Dasar Hukum Mahar Mahar dalam perspektif hadis

14 Nihlah yang berasal dari rumpun kata an-Nahl mempunyai arti yang sama dengan mahar, dalam Tafsir Al-Azhar dimaknai sebagai lebah. Lebah diibaratkan sebagai seorang laki-laki yang mencari harta yang halal, laksana seekor lebah mencari kembang, yang kelak akan menjadi madu manisan le bah,‟ dari hasil jerih payah itulah, yang nantinya akan di berikan kepada calon istri sebagi pertanda ketulusan. 18 Mahar bukan hanya sejumlah uang, harta dan barang-barang lainnya, sebagaimana lahirnya, tetapi mahar adalah suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta seorang laki-laki, kerena itulah mahar juga dinamakan dengan shidaq kebenaran. Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar, tetapi dengan sarana ini ia dapat mengetahui ketulusan hati seorang laki-laki, yang mampu menciptakan sebuah sarana yang sesuai bagi wanita agara wanita tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Inilah salah satu falsafah mahar. 19 Jadi makna mahar dalam sebuah pernikahan, lebih dekat kepada syariat agama dalam rangka menjaga kemuliaan peristiwa nan suci, pemberian mahar merupakan ungkapan tanggung jawab kepada Allah SWT sebagai Asy- Syari ‟ pembuat aturan, dan kepada wanita yang akan dinikahi, sebagai teman hidup dalam meniti kehidupan rumah tangga. 20

B. Dasar Hukum Mahar

18 Hamka, Tafsir sl-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982, Cet. Ke I, Juz III, h 260 19 Ibrahim Amini, kiat Memilih Jodoh: Menurut al- Qur‟an dan Sunnah, Penerjemah: Muhammad Taqi, Jakarta: Lentera, 1994, Cet. Ke-I, h. 157 20 M. Fandzil Adhim, Kupinang Kau dengan Hamdallah, Yogyakarta ,Mitra Pustaka, 1998, Cet. Ke-4, h. 195 15 Para ulama Fiqh ‟ telah menyepakati bahwa hukum memberi mahar atau maskawin itu adalah wajib. Hal ini berdasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Dalam surat An- Nisa‟ ayat 4 di sebutkan:                Artinya: “Dan berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya”. 21 Dilihat dilalah dari ayat di atas bahwa Allah Swt telah memerintahkan, pada suami-suami untuk membayar mahar pada istrinya. Kerena perintah tersebut tidak disertai dengan qarinah yang menunjukkan kepada hukum sunat atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar wajib bagi suami untuk dberikan kepada istrinya, karena tidak ada qarniah yang menyimpang dari makna wajib kepada makna yang lain. Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna Al- Faridhah Al-Wajibah ketentuan yang wajib. Dengan begitu, makna ayat adalah: “Dan berikanlah kepada wanita istri-mu mahar sebagai sebuah ketentuan yang wajib ”. Pemberian tersebut juga sebagai tanda eratnya hubungan dan cinta yang mendalam, disamping jalinan yang seharusnya menaungi rumah 21 Departemen Agama RI, 1989 16 tangga yang mereka bina. Namun demikian, seandainya istri merasa suka atau rela memberikan kepada suaminya sesuatu dari maharnya tanpa merasa dirugikan dan tanpa unsur paksaan atau tipuan, maka suami boleh mengambil atau meggunakan pemberian itu dengan senang hati dan tidak ada dosa bagi suami untuk mengambil serta menerimannya. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya kedudukan seorang wanita dengan memberikan hak kepadanya, di antaranya yaitu hak untuk menerima maskawin. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa saja, meskipun sangat dekat hubung dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, bahkan oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan istri sendiri. Di kalangan masyarakat, telah menjadi suatu tradisi yang dijalankan secara turun menurun yaitu, bahwa mereka tidak cukup hanya dengan pemberian makhar saja tetapi diberengi pula dengan anekaragam hantaran hadiah lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain-lain sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya. Allah SWT berfirman dalam Surat An- Nisa‟ ayat 20:                   17 “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain 22 , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata. Firman-Nya lagi dalam surat An-Nisa ayat 21            . “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka isteri-isterimu telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa mahar ini wajib diberikan kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata “mahar”.Ia merupakan jalan yang menjadikan istri senang hatinya dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya, seperti firman Allah SWT seperti berikut:                                                22 Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan. 18 “Artinya Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki 23 Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapan-Nya atas kamu.dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian 24 yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu 25 . Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Al- istimta‟ dalam ayat di atas artinya bersenang-senang dan Al-ita‟ mencangkup pengertian memberikan dan mengharuskan. Sedang Al-ujur bisa diartikan dengan mahar 26 Mahar dinamakan dengan ajr upah, karena ia merupakan upah atau imbalan dari kesediaan berenang-senang. Manfaat dan kesenangan yang diperoleh seorang laki-laki dari seorang wanita istrinya ketika melakukan hubungan suami istri yang disahkan melalui jalur pernikahan dan memberikannya dalam bentuk mahar. Jihad dilalah dari ayat ini sangat jelas, yaitu ketika Allah SWT berfirman:  Perintah di sini cukup tegas menunjukkan kepada hukum wajib, sebab tidak ada sekali qarinah yang memalingkan kepada makna lain seperti mubah atau sunat 23 Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya. 24 Ialah: Selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa ayat 23 dan 24. 25 Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan 26 Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas, Nihayah Al-Muhtaj,Mesir: Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, 1938, Juz 6 h. 238. 19 Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT mengatakan, wanita maupun di antara wanita-wanita yang dihalalkan bagi kalian kaum laki- laki untuk kalian nikahi, maka berikanlah imbalannya, yaitu maskawin yang telah kalian wajibkan sebagai imbalan dari kenikmatan yang kalian rasakan itu. Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa ketika Allah SWT memberikan kepada kaum laki-laki hak untuk mengatur wanita, hak untuk memimpin rumah yang mereka tempati, dan hak menggauli istrinya. Sebagai konsekuensinya, Allah SWT mewajibkan kepada laki-laki untuk memberikan hak istrinya sebagai bentuk balasan atau penghargaan yang akan menyenangkan dirinya dan menjamin terwujudnya keadilan antara istri dan suami. Mahar itu wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling cinta-mencintai, ridha-meridhai menjadi patri mesra dalam sebuah rumah tangga untuk meghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya, demi kepentingan dan kesenangan bersama karena harta telah menjadi harta istri. 27 Hal ini dapat kita melihat contoh yang diberikan oleh Khadijah selama masa perkawinannya dengan Nabi Muhammad SAW lima belas tahun sebelum ia menjadi Rasulallah SAW. Mahar Khadijah dibayar penuh oleh Nabi Muhammad SAW. setelah maskawin tersebut menjadi 27 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, h. 144 20 miliknya dan telah bergabung dengan harta yang lain, demi cinta kepada Rasulallah SAW dan untuk membantu perjuangannya, bukan hanya jiwa dan raganya saja yang diserahkan kepada suaminya, bahkan hartanya pun turut diserahkan semua. Sehingga pembelanjaan Rasulallah SAW dalam melakukan penyebaran Islam di zaman perjuangan pertama tersebut, sebagian besar adalah harta Khadijah. Demikianlah suri telada yang patut diikuti dari kehidupan perkawinan Khadijah dengan Rasulallah SAW dari sisi mahar.

2. As-Sunnah

Terdapat banyak hadis Rasulallah SAW sebagai dalil yang menyatakan bahwa mahar adalah suatu kewajiban yang harus dipikul setiap calon suami yang akan menikahi calon isterinya. Di antaranya ialah: 21 Artinya: “Dari Sahl bin Sa‟idi, sesungguhnya Rasulallah SAW kedatangan tamu seorang wanita yang mengatakan: “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku serahkan diriku kepadamu”. Lalu wanita itu berdiri cukup lama sekali. Kemudian tampil seorang laki- laki dan berkata: “Ya Rasulallah SAW nikahl ah aku dengannya jika memang engkau tidak ada minat kepadanya”. Rasulallah SAW lalu bertanya: Apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa diberikan sebagai maskawin kepadanya?” Lali-laki itu menjawab: “Saya tidak membpuyai apa-apa kecuali kain sarung yang saya pakai ini”. Nabi berkata lagi: “Jika sarung tersebut engkau berikan kepdanya, maka engkau akan duduk dengan tidak mengenakan kain sarung lagi. Kerena itu carilah yang lain”. Lalu ia mencari tidak mendapatkan sesuatu. Nabi bersabda lagi kepadanya: “Carilah meskipun hanya sebentuk cincin dari besi”. Lelaki itu pun mencoba menyarinya namun tidak mendapatkan apa- apa. Lalu rasulallah SAW bertanya lagi kepada laki- laki tadi: “Apakah kamu hafal sedikit saja dari ayat-ayat Al- Qur‟an”, Lelaki tadi menjawab: “Tentu saja, aku hafal surah ini dan surah ini”. Ada beberapa surat yang ia sebutkan. lalu Rasulallah SAW bersabda kepadanya: “Kalau begitu aku nikahkan kamu dengannya dengan maskawin surat Al- Qur‟an yang kamu hafal”. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. Wajah dilalah dari hadis ini adalah perintah Rasulalah SAW sendiri pada laki-laki tersebut untuk mencari seuatu yang dapat dijadikan mahar. Perintah itu menunjukkan kepada wajib Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk mencari sampai beberapa kali, sampai beliau mengatakan: Meskipun sebentuk cincin dari besi”. Dalam hadis tersebut, pertama Nabi SAW menyuruh mencari sesuatau untuk dijadikan mahar.Kata “sesuatu” pada dasarnya mencangkup segala sesuatu yang baik bernilai atau yang tidak bernilai. Namun ketika Rasulallah SAW meng atakan “meskipun sebentar cincin dari besi” dapatlah dipahami bahwa yang di maksud dengan 28 Abu Isa Muhammad, Sunan At-Tirmidzi, Muhammad Jamil Al- A‟thar, Beirut- Lebanon: Dar Al-Fikr Juz2, h. 360-361. 22 “sesuatu” sebagai mahar dalam hadis di atad adalah sesuatu yang bernilai. Maka tidak bisa dijadikan mahar yang tidak bernilai seperti sebiji padi. 29 Berdasarkan hadis di atas dan juga hadis-hadis yang lain, jelaslah bahwa mahar adalah seuatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh calon suami yang akan menikahi calon istrinya. Oleh karena itu tidak mungkin diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Namun masih perlu dikaji apakah mahar merupakn salah satu rukun atau syarat sahnya nikah.Jumhur ulama tetap berpendirian bahwa mahar tidak bisa dikatakan sebagi rukun nikah atau syarat sahnya nikah, tetapi hanya sebagai konsekuensi logis dari pelaksanaan „aqad nikah. Jelaslah mahar adalah wajib, ia boleh berupa barang harta kekayaan dan boleh juga berupa jasa atau manfaat. Jika berupa barang, disyaratkan haruslah barang tersebut berupa sesuatu yang berupa sesuatu yang mempunyai nilai atau harga, halal lagi suci. Sedangkan kalau berupa jasa atau mahar haruslah berupa jasa atau manfaat dalam arti yang baik. 30

3. Ijma’

Para Ulama sepakat ijma‟ bahwa mahar itu wajib hukumnya dalam pernikahan dan mahar juga merupakan bagian dari syarat-syaratnya nikah, yang harus dipikul oleh setiap calon suami terhadap calon istrinya. 31

C. Syarat Sahnya Mahar