Pengukuran Fungsi Kognitif Penatalaksanaan Gangguan Fungsi Kognitif

Lauder, 2005; Issealbacher, et al, 2006; Ganong, 2012.

2.2.7 Pengukuran Fungsi Kognitif

Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif, antara lain Mini Mental State Examination MMSE dan Montreal Cognitive Assessment Versi Indonesia MoCA-Ina. Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan adalah MoCA-Ina yang bertujuan mengukur berbagai fungsi kognitif, seperti: ruang dan bentuk, daya ingat, atensi, kemampuan berbahasa, abstraksi, dan sebagainya. Tes MoCA versi Indonesia telah divalidasi oleh Husein, Lumempouw, Ramli, dan Herqutanto Departemen Neurologi, Universitas Indonesia dan menunjukkan skor validitas yang tinggi yaitu 80 EL Rhino Global Reseacrh and Development, 2012. Hal yang sama ditemukan oleh Panentu 2013, yang mengatakan MoCA-Ina valid dan reliabel untuk pemeriksaan kognitif pada pasien pasca stroke fase pemulihan. MoCA adalah alat skrining baru yang dirancang untuk mengatasi keterbatasan MMSE yang kurang sensitif mendeteksi Mild Cognitive Impairment MCI. Menurut laporan Nasreddine, et al, 2005, dengan batas skor 26, MMSE memiliki tingkat sensitivitas sebesar 18 untuk mendeteksi MCI, sedangkan MoCA sebesar 90 dari subyek MCI. Pada grup attention disorder AD, MMSE memiliki tingkat sensitivitas sebesar 78, sedangkan MoCA mendeteksi sebesar 100.

2.2.8 Penatalaksanaan Gangguan Fungsi Kognitif

Penuaan dan penyakit degeneratif pada dasarnya tidak dapat dihentikan karena merupakan proses alamiah dari siklus kehidupan manusia. Namun berbagai studi berbasis ilmiah telah menunjukkan berbagai fakta bahwa ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperlambat proses penuaan yang terjadi pada otak. Fakta-fakta tersebut dijadikan landasan untuk membuat program kegiatan lansia di komunitas, sehingga kegiatan lansia yang dilakukan rutin tersebut dapat bermanfaat untuk menstimulasi otak dan memperlambat kemunduran fungsi otak Kemenkes, 2013. Kegiatan yang dapat memberikan stimulasi otak dibagi menjadi tiga kegiatan utama, seperti aktivitas fisik, stimulasi mental, dan aktivitas sosial. 1. Aktivitas fisik Melakukan aktivitas fisik dapat memberikan stimulasi pada otak, dan dengan melakukan olahraga secara teratur dapat meningkatkan protein di otak yang disebut Brain Derived Neurotrophic Factor BDNF. Protein BDNF ini berperan penting menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat, sehingga bila kadar BDNF rendah dapat menyebabkan penyakit kepikunan. Fakta inilah yang yang menjelaskan bahwa lansia yang melakukan banyak aktivitas fisik yang menyenangkan memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan lansia yang cenderung diam dan kurang aktivitas Kemenkes, 2013 Santoso dan Rohmah 2011 melaporkan bahwa gangguan gerak secara bermakna mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Salah satu kegiatan yang dapat memberikan stimulasi otak adalah dengan melakukan brain gym atau senam otak. Brain gym adalah suatu latihan gerak yang digunakan untuk memudahkan dan membantu kegiatan belajar, serta penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari. 2. Stimulasi mental Memberikan stimulasi mental secara terus-menerus dengan berbagai aktivitas otak dapat memperbaiki dan menjaga hubungan antar sel-sel otak, sehingga terdapat cadangan fungsi kognitif untuk lansia. Aktivitas yang dapat menstimulasi mental seperti permainan puzzle, membuat kerajinan tangan, mengisi teka teki silang, diskusi, dan bernyanyi Kemenkes, 2013. 3. Aktivitas sosial Lansia yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan interaksi dengan orang lain, diketahui memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dibandingkan lansia yang tidak aktif dalam aktivitas sosial. Hal ini sesuai dengan teori aktivitas, dimana melalui berbagai aktivitas dalam kegiatan sosial dapat membantu menstimulasi fungsi kognitif. Dengan melakukan aktivitas sosial maka akan timbul adanya keterikatan sosial. Keterikatan sosial meliputi pemeliharaan dan pembinaan berbagai hubungan sosial, serta partisipasi aktif dalam kegiatan sosial dapat mencegah penurunan fungsi kognitif pada lansia Kemenkes, 2013. Seseorang yang mulai tua akan berefek pada menurunya aktivitas. Penurunan aktivitas akan mengakibatkan kelemahan serta atropi pada otot sehingga dapat menyebabkan kesulitan untuk mempertahankan serta menyelesaikan suatu masalah. Santoso dan Rohmah 2011 melaporkan tidak ada hubungan antara usia dan fungsi kognitif yang signifikan, tetapi terdapat hubungan yang signifikan antara umur dan gangguan gerak, dimana gangguan gerak secara bermakna mempengaruhi fungsi kognitif seseorang. Jadi jelas bahwa, untuk mempertahankan fungsi kognitif tetap optimal dan mengatasi gangguan fungsi kognitif dapat dilakukan melakukan latihan gerak. Ada berberapa latihan gerak yang diteliti pengaruhnya terhadap fungsi kognitif, seperti senam vitalisasi otak, senam lansia, dan brain gym atau senam otak. Brain gym adalah senam otak yang digunakan untuk memudahkan dan membantu kegiatan belajar dan penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari Muhammad, 2013.

2.3 Brain Gym