Amil Zakat Lembaga Amil Zakat

26 Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentase zakat untuk barang yang berbeda-beda. Para pengumpul zakat bukanlah pekerjaan yang memerlukan waktu dan para pegawainya tidak diberikan gaji resmi, tetapi mereka mendapatkan bayaran dari dana zakat. 25 Di Indonesia, menurut hafidhudin, dunia perzakatan sebelum tahun 1990 masih bersifat tradisional, antara lain karakteristiknya adalah sebagai berikut: 26 a. Pada umumnya diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahiq tanpa melalui amil zakat. b. Jika pun melalui amil zakat hanya terbatas pada zakat fitrah. c. Zakat diberikan pada umumnya hanya bersifat konsumtif untuk keperluan sesaat dan bukan bersifat produktif. d. Harta obyek zakat hanya terbatas pada harta-harta yang secara eksplisit dikemukakan secara rinci didalam al-Quran maupun hadis Nabi, yaitu emas, perak, pertanian terbatas pada tanaman yang menghasilkan makanan pokok, peternakan terbatas pada sapi, kambing atau domba, perdagangan terbatas pada komoditas-komoditas yang berbentuk barang, dan rikaz harta temuan. Kondisi tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain adalah: 27 25 Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian modern, h. 126. 26 Didin Hafidhudin, The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara , Malang: UIN Malang Press, 2008, h. 93. 27 Didin Hafidhudin, The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara , h. 94. 27 1 Belum tumbuhnya lembaga pemungutan zakat, kecuali di beberapa daerah tertentu. 2 Rendahnya kepercayaan masyarakat kepada amil zakat. 3 Profesi amil zakat masih dianggap profesi sambilan. 4 Sosialisasi tentang zakat, baik yang berkaitan tentang hikmah, urgensi dan tujuan zakat, tata cara pelaksanaan zakat, obyek harta zakat, maupun kaitan zakat dengan peningkatan kegiatan ekonomi atau peningkatan kesejahteraan masyarakat masih jarang dilakukan. Seiring perkembangannya, kini masyarakat Indonesia mulai memberikan kepercayaan terhadap pengelolaan zakatnya terhadap lembaga amil zakat. Untuk menjaga kepercayaan itu, negara mengambil langkah protektif melalui pembuatan regulasi dalam peraturan perundang-undangan agar dana zakat yang sangat potensial ini tidak menguap begitu saja. Oleh karena itu dalam pasal 17 UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dijelaskan Lembaga amil zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas untuk membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Selain itu, pengelolaan zakat pun diatur sedemikian rupa. Antra lain dalam UU NO. 381999 yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 232011. Dijelaskan bahwa amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah harus mempunyai kualifikasi sebagai berikut: 28 28 Didin Hafidhudin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, h. 23. 28 a. Beragama Islam b. Mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal dan fikirannya, serta siap menerima tanggung jawab agama c. Memiliki sifat amanah dan kejujuran d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya profesional f. Memiliki kesungguhan komitmen waktu dalam melaksanakan tugasnya fulltime. Kriteria ini ditambahkan lagi dalam pasal 18 UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu izin lembaga amil zakat hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah dan sosial; b. Berbentuk lembaga berbadan hukum; c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. Memiliki pengawas syariat; e. Memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. Bersifat nirlaba; g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejateraan umat; dan h. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala. 29 Lembaga amil zakat pun diwajibkan melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. Hal ini mempunyai tujuan penting, yaitu: 29 a. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat; b. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat para muzakki; c. Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada dalam suatu tempat; d. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami;

2. Peran dan Fungsi Amil Zakat

Sebagai fungsi sosial, dana zakat dapat digunakan secara kreatif untuk mengatasi kemiskinan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pemanfaatan dana zakat sejak dahulu dapat digolongkan dalam empat bentuk, yaitu: 30 a. Bersifat konsumtif tradisional, yaitu proses dimana pembagian langsung kepada para mustahiq untuk kebutuhan sehari-hari, seperti pembagian zakat fitrah berupa beras kepada fakir miskin atau pembagian zakat mal secara langsung. 29 Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002, h. 39. 30 Amiruddin Inoed, Anatomi Fiqh Zakat, Potret dan Pemahaman Badan Amil Zakat Sumatera Selatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 3. 30 b. Bersifat konsumtif kreatif, yaitu proses pengkonsumsian dalam bentuk lain dari barang yang semula, seperti diberikan dalam bentuk beasiswa, mesin- mesin, peralatan pertaniaan, dan sebagainya. c. Bersifat produktif tradisional, yaitu proses pemberian zakat diberikan dalam bentuk benda atau barang yang diketahui produktif untuk suatu daerah yang mengelola zakat. Seperti pemberian kambing, sapi, becak, dan sebagainya. d. Bersifat produktif kreatif, yaitu proses perwujudan pemberian zakat dalam bentuk permodalan bergulir baik untuk usaha, program sosial, home industri, atau pemberian tambahan modal usaha kecil. Tujuan zakat tidak hanya sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi ia mempunyai tujuan yang lebih permanen, yaitu mengentaskan kemiskinan, seperti yang dikemukan oleh Syauqi al-Fanjari: “Tujuan utama zakat adalah untuk mengentaskan kemiskinan kefakiran dan mengangkat permasalahan dari akarnya, sehingga mereka menjadi berkemampuan”. 31 Oleh karena itu, lembaga amil zakat dituntut harus mampu menciptakan dan merumuskan strategi pemanfaatan zakat yang berdaya guna dan berhasil guna. Amil zakat juga harus mampu mengeksplorasikan berbagai potensi umat sehingga dapat diberdayakan secara optimal. Dengan demikian, zakat menjadi lebih produktif dan tidak hanya sekedar memiliki fungsi karitatif. 32 31 Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, h. 220. 32 http:www.bazisdki.go.idindex.cfm?fuseaction=artikel.detail_id=234catid=42, diakses pada 05 januari 2014 31 Hal ini sejalan dengan amanat dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Badan Amil Zakat BAZ, yaitu: 33 a. Memperbaiki keadaan dan taraf perekonomian masyarakat dalam hal ini para mustahik. b. Menyediakan fasilitas yang akan menunjang upaya perbaikan penghasilan bagi umat. c. Melakukan penataan administrasi umum, personalia dan keuangan zakat. Selain itu, lembaga amil zakat punya tugas penting lain yaitu melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan semakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga yang kuat, amanah dan terpercaya. Materi sosialisasi antara lain berkaitan dengan keajaiban zakat, hikmah dan fungsinya, harta benda yang wajib dikeluarkan zakatnya, cara menghitung zakat yang mudah serta cara menyalurkannya. Sejalan dengan UU No. 17 tahun 2000 tentangperubahan ketiga UU No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, maka kaitan dengan pajak ini perlu juga disosialisasikan kepada masyarakat. 34 Sekiranya dari dana zakat ini belum juga mencukupi untuk menanggulangi masalah-masalah sosial, maka atas orang-orang kaya harus dikenakan lagi kewajiban ekstra selain zakat, seperti membayar pajak, sedekah, menyantuni 33 Departemen Agama, Fiqh Zakat, Jakarta: Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama, 2008, h. 107. 34 Didin Hafidhudin, Zakat dalam Perekonomian modern, h. 132.

Dokumen yang terkait

Respon Pengurus Forum Organisasi Zakat Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat

0 16 107

SKRIPSI PENGELOLAAN ZAKAT DI LAZIS JATENG DITINJAU DARI Pengelolaan Zakat Di Lazis Jateng Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat (Studi di Lazis Jateng Cabang Kota Surakarta).

1 5 11

PENDAHULUAN Pengelolaan Zakat Di Lazis Jateng Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat (Studi di Lazis Jateng Cabang Kota Surakarta).

0 5 18

PENGELOLAAN ZAKAT DI LAZIS JATENG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG Pengelolaan Zakat Di Lazis Jateng Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat (Studi di Lazis Jateng Cabang Kota Surakarta).

0 5 19

PENDAHULUAN Pengelolaan Zakat Profesi Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 (Studi Kasus Di LAZIS Muhammadiyah Solo).

0 3 6

Model Kebijakan Pengelolaan Zakat secara Partisipatif Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

0 0 1

TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 DAN PP NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT TERHADAP LEGALITAS DAN PENGELOLAAN LEMBAGA AMIL ZAKAT DI YAYASAN YATIM MANDIRI SURABAYA.

0 0 86

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

0 0 52

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

0 0 29

PENGELOLAAN ZAKAT FITRAH DI DUSUN TUKANG KEC. PABELAN DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT PENGELOLAAN ZAKAT FITRAH DI DUSUN TUKANG KEC. PABELAN DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT - T

0 0 100