37
Artinya: Dari Sahl Sa‟ad as-Sa‟idi, dia berkata Seorang perempuan suatu hari datang
kepada Rasulallah SAW dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Anda.” Sejenak Rasulallah SAW memperhatikan
perempuan itu dengan teliti. Kemudian Beliau mengangguk-nganggukan keplanya. Lama sekali Rasulallah SAW tidak memutuskan apa-apa
terhadapnya, perempuan itu lalu duduk. Sesaat kemudian datang salah seorang
sahabat beliau dan berkata: “Ya Rasulallah SAW, seandainya Anda tidak berkenan padanya, kawinkan saja aku padanya.” Rasulallah SAW bertanya
“Apakah kamu punya sesuatu?” Sahabat itu menjawab:”Tidak ya Rasulallah SAW.” Beliau bersabda: Kalau begitu pulanglah kamu kepada keluargamu.
Lihat apakah kamu nanti akan bisa menemukan sesuatu. Maka pulanglah sahabat itu, kemudian kembali lagi dan berkata:
“Tidak, aku tidak menemukan apa-
apa.” Raulallah SAW masih mensaknya: “Kamu pulanglah lagi kepada keluargamu, carilah sesuatu walaupun itu hanya berupa cincin dari besi.”
Untuk kedua kalinya sahabat itu pulang, lalu kembali lagi lalu bekata:” Tidak ya Rasulallah SAW, aku tidak menemukan sesuatu pun sekalipun itu hanya
cincin dari besi. Cuma aku punya kain sarung ini. Aku akan berikan
seprohnya.” Rasulallah SAW bertanya: Lantas apa yang bisa kamu lakukan terhadap kain sarungmu ini? Jika kamu memakainya, maka wanita itu tidak
bisa berbuat apa-apa. Demikaianlah juga bila ia dipakai olehnya, maka kamu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sejenak sahabat itu hanya duduk cukup lama
sekali. Setelah itu dia bangkit berdiri. Tiba-tiba saja pandangan matanya tertunduk pada Rasulallah SAW yang memandang sedang memperhatikannya.
Dia lalu pergi. Namun sasaat kemudian Rasulallah SAW bertanya: Apakah kamu tahu tentang al-
Qur‟an ? Sahabat itu menjawab: Ya. Ada beberapa surat. Rasulallah SAW bertanya: Kamu dapat membacanya di luar kepala? Sahabat
itu menjawab: Ya Rasulallah SAW bersabda: Jika begitu pergilah. Wanita itu menjadi istrinya dengan maskawin hapalan al-
Qur‟an yang kamu punyai.
B. Asbabul Wurud
Dalam kitab Al-Bayan- Ta‟rif Fi Asbabul Wurud al-Hadis asy-Syarif,
mengatakan bahwa sebab turunnya hadis tersebut, sebagaimana yang
44
HR. Bukhari, Lihat , Abu „Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim al-
Bukhari, Al- Jami‟ al-Sahih al-Bukhari, Kitab an-Nikah,.
ل لا ب
. ص لا ل ل
. :.
ج آ لا م م ب
. , Beirut: Dar al-Fikr, 1993, Cet. ke-I, jilid III, H. 164. Juga terdapat pada
Sahih Muslim, Kitab an-Nikah, هج ت ب ل
ةﺃ لا هج لﺇ لا ب, Juz V, hadis no.
1425, h. 228
38
tercantum dalam bab sebelumnya adalah mengenai kisah tentang mahar, yang hadisnya berbunyi:
“Maskawin yang lebih baik ialah yang paling mudah” Periwayat:
Al- Baihaqi dari „Uqbah Ibn „Amr, menurut al-Hakim hadis ini sahih
memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim diakui oleh adz-Zahabi. Diriwayatkan dari „Uqbah, bahwa Rasulallah SAW telah bertanya
kepada seorang laki- laki, “apakah kau rela menikahi si dia? Jawabnya: Ya,
kemudian Rasulallah SAW bertanya kepada si wanita: apa kau suka? Ya, Akhirnya menikahlah mereka tanpa mahar, Lalu orang tersebut ikut serta
dalam perang khaibar dan ia memesankan pada saat menjelang kematiannya antara wanita yang di kawininya mengambil anak panahnya sebagi pemberian
mahar. Lalu wanita tersebut mengambilnya dan menjualnya seharga seratus dirham, kemudian Rasulallah SAW bersabda: Maskawin yang lebih baik ialah
yang paling mudah, sedangkan maskawin paling sedikit dapat memberikan k
esaksian dan diharapkan berkahnya, oleh sebab itu „Umar Ibn Khatab telah melarang maskawin yang berlebih-lebihan, lalu katanya: Rasulallah SAW dan
juga putri-putrinya menikah dengan maskawin yang tidak lebih dari 12 uqiyah.
45
C. Bentuk Mahar
Pada umumnya mahar dalam bentuk uang atau barang berharga
45
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud: Latar Belakang Histaris Tibulnya Hadis-hadis Rasul,Jakarta: Kalam Mulia, 1997, Cet. ke-2, Jilid II, h. 337
39
lainnya, namun Islam memungkinkan mahar itu dalam bentuk jasa melakukan sesuatu. Mahar dalam bentuk jasa ini ada landasannya dalam al-
Qur‟an dan demikian hadis Nabi SAW.
46
Contoh dalam hadis Nabi adalah menjadikan mengajarkan al- Qur‟an
sebagai mahar sebagaiman terdapat dalam hadis dari Sahl bin Sa‟adi‟ dalam bentuk
munttafaq „alaih, ujung dari hadis panjang yang dikutip di atas:
Artinya: Nabi berkata: “Apakah kamu memiliki hafalan ayat-ayat al-Qur‟an?” ia
menjawab: “ya. Surat ini, sambil menghitungnya?”. Nabi berkata: “Kamu hafal surat-
surat itu di luar kepala? “dia menjawab: “ya”. Nabi berkata: “pergilah, saya kawinkan engkau dengan perempuan itu dengan mahar mengajarkan al-
Qur‟an
Contoh lain adalah Nabi sendiri waktu menikahi Sofiyah yang waktu itu masih berstatus hamba dengan maharnya memerdekakan Sofiya tersebut.
Kemudian ia menjadi Ummu al-Mukminin. Hal ini terdapat dalam hadis dari Anas ra. Yang
muttafaq‟ alaih ucapan Anas:
Artinya: Qutaibah bin Said dari Hamad dari Sabiq dan Syu‟eb Bahwa sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW. telah memerdekakan Sofiyah dan menjadikan kemerdekaan itu sebagai maharnya waktu kemudian mengawininya
46
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, h. 100
47
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Sahih Muslim, Jakarta:Pustaka Azzam, 2003, Cet. Ke-I h. 572
48
Maktabah Syamila, Al-Bukhari: Sahih Bukhari, Mesir, Al-Misykat, h. 1956, Maktabh Syamila, Al-Muslim: Sahih Muslim, Mesir,Al-Misykat, h.146
40
Mengenai besar mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas
terendahnya. Imam Sayafi‟I, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi‟in berendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadikan harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik. Sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya
mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas
dan perak.
49
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham, ada lagi yang
mengetakan empat puluh dirham. Pangkal silang pendapat ini, kata Ibnu Rusyd, ada dua hal, yaitu:
1. Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah
satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dan jual-beli dan
kedudukannya sebagai ibdah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki
jasa wanita untuk selamanya. Maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengedakan
persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan
49
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Fi Nihayah al-Muqtashid, Beirut, Dar al-Fikr, Juz 2, h. 386
41
ibadah. 2.
Adanya pertentangan anatar qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan.
Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.
Mereka berpendapa t bahwa sabda Nabi SAW, “carilah walaupun hanya
cincin dari besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena jika memang ada batas terendahnya tentu beliau
menjelaskannya.
50
Akan tetapi, mereka berpendapat tentang batas minimalnya. Syafi‟i. Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada
batas minimal mahar.
D. Macam-macam Mahar dalam Hadis