Etos Kerja Masyarakat Pesisir di Desa Simpang Tiga Jaya Kecamatan Tulung Selapan Kabupaten Ogan Komring Ilir Provinsi Sumatera Selatan

(1)

KABUPATEN OGAN KOMRING ILIR PROVINSI

SUMATERA SELATAN

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperole hgelar

Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh: RODI HANEDI NIM: 108054000010

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

NAMA: RODY HANEDY NIM: 108054000010

JUDUL: Etos Kerja Masyarakat Pesisir DI Desa Simpang Tiga Jaya Kecamatan Tulung Selapan Kabupatyen Ogan Komring Ilir Provinsi Sumatra Selatan.

Sebagai Negara maritime Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kawasan inilah yang disebut kawasan pesisir yang memiliki potensi dan sumber daya alam yang berlimpah. Walaupun wilayah pesisir dihuni oleh banyak orang yang gagal memanfaatkannya. Maka wilayah pesisir sering dikatakan sebagai kantung-kantung kemiskinan yang strurtural dan potensial.khususnya di desa simpang tiga jaya terjadinya kesenjangan perekonomian, sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya potensi kelautan Indonesia sangat beragam dan melimpah. Namun mengapa justru para penduduk pantai khususnya petani dan nelayan tradisioanal justru terlilit masalah kemiskinan.

Mayoritas masyarakat kita adalah islam, dan dalam konteks ini peran agama menjadi sangat penting, terutama dalam kaitannya membentuk Etos Kerja produktif dan mandiri. Penelitian ini dilakukan di Pesisir pantai Desa Simpang Tija Jaya. Kabupaten Ogan Komring Ilir Sumatra Selatan. Dan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Etos Kerja Masyarakar pesisir di desa simpang tiga jaya ? serta bagaimana keterkaitan Etos Kerja yang sudah dimiliki masyarakat pesisir pantai simpang tiga jaya dengan peningkatan kesejahteraan mereka.

Penelitian ini menggunakan paradigm kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai, adapun desain yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriftif analitis. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah penduduk sekitar pesisir desa simpang tiga jaya. Adapun semple dilakukan dengan cara mengundi unit-unit populasi, sehinngga didapat hasil hitungan bahwa semple yang diambil 100 responden. Hasil dari pengolahan data menggambarkan bahwa etoas kerja masyarakat pesisir di desa simpang tiga jaya dengan upaya peningkatan kesejahteraan sosial memiliki hubungan signifikan.


(6)

ii

Alhamdulillahllahirabbilalamiin atas berkat rahmat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang selalu memberikan limpahan karunia kepada hambanya.

Skripsi yang berjudul “”Etos Kerja Masyarakat Pesisir di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komring Ilir Provinsi

Sumatera selatan” ini telah berhasil penulis rakumangkan. Guna mendapatkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam tak lupa selalu penulis curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan umat yang selalu setia pada syafaatnya hingga akhir zaman. Terima kasih penulis hanturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini. Atas bantuan baik itu berupa dukungan, tenaga maupun waktu dan materi. Tiada kata-kata yang

bisa mengugkapkan rasa terima kasih penulis selain ’Jazakumullah Khairaa

Katsira” semoga kebaikan dari semua pihak dibalas Allah dengan berlipat ganda.

Adapun pihak-pihak yang berjasa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada :

1. Bapak Dr. Arif subhan M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasih UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Wati Nilamsari, M.Si. selaku KETUA jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.

3. Bapak M. Hudri, M.A. selaku Sekretaris Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.

4. Ibu Nurul Hidayati, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi petunjuk dan nasehat pada penulis dengan ikhlas yang penuh didih kasih demi keberhasilan penulis.


(7)

iii

6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmul Komunikasi yang telah menyediakan buku dan fasilitas Wifi untuk mendapatkan referensi dan memperkaya skripsi ini.

7. Keluarga Tercinta, Ayahanda Muhammad Damiri Afendi dan Ibunda Jamila

beserta adik-adikku Rizal Afendi, Mardina, Rosaldi Bagus Santoso yang selalu setia memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril dan materil, serta kasih sayang yang besar sehingga penuh dapat menyelesaikan study ini dengan baik dan lancar.

8. Sahabat-sahabatku terimah kasih yang selalu meberikan dukungan baik suka dan duka dan kebersamaan selama penulis menggarap skripsi ini.

9. Teman-teman seperjuangan mahasiswa (Pengembangan Masyarakat Islam) angkatan 2008

Terima kasih dengan tulus untuk semuanya,penulis hanya bisa berdo’a semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan study di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dibalas oleh Allah SWT.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca padaumumnya.

Jakarta, 30 September 2014


(8)

iv HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIBIMBING

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR. ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL. ... vii

DAFTAR LAMPIRAN. ... BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ... 1

B. Batasan Masalah. ... 6

C. Rumusan Masalah. ... 7

D. Tujuan Penelitian. ... 7

E. Manfaat Penelitian. ... 8

F. Metodologi Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Etos Kerja ... 10

1. Pengertian Etos Kerja. ... 10

2. Terbentuknya Etos Kerja Islami. ... 12


(9)

v

B. Masyarakat Pesisir ... 21

1. Pengertian Masyarakat Pesisir ... 21

2. Karacteristik Masyaakat Pesisir ... 27

3. Sistim Kekerabatan Mayarakat Nelayan ... 29

4. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. ... 32

5. Gaya Hidup Nelayan ... 36

6. Strategi Pemberdayaan Nelayan. ... 36

7. Perspektif Nelayan Terhadap Pendidikan Dini. ... 39

BAB III METODOLOGI PRNELITIAN. A. Metodologi Penelitian. ... 42

B. Lokasi dan Jadwal Penelitian. ... 43

C. Populasi dan Sampel... 43

D. Variabel.. ... 44

E. Tekhnik Pengumpulan Data. ... 44

1. Observasi.. ... 45

2. Dokumentasi... 46

3. Wawancara. ... 46

4. Angket. ... 47


(10)

vi

B. Deskriptip Data Responden Penelitian. ... 57 C. Deskripsi Data. ... 58 D. Hasil Penelitian. ... 59

BAB V KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan. ... 76 B. Saran . ... 77

DAFTAR PUSTAKA. ... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai Negara maritim, Indonesia memiliki pantai terpanjang di dunia, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dari 67.439 desa di Indonesia kurang lebih 9.261 desa dikatagorikan sebagai desa pesisir. Yang sebagian besar penduduknya miskin.1

Sebagai daerah peralihan antara daratan dan lautan, kawasan pesisir merupakan kawasan yang unik ditinjau dari karakteristiknya ekososio-sistemnya, yakni: (a) kawasan pesisir merupakan multiple-use zona yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dan memiliki open access untuk semua yang berkepentingan, (b) beberapa habitat di kawasan pesisir menpunyai atribut ekologis” (spesies endemic, spesies langka dll) dan ”proses-proses ekologis” (daerah pemijahan, daerah asuhan, alur migrasi biodata dll) yang menentukan daya dukungan kawasan pesisir dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan, dan (c) seluruh limbah dan sediment yang berasal dari daratan (kawasan hulu) akan mengalir dan terakumulasi di kawasan pesisir.2

Jika ditinjau dari fungsinya, ekosistem pesisir memiliki empat fungsi utama bagi kehidupan manusia, yaitu:

1) Sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan

1

Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2006),h-1

2


(12)

3 Sebagai penyedia sumber daya alam 4 Sebagai penerima atau penyerap limbah

Sebagai pendukung eksistensi kehidupan manusia. Wilayah pesisir menyediakan jasa-jasa pendukung kehidupan seperti udara yang sangat segar, air yang bersih dan juga ruang bagi barbagai kegiatan manusia.3

Bank dunia memper hitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS) dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia “hanya” sebesar 34,96 juta orang (15,42%). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdebatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47%) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

3Ibid.,


(13)

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

Wilayah pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan merupakan sumber daya pontensial di Indonesia. Wilayah ini merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik dan problem yang unik dan kompleks. Unik secara ekonomi karena berkontribusi penting sebagi sarana pelabuhan dan bisnis komersial lainnya, yang dapat menghasilkan banyak keuntungan financial. Karena itu tidaklah mengherankan jika wilayah pesisir dihuni oleh oleh lebih dari setengah penduduk dunia.4

Berdasarkan pada potensi wilayah tersebut, sumber daya kelautan akan menjadi tumpuan harapan bangsa di masa depan. Di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung sejumlah potensi pembangunan yang besar dan beragam, antara lain sumber daya bisa diperbaharui, sumber daya yang tidak bisa

4

Burhanudin Safari, dkk, Kewirausahaan Pemuda Bahari, (Jakarta: Deputi Bidang Kewirausahaan Pemuda dan Industri Olahraga Republik Indonesia, 2006), h-13


(14)

diperbaharui, environmental service, dan lagi temuan benda-benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam dibawah permukaan laut yang memiliki nilai ekonomi dan sejarah yang tinggi.5

Mereka yang menghuni wilayah pesisir disebut sebagai masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir diartikan sebagai kelompok orang yang bermukin di wilayah pesisir, mempunyai mata pencaharian dari sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, misalnya nelayan, penbudidaya ikan atau udang, pedagang, pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik galangan kapal dan coastal dan engineering.6

Walaupun wilayah pesisir dihuni oleh banyak orang serta memiliki potensi yang sangat besar, namun tidak sedikit orang gagal memanfaatkannya. Sebagai contoh masyarakat pesisir nelayan kecil, umumnya masih sangat miskin dengan tingkat pendapatan rendah, posisi tawar mereka sangat rendah dan permasalahan hidup lainnya.7

Oleh karena banyak orang yang gagal memanfaatkan wilayah pesisir maka wilayah pesisir sering dikatakan sebagai kantong-kantong kemiskinan struktural yang pontesial. Pada dasarnya pengelolaan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap, struktur masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan pemilik (alat produksi) dan nelayan buruh. Dalam kegiatan produksi nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dan memperoleh hak-hak

5

Moh. Ali Azis, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005),h-133

6

Burhanudin Safari, dkk, h-14

7Ibid.,


(15)

yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nalayan modern reltif kecil dibandingkan nelayan tradisional.8

Dalam masa-masa sepi penghasilan, biasanya para istri dan anak-anak nelayan, harus berjuang keras ikut mencari nafkah dengan melakukan segala pekerjaan yang mendatangkan penghasilan. Demikan juga ketika sedang tidak melaut, nelayan buruh dapat berkerja apa saja di daratan untuk memperoleh penghasilan sehingga kelangsungan hidup rumah tangganya dapat dijamin. Seperti bekerja di tambak udang atau ikan, itu salah satu artenatif jalan keluar jika datangnya musin para pelaut anjelok. Akan tetapi, sejauh mana peluang-peluang kerja tersebut bisa di peroleh anggota-anggota rumah tangga nelayan buruh sangat ditentukan juga oleh karakteristik struktur sumber ekonomi desa setempat.9

Oleh sebab itu keadaan seperti ini akan mengakibatkan keadaan mereka manjadi terpuruk. Sebagi mana yang dikatakan oleh Yusuf Solichien Martadiningrat ketua Umum DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) di Medan, Sumatera Utara, belum lama ini, data yang ia miliki menyatakan bahwa sedikitnya 14,58 juta atau sekitar 92% dari 16,2 juta nelayan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.10

8

Kusnadi, Komflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta : LKIS, 2006), h-9

9Ibid.,

h-7

10


(16)

Begitu pula dengan yang terjadi pada masyarakat pantai pesisir di desa simpang tiga jaya yang mayoritas di desa ini adalah nelayan, setelah peneliti mengamati adanya kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Maka dari itu penulis ingin mengetahui lebih dalam faktor yang menjadikan desa ini mengalami kesenjangan sosial khususnya dalam hal kesejahteraan dalam bidang ekonomi sehari-hari.

Atas dasar hal-hal yang telah dibahas maka sepertinya menjadi penting bagi kita untuk mengetahui atau mempelajari sudahkah etos kerja diterapkan oleh masyarakat dalam meningkatkan taraf kesejahteraannya, yang khususnya dalam hal ini adalah masyarakat pantai pesisir di desa Simpang Tiga Jaya.

Hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh bagaimana etos kerja yang diterapkan oleh masyarakat pesisir desa Simpang Tiga Jaya serta bagaimana kaitannya dengan peningkatan taraf kesejahteraannya. Untuk penulis memilih judul ”Etos Kerja Masyarakat Pesisir di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komring Ilir Provinsi Sumatera selatan”.

B.Batasan Masalah

Agar masalah penelitian ini tidak terlalu luas maka peneliti memberikan batasan masalah:

Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Etos kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebiasaan kerja atau cara kerja yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di desa simpang tiga jaya.


(17)

2. Kesejahteraan ekonomi yaitu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang mendasar pada setiap masyarakat yang tinggal di desa simpang tiga jaya. Kebutuhan-kebutuhan yang dapat menunjang kehidupan masyarakat menjadi lebih mudah seperti pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang turut menunjang dan andil untuk mencapai kesejahteraan suatu daerah.

C.Rumusan Masalah

Berdasarkan pada permasalahan yang dijelaskan, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana etos kerja masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya?

2. Apakah etos kerja yang dimiliki masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya dapat memperbaiki kesenjangan sosial yang terjadi di desa tersebut? 3. Apa faktor penyebab yang mempengaruhi etos kerja masyarakat Desa

Simpang Tiga Jaya?

D.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui etos kerja yang dimiliki masyarakat desa simpang tiga jaya.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana etos kerja yang dimiliki oleh masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya.

3. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi etos kerja masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya


(18)

E.Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi universitas yang membidangin ilmu sosial, khususnya jurusan pengembang masyarakat, dalam rangka menciptakan program pendidikan, kurikulum, serta network untuk pendidikan.

2. Penelitian ini agar diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan pengaruh, baik bagi para pembacanya maupun bagi para praktisi pengembangan masyarakat, khususnya yang membidangi ilmu sosial.

3. Penelitian ini ddiharapkan dalap memberikan informasi dan bahan masukan bagi lembaga-lembaga khususnya yang berada di desa simpang jaya agar lebih meningkatkan lagi sumber daya masyarakat untuk tercapainya perekonomian yang lebih baik.

F.Metodologi Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yaitu menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa data dan informasi yang berkaitan dengan tema yang diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etos kerja yang dimiliki masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya. Maka untuk mengetahui lebih dalam etos kerja yang dimiliki masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya peneliti mempersiapkan angket yang akan disebarkan kepada sampel yang telah dipilih secara random atau acak dari banyaknya populasi yang ada di Desa Simpang Tiga Jaya. Adapun jumlah sampel yang diambil 10-15% dari jumlah populasi. Dengan cara


(19)

pengamatan dan menggunakan data dokumentasi, wawancara kepada beberapa pihak yang terpilih untuk memperkuat analisa peneliti dan upaya melengkapi data-data akurat yang terkait dengan penelitian ini.


(20)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A.Etos Kerja

1. Pengertian Etos kerja

1.1. Pengertian Etos

Etos bersal dari bahasa yunani (ethos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu.Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta system nilai yang diyakini.11

Menurut Nurcholis Madjid, etos berasal dari bahasa yunani (ethos), artinya watak atau karakter. Secara etos adalah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia.12

Sedangkan menurut Geertz, etos suatu bangsa adalah sifat, watak, kualitas kehidupan mereka, moral, gaya, estetis, dan suasana-suasana hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap dari mereka dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan.13

Berdasarkan defenisi etos diatas maka peneliti mendefinisikan etos sebagai sikap atau pola prilaku seseorang terhadap sesuatu.

11 K. H. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerji, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 15

12 Ibid.,

h.26

13

Kusnadi, JaminaSosial Nelayan, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara,2007), h.102


(21)

Teori Weber tertarik untuk membahas masalah manusia yang dibentuk oleh budaya di sekitarnya, khususnya agama. Weber tertarik untuk mengkaji pengaruh agama, pada saat itu adalah protestanisme yang mempengaruhi munculnya kapitalisme modern di Eropa. Pertanyaan yang diajukan oleh Weber adalah mengapa beberapa negara di Eropa dan Eropa mengalami kemajuan yang pesat di bawah system kapitalisme. Setelah itu, Weber melakukan analisis dan mencapai kesimpulan bahwa salah satu penyebabnya adalah Etika Protestan.

Kepercayaan atau etika protestan menyatakan bahwa hal yang menentukan apakah mereka masuk surge atau masuki neraka adalah keberhasilan kerjanya selama di dunia. Apabila dia melakukan karya yang bermanfaat luas maka dapat dipastikan bahwa dia akan mendapatkan surga setelah mati. Semangat inilah yang membuat orang protestan melakukan kerja dengan sepenuh hati dan etos kerja yang tinggi. Dengan demikian, seluruh pekerjaan yang dilakukan akan serta-merta menghasilkan surga dan agregat semangat individual inilah yang memunculkan kapitalisme di Eropa dan Amerika.

Hasil penelitian Weber ini merupakan penelitian pertama yang menghubungkan antara agama dan pertumbuhan ekonomi. Dan jika diperluas, maka agama bisa menjadi sebuah kebudayaan dan hal ini kemudian merangsang penelitian mengenai bagaimana hubungan antara kebudayaan dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, istilah Etika Protestan ini menginspirasi Robert Bellah yang menulis tentang agma Tokugawa yang ada di Jepang dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Jepang, hal itu bisa dilihat bagaimana tingginya pertumbuhan ekonomi di Jepang. Hal ini tentu saja relevan jika diterapkan


(22)

diIndonesia, bahwa semangat agama di Indonesia dapat mendukung, mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.14

1.2. Pengertian Kerja

Ada pun kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) kegiatan melakukan sesuatu yang dilakukan (diperbuat) yang dilakukan untuk mencari nafkah atau mata pencaharian.15

Dalam buku Membudayakan Etos Kerja Islami, makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga kita katakana bahwa hanya dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.16

Berdasarkan definisi kerja diatas, maka peneliti mendefinisikan kerja sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, dan kemampuannya untuk mencapai suatu tujuan.

1.3. Pengertian Etos Kerja

Etos kerja, menurut Mochtar Buchori dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan terhadapat kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa.

Sedangkan dalam buku Dakwah Penberdayaan Masyarakat, etos kerja pada hakikatnya dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem nilai-nilai yang dianut oleh

14

http://febasfi.blogspot.com/2013/05/teori-modernisasi-max-weber-etika.

15

Hoetomo, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h.266

16


(23)

seseorang dalam bekerja kemudian membentuk semangat yang membedakanya, antara yang satu dan yang lain.17

Dengan demikian etos kerja Islam merupakan refleksi pribadi seorang khalifah yang berkerja dengan bertumpu pada kemampuan konseptual yang dimilikinya, bersifat kreatif dan inovatif.18

2. Terbentuknya Etos Kerja Islami

Manusia bukan entitas homogeny, melainkan suatu realitas heterogen yang tidak jarang merupakan carut-marut yang tak teratur. Menurut Hanna Djumhana Bastaman (seorang psikolog yang serius mengkaji keterkaitan psikologi dengan Islam) ciri manusia antara lain: ia merupakan kesatuan dari empat dimensi, yakni: fisik-biologis, mental-psikis, sosio-kultural, dan spiritual. Sehingga untuk memahami tingkah laku seseorang perlu dipertimbangkan perasaan, keinginan, harapan dan aspirasinya.

Sehingga penelitian dan pembahasan cara terbentuknya etos kerja manusia tidak boleh mengabaikan kenyataan-kenyataan seperti yang diungakap di atas. Salah satu karakteristik yang melekat pada etos kerja manusia, ia merupakan pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja. Dikarenakan latar belakang keyakinan dan motivasi berlainan, maka cara terbentuknya etos kerja yang tidak bersangkut paut agama (non agama) dengan sendirinya mengandung perbedaan dengan cara terbentuknya etos kerja yang berbasis ajaran agama, dalam hal ini etos kerja islami. Tentang bagaimana etos kerja dapat diaktualisasiakan

17

Moh. Ali Azis, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2005), h.35

18Ibid.,


(24)

dalam kehidupan manusia yang bersifat dinamis, majemuk, berubah-ubah, dan antara satu dengan lainya mempunyai latar belakang, kondisi sosial dan lingkungan yang berbeda. Perubahan sosial ekonomi seseorang dalam hal ini juga dapat mempengaruhi etos kerjanya. Disamping terpengaruh oleh faktor eksternal yang amat beraneka ragam, meliputi faktor fisik, lingkungan, pendidikan dan latihan, ekonomi dan imbalan, Ternyata etos kerja juga sangat dipengaruhi oleh faktor internal bersifat psikis yang begitu dinamis dan bagian diantaranya merupakan dorongan alamiah seperti basic need dengan berbagai habatannya. Ringkasnya, etos kerja seseorang tidak teruntuk oleh hanya satu dua variabel. Proses terbentuknya etos kerja (termasuk etos kerja Islami) seiring dengan kompleksitas manusia yang besifat kodrati, melibatkan kondisi, prakondisi dan faktor-faktor yang banyak: fisik bilogis, mental psikis, sosio-kultural dan mungkin spiritual transcendental. Jadi, etos kerja bersifat kompleks serta dinamis.19

Kemajuan Islam tidak terlepas dari peran serta ilmuan Islam, termasuk para ekonom muslim. Peran para ilmuwan muslim tersebut terinspirasi oleh pesan wahyu Al-Quran untuk pendayagunaan akal. Inilah mutiara yang hilang dewasa ini dan sebagai akibatnya Dunia Islam tertinggal dan kehilangan daya saing. Motivasi keilmuwan lebih banyak diisi oleh keinginan memiliki materi sebanyak mungkin (materialisme).

Materialisme mengajarkan bahwa kesejahteraan diukur dari pemilikan barang-barang mewah. Semakin banyak barang mewah yang dimiliki maka tingkat kesejahteraannya semakin tinggi pula, begitu pun sebaliknya logika

19Ibid.


(25)

masyarakat sekarang tentang kesejahteraan terkontruksi dengan pemikiran materialisme. Dimana sangat tidak masuk akal dalam arti lain sangat susah untuk diterima oleh akal jika mengatakan bahwa orang yang tinggal di gubuk sederhana jauh lebih sejahtera dibanding dengan orang yang tinggal di apartemen mewah, atau menganggap gila jika ada yang mengatakan bahwa orang yang hanya memiliki sepeda butut jauh lebih sejahtera dibanding dengan orang yang memiliki BMW limitted edition. Adanya perubahan struktur sosial masyarakat saat ini tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi yang dianut. Sistem ekonomi kapitalis yang memuja materi sebagai indikator kesejahteraan (economisentris). Atas dasar kalkulasi-kalkulasi ekonomi yang ada dalam benak dan pikiran yang kemudian membangun relasi-relasi sosial ekonomi masyarakat. Inilah yang membentuk penerimaan individu terhadap masyarakat. Orang akan lebih dihargai jika memiliki ekonomi yang bagus.

Sisi-sisi buruk pembangunan ekonomi, secara sosial yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pendapatan, dimana golongan kaya semakin kaya dan golongan miskin semakin memiriskan. Relasi-relasi sosial semakin menurun, lebih menghargai individu yang memiliki atau bagus secara ekonomi dibanding individu yang memiliki kualitas sosial dan moral yang bagus. Hal ini terbukti ketika saat ini masyarakat ternyata lebih menghargai individu yang punya banyak uang walau seorang koruptor dibanding orang alim atau baik hati tapi miskin.

Lebih dari itu perlu dijadikan catatan penting bahwa manusia adalah mahluk biologis, sosial, intelektual, spiritual dan pencarian Tuhan. Ia berjiwa dinamis. Oleh karena itu, manusia dalam kehidupanya termasuk dalam kehidupan kerjanya


(26)

sering mengalami kesukaran untuk membebaskan diri dari pengaruh faktor-faktor tertentu, baik yang bersifat internal maupun eksternal.Yang bersifat internal timbul dari faktor psikis misalnya dari dorongan kebutuhan, frustasi, suka atau tidak suka, persepsi, emosi, kemalasan, dan sebagianya. Sedangkan yang bersifat eksternal, datangnya dari luar seperti faktor fisik, lingkungan alam sekitar, pergaulan, budaya, pendidikan pengalaman dan latihan, keadaan politik, ekonomi, imbalan kerja, seperti janji dan ancaman yang bersumber dari ajaran agama. Serta kesehatan pun memainkan peranan amat penting20

3. Indikasi-Indikasi Orang Beretos Kerja Tinggi

Indikasi-indikasi etos kerja yang terefleksi dari pendapat-pendapat para ahli yang dikemukakan berdasarkan konteks daerah, isme atau Negara-negara tertentu, namun secara universal kiranya cukup menggambarkan etos kerja yang baik pada manusia, bersumber dari kualitas diri, diwujudkan berdasarkan tata nilai sebagai etos kerja yang diaktualisasikan dalam aktivitas kerja. Adapun indikasi-indikasi orang beretos kerja tinggi pada umumnya meliputi sifat-sifat:21

1. Aktif dan suka bekerja keras 2. Bersemangat dan hemat 3. Sederhana, tabah dan ulet 4. Mandiri

5. Tekun dan professional

6. Jujur, disiplin, dan bertanggung jawab

20Ibid.

, h.32-33

21Ibid.


(27)

7. Rasional serta mempunyai visi yang jauh kedepan 8. Efisien dan kreatif

9. Percaya diri namun mampu bekerja sama dengan orang lain 10.Sehat jasmani dan rohani.22

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja

Faktor-faktor yang pontensial mempengaruhi proses terbentuknya etos kerja selain banyak, dan tidak banyak di latar belakangi oleh kauslitas plural yang kompleks hingga memunculkan berbagai kemungkinan. Maka, tidak aneh kalu sejumlah pakar lalu menampilkan teori bertolak dari tinjauan tertentu yang berbeda antara satu dengan lainnya.Dapat ditambahkan kiranya teori iklim yang dikemukakan oleh sejumlah pakar ilmu sosial. Mereka berpendapat iklim berpengaruh terhadap etos kerja penduduk. Negara yang berlokasi didaerah subtropik mempunyai iklim yang merangsang warganya untuk bekerja lebih giat. Sebaliknya Negara-negara yang terletak di sekitar khatulistiwa, karena iklimnya panas, meyebabkan warga negaranya kurang giat bekerja dan lebih cepat lelah. David C. McCelland menyatakan terori ini mengandung banyak kelemahan.

Teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa Negara-negara yang iklimnya relative tidak berdeda jauh, ternyata pertumbuhan ekonominya berbeda. Kalau dianalisis lebih cermat, pendapat Miller dan Form, mungkin mengandung kebenaran meskipun tidak seluruhnya. Apa yang dikemukakan McCellend juga serupa itu. Karena faktor-faktor yang melatar belakangi manusia giat bekerja atau sebaliknya, hakikatnya tidak terbatas pada hanya satu, dua atau tiga faktor saja.

22Ibid.


(28)

Demikian pula berkenaan dengan teori-teori lainya yang menonjolkan faktor ras, penyebaran budaya, dan sebagainya. Masing-masing tidak ada yang menjadi faktor satu-satunya penyebab, tetapi sangat mungkin masing-masing ikut memberikan pengaruh dan ikut berperan dalam rangka terbentuknya etos kerja.23

Manusia memang makhluk yang sangat kompleks.Ia memiliki rasa suka, benci, marah gembira, sedih, berani, takut, dan lain-lain.Ia juga mempunyai kebutuhan, kemauan, cita-cita, dan angan-angan. Manusia mempunyai dorongan hidup tertentu, pikiran dan pertimbangan-pertimbangan dalam mentukan sikap dan pendirian. Selain itu, ia juga mempunyai lingkungan pergaulan dirumah atau ditempat kerjanya. Realitas sebagaimana tersebut diatas tentu mempengaruhi dinamika kerjanya secara langsung atau tidak. Sebagi misal ras benci yang terdapat pada seorang pekerja, ketidak cocokan terhadap atasan atau teman satu tim, keadaan seperti itu sangat potensial untuk menimbulkan dampak negative pada semangat, konzentrasi, dan stabilitas kerja orang yang bersngkutan. Sebaliknya rasa suka pada pekerjaan, kehidupan keluarga yang harmonis, keadaan sosio cultural, sosial ekonomi dan kesehatan yang baik, akan sangat mendukung kegairahan dan kativitas kerja. Orang yang bekerja sesuai dengan bidangnya dan cita-cita dibandingkan dengan orang yang bekerja diluar bidang dan kehendak mereka, niscaya tidak sama dalam antusias dan ketekunan kerja masing-masing.24

Disamping itu faktor lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim dan sebagainya berpengaruh terhadap sikap kerja orang itu, sedangkan dimensi transcendental adalah dimensi yang melampui batas-batas nilai materi yang

23Ibid.

, h.39-40

24Ibid.


(29)

mendasari etos kerja manusia hingga pada demensi ini kerja dipandang sebagai ibadah.Jalaludin secara lebih tegas mengemukakan agama dapat menjadi sumber motivasi kerja, karena didorong oleh rasa ketaatan dan kesadaran ibadah.Etos kerja terpencar dari sikap hidup mendasar manusia tehadap kerja. Konsekuesinya pandangan hidup yang bernilai transenden juga dapat menjadi sumber motivasi yang berpengaruh serta ikut berperan dalam proses terbentuknya sikap itu. Nilai-nilai transenden akan menjadi landasan bagi berkembangnya spiritualitas sebagai salah satu faktor yang efektif membentuk kepribadian. Etos kerja tidak terbentuk oleh kualitas pendidikan dan kemampuan semata.Faktor-faktor yang berhubungan dengan inner life, suasana batin dan semangat hidup yang terpancar dari keyakinan dan keimanan ikut menentukan pula. Oleh karena itu agama (islam) jelas dapat menjadi sumber nilai dan sumber mitivasi yang mendasari aktivitas hidup, termasuk etos kerja pemeluknya.25

5. Karakteristik Etos Kerja dalam Islam 5.1. Kerja merupakan Penjabaran Aqidah

Ajaran agama merupakan salah satu faktor yang dapat menjadikan sebab timbulnya keyakinan, pandangan serta sikap hidup mendasar yang menyebabkan etos kerja tinggi manusia terwujud. Maka etos kerja dalam islam merupakan pancaran keyakinan orang muslim dan muslimah bahwa kerja berkaitan dengan tujuan mencari ridhaa Allah, yakni dalam rangka ibadah. Dan bahwasanya untuk mendekatkan diri serta memperoleh ridha Allah, seorang hamba harus melakukan amal saleh yang dikerjakan dengan ikhlas hanya karena dia semata, yakni dengan

25Ibid.


(30)

memurnikan tauhid. Definisi ibadah mencakup perkataan dan perbuatan apa saja yang disukai dan di ridhai oleh Allah SWT baik yang bersifat lahir dan batin. Yang bersifat lahir atau Nampak misalnya pengamalan rukun Islam, berbicsrs benar, menunaikan amanah, dan silaturahmi. Adapun yang bersifat batin seperti ikhlas, sabar, bersyukur tawakal berusaha mencintai keadilan dan kebenaran, dan kegiatan-kegiatan batin lain yang disukai dan mendapat ridha Allah. Maka kerja dan perbuatan posistif yang (pada mulanya) bernilai sukuler dan bersifat duniawi belaka dapat beubah menjadi bernilai ibadah seperti kegiatan dibidang pertanian, bisnis, pekerjaan rumah tangga, dan olah raga yang dilakukan secara baik-baik, dengan syarat didasri niat, motivasi, atau komitmen ibadah.26

5.2. Kerja Dilandasi Ilmu

Tanpa iman kerja hanya dapat berorientasi pada pengejaran materi. Kemungkinan besar hal itu akan melahirkan keserakahan, sikap terlalu mementingkan diri sendiri, merugikan diri sendiri dan orang lain. Kerja tanpa iman dapat mendorong prilaku manusia tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan melahirkan alienated man. Oleh karena itu, tanpa ilmu iman mudah menjadi salah satu arah yang dapat mengoyakan keimanan kita atau mengelincirkan kita, karena dilandasi pemahaman yang tidak proposional. Keadaan demikian akan mengakibatkan keyakinan dan sikap keliru pada orang yang bersangkutan. Jadi iman, ilmu dan kerja dalam rangka mewujudkan amal ibadah, ternyata masing-masing memegang atau memaikan peranan urgen bagi yang lain. Keistimewaan sekaligus kelebihan manusia terutama bertolak dari akal yang dianugrahkan tuhan

26Ibid.


(31)

kepadanya. Dan karena mempunyai akallah, manusia berhasil menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi, mencapai kebudayaan dan peradaban tinggi. Karenanya, manusia juga dapat mangatur dan memanfaatkan alam sekitar bagi kesejahteraannya baik untuk mas kini maupun mendatang.27

5.3. Kerja Dengan Meneladani Sifat-sifat Ilahi Serta Mengikuti Petunjuk-petunjuknya

Kalau dikaji lebih jauh, memang banyak sifat-sifat manusia yang mempunyai nama, sebutan, bahkan indikasi yang serupa dengan Al-Asma’ Ul -Husna dan sifat-sifat Allah. Namun demikian, tentu saja dalam bentuk sarta kualitas yang sangat jauh berbeda karena tidak ada satupun yang bisa menyerupainya. Namun dari meneladani sifat-sifat ilahi dapat di gali sikap kerja aktif, kreatif, tekun, konsekuen, adil, kerja didukung ilmu pengetahuan dan teknologi, visioner, berusaha efektif dan efisien, percaya diri, dan mandiri. Allah menunjuk betapa Dia memiliki sifat maha sempurna dalam bekerja. Maka manusia juga dapat mengembangkan aktivitas dan prestasinya sampai tingkat tinggi menurut ukuran manusiawi, kalau dia berusaha sesungguh-sungguhnya. Manusia punya pontensi untuk mengembangkan karakteristik etos kerja tinggi seperti aktif, berencana, efisien, efektif, disiplin, professional, ilmiah, kritis konstruktif, dan indikasi-indikasi etos kerja tinggi lainya.Allah Maka Kuasa (Al- Malik) dengan kekuasan yang tak terbatas dan maha pengatur (Al-Mudabbir), manusia juga punya potensi untuk menguasai memimpin, dan mngembangkan manajemen di bidang usaha, plitik, sosial, dan lain-lain.28

27Ibid.

, h. 112-113

28Ibid.,


(32)

B. Masyarakat Pesisir

1. Pengertian Masyarakat Pesisir

Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, yang kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya berkumpulbersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat (Indonesia).29

Menurut Abdul Syani bahwa masyarakat merupakan kelompok-kelompok makhluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan yang tersendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupan.

Supaya dapat menjelaskan pengertian masyarakat secara umum, maka perlu ditelaah tentang ciri-ciri dari masyarakat itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto, menyatakan bahwa sebagai suatu pergaulan hidup atau suatu bentuk kehidupan bersama manusia, maka masyarakat itu mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:

1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya ada dua orang yang hidup barsama.

29

Abdul Syani, Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan (Bandung: PT Bumi Aksara, 2007), h.30.


(33)

2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.

3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.

4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.30

Nelayan di dalam Ensiklopedia Indonesia digolongkan sebagai pekerja, yaitu orang-orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung maupun tidak lansung sebagai mata pencahariannya.31 Dalam kamus besar Indonesia pengertian nelayan adalah orang yang mata pencaharian utama dan usaha menangkap ikan di laut.32

Masyarakat nelayan sendiri secara geografis adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang dikawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara

30

Ibid., h. 32

31

Ensklopidia Indonesia 1983, Ichtiar Baru-Van Heave dan Elsevier Publishing Projects, Jakarta, h. 133

32

Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan, “Kamus Besar Indonesia”, (Jakarta: PT. Balai Pustaka,1989), h. 612


(34)

wilayah darat dan laut.33 Sedangkan menurut M. Khalil Mansyur mengatakan bahwa masyarakat nelayan dalam hal ini bukan berarti mereka yang dalam mengatur hidupnya hanya mencari ikan di laut untuk menghidupi keluarganya akan tetapi juga orang-orang yang integral dalam lingkungan itu.34

Dari beberapa definisi masyarakat nelayan dan definisi nelayan yang telah disebutkan diatas dapat ditarik suatu pengertian bahwa:

1) Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian menangkap ikan laut.

2) Masyarakat nelayan bukan hanya mereka yang mengatur kehidupannya hanya bekerja dan mencari ikan di laut, melainkan mereka yang juga tinggal disekitar pantai walaupun mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam dan berdagang.

Jadi pengertian nelayan secara luas adalah sekelompok manusia yang mempunyai mata pencaharian pokok mencari ikan di laut dan hidup di daerah pantai, bukan mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka juga mencari ikan di laut karena mereka bukan termasuk komunitas orang yang memiliki ikatan budaya masyarakat pantai.

Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai refrensi prilaku mereka sehari-hari.

33

Kusnadi, Keberadaan Nelayan Dan Dinamika Ekonomi Pesisir, (Yogyakarta: Ar- RuzzMedia, 2009), h. 27

34

M. Khalil Mansyur, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, (Surabaya: Usaha Nasional Indonesia, ), h. 148


(35)

Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kalangsungan hidupnya dari mengelolah potensi sumber daya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia.

Seperti juga masyarakat yang lain, masyarakat menghadapi sejumlah masalah politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat.

2) Keterbatasan akses modal, teknologi, dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha.

3) Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada.

4) Kualitas SDM yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

5) Degradasi sumber daya lingkungan baik dikawasan pesisir, laut, maupun pulau-pulau kecil.

6) Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional.

Masalah-masalah di atas saling terkait satu sama lain misalnya, masalah kemiskinan. Ini disebabkan oleh hubungan-hubungan korelatif antara keterbatasan akses, lembaga ekonomi belum berfungsi, kualitas SDM rendah, degradasi sumber daya lingkungan, dan belum adanya ketegasan kebijakan pembangunan


(36)

nasional yang berorientasi kesektor maritim. Atau sebaliknya, kemiskinan menjadi penyebab timbulnya kualitas SDM dan degradasi sumberdaya lingkungan. Karena itu, penyelesaian persoalan kemiskinan dalam masyarakat pesisir harus bersifat integralistik.

1) Masalah aktual lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa potensi untuk berkembangnya jumlah penduduk miskin dikawasan pesisir cukup terbuka. Hal ini disebabkan dua hal penting sebagai berikut: Meningkatnya degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan pesisir laut. Degradasi lingkungan ini terjadi karena pembuangan limbah dari wilayah darat atau perubahan tata guna lahan di kawasan pesisir untuk kepentingan pembangunan fisik. Disamping itu, ancaman terhadap kelangsungan hidup sumber daya perikanan berasal dari praktik-praktik penangkapan yang merusak ekosistem laut.

2) Membengkaknya biaya operasi penangkapan karena meningkatnya bahan bakar minyak (bensin dan solar). Sehingga nelayan menyiasati kenaikan harga bahan bakar dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah dicampur dengan oli bekas atau solar. Hal ini berdampak negatif terhadap kerusakan mesin perahu, sehingga dapat membebani biaya investasi nelayan.35

Persoalan lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan penangkapan. Faktor-faktor ketergantungan ini sangat beragam. Akan tetapi, jika ketergantungan itu terjadi di

35


(37)

tengah-tengah masih tersedia pekerjaan lain di luar sektor perikanan, tentu saja hal ini sangat mengurangi daya tahan nelayan dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi. Keragaman sumber pendapatan sangat membantu kemampuan nelayan dalam beradaptasi terhadap kemiskinan. Nelayan juga kurang menyadari bahwa kondisi ekosistem perairan mudah berubah setiap saat, sehingga bisa berpengaruh terhadap pendapatan nelayan.36

Pada musim ikan, aktivitas ekonomi sangat tinggi, pada musim lain, aktivitas para nelayan nyaris tidak ada, mereka menunggu musim panen. Sebagian nelayan melakukan aktivitas perikanan tangkap lain misalnya memancing. Sebagian lain berprofesi menjadi tukang atau kuli bangunan, melakukan aktivitas produksi dan penjualan ikan asap.37

Di samping hal-hal diatas, rendahnya ketrampilan nelayan untuk melakukan diversifikasi kegiatan penangkapan dan keterikatan yang kuat terhadap pengoperasian satu jenis alat tangkap telah memberikan kontribusi terhadap timbulnya kemiskinan nelayan. Karena terikat pada satu jenis alat tangkap dan untuk menangkap ikan tertentu maka ketika sedang tidak musim jenis ikan tersebut, nelayan tidak dapat berbuat banyak. Dengan demikian,diversifikasi penangkapan sangat diperlukan untuk membantu nelayan dalam mengatasi masalah kemiskinan.38

Dalam kamus bahasa Indonesia, masyarakat diartikan: pergaulan hidup manusia; sehimpunan manusia yang hidup besama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu, orang banyak; khalayak ramai.39

36

Akar Kemiskinan Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), h. 7-8 37

Budi Siswanto, Kemiskinan Dan Perlawanan Kaum Nelayan, (Malang: Laksbang Mediatama, 2008), h. 96-97

38

Kusnadi., h. 8

39


(38)

Sedangkan pesisir diartikan sebagai tanah dasar berpasir dipantai ditepi laut.40

Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir, mempunyai mata pencarian dari sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, misalnya nelayan, penbudidaya ikan, pedagang, pengelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik atau pekerja pertambangan dan energi di wilayah pesisir, pemilik atau pekerja industri maritime misalnya galagan kapal, dan coastal and engineering.41

Berdasarkan definisi masyarakat pesisir diatas, maka peneliti mendefinisikan masyarakat pesisir sebagai sekumpulan orang yang bertempat tinggal di tepi pantai dan bermata pencaharian dari sumber daya laut dan pantai tersebut.

2. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir, mempunyai mata pencaharian dari sumber daya alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir laut itu sendiri, misalnya nelayan, pembudidaya ikan, pedagang, pegelola ikan, pemilik atau pekerja perusahaan perhubungan laut. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan mereka. Menurut Fachrudin (1997) bahwa masyarakat pesisir bebeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan tersebut terletk pada karakteristik aktivitas ekonomi masyarakat pesisir dari latar belakang budaya meraka.Sifat dan

40Ibid,

h.384

41

Burhanudin Safari, dkk, Kewirausahaan Pemuda Bahari, Jakarta: Deputi Bidang Kewirausahaan Pemuda dan Industri olaraga Republik Indonesia, 2006, h. 55


(39)

karakteristik nelayan berbedah dengan pedagang. Nelayan memiliki dinamika kehidupan yang dipengaruhi oleh lingkungan, musim dan pasar, sehingga kehidupannya tidak menentu.42

Pada dasarnya pegelola sosial Burhanudin Safari, dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang.Pertama dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lainya). Struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relative banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang darri tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan modern dan nelayan tradisional.43

Yang dimaksud nelayan tradisional adalah nelayan memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relative sederhana.44

42Ibid

, h. 14-16

43

Kusnadi, Komflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2006), h.1-4

44

Rr. Suhartini, A. Halim, Model-model Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2005), h.31


(40)

Jumlah nelayan modern relative lebih kecil dibandingkan nelayan tradisional. Perbedaan tersebut membawa implikasi pada tingkat pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan sosial ekonomi. Baik nelayan besar atau nelayan modern maupun nelayan kecil atau nelayan tradisional, biasanya masing-masing merupakan katagori sosial ekonomi yang relatif sama, dengan orientasi usaha dan prilaku yang berbeda-beda.

3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Nelayan

Dalam masyarakat nelayan, keluarga dikenal sebagai satuan kehidupan sosial yang terpenting. Menurut pola kehidupan masyarakatnya, keluarga merupakan unit dasa, sementara rumah tangga merupakan tempat tinggal. Di dalam keluarga, anggota rumah tangga dibesarkan dan dijadikan sebagai manusia, dengan suatu identitas masyarakat. Karena di dalamnya, mereka memperoleh proteksi atau perlindungan serta pertolongan dari anggota-anggota keluarga atas segala kesulitan atau bahaya yang mengancam baik pada masa anak-anak, dewasa, maupun ketika menjadi tua jompo.

Keluarga merupakan segala-galanya dalam kehidupan masyarakat Fungsi pokoknya adalah menjamin kebutuhan hidup keturunannya dan melestarikan ikatan kekeluargaan. Sebab, hubungan diantara anggota keluarga merupakan hubungan perorangan yang mendalam dan belangsung lama. Jadi, bukan semata dalam batas dilahirkan oleh sepasang orang tua yang sama atau satu keturunan, tetapi juga terdapat hubungan persahabatan mendalam yang terwujudkan dalam bentuk saling berkorban, saling tolong menolong, dan saling melindungi sehingga menjadi hubungan erat diantara kerabat. Model hubungan demikian sering disebut


(41)

dengan hubungan pengabdian, karena ada keterkaitan dan jaringan yang tidak terpisahkan dengan penguasaan maupun fungsi lahan, terutama dari subsistem secara keseluruhan.

Sistem hubungan yang berlaku di atas sangat dipengaruhi oleh pola perkawinan suami dan istri. Masyarakat adat melalui kekuatan ikatan sosialnya menetapkan bahwa hubungan dalam keluarga seperti diatas telah mendasari suatu keluarga atau rumah tangga yang dibentuk dengan system perkawinan, yaitu istri masuk dan menjadi bagian dari keluarga suami. Prinsip ini menetapkan garis kekerabatannya yang hanya menghubungkannya dengan keluarga suami. Tradisi ini menggaris bawahi peran suami istri, di mana suami adalah kepala dan pemimpin keluarga yang berkewajiban memberikan proteksi terhadap anak-anak, istri, dan seluruh anggota keluarganya, baik menyangkut kenyamanan psikologis maupun kesejahteraan jasmani.

Sedangkan istri sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab dengan aktivitas domistiknya, seperti menyediakan makan untuk suami dan anaknya, mengasuh anak, memerhatikan pendidikan anak, maupun sosialisasi anak.

Sebagaimana dalam suatu masyarakat pedesaan umumnya, perkawinan merupakan asas pembentukan keluarga dalam ikatan kekerabatan. Sistem kekeluargaan terbentuk melalui jaringan rumah tangga, darah dan perkawinan. Oleh karena itu, menurut tradisi masyarakat nelayan, perkawinan harus dilakukan dengan sangat sakral dan penting dalam setiap perjalanan anggota keluarga, dengan cara tersebut, ia baru dianggap sebagai warga penuh dan memperoleh hak-hak serta kewajiban-kewajibannya sebagai seorang warga komunitas dan warga


(42)

kelompok kerabat. Menurut Koentjaraningrat, mengatakan bahwa garis kekerabat kekerabatan dapat dibedakan menjadi dua jalur, yaitu: pertama, menurut jalinan hubungan kerabat yang didasarkan pada keturunan atau hubungan darah, dan kedua, menurut jalinan hubungan kekerabatan yang didasarkan pada kerabatan sosiologis.

Sistem kekerabatan merupakan suatu cara tertentu untuk mengatur hubungan kekeluargaan dalam kehidupan masyarakatnya. Sistem kekerabatan demikikian menurut Husain menganut tiga kelompok keluarga yaitu: pertama, keluarga inti, dimana terdapat satu keluarga beranggotakan seorang suami, istri, dan anak-anaknya yang belum menikah serta tinggal bersama dalam satu rumah tangga. Suami adalah kepala keluarga dan istri kepala rumah tangga dibawah pengawasan suami. Kedua, kelompok keluarga luas, yaitu suatu keluarga yang beranggotakan suami, istri, dan anak-anaknya yang sudah menikah dan mempunyai anak.

Keluarga demikian, dalam tradisi masyarakat nelayan, berperan sebagai lalu lintas hubungan di antara keluarga dalam satu kerabatnya serta menjadi pusat perlindungan baik dalam hal keamanan maupun sebagai sumber pertimbangan dan petuah dan nasihat-nasihat untuk menentukan sebuah keputusan langkah hidup yang akan ditempuh. Keputusan mana dalam kehidupan mereka sekarang tidak selalu mengikat. Namun, sanksi-sanksi moral atas hubungan-hubungan mereka akan terganggu dan cacat manakala terjadi pengabaian terhadap peran keluarga luas itu. Ketiga, kelompok keluarga campuran yang biasanya berasal dari


(43)

kelompok keluarga campuran yang biasanya beasal dari kelompok kekerabatan yang berpusat

pada nenek moyang.45

4. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh pemberdayaan masyarakat nelayan dalam mewujudkan pendekatan sosial budaya ini adalah dengan mengedepankan pikiran, tindakan, dan sikap sebagai berikut:

1) Mewujudkan rasa simpati, empati, dan kepekaan sosial terhadap kehidupan masyarakat, khususnya peduli pada kesulitan-kesulitan sosial ekonomi yang mereka hadapi setiap hari.

2) Menempatkan masyarakat sebagai subjek pemberdayaan sosial ekonomi. 3) Mudah beradaptasi secara sosial budaya dan dapat menghargai nilai-nilai

budaya dalam masyarakat.

4) Memperluas interaksi dan pergaulan sosial dengan berbagai pihak agar memperoleh informasi luas tentang masyarakat.

5) Menjalin komunikasi yang intensif dan terstruktur dengan tokoh-tokoh masyarakat lokal.

6) Membangun rapor diri yang baik, dengan menghindarkan diri dari konflik sosial atau personal dan dengan menunjukkan sikap untuk membantu masyarakat.

45


(44)

Upaya untuk mengidentifikasi aspek-aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan dalam rangka memahami kehidupan mereka dapat dilakukan dengan strategi sebagai berikut:

1) Melaksanakan identifikasi secara umum tentang kondisi lingkungan desa dan kehidupan masyarakat, dengan jalan menyerap informsi sebanyak mungkin dari berbagai pihak.

2) Mengidentifikasi modal sosial, menguraikannya, dan mengidentifikasikan fungsinya dalam kehidupan masyarakat nelayan. Modal sosial adalah segala sesuatu berposisi sebagai pilar atau tumpuan kehidupan dan kelangsungan hidup masyarakat. Modal sosial masyarakat terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:

a) Kelembagaan sosial ekonomi, seperti kelompok pengajian, arisan, simpan-pinjam, paguyuban sosial, sistem perdagangan, dan sebagainya.

b) Organisasi perahu dan pranata sistem bagi hasil. c) Jaringan sosial budaya, termasuk relasi patron-klien.

d) Adat istiadat, sistem etika dan sopan santun upacara-upacara tradisional, dan nilai-nilai budaya lokal.

e) Sistem pembagian kerja secara seksual (the devision of labor by sex) yang berlaku.


(45)

3) Mengidentifikasi model-model penguasa dan pengelolaan sumber daya sosial ekonomi lokal oleh kelompok-kelompok sosial yang ada, relasirelasi ekonomi, sistem produksi, dan pemasaran.

4) Mengidentifikasi pihak-pihak atau kelompok sosial yang berpengaruh dan menjadi referensi sosial budaya masyarakat pesisir beserta perananperanan yang dimainkan mereka. Yang termasuk dalam katagori sosial ini adalah: a) orang-orang yang sukses secara ekonomi seperti pemilik perahu, pedagang ikan berskala besar, dan nahkoda perahu (juragan), dan b) tokoh-tokoh masyarakat lainnya, seperti ulama lokal, pemimpin informal, dan pemimpin formal lokal.

5) Mengidentifikasi jenis-jenis konflik sosial yang terjadi dan perekat integrasi sosial pada masyarakat pesisir. Identifikasi ini dilengkapi dengan latar belakang, pelaku yang terlibat, akibat yang terjadi, dan penyelesaiannya.

6) Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah, khususnya program-program pemberdayaan yang pernah ada pada masyarakat setempat, disertai dengan inventarisasi data-data tentang respons masyarakat pada program-program tersebut dan dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan masyarakat.

7) Menarik relasi fungsioanal antar unsur sosial budaya dan kebijakan pembangunan yang ada atau yang pernah ada untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang konstruksi masyarakat.


(46)

8) Berdasarkan hasil kajian pemberdaya dan masukan dari berbagai pihak di dalam masyarakat pesisir, mulai menentukan jenis-jenis modal sosial dan pihak-pihak yang berpengaruh, yang diharapkan peranannya dapat membantu kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pesisir.

Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan para pemberdaya masyarakat nelayan memiliki pemahaman yang baik tehadap aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang akan diberdayakan.46

Dari segi geografis permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan yaitu, desa-desa di daerah pantai pada umumnya relatif lebih rendah keadaan lingkungan hidupnya, baik dilihat dari kondisi prasarana perumahan, kesehatan lingkungan dan pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan teknologi yang dimilikinya, telah menimbulkan gejala-gejala yang membahayakan kelestarian lingkungan hidup di daerah itu.

Cara mengatasi suatu masalah yang terjadi dikalangan para nelayan yaitu dengan cara sebagai berikut:

1) Mengajukan kepemerintah kabupaten/ kota agar merancang skim kredit khusus berbunga rendah untuk pengusaha pemindangan.

2) Membangun kerja sama dengan lembaga perbankan yang terdekat untuk memudahkan akses modal usaha.

3) Membentuk unit simpan-pinjam (USP) berbasis masyarakat berbudaya lokal.47

46

Kusnadi, Komflik Sosial Nelayan, (Yogyakarta: LKIS, 2006),h. 40-42

47


(47)

5. Gaya Hidup Nelayan

Dalam konteks ini, ada tiga jenis capital yang berpengaruh besar terhadap penentuan kualitas status sosial seorang nelayan, yaitu:

1) Kapital Politik berkaitan dengan pemilikan akses kekuasaan oleh seseorang terhadap pusat-pusat kebijakan lokal, seperti ditingkat desa dan kecamatan. Misalnya, eksistensi seseorang senantiasa dipertimbangkan aspirasi dan pemikiran dalam penentuan kebijakan politik local atau bisa mempengaruhi perubahan kebijakan pembagunan setempat.

2) Kapital Ekonomi berhubungan dengan pemikiran usaha ekonomi yang berkala besar dan beragam, misalnya memiliki beberapa perahu, usaha pengelola hasil tangkap, rumah yang bagus, mobil, ternak yang banyak, dan memiliki tanah persawahan-tegal yang luas.48

3) Kapital Budaya berkaitan dengan pemilikan symbol-simbol kesalehaan beragama, misalnya sudah menuaikan haji, suka beramal atau dermawan, memiliki kepedulian besar terhadap berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat, dan bergaya hidup yang lebih dari kebiasaan local.

6. Strategi Pemberdayaan Nelayan

Dalam rangka memperbaiki taraf hidup dan memberikan peluang kepada nelayan tradisional agar dapat melakukakan mobilitas vartikal, paling tidak ada dua yang bisa ditempuh, yaitu:49

1) Adalah dengan cara mendorong pergeseran status nelayan tradisional menjadi nelayan modern.

48Ibid,

h. 107

49

Rr. Suhartini, A. Halim, Model-model Pemberdayaan Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2005), h.72


(48)

2) Dengan cara tetap membiarkan nelayan tradisional dalam status tradisional, tetapi mempasilitasi meraka agar lebih berdaya dan memiliki kemampuan penyengga ekonomi keluarga yang kenyal terhadap tekanan krisis.

Pilihan manapun yang diambil yang jelas, pertimbangan utama yang semestinya dijadikan dasar pengambilan keputusan adalah kepentingan dan nasib nelayan tradisional itu sendiri sebagai subjek pembangunan.Berikut ini, beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan program pemberantasan kemiskinan stuktural nelayan tradisional adalah.50

1) Pemberdayaan nelayan tradisional seyogyanya mempertimbangkan, dan bahkan lurus bertumpuh pada keberadaan pranata sosial budaya di masing-masing komunitas local nelayan tradisio nal.51

2) Apapun bantuan yang diberikan kepada kelompok nelayan tradisional tidak beroriantasi pada kepentingan jangka pendek, sekedar menekankan pada kepentingan efisiensi pengambilan dana. Padahal semestinya, harus lebih berorientasi pada pemumpukan investasi sosial yang berjangka panjang dan bersifat strategis.52

3) Berusaha mengurangi kadar kerentanan keluarga nelayan tradisional dengan cara meningkatkan daya tahan dan nilai tawar dari produk yang mera hasilkan.

4) Pemberdayaan perempuan dan lansia untuk mendukung proses penguatan penyangga ekonomi keluarga nelayan tradisional.

50Ibid.

, h.72

51Ibid

., h.73

52Ibid


(49)

5) Bagai mana memutus mata rantai eksploitasi yang selama ini merugikan posisi nelayan tradisional. Caranya tidak semata-mata mengandalkan kebijakan regulative dan pemerintahan atau pemberdayaan komunitas nelayan tradisional itu sendiri sebagai sebuah kelompok sosial.53

6) Perlu disadari bahwa yang namanya nelayan atau komunitas desa pantai sebetulnya bukanlah kelompok yang homogeny. Buruh nelayan dan nelayan tradisional umumnya adalah golongan masyarakat pesisir yang pada lapisan sosial paling bawah, yang dalam banyak hal memiliki kadarkerentanan, ketidak berdayaan, kelemahan jasmani, kemisinan, dan keterisolasian yang lebih parah dibandingkan nelayan modern. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah spesifikasi program, terutama program yang bertujuan untuk memberdayakan nelayan tradisional.

7) Sebagai tindak lanjut dari program pelindung dan pemberdayaan keluarga nelayan tradisional melalui program pengembangan diversifikasi usaha, tahap berikutnya yang tak kalah penting untuk dikembangkan di lingkungan komunitas pesisir adalah bagaimana mendorong nelayan tradisional agar dapat lebih produktif, efisien, dan lebih mampu berkompetisi di sector perikanan atau sctor non perikanan yang ditekuninnya.

7. Perspektif Nelayan Terhadap Pendidikan Anak

Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia. Pendidikan memberikan sumbangan langsung terhadap pertumbuhan

53Ibid.,


(50)

pendapatan nasional melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja. Pendidikan diharapkan dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi lewat efeknya pada peningkatan kemampuan manusia dan motivasi manusia untuk berprestasi. Pendidikan berfungsi menyiapkan salah satu input dalam proses produksi, yaitu tenaga kerja. Hal ini selanjutnya akan mendorong peningkatan output yang diharapkan bermuara pada kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat.54

Persoalan pendidikan anak nelayan di wilayah pesisir Indonesia tergolong masih memprihatinkan. Data Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) tahun 2005 menunjukkan, hanya sekitar 1-1,3 persen anak nelayan yang lulus pendidikan sarjana sisanya hanya sekitar 3 persen yang lulus SLTA, 6 persen lulus SMP, dan 85 persen sisanya hanya mengenyam pendidikan SD. Di sisi lain, persoalan pendidikan anak nelayan ini tidak terlepas dari kemiskinan yang melingkupi masyarakat pesisir. "Perlu digagas pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya pendidikan nonformal yang cocok bagi anak nelayan untuk mengeluarkan mereka dari kondisi sebagai pekerja anak. Diperkirakan, dari total pekerja anak di Indonesia yang rata-rata berusia 8-15 tahun, sekitar 50 persennya merupakan anak nelayan," Menurut Ketua Umum HNSI, Sumyaryo Sumiskum dalam diskusi terbatas di Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional. Pemberdayaan bagi anak nelayan ini, menurut dia, tidak bisa diseragamkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi

54

Mulyadi, Ekonomi Sumber Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003), h. 41


(51)

aktual masyarakat setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak, harus diberikan dengan memperhatikan budaya dan kondisi psikologis mereka. Jika ini tidak diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan gagal seperti sejumlah bantuan pemerintah yang pernah diberikan kepada masyarakat pesisir. M Ikhsan dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Mentari menyatakan, pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Persoalan yang dihadapi adalah, sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Yang perlu dilakukan memotong pragmatisme nelayan dan membalik paradigma bahwa pendidikan itu penting.55

Dalam kamus bahasa Indonesia perspektif adalah sudut pandang atau pandangan.56 Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.

Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Dalam konteks sosiologi juga memiliki perspektif yang memandang proses sosial

55

Pendidikan anak nelayan (http://groups.yahoo.com/group/pendidikan/message/3136, diakses 22 juni 2010).

56

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987)


(52)

didasarkan pada sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi.57

Pada perspektif nelayan pendidikan tetap merupakan kebutuhan dasar yang penting karena memiliki implikasi kuat terhadap pembangunan yang kuat dan aspek kehidupan lainnya. Orang tua yang berpendidikan (educated) menunjukkan minat yang tinggi untuk menyekolahkan anaknya. Harapan yang mendasarinya tentu agar kelak anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik, setidaknya tidak lebih rendah kualitas hidup sang anak dibanding dengan kehidupannya sendiri. Proses pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi orang tua, apalagi biaya sekolah merupakan beban yang terus meningkat dan hampir tidak terpikul di pundak orang tua dari golongan paling miskin. Penghasilan orang tua sebagi determinan yang sangat mempengaruhi bahkan menentukan kelangsungan pendidikan anak. Dapat disimpulakan rendahnya pendapatan orang tua berpengaruh terhadap rendahnya pendidikan seorang anak.

57

Perspektif Sosologi (Agussetiaman.wordpress.com/2008/11/…/perspektif-sosiologi/, diakses 22 juni 2010).


(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

Penelitian ini digunakan dengan menggunakan metode Deskriptif. Menurut Muhammad Nazir, metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa sekarang.58 Sedangkan menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Dua pendapat tersebut mengandung makna bahwa metode deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai fenomena, baik social, maupun pendidikan , kemudian diinterpretasikan secara tepat.

Penelitian deskriptif (descriptive research) yang biasa disebut juga penelitian taksonomik (taksonomic research), seperti telah disebutkan sebelumnya, dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atua kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan uinit yang diteliti.

Adapun format yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi dan situasi, atau berbagai variable yang timbul dimasyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi.

58

Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalio Indonesia, 1998), cet. 3, h. 62


(54)

Kemudian mengangkat kepermukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tersebut.59

B. Lokasi dan Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan di pesisir pantai timur Sumatera Selatan. Dan yang menjadi subjek penelitian disini adalah penduduk sekitar pantai timur Simpang Tiga Jaya Sumsel. Adapun alasan memilih lokasi tersebut didasari atas pertimbangan-pertimbangan yaitu:

1. Lokasi tersebut cukup strategis, mudah di jangkau oleh peneliti.

2. Peneliti mudah dalam memperoleh data-data dan izin dari pihak yang terkait.

Adapun waktu penelitian kurang lebih 3 bulan yaitu terhitung mulai bulan Oktober sampai dengan Desember tahun 2013.

C. Populasi dan Sample 1) Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.60 Dalam penelitian ini populasi targetnya adalah seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di desa simpang tiga jaya yang berjumlah kurang lebih 850 kepala keluarga.

2) Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi sebagai contoh yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu.61 Sample yang digunakan dalam

59

H. M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: kencana, 2005), cetakan ke 4, h.36.

60

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 102.

61Ibid.,


(55)

penelitian ini yaitu probability sampling, dengan tehnik pengambilan sample yaitu simple random sampling yaitu pengambilan secara acak yang dilakukan dengan mengundi nomor daftar kepala keluarga. Penulis menggunakan teknik sample dengan mengacu kepada pendapat Suharsimi Arikunto,62 yaitu apabila subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya lebih besar dari 100 dapat diambil 10-15% atau 20-25%, atau lebih. Dalam penelitian ini penulis mengambil 10%-15% dari jumlah populasi yang ada yaitu kurang lebih 100 kepala keluarga.

D. Variabel

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.63 Dalam penelitian ini terdapat satu variabel yang digunakan yaitu Etos Kerja Masyarakat Pesisir di Desa Simpang Tiga Jaya, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komring Ilir Provinsi Sumatera selatan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengetahui etos kerja yang dimiliki masyarakat desa simpang tiga jaya, maka diperlukan data atau sumber data, dan metode pengumpulan data, serta alat yang digunakan dalam pengumpulan data. Adapun tekhnik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menyebarkan angket, dokumentasi, pengamatan (observation), dan wawancara (interview).

62Ibid.,

h. 134.

63Ibid.,


(56)

Teknik pengumpulan data merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh data dalam usaha pemecahan masalah penelitian. Adapun dalam pengumpulan data tersebut diperlukan teknik-teknik tertentu sehingga data yang diharapkan dapat terkumpul dan benar-benar relevan dengan permasalahan yang hendak dipecahkan.

Teknik yang digunakan dalam penelitian lapangan yang secara khusus penulis lakukan dalam upaya melengkapi data-data akurat yang terkait dengan pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Adapun teknik pengumpulan data tersebut adalah:

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang di selidiki.64Seperti yang di kutip oleh Drs. Jalaludin Rakhmat, M.SC mendefinisikan observasi sebagai “pemilihan, perubahan, pencatatan, dan pengkodean serangkai prilaku dan suasana yang berkenan dengan organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan empiris”. Dari definisi itu kita melihat tujuh karakteristik observasi: pemilihan (selection), pengubahan (provocation), pencatan (recording) pengkodean (encoding) rangkaian prilaku dan suasana (test of behaviors and settings), dan tujuan empiris.65

Adapun hal yang diobservasi dalam hal ini adalah: a) Etos kerja masyarakat pesisir

b) Tempat pelaksanaan penelitian

64

Sutrisno hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Ardi Offset, 1992), h. 136.

65

Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi,(Bandung: remaja rosdakarya,1991),, h.83


(57)

c) Penghitungan jumlah kepala keluarga 2. Dokumentasi

Bersangkutan dengan obyek penelitian seperti tempat, sosial cultural, jumlah penduduk, serta hal-hal yang terkait dengan penelitian ini. 3. Wawancara

Metode wawancara yang penulis ambil adalah sebuah penelitian face to face dengan tanpa adanya jawaban rekayasa dari kedua pihak. Wawancara ini, penulis lakukan dengan masyarakat atau pihak-pihak yang dipilih dan telah menyetujui untuk diwawancarai.

Wawancara merupakan tekhnik pengumpulan data yang sesuai berdasarkan laporan verbal, di mana pada wawancara ini terdapat dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari orang yang di wawancarai.66

Wawancara ini juga untuk mengetahui dan menggali informasi secara lebih detail dan mendalam dari subyek penelitian sehubungan dengan fokus masalah yang diteliti. Yaitu mengenai etos kerja yang dimiliki masyarakat desa simang tiga jaya.

Dalam penelitian ini penulis mengadakan wawancara langsung dengan ketua dusun di desa simpang tiga jaya dan beberapa penduduk yang bersedia untuk diwawancari.

66Ibid.,


(58)

4. Angket

Angket adalah alat pengumpulan data dalam bentuk pertanyaan dengan cara menyerahkan atau mengirim daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden.67

Metode angket yang penulis lakukan adalah dengan mengajukan beberapa point pertanyaan kesejumlah responden penelitian yang terkait dengan indicator etos kerja, Adapun kisi-kisi instrumen pada penelitian ini yaitu:

Kisi- kisi Instrument Penelitian Etos Kerja Masyarakat Pesisir

Dimensi Indicator No

Item

Jumlah Item

Kemampuan masyarakat dalam bekerja

Mengerjakan pekerjaan dengan sekuat tenaga.

Senang dan semangat untuk berangkat ketempat kerja.

Menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan yang ditargetkan.

1

2

3

3

Bekerja dengan baik dipekerjaan yang anda tekuni saat ini.

4

67


(59)

Kepercayaan diri masyarakat dalam

Selama ini telah bekerja dengan baik.

Yakin bisa mencapai harapan-harapan yang anda miliki selama ini.

Yakin bahwa sesungguhnya setiap orang memiliki potensi dan keahlian.

5

6

7

4

Kedisiplinan bekerja masyarakat

Berangkat dan pulang kerja rutin dilakukan pada jam yang sama.

Selalu menyelesaikan pekerjaan yang lain dirumah.

Memanfaatkan waktu senggang untuk mencari penghasilan tambahan.

Selalu ada aktivitas atau pekerjaan yang dikerjakan, hingga tak ada waktu luang.

8

9

10

11

4

Mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan yang kreatif.


(60)

Kreativitas masyarakat Punya cara untuk menghilangkan rasa januh saat bekerja.

Punya keterampilan khusus yang bisa menghasilkan uang atau menambah penghasilan anda.

Punya cara sendiri untuk menambah penghasilan.

13

14

15

4

Kejujuran masyarakat

Selalu berkata jujur kepada orang lain.

Anda tidak pernah mencurigai teman kerja anda.

Anda selalu jujur dalam hal pembagian uang (hasil kerja). Teman-teman anda selalu mempercayai anda untuk menjadi rekan kerjanya.

Anda selalu jujur dalam hal penghasilan kepada keluarga.

16

17

18

19

20

5

Memiliki penyakit serius. Merasa stress.

21 22


(61)

Kondisi kesehatan masyarakat

Memiliki keluhan rasa sakit pada badan anda.

23 3

Visi kedepan yang dimiliki masyarakat

Bercita-cita untuk naik haji. Bercita-cita untuk membeli cetek/kapal laut.

Keinginan untuk menggali potensi atau belajar lebih banyak lagi.

Keinginan membeli sepit bud dalam waktu dekat.

Bercita-cita untuk menyekolahkan anak hingga keperguruan tinggi.

Membangun rumah dalam waktu dekat. 24 25 26 27 28 29 6 Kemampuan masyarakat dalam bekerja dengan orang lain

Berusaha menjaga perasaan teman-teman dalam pergaulan atau dunia kerja.

Menjalin hubungan dengan baik dengan teman-teman anda.

30


(62)

Bekerjasama dengan orang lain. Senang bekerja dalam 1 team.

32

Professionalitas yang dimiliki masyarakat

Memilki keinginan untuk belajar lebih banyak lagi.

Cocok dengan pekerjaan yang ditekuni saat ini.

Memiliki kehalian dibidang pekerjaan yang ditekuni saat ini. Minat dengan pekerjaan yang ditekuni saat ini.

34 35 36 37 4 Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan masing-masing masyarakat.

Jumlah anak yang dimiliki.

Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan.

38

39 2

Kemampuan ekonomi yang dimiliki

masyarakat

Penghasilan cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

Memiliki tanah/rumah.

Memiliki kendaraan laut.

40

41

42


(63)

Kondisi kesehatan masyarakat

Memiliki penyakit serius.

Pergi kedokter/puskesmas bila

sedang sakit.

Memiliki keluhan rasa sakit pada badan.

43 44

45

4

F. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data-data yang telah dikumpulkan diolah melalui berapa tahap, yaitu dibaca, dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi, abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman inti, proses dan peryataan-peryataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada didalamnya, maksudnya untuk melihat porsi setiap pendapat atau alternative jawaban yang dihitung dengan prosentase.68

Tekhnik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menguraikan keterangan-keterangan atau data-data tersebut dapat dipahami tidak hanya oleh peneliti, akan tetapi dapat dipahami oleh orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian. Dalam menganalis data penulis menggunakan teknik sebagai berikut:

1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan dan pengisian angket atau kuesioner yang berhasil dikumpulkan.

2. Skoring, yaitu memberikan nilai pada setiap jawaban angket.

3. Tabulasi data, kegiatan ini dilaksanakan dengan memasukan data-data kedalam tabel presentasi sesuai dengan jumlah item-item pertanyaan

68


(64)

yang diajukan. Data yang dikumpulkan dari hasil angket yang telah disebarkan pada masyaratat. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai kemudian diolah dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi prosentase, yang diletakan dalam tabel dengan menggunakan rumus :

P = _F_ X 100% N

Ket : P : Prosentase untuk setiap alternative jawaban F : frekuensi (jumlah Jawaban Responden) N : Number of Cases (Jumlah Responden) 100% : bilangan tetap

4 Display Data (penyajian data), yaitu peneliti akan menyajikan data hasil penelitian dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Maksud dari penyajian data ini adalah akan memudahkan untuk memahami apa yang telah terjadi dan merencankan kerja selanjutnya berdasarkan pada apa yang telah dipahami tersebut.

Conclusion Drawing/Verification (Penarikan

kesimpulan/Pemeriksaan) Penarikan kesimpulan dan pemeriksaan dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapanga


(1)

Jembatan penguhubungan desa simpang tiga jaya (sungai pedada),sebelum ada jembatan penghubung yang ada digambar, masyarakat menggunakan sampan sebagai alat pembantu untuk menyebrang

Salah satu nelayan Desa Simpang Tiga Jaya (Sungai Pedada) baru pulang dari laut, terlihat istri dan anak setia menunggu suaminya yang menaruh kan harapan penuh pada sang suami


(2)

Acara 17 agustus yang di adakan oleh karang taruna desa,di balai serba guna,adapun permainan yang dimainkan desa Simpang Tiga Jaya (Sungai Pedada) masih permainan tradisional semua


(3)

(4)

Ini salah satu mata pencarian tambak udang dan ikan Masyarakat Desa Simpang Tiga Jaya (Sungai Pedada) diambil dari tambak penulis sendiri, pada saat panen, kurang lebih 60 % masyarakat memiliki tambak

Salah satu anak UIN Fakultas Usulludin orang medan yang pernah penulis ajak ke desa penulis untuk melihat panen tambak


(5)

Gamabar ini juga salah satu mata pecarian masyarakat Simpang Tiga Jaya (Sungai Pedada), terlihat gedung hitam itu adalah gedung wallet kurang lebih 15 % masyarakat memiliki gedung walet

Fotoh ini diambil penulis saat nelayan pulang dari laut untuk menjual hasilnya ke pegepul, kurang lebih 25 % masyarakat mengeluti dibidang nelayan


(6)