian dari mereka tidak mampu menempuh pendidikan yang semestinya hingga harus putus sekolah. Seperti yang kita ketahui, bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pembentukan sikap seseorang, karena pemahaman baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan diperoleh dari lembaga pendidikan dimana kita belajar. Hal ini juga berlaku pada sikap individu terhadap perilaku seksual. Pemahaman baik buruknya perilaku seksual yang dilakukan sebelum menikah dapat diberikan melalui pendidikan yang diterimanya. Bahkan Dewi (2009) yang meneliti mengenai perilaku seksual pranikah pada remaja di SMA Negeri 1 Baturraden dan SMA Negeri 1 Purwokerto, menemukan bahwa jumlah remaja SMA Negeri 1 Purwekerto yang melakukan perilaku seksual seksual pranikah lebih sedikit dibandingkan dengan SMA Negeri 1
(50)
tentang kesehatan reproduksi remaja saat awal masuk sekolah di SMA Negeri 1 Purwokerto.
Selain itu, ketika remaja dapat menempuh pendidikan yang semestinya, ia memiliki wadah untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga semua dorongan-dorongan yang ada di dalam dirinya, termasuk dorongan seksual yang sedang menggebu di usia remaja tersalurkan melalui lembaga pendidikan. Kegiatan remaja dalam mengisi waktu luang berpengaruh terhadap perilaku seksual (Dewi, 2009), misalnya melalui kegiatan ekstrakulikuler. Dengan tidak ada waktu lagi untuk melakukan hal-hal yang mungkin tidak berguna atau berakibat pada buruknya masa depannya kelak, maka tenaga dan pikiran mereka hanya akan habis untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Hal ini juga berlaku untuk sikap mereka terhadap perilaku seksual, ketika waktu dan tenaga mereka disalurkan untuk belajar dan kegiatan ekstrakulikuler, maka akan berpengaruh pada sikap mereka, khususnya terhadap perilaku seksual.
Di era yang semakin modern ini, lembaga pendidikan juga tidak hanya bertugas untuk memberikan ilmu pengetahuan lewat pelajaran sekolah saja. Lembaga pendidikan juga dituntut untuk memberikan pengetahuan moral. Moralitas inilah yang nantinya juga akan berpengaruh pada sikap seseorang. Selain itu, saat ini lembaga pendidikan dituntut untuk update mengenai issue-issue yang berkembang di dunia anak dan remaja. Lembaga pendidikan yang ada di kota pastinya lebih mudah mengakses issue-issue tersebut sehingga dapat memberikan pengarahan yang baik pada anak didiknya. Sementara
(51)
untuk lembaga pendidikan yang berada di desa lebih sulit karena keterbatasan media untuk mengakses informasi terbaru sehingga tenaga pendidik mereka pun tidak bisa membagi informasi-informasi terbaru kepada anak didik dan dapat berakibat pada anak dan remaja desa mencari sendiri informasi-informasi yang ingin mereka ketahui, misalnya mengenai perilaku seksual. Dan ketika mereka mencari sendiri tanpa ada pengarahan dapat berakibat pada munculnya suatu bentuk dukungan terhadap perilaku seksual pranikah karena menganggap hal tersebut sudah lumrah dilakukan di era yang semakin modern seperti sekarang ini.
Sebagian besar orangtua mungkin mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan anak-anaknya yang berkaitan dengan seks, sehingga pertanyaan tersebut cenderung dialihkan ke hal-hal yang kurang rasional sehingga remaja semakin gencar mengejar pertanyaan yang lebih rumit. Seiring dengan berkembangnya remaja baik secara fisik, psikis, maupun sosial, remaja berusaha mencari dan mencoba serta ingin diakui jati dirinya (Davidson & Neale, 1990). Apabila pada masa tersebut kurang atau bahkan tidak mendapatkan arahan dari orangtuanya, maka dikhawatirkan terjadi perilaku mencoba dan meniru yang tidak sesuai dengan aturan masyarakat, apalagi mengingat bahwa keluarga adalah tempat dimana anak menghabiskan waktu
Perubahan – perubahan perilaku pada remaja sebenarnya dapat dimaklumi bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan
(52)
berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja desa berusaha untuk mengikuti berbagai atribut perilaku maupun gaya hidup yang sedang trend.
Di era globalisasi sekarang ini, memungkinkan para remaja dengan mudah mendapatkan sajian tontonan, bacaan dan lain sebagainya mengenai seks. Informasi tentang seks di kalangan remaja yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut ada yang tidak sesuai dengan budaya atau norma ketimuran yang berlaku di Indonesia. Menurut Wimpie Pangkahila, 1997, sejak lebih dari satu dekade ini telah terjadi perubahan pandangan dan perilaku seks di kalangan remaja yang ditunjukkan dengan hasil penelitian adanya perubahan tersebut. Pola pergaulan menjadi semakin bebas yang didukung oleh fasilitas, aktivitas seksual mudah dilakukan, bahkan mudah berlanjut ke hubungan seksual. Hal ini semakin dibuktikan dengan kebanyakan para pelaku seks pranikah melakukan hubungan seks dengan pasangan di rumah dengan pengawasan ketat dari orangtua (Prawestri, 2012)
Ironisnya, disisi lain masyarakat khususnya masyarakat desa belum bisa menerima pembicaraan masalah seks secara terang-terangan dalam kalangan remaja, para remaja tersebut masih terbatas bisik-bisik antara teman, membaca buku, maupun menonton film porno karena menganggap masih tabu. Hal ini diperparah dengan fasilitas lembaga pendidikan yang kurang sehingga para remaja tersebut mendapatkan informasi mengenai seks bukan dari sumber yang tepat dan bertanggungjawab.
(53)
Tuntutan dan fasilitas yang tersedia di lingkungan masyarakat saat ini membuat para remaja beranggapan bahwa perilaku seks pranikah sudah merupakan tren di kalangan remaja dimana situasi tempat tinggal memberikan kebebasan didukung dengan pergaulan teman yang berkontribusi besar dalam perilaku seks pranikah (Pawestri, 2012). Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun pada kenyataannya tindakan dan perilaku mereka banyak dipengaruhi oleh tekanan teman sebaya (Conger, 1991).
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowitz, 1972, dalam Azwar, 2005)
Skema I
Perbedaan Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual antara yang Tinggal di Desa dan di Kota
Daerah Tempat Tinggal Remaja
Kota Desa
- Pendidikan
Fasilitas pendidikan bervariasi, Pendidikan seksual diajarkan di sekolah
- Pola Asuh Orangtua
Orangtua beranggapan pendidikan seksual bukan hal yang tabu
- Pendidikan
Fasilitas pendidikan terbatas, Pendidikan seksual kurang/ tidak diajarkan di sekolah - Pola Asuh Orangtua
Orangtua beranggapan
(54)
hal tabu
Keingintahuan mengenai seksual terarah dan ada pembimbing
Keingintahuan mengenai seksual tidak terarah dan tidak ada yang
membimbing
Kurang mendukung perilaku seksual Lebih mendukung perilaku seksual
H.HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini ialah: Ada perbedaan sikap yang signifikan terhadap perilaku seksual antara remaja desa dan remaja kota.
(55)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini ialah penelitian komparatif, yaitu penelitian yang berbentuk perbandingan dari dua sampel atau lebih ( Suryabrata, 2002). Penelitian bertujuan untuk melihat perbedaan sikap antararemaja desa dan kota terhadap perilaku seksual.
B. VARIABEL PENELITIAN
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sikap remaja terhadap perilaku seksual.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah remaja yang tinggal didesa dan remaja yang tinggal dikota.
C. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional dari variabel dalam penelitian ini ialah : 1. Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual
Sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah adalah suatu bentuk evaluasi baik mendukung atau memihak (favorable) maupun tidak memihak (unfavorable) terhadap segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dalam bentuk bersentuhan, berciuman, bercumbu, maupun berhubungan kelamin dan
(56)
dilakukan di luar ikatan pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama.
Skala sikap remaja terhadap perilaku seksual pranikah disusun berdasarkan struktur sikap Azwar (2005) dan perilaku seksual menurut Kinsey et al (1965). Struktur sikap menurut azwar terdiri dari afektif, kognitif, dan konatif. Sementara perilaku seksual menurut Kinsey et al (1965) terdiri dari bersentuhan, berciuman, petting, dan sexual intercourse.
Skala sikap tersebut akan diukur dengan menggunakan model Summated Rating Methode. Skor total yang diperoleh subjek dari hasil skala akan menunjukkan sikap subjek terhadap perilaku seksual. Semakin tinggi skor yang diperoleh dari skala akan menunjukkan bahwa sikap subjek semakin mendukung perilaku seksual pranikah, sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh skala akan menunjukkan bahwa sikap subjek semakin tidak mendukung perilaku seksual pranikah.
2. Subjek Remaja Bertempat Tinggal Di Desa dan Di Kota a. Remaja yang tinggal di kota
Remaja yang tinggal di kota ialah individu usia 12 hingga 21 tahun yang tinggal dipemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.
(57)
b. Remaja yang tinggal di desa
Remaja yang tinggal di desa ialah individu usia usia 12 hingga 21 tahun yang tinggal diwilayah yang berpenduduk kurang dari 2500 jiwa dengan ciri-ciri pergaulan hidup yang saling mengenal, mempunyai pertalian perasaan, cara penghidupannya agraris terpengaruh alam dan iklim dan memiliki pekerjaan sambilan non agraris.
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ialahindividu berusia 15 hingga19 tahun, sedang menempuh pendidikan formal, bertempat tinggal di daerah perkotaan (dekat dengan pusat pemerintahan atau kraton jogjakarta) dan yang bertempat tinggal di desa (jauh dari pusat pemerintahan atau kraton jogjakarta).Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive
sampling. Metode purposive sampling ialah metode sampling yang
dilakukan dengan cara memilih sekelompok subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai keterkaitan erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004).
Kriteria subjek untuk penelitian ini antara lain remaja laki-laki dan perempuan, berusia antara 15 sampai 19 tahun dan tidak terikat hubungan pernikahan.
(58)
E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kuantitatif.Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah skala.Skala yang digunakan adalah skala gambaran perilaku seksual, dan mengacu pada metode summated rating atau lebih dikenal dengan skala
Likert.
Tabel 1
Kisi-Kisi Sebaran Item Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual (untuk Uji Coba)
Variable
Kognitif Afektif Konatif
Favourab le Unfavoura ble Favourab le Unfavoura ble Favourab le Unfavour able Touching
39, 42 27 50 8
Kissing
36, 48 16 2, 19 22, 49 11, 33 57
Petting
4, 24 9, 13 51 12, 35 7, 52 46
Sexual Intercour se 6, 10, 18, 25, 58 17, 21, 30, 32, 34, 44 29, 31, 37, 45, 53, 59 1, 15, 23, 26, 40, 54, 55 5, 20, 28, 47, 56 3, 14, 38, 41, 43, 60
Skala sikap akan diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas yang ada.
(59)
F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
Skala sikap terdiri dari 60 item yang terbagi dalam 2 bentuk pernyataan, yaitu favourable dan unfavourable.Item favourable
merupakan item yang mendukung perilaku seksual pranikah, dan item
unfavourable merupakan item yang tidak mendukung perilaku seksual
pranikah.Penilaian setiap skala diberikan berdasarkan kategori 4 jawaban. Masing-masing item favourable akan diberi skor 4 untuk jawaban SS
(sangat sering), 3 untuk jawaban S (sering), 2 untuk jawaban J (jarang), dan 1 untuk jawaban TP (tidak pernah). Sebaliknya untuk item
unfavourable digunakan penilaian skor 1 untuk untuk jawaban SS (sangat
sering), 2 untuk jawaban S (sering), 3 untuk jawaban J (jarang), dan 4 untuk jawaban TP (tidak pernah).
1. Validitas Alat Ukur
Validitas seringkali dikonsepkan sebagai sejauhmana tes mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur (Azwar, 2003).Suatu alat ukur dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut mampu memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2001).Pada penelitian ini, pengukuran validitas alat tes dilakukan dengan menggunakan metode validitas isi, yaitu validitas yang
(60)
diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau professional judgement (Azwar, 2003).
Validitas isi yang dilakukan oleh peneliti ialah melalui
professional judgement, yaitu mengkonsultasikan setiap item
dengan orang yang ahli dan dipandang lebih memahami tentang hal yang diukur, dalam hal ini melalui dosen pembimbing. Peneliti membuat sendiri item-item untuk skala sikap ini dengan menggunakan teori sikap dan teori mengenai perilaku seksual kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.
2. Seleksi Item
Seleksi item dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi item total yang menghasilkan indeks daya beda item. Daya beda item yaitu kemampuan item dalam membedakan antara subjek yang memiliki atribut dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Cara penghitungannya yaitu dengan cara mengkorelasikan antara skor subjek pada item yang bersangkutan dengan skor total tes. Semakin tinggi korelasinya maka semakin tinggi daya beda itemnya (Azwar, 2001).
Pemilihan item dalam penelitian ini dilakukan terhadap item-item yang memiliki nilai rix ≤ 0,3. Ada 22 item yang memilikinilai rix ≤ 0,3, yaitu :
(61)
Tabel 2
Distribusi Item Sahih dan Gugur Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual
Variable Kognitif Afektif Konatif
Favourable Unfavourable Favourable Unfavourable Favourable Unfavourable
Touching
39, 42 27 50 8
Kissing
36, 48 16 2, 19 22, 49 11, 33 57
Petting
4, 24 9, 13 51 12, 35 7, 52 46
Sexual Intercourse
6, 10, 18, 25, 58
17, 21, 30, 32, 34, 44
29, 31, 37, 45, 53, 59
1, 15, 23, 26, 40, 54, 55
5, 20, 28, 47, 56
3, 14, 38, 41, 43, 60
Note : Item yang X adalah item yang gugur.
(62)
Tabel 3
Distribusi Item Sahih Skala Sikap Remaja terhadap Perilaku Seksual
Variable
Kognitif Afektif Konatif
Fav Unfave Fav Unfav Fav Unfav TOTAL
Touching
29, 30 19 37 4 5
Kissing
27, 35 10 13 16, 36 7, 25 42
9
Petting
1, 18 5 38 8 3, 39 33
8
Sexual Intercourse
2, 6, 12
9, 11, 15, 22, 24, 26
21, 23, 28, 32, 43 17, 40 14, 20, 34, 41 31, 44 22
TOTAL 9 8 8 5 9 5 44
3. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas merupakan keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, dan konsistensi hasil ukur. Suatu hasil ukur dapat dipercaya apabila dalam beberapakali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama menghasilkan angka yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah (Azwar, 2001).
(63)
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang memiliki retang angka 0,00 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas yaitu mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas alat ukur tersebut. Sebaliknya, jika angka reliabilitas mendekati angka 0,00 berarti semakin rendah reliabilitasnya.
G. Uji Asumsi
Sebelum melakukan pengujian hipotesis penelitian, penulis terlebih dahulu melakukan uji asumsi terhadap data dalam penelitian ini. Uji asumsi yang dilakukan ialah uji normalitas dan uji homogenitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran variable bebas dan variable tergantung bersifat normal atau tidak. Untuk membuktikannya, maka digunakan uji One-Sample
KolmogrovSmirnov. Suatu data dikatakan terdistribusi secara
normal jika nilai probabilitas (p) uji One-Sample
KolmogrovSmirnov> 0,05 dan sebaliknya jika nilai probabilitas (p)
uji One-Sample KolmogrovSmirnov < 0,05 maka data tersebut
tidak terdistribusi secara normal (Santoso, 2000)
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas ialah uji yang digunakan untuk mengetahui apakah variasi dari sampel yang akan diuji tersebut
(64)
sama jika nilai probabilitas (p) uji homogenitas > 0,05. Namun jika nilai probabilitas (p) uji homogenitas < 0,05 maka variasi data yang didapat dinyatakan tidak memiliki variasi yang sama.
H. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif berdasarkan jawaban subjek yang diperoleh dari skala sikap. Uji asumsi yang dipakai ialah uji normalitas dan uji homogenitas. Setelah uji asumsi dilakukan, maka pengujian hipotesis dapat dilakukan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t. Alasannya ialah karena penelitian ini hanya melihat perbedaan sikap remaja terhadap perilaku seksual antara remaja yang tinggal di desa dengan yang tinggal di kota. Uji-t merupakan suatu cara untuk membandingkan dua kelompok subjek dengan mencari perbedaan mean antara sifat atau keadaan tingkah laku kedua kelompok tersebut (Hadi, 2004). Metode yang digunakan untuk menganalisis uji-t adalah dengan menggunakan program uji independent sample t-testdari
(65)
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian diawali dengan proses tryout skala yang dilakukan mulai tanggal 10 Oktober 2014 sampai 12 November 2014. Setelah data tryout terkumpul sebanysk 60 skala, peneliti mulai melakukan analisis untuk menentukan item-item mana saja yang sahih dan dapat dimasukkan dalam skala penelitian.
Penelitian sendiri dilakukan pada tanggal 27 Januari 2015 hingga 7 Februari 2015. Skala disebar dengan cara peneliti langsung memberikan skala kepada remaja yang sudah dikenal oleh peneliti dan menitipkan skala ke kerabat peneliti yang berusia remaja untuk diisi oleh teman-temannya, sehingga peneliti tidak bisa mengawasi secara langsung pengisian skala tersebut.
Peneliti mempersiapkan 100 skala untuk diisi, namun hanya kembali ke peneliti sebanyak 83 skala. Namun dari 83 skala yang sudah terisi tersebut, peneiliti hanya bisa menganalisis 72 skala karena ada 6skala yang itemnya tidak terjawab semua dan 5 skala yang tidak terisi data tempat tinggal subjek.
(66)
B. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN Tabel 4
Tabel Deskripsi Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini berjumlah 72 orang, yang terdiri dari 33 perempuan dan 39 laki-laki. Usia subjek berkisar antara 15-18 tahun. Usia subjek 15 tahun berjumlah 15 orang, dari desa sebanyak 12 orang sedangkan dari kota sebanyak 3 orang. Usia subjek 16 tahun berjumlah 12 orang, sebanyak 10 orang berasal dari desa dan selebihnya 2 orang dari kota. Rentang usia 17 tahun berjumlah paling banyak yaitu 30 orang, sebanyak 14 orang dari desa dan 16 orang dari kota. Usia paling tua 18 tahun dengan jumlah 15 orang yang terdiri 5 orang dari desa dan 10 orang lainnya dari kota. Dari 33 orang perempuan tersebut, 15 orang diantaranya bertempat tinggal di desa dan sisanya sebanyak 18 orang bertempat tinggal di kota. Sedangkan dari 39 orang laki-laki yang menjadi subjek penelitian,
V a r i a b e l D e s a K o t a J u m l a h Jenis kelamin L a k i - l a k i 26 orang 13 orang 3 9 o r a n g Perempuan 15 orang 18 orang 3 3 o r a n g U m u r 1 5 t a h u n 12 orang 3 o r a n g 1 5 o r a n g 1 6 t a h u n 10 orang 2 o r a n g 1 2 o r a n g 1 7 t a h u n 14 orang 16 orang 3 0 o r a n g 1 8 t a h u n 5 o r a n g 10 orang 1 5 o r a n g
(67)
26 orang bertempat tinggal di desa dan 13 orang sisanya bertempat tinggal di kota. Tempat tinggal subjek di desa diantaranya ialah Bantul, Mlati, Tempel, Piyungan, Minggir, Banguntapan, Samigaluh, Kenteng, Pleret, Sewon, Godean, Ngemplak, Tamanmartani, Berbah, Ngaglik, Secang, dan Prambanan. Sementara subjek yang bertempat tinggal di kota tempat tinggalnya antara lain di Prawirodirjan, Taman, Gowongan, Umbulharjo, Gedongtengen, Sutopadan, Wirobrajan, Jetis, Tegalrejo, Kuncen, Gejayan.
C. DESKRIPSI DATA PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah diolah menggunakan program SPSS, diperoleh deskripsi statistik yang dapat dilihat pada tabel dibawah,
Tabel 5
Tabel Deskripsi Data Subjek Penelitian
Mean Teoritik 110 Sig (2-tailed)
Mean Empirik - Remaja Desa - Remaja Kota
99,46 0,000
78,45 0,000
Berdasar data diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata skor remaja kota ialah 78,4516. Sedangkan rata-rata skor subjek remaja desa adalah 99,4634. Sedangkan mean teoritik yang didapat ialah 110. Standar deviasi yang diperoleh dari skor remaja kota sebesar 16,66448 sedangkan remaja desa sebesar 21,73605.
(68)
1. UJI ASUMSI a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan bersalah dari kelompok distribusi normal. Hasil uji normalitas diperlihatkan pada table berikut,
Tabel 6
Hasil Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Remaja Kota RemajaDesa
N 31 41
Normal Parametersa,b Mean 78.4516 99.4634 Std. Deviation 21.73605 16.66448 Most Extreme Differences Absolute .149 .070
Positive .149 .070
Negative -.103 -.049
Test Statistic .149 .070
Asymp. Sig. (2-tailed) .077c .200c,d
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test, dapat dilihat bahwa hasil test statistic Remaja Kota sebesar 0,149 sementara remaja desa sebesar 0,070. Kedua hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai p lebih dari 0,05 sehingga dapat disimpulakn bahwa distribusi skor sikap remaja terhadap perilaku seksual berdistribusi normal.
(69)
b. Uji Homogenitas
Uji Homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa data sampel berasal dari populasi yang memiliki variasi yang sama. Berdasarkan uji homogenitas, diperoleh p = 0,263. Kedua varian populasi dikatakan homogen apabila p > 0,05, maka dari hasil yang diperoleh menunjukan bahwa varian populasi homogen.
2. UJI HIPOTESIS
Uji t digunakan untuk mengetahui bagaimana perbedaan sikap remaja terhadap perilaku seksual antara remaja desa dengan remaja kota. Uji t dalam penelitian ini menggunakan uji one sample t-test dengan teknik komputerisasi SPSS. Hasilnya dapat dilihat melalui tabel berikut,
Tabel 7
Hasil Uji Hipotesis dengan Independent Sample Test
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed) Mean Differenc e Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper Nilai Equal variances
assumed 1.275 .263
-4.645 70 .000
-21.01180 4.52323
-30.03311 -11.99050 Equal variances
not assumed
-4.478 54.515 .000
-21.01180 4.69189
(1)
oleh orang lain.
24 Keperjakaan sampai saatnya menikah merupakan hal penting bagi saya.
25 Saya akan mencium kekasih saya, walaupun dia tidak meminta.
26 Saya yakin bahwa jika melakukan hubungan intim sebelum menikah akan
beresiko tertular penyakit menular seksual.
27 Saya setuju bahwa berciuman dengan kekasih merupakan bukti cinta yang
nyata.
28 Saya akan menyerahkan keperawanan atau keperjakaan saya bila saya
yakin bahwa pacar saya adalah pendamping terbaik untuk saya 29 Bergandengan dengan pacar pada saat kencan sah-sah saja
30 Berpelukan dengan pacar saat kencan sah-sah saja
31 Masyarakat perlu memperhatikan hubungan sepasang remaja supaya
hubungan intim diluar pernikahan tidak terjadi
32 Saya rasa, berpacaran tidak usah terlalu mempedulikan norma-norma yang
ada
33 Remaja yang suka bercumbu (menyentuh area genital) tidak selalu
bermoral jelek.
34 Berhubungan seks akan tetap saya lakukan meskipun dilarang oleh norma
dan agama
35 Berciuman dengan pacar saat kencan sah-sah saja
36 Saya merasa cemas jika pacar saya meminta untuk menciumnya.
37 Saya ingin sekali mengikuti saran teman untuk menggandeng pacar saat
jalan berdua.
38 Saya merasa senang sekali jika suatu saat nanti, pacar saya meminta untuk
bercumbu (menyentuh area genital).
39 Jika ada kesempatan untuk saya dan pacar untuk melakukan bercumbu
(menyentuh area genital), saya akan memanfaatkannya.
40
Saya merasa senang apabila bisa menjaga kepercayaan orangtua dan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan amoral, seperti berpacaran
dengan melakukan hubungan intim
41 Walaupun Keluarga saya melarang seseorang berhubungan seks sebelum
menikah, saya tetap akan melakukannya
42 Walaupun jaman sekarang semakin banyak remaja yang berciuman dengan
(2)
43 Saya lebih senang berteman dengan orang-orang yang mendukung
pergaulan seks bebas
44 Hubungan seks yang dilakukan dengan siapapun sebelum menikah,
(3)
SELEKSI ITEM DAN RELIABILITAS I
UJI NORMALITAS
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Remaja Kota RemajaDesa
N 31 41
Normal Parametersa,b Mean 78.4516 99.4634
Std. Deviation 21.73605 16.66448 Most Extreme Differences Absolute .149 .070 Positive .149 .070 Negative -.103 -.049 Test Statistic .149 .070 Asymp. Sig. (2-tailed) .077c .200c,d
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
UJI RELIABILITAS
Case Processing Summary
N % Cases Valid 72 100.0
Excludeda 0 .0
Total 72 100.0 a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on Standardized
Items N of Items .940 .943 44
(4)
SELEKSI ITEM
Summary Item Statistics
Mean Minimum Maximum Range
Maximum /
Minimum Variance N of Items Item Means 2.055 1.514 3.042 1.528 2.009 .131 44
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple Correlation
Cronbach's Alpha if Item Deleted VAR00001 87.9583 435.111 .678 . .937 VAR00002 88.4306 445.122 .572 . .938 VAR00003 88.6944 446.835 .550 . .939 VAR00004 88.1806 493.389 -.598 . .948 VAR00005 87.8750 456.167 .173 . .942 VAR00006 88.7083 439.421 .647 . .938 VAR00007 88.1250 436.280 .706 . .937 VAR00008 88.3194 445.178 .510 . .939 VAR00009 88.3194 446.784 .423 . .939 VAR00010 88.1250 453.040 .273 . .941 VAR00011 87.8889 444.889 .485 . .939 VAR00012 88.5833 437.739 .750 . .937 VAR00013 88.3472 442.004 .651 . .938 VAR00014 88.5417 435.435 .758 . .937 VAR00015 88.5417 441.435 .571 . .938 VAR00016 88.6528 446.681 .515 . .939 VAR00017 88.6806 454.671 .315 . .940 VAR00018 88.3750 442.548 .548 . .938 VAR00019 87.3750 452.576 .315 . .940 VAR00020 88.4306 438.361 .686 . .937 VAR00021 88.6528 437.272 .691 . .937 VAR00022 88.8472 448.216 .450 . .939 VAR00023 88.5972 446.779 .493 . .939 VAR00024 88.9028 448.343 .495 . .939 VAR00025 88.2778 443.189 .605 . .938 VAR00026 88.6111 447.649 .533 . .939
(5)
VAR00027 88.3056 437.708 .691 . .937 VAR00028 88.4306 438.474 .650 . .938 VAR00029 87.4722 453.605 .286 . .940 VAR00030 87.7778 442.091 .535 . .939 VAR00031 88.7917 444.590 .553 . .938 VAR00032 88.6944 441.567 .712 . .938 VAR00033 87.9722 486.985 -.519 . .946 VAR00034 88.7639 440.690 .723 . .937 VAR00035 88.1944 435.173 .684 . .937 VAR00036 87.9861 440.211 .603 . .938 VAR00037 87.9583 455.674 .259 . .940 VAR00038 88.3611 436.206 .682 . .937 VAR00039 88.5278 434.591 .725 . .937 VAR00040 88.4444 443.208 .518 . .939 VAR00041 88.8333 444.000 .629 . .938 VAR00042 88.1528 440.131 .669 . .938 VAR00043 88.8333 448.901 .549 . .939 VAR00044 88.3750 434.717 .674 . .937
T-TEST
Group Statistics
Kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Nilai REMAJA KOTA 31 78.4516 21.73605 3.90391
REMAJA DESA 41 99.4634 16.66448 2.60255
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed) Mean Differenc e Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Nilai Equal variances
assumed 1.275 .263
-4.645 70 .000
-21.01180 4.52323
-30.03311 -11.99050
Equal variances not assumed
-4.478 54.515 .000
-21.01180 4.69189
(6)