Pengertian Pengelolaan Dasar Hukum Pengelolaan
34
kebajikan, seperti mengurus mayat, mendirikan benteng, meramaikan masjid, karena sesungguhnya firmanNya “fi sabilillah” itu bersifat umum, meliputi
semuanya.
38
d. Imamiah Ja’farī dalam Mukhtasar an-Nāfi’salah satu buku mazhab Imam
Ja’far mengemukakan bahwa sabilillah itu artinya segala amal perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah atau untuk kemaslahatan bersama.
39
e. Rasyid Ridha pengarang Tafsir al-Mannār, menafsirkan ayat ini bahwa yang
benar arti sabilillah di sini adalah kemaslahatan umum kaum Muslimin, yang denganya tegak urusan agama dan pemerintahan, dan bukan untuk
kepentingan pribadi.
40
Di sisi lain, implementasi zakat dalam undang-undang RI.NO.23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pada pasal 3 ditegaskan bahwa pengelolaan zakat
bertujuan.
41
a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat
b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan penanggulangan kemiskinan. Selanjutnya, Imam Qurtubi menafsirkan amil sebagai pengelola zakat
dalam Qs.at-Taubah:60, merupakan orang-orang yang ditugaskan diutus oleh
38
Wahbah al-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, pengantar Jalaluddin Rahmat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995, h. 275
39
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2002, h. 621.
40
Rasyid Ridha, Imam Muhammad, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Syahir bi Tafsir al-Manar, juz. 10. Bierut: Dar al-Fikr, h. 506.
41
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat http:sumsel.kemenag.go.idfiledokumenuu23zakat.pdf, Diakses tanggal 18 September 2014
35
Imam atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatat zakat yang diambilnya dari para muzakki, untuk selanjutnya diberikan kepada
mustahiq.
42
Dengan adanya azas naqli dan aqli tersebut, dapat dimaknai bahwa pengelolaan zakat dapat mendidik dan memberi pembelajaran untuk berbagi dan
percaya kepada Allah SWT secara mutlak dan lebih percaya dengan apa yang berada disisi Allah SWT dari pada apa yang ada dalam gengamanya.
Setiap lembaga pengelola zakat dalam operasional kegiatanya perlu menerapkan prinsip kerja lembaga yang intinya tercermin dalam tiga kata kunci:
Amanah, Profesional, dan Transparan.
43
Amanah, adalah memiliki sifat jujur, dapat dipercaya dan bertanggung jawab atas tugas yang diembannya. Sifat
amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Sebaik apapun sistem ekonomi yang ada, akan hancur juga jika pelakunya tidak
memiliki sifat amanah. Terlebih dana yang dikelola oleh pengelola zakat itu adalah dana umat. Dana yang dikelola itu pada dasarnya adalah dana mustahiq.
Dan muzakki setelah memberikan zakatnya kepada pengelola zakat, tidak ada keinginan sedikitpun untuk mengambil dananya itu lagi. Kondisi ini menuntut
dimilikinya sifat amanah dari para amil zakat. Profesional, adalah kemampuan yang merupakan perpaduan antara
pengetahuan, ketrampilan dan sikap seorang amil dalam mengemban suatu tugas
42
Al-Qurtubi, al-jami’ Li Ahkam Al-qur’an, Beirut Libanon: Daar el-Kutub ‘Ilmiyyah 1413 H1993M Jilid VII-VIII, h. 112-113
43
Sumarni, Pengelolaan Biaya Operasional Dalam Manajemen Zakat Studi Pada LAGZIS Peduli Cabang Jakarta
, Jakarta: Skripsi Program Studi Muamalat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 18
36
tertentu dan dilaksanakan secara penuh waktu, penuh kreativitas dan inovatif. Hanya dengan profesionalitas yang tinggi, dana zakat yang dikelola akan menjadi
efektif dan efisien, apalagi jika profesionalitas itu diimbangi dengan sifat amanah. Transparan, adalah sifat terbuka dalam pengelolaan melalui penyertaan
semua unsur dalam pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan kegiatan. Dengan transparanya pengelolaan zakat, maka dapat diciptakan suatu sistem
kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja tetapi akan melibatkan juga pihak ekstern seperti para muzakki maupun
masyarakat secara luas. Dengan transparansi ini akan dapat meminimalkan rasa curiga dan ketidak percayaan masyarakat terhadap amil.
44
Pengelolaan dan pendayagunaan dana zakat mesti berorientasi pada pemberdayaan zakat produktif dan menjadi solusi pengentasan kemiskinan bagi
setiap mustahiq. Upaya ini difokuskan pada peningkatan ekonomi produktif yang bersifat pemberdayaan produktivitas zakat sebagai bentuk program yang
diharapkan bisa meningkatkan taraf hidup mustahiq dari sisi ekonomi. Artinya, program tersebut bisa menjadikan usaha mustahiq berkembang dan memiliki nilai
tambah serta bisa memperbaiki kondisi finansialnya. Fikih tradisional secara umum tidak menjelaskan secara memadai persoalan manajemen pengelolaan
dana-dana zakat dan sedekah. Dalam hal pengelolaan zakat, misalnya, tidak muncul gagasan yang memadai tentang bagaimana pendayagunaan zakat agar
44
Departemen Agama RI, Direktorat Pemberdayaan Zakat, Manajemen Pengelolaan Zakat, 2007, h. 20.
37
memiliki dampak sosial dan ekonomi yang lebih meningkat bagi kalangan masyarakat yang tak mampu. Seperti dalam hal zakat fitrah, gagasan progresif
seperti itu terhambat oleh karena adanya doktrin yang dipegang teguh dalam fikih bahwa zakat fitrah hanya sah bila diserahkan kepada mustahik sebelum akhir
bulan Ramadhan. Dengan terpaku pada pandangan ini, zakat fitrah mustahil untuk dimobilisasi secara luas guna dijadikan modal bagi pendanaan kegiatan
pemberdayaan sosial ekonomi jangka panjang. Dengan demikian pengelolaan dan pendayagunaan zakat juga didasarkan
pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
yϑ¯ΡÎ àM≈sy‰¢Á9
Ï™tsàù=Ï9 È⎦⎫Å3≈|¡yϑø9uρ
t⎦,ÎÏϑ≈yèø9uρ pκön=tæ
Ïπx©9xσßϑø9uρ öΝåκæ5θè=è
†Îûuρ ÉsÌh9
t⎦⎫ÏΒÌ≈tóø9uρ †Îûuρ
È≅‹Î6y™ «
È⎦ø⌠uρ È≅‹Î6¡¡9
ZπŸÒƒÌsù š∅ÏiΒ
« 3
ªuρ íΟŠÎ=tæ
ÒΟ‹Å6ym ∩∉⊃∪
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
.Q.S At-Taubah9: 60 Ayat ini menjelaskan tentang kelompok orang yang berhak menerimanya
dan ayat 103 yang menjelaskan tentang pentingnya zakat untuk diambil
38
dijemput oleh para petugas amil zakat.
45
Demikian pula petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman,
beliau mengatakan”.....jika mereka telah mengucapkan dua kalimat shahadat dan melaksanakan shalat, maka beritahukanlah bahwasanya Allah SWT telah
mewajibkan zakat yang di ambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakirnya...”
Membahas Tentang pengelolaan dan pendayagunaan zakat, sebelumnya perlu diingat bahwa zakat itu mempunyai dua fungsi utama.
46
Pertama, adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa berada
dalam keadaan fitrah. Seseorang yang telah memberikan hartanya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya berarti pula bahwa ia telah
mensucikan harta dan jiwanya dengan pemberian itu sekaligus telah menunaikan kewajiban agama, melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Kedua, zakat itu juga
berfungsi sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi jumlah angka kemiskinan. Dalam hal fungsi yang kedua
ini pemanfaatanya mempunyai arti yang lebih penting, sebagai salah satu upaya untuk mencapai keadilan sosial. Agar tidak terjadi kepincangan-kepincangan
sosial ekonomi ini maka dengan adanya zakat, merupakan salah satu sarana untuk menguranginya. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana
45
Didin Hafidhuddin, Mimbar Agama Budaya, Jakarta : UIN Jakarta, Volume XIX, No.3, 2002, h. 268
46
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia UI‐Press, 1998, h. 62‐63.
39
menjadikan zakat agar berfungsi sebagai amal ibadah dan juga sebagai konsep sosial, inilah arti dari pendayagunaan zakat. Atas dasar pengamatan dan telaah
selama ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan zakat dapat lebih dispesifikasikan atau digolongan dalam empat bentuk pendayagunaan.
47
a. Bentuk pertama bersifat konsumtif tradisional, yaitu zakat dibagikan kepada
mustahiq untuk dibagikan secara langsung, seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat mal
yang dibagikan habis secara langsung kepada para mustahiq. b.
Bentuk kedua konsumtif kreatif yaitu zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari wujud barangnya semula, seperti diberikan dalam bentuk alat-alat
sekolah, beasiswa, cangkul, gerabah dan lain sebagainya. c.
Bentuk ketiga produktif tradisional, yaitu dimana zakat diberikan dalam bentuk barang-barang yang produktif seperti kambing, sapi, alat cukur,
pertukangan, mesin jahit dan lain-lain. Pemberian dalam bentuk ini akan dapat menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja baru bagi fakir
miskin. d.
Bentuk keempat adalah produktif kreatif, yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk permodalan bergulir baik untuk permodalan proyek sosial atau untuk
membantu penambahan modal pedagang atau pengusaha kecil. Pemanfaatan dalam bentuk ketiga dan keempat ini adalah yag mendekati pada arti
pendayagunaan, yang harus kita kembangkan, sehingga makna syari’at zakat
47
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, h. 50
40
baik dari segi fungsi ibadah maupun sosialnya dapat tercapai seperti yang kita diharapkan bersama.