Pengaruh Perilaku Penderita Tb Paru Dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan Tb Paru Pada Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

(1)

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH

TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA

KELUARAGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2008

TESIS

Oleh

TONNY LUMBAN TOBING

057012032/AKK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH

TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU

PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2008

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan/Epidemiologi

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TONNY LUMBAN TOBING

057012032/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

3   

Telah diuji pada

Tanggal : 02 Desember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. dr. Sutomo Kasiman, FIHA.FACC.Sp.PD.Sp.JP

Anggota

: 1. dr. Surya Dharma, MPH


(4)

Judul Tesis

: PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN

KONDISI RUMAH TERHADAP PENCEGAHAN

POTENSI PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA

DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Tonny Lumban Tobing

Nomor Pokok

: 057012032

Program Studi

: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi

: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof.dr.Sutomo Kasiman, FIHA.FACC.SpPD.SpJP) (dr.Surya Dharma, MPH)

Ketua

Anggota

Ketua Program Studi

Direktur

(Dr.Drs.Surya Utama,MS) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.M.Sc)

Tanggal lulus : 02 Maret 2009


(5)

5   

PERNYATAAN

PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DANKONDISI RUMAH

TERHADAP PENCEGAHANPOTENSIPENULARAN TBPARU

PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

TAHUN 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak teradapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan

sepanjang pengetahun saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini

disebutkan dalam daftar pustaka.


(6)

ABSTRAK

TB Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Dan Banyak

menyerang kelompok usia produktif. WHO (World Health Organization) tahun 1995,

memperkirakan insiden TB Paru setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka

mortality sekitar 140.000 kasus. Penyakit TB Paru di Indonesia diperkirakan setiap

tahun 450.000 kasus TB Paru baru. Kasus TB Paru di Sumatera Utara tahun 2004

ditemukan 12.145 kasus BTA (+) dan di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2005

ditemukan sebanyak 5.303 kasus.

Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh perilaku penderita dan

keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB Paru di

Kabupaten Tapanuli Utara. Jenis penelitian bersifat analitik dengan rancangan case

control. Sampel dalam penelitian adalah penderita TB Paru di Kabupaten Tapanuli

Utara tahun 2008 dengan kriteria kasus adalah penderita TB Paru sebanyak 100 orang

dan kriteria kontrol adalah kelompok masyarakat yang tidak menderita TB Paru di

Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 100 orang. Data diperoleh dengan wawancara

menggunakan kuesioner kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian berdasarkan uji bivariat menunjukkan ada 8 (delapan)

variabel yang memiliki hubungan secara signifikan yaitu sikap (p=0,000), kepadatan

hunian (p=0,000), ventilasi (p=0,000), pencahayaan (p=0,000), pendidikan (p=0,000),

pengetahuan (p=0,000), pembinaan petugas (p=0,000), dukungan keluarga (p=0,000)

dengan potensi penularan TB Paru. Variabel yang tidak memiliki hubungan

signifikan adalah lantai rumah (p=0,128).

Hasil uji multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ditemukan

bahwa faktor yang paling besar memberikan pengaruh terhadap potensi penularan TB

Paru adalah pendidikan (Nilai B=1,819). Pengaruh variable Independen berdasarkan

uji regresi logistik terhadap potensi Penularan TB Paru diprediksikan sebesar 67,1%.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara untuk

meningkatan program pencegahan melalui berbagai macam cara promosi kesehatan,

advokasi ke stake holder, peningkatan kerja sama lintas sektoral yang lebih

kompherensif dan adekuat, meningkatkan peran petugas dalam melaksanakan strategi

DOTS, memberdayakan masyarakat, meningkatkan kemitraan, dan kepada

pemerintah daerah diharapkan lebih memperhatikan sumber daya manusia,

penyediaan peralatan dan perbekalan dalam pencegahan penularan TB Paru.

Kata Kunci : TB Paru, Perilaku, Kondisi Rumah, Keluarga


(7)

7   

ABSTRACT

Lung Tubercolusis is health problem of the people in the world and mostly

attack those in a productive age group. In 1995, the World Health Organization

(WHO) estimated that the incident of lung tubercolusis was 583,000 cases every year

with the mortality rate of 140,000 cases. In Indonesia, it is estimated that there are

450,000 lung tubercolusis cases every year. 12,145 cases of BTA (+) were found in

Sumatera Utara in 2004 and 5,303 cases were found in Tapanuli Utara district in

2005.

The purpose of this analytical study with case control design is to analyze the

influence of the behavior of lung Tubercolusis patient and family as well as home

condition in an attempt to prevent the spread of lung Tubercolusis in Tapanuli Utara

district. The samples for this study are the Lung Tubercolusis patients in Tapanuli

Utara district in 2008 with the criteria that 100 Lung Tubercolusis patients belonged

to the case group and 100 persons who are not suffering from Lung Tubercolusis

belonged to control group. The data for this study were collected through

questionnaire-based interviews and the data obtained were analyzed through

Chi-square test.

The result of bivariate analysis shows that 8 variables which have significant

relationship with the potential of Lung Tubercolusis spread are attitude (p = 0.000),

population density (p = 0.000), ventilation (p = 0.000), lighting (p = 0.000),

education (p = 0.000), knowledge (p = 0.000), workes’ development (p = 0.000) and

family support (p = 0.000). the variable which does not have significant relationship

is the floor of the house (p = 0.128).

The result of multivariate analysis using logistic regression test shows that the

factor which has a biggest influence on the potential of Lung Tubercolusis spread is

education (B = 1.819) . The influence of independent variable based on logistic

regression test on the potential of Lung Tubercolusis spread was predicted for 67.1%.

It is suggested that Tapanuli Utara Health Service improve the prevention

program through various kinds of ways such as health promotion, advocation to stake

holder, more comprehensive and adequate inter-sectoral cooperation, improving the

role of workers in implementing DOTS strategy, community empowerment, and

partnership development. The district government of Tapanuli Utara is expected to

pay more attention to human resources and supply and equipment provision in

preventing the spread of Lung Tubercolusis.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan

pemurah yang menjadi tumpuan hidup dan harapan penulis dalam menyelesaikan

tesis ini dengan judul “Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi

Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di

Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008”. Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk

memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan Pendidikan S2 pada Sekolah

Pascasarjana USU Medan.

Penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan dan

kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan penuh ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terimakasih,

kepada Bapak Prof.dr. Sutomo Kasiman, FIHA. FACC. Sp.PD. Sp.JP dan Bapak

dr. Surya Dharma, MPH selaku pembimbing yang memberi perhatian, dukungan

dan pengarahan hingga selesai tesis ini.

Terimakasih tiada terkira juga kami sampaikan dengan tulus kepada Bapak

Drs. Tukiman, MKM dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM selaku tim penguji yang

telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

Di samping itu penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. dr. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara Medan.


(9)

9   

2.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan.

3.

Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah

Pascasarjana USU dan seluruh staf yang telah banyak membantu.

 

4.

Bapak Dr.Viktor, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli

Utara.

5.

Bapak Torang Lumban Tobing selaku Bupati Kabupaten Tapanuli Utara.

6.

Ibu Ruminta Sitompul selaku Kepala IBI Kabupaten Tapanuli Utara.

7.

Ayahanda G. Lumban Tobing yang telah banyak memberi dukungan secara moril

dan material selama penulis melakukan perkuliahan.

8.

Istri tercinta Hetty M. Girsang dan anak-anakku tersayang chandra, citra, michael

yang selalu setia mendampingi dalam segala situasi. Terimakasih atas doa,

perhatian, dukungan dan semangat yang tiada henti demi keberhasilan penulis.

9.

Sahabat handaitaulan yang memberikan dukungan moral dan spritual yang tidak

dapat disebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat

Indonesia, khususnya Kabupaten Taput.


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Tonny Lumban Tobing,

Tempat/Tanggal Lahir

: Porsea, 07 September 1963

Agama

: Kristen

Alamat

: JL. Raja Johannes No. 92 Hutabarat Tarutung

Jumlah Anggota Keluarga

: 3 (tiga) Orang

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 1969 – 1975

: SD HKBP Medan

Tahun 1975 – 1979

: SMP Kesatria Medan

Tahun 1979 – 1982

: SMA N 5 Medan

Tahun 1983- 1996

: FK. UMI Medan

Tahun 2005 sekarang

: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Medan, Program Studi Administrasi dan Kebijakan

Kesehatan.

RIWAYAT PEKERJAAN

1996 – 1999

: Kapus Parsingkaman Kec. Adian Koting Kab. Taput

2000 – 2001

: Kepala RSU. HKBP Nainggolan Samosir

2001– 2002

: Kapus Parlilitan Kec. Parlilitan Kab. Taput

2002 – 2005

: Kapus Butar Kec. Pagaran Kab. Taput

2005- sekarang

: Kapus Siatas Barita Kec. Siatas Kab. Taput


(11)

11   

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR... viii

RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1.

Latar Belakang ... 1

1.2.

Permasalahan ... 6

1.3.

Tujuan Penelitian ... 6

1.4.

Hipotesis ... 7

1.5.

Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Etiologi ... 8

2.2. Epidemiologi TB Paru ... 9

2.3. Penularan TB Paru ... 10

2.3.1. Gejala Penyakit TB Paru ... 11

2.3.2. Diagnosis TB Paru ... 12

2.3.3. Tipe Penderita TB Paru ... 15

2.4. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan ... 17

2.4.1. Prinsip – Prinsip Pendidikan Kesehatan ... 17

2.4.2. Perilaku Kesehatan ... 23

2.5. Lingkungan Perumahan ... 24

2.5.1. Ventilasi ... 24

2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian ... 25

2.5.3. Lantai Rumah ... 26

2.5.4. Pencahayaan Ruangan ... 26

2.6. Landasan Teori ... 27


(12)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 29

3.3. Populasi dan Sampel ... 29

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.5. Definisi Operasional ... 31

3.6. Metode Pengukuran Data ... 33

3.7. Metode Analisa Data ... 33

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 35

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35

4.1.1. Letak Geografis dan Astronomis ... 35

4.1.2. Luas Wilayah ... 36

4.1.3. Sosiodemografi ... 36

4.1.4. Sarana dan Tenaga Kesehatan ... 38

4.2. Analisis Univariat ... 39

4.2.1. Faktor Predisposisi ... 40

4.2.2. Faktor Enabling ... 43

4.2.3. Faktor Reinforcing ... 45

4.3. Analisis Bivariat ... 46

4.3.1. Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 47

4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 48

4.3.3. Hubungan Sikap dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 48

4.3.4. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru ... 49

4.3.5. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 50

4.3.6. Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 50

4.3.7. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 51

4.3.8. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 52


(13)

13   

4.3.9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan

Potensi Penularan TB Paru... 52

4.4. Analisis Multivariat... 53

BAB 5. PEMBAHASAN ... 56

5.1. Faktor Predisposisi ... 56

5.2. Faktor Enabling... 58

5.3. Faktor Reinforcing ... 61

5.4. Strategi Pencegahan Penyakit TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara . 63

5.5. Aplikasi Model Regresi Logistik ... 64

5.6. Keterbatasan Peneliti... 65

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

6.1. Kesimpulan ... 67

6.2. Saran ... 68


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul

Halaman

3.1.

Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...

31

4.1.

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di

Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

36

4.2.

Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten

Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

37

4.3.

Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten

Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

38

4.4.

Jumlah Fasilitas Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

39

4.5.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kelompok

Umur di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008...

40

4.6.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Jenis

Kelamin di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008... 41

4.7.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pendidikan

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

41

4.8.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pengetahuan

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

42

4.9.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Sikap

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

42

4.10.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kepadatan

Hunian di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008... 43

4.11.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Ventilasi

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

44

4.12.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pencahayaan

Ruangan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008... 44

xiv


(15)

15   

4.13.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Lantai Rumah

di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008

...

45

4.14.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pembinaan

Petugas di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

45

4.15.

Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Dukungan

Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

46

4.16.

Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

47

4.17.

Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

48

4.18.

Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

48

4.19.

Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

49

4.20.

Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

50

4.21.

Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

50

4.22.

Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan

TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

51

4.23.

Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

52

4.24.

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi

Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...

52

4.25. Uji

Regresi

Logistik

untuk Identifikasi Variabel Dominan dalam


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul

Halaman

2.1.

Skema Modifikasi Teori Blum dan Green ...

22

2.2.

Kerangka Konsep ...

28


(17)

17   

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

Halaman

1.

Kuesioner Penelitian ...

71

2.

Master Data Penelitian ...

88

3.

Surat Izin Penelitian ...

90

4.

Surat Keterangan Selesai Penelitian ...

92


(18)

BAB  1 

PENDAHULUAN 

  1.1.Latar Belakang 

Derajat kesehatan merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat.  Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi,  pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan sosial budaya (Depkes RI, 2006) 

TB paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan  keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi  yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara  yaitu percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit TB paru biasanya menyerang paru akan  tetapi dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002). 

TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit TB paru  banyak menyerang kelompok usia produktif. Kebanyakan berasal dari kelompok sosial  ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Aditama, 1994). 

WHO (World Health Organization) tahun 1995, memperkirakan insiden TB paru  setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus. TB paru  merupakan  penyebab  kematian  ketiga  terbesar  setelah  penyakit  kardiovaskuler  dan  penyakit saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian  dalam kelompok penyakit infeksi (Crofton, 2002). 


(19)

19   

TB  paru  adalah  penyakit  yang  erat  kaitannya  dengan  ekonomi  lemah  dan  diperkirakan 95% dari jumlah kasus TB paru terjadi di negara berkembang yang relatif  miskin. Menurut WHO tahun 1999, Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB paru  terbesar nomor tiga di dunia sebanyak 583.000 kasus setelah India sebanyak 2 juta kasus  dan Cina sebanyak 1,5 juta kasus (Depkes RI, 2002). 

Survei prevalensi TB paru yang dilaksanakan di beberapa negara seperti Ethiopia  189 per 100.000 penduduk BTA (+) pada kelompok umur di atas 14 tahun (2001), Cina 122  per 100.000 penduduk dengan BTA (+) (2000), Philipina 3,1 BTA(+) dan 8,1 kultur (+) per  1.000 penduduk, dan Korea 70 BTA (+) per 100.000 penduduk (1995) (Gotama, 2002). 

Penyakit TB paru juga merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diperkirakan  setiap tahun 450.000 kasus  baru TB paru,  dimana sekitar 1/3 penderita  terdapat di  puskesmas, 1/3 di pelayanan rumah sakit, klinik pemerintah maupun swasta dan 1/3  ditemukan  di  unit  pelayanan  kesehatan  yang  tidak  terjangkau  seperti  pengobatan  tradisional. Penderita TB paru di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok usia  produktif dan sosial ekonomi rendah (Depkes RI,2004). 

Upaya penurunan TB paru di Indonesia telah di mulai sejak diadakan simposium  pemberantasan TB paru di Ciloto tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangan  penanggulangan TB paru belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat 


(20)

Profil kesehatan Indonesia tahun 2004, cakupan penemuan kasus TB paru dengan  BTA (+) sebanyak 128.901 kasus. Propinsi dengan Case Detection Rate (CDR) terbesar adalah  Sulawesi Utara dengan ditemukan 3.056 kasus BTA (+), Gorontalo ditemukan 1.088 kasus  BTA (+), Sulawesi Selatan diperkirakan BTA (+) 9793 kasus (Depkes RI, 2004). 

Insiden dan prevalensi dari hasil survei TB paru tahun 2004, tampak ada perbedaan  insiden  dan  prevalensi  antara  wilayah  di  Indonesia.  Insiden  BTA  (+)  bervariasi  yaitu  64/100.000 penduduk untuk wilayah DI Yogyakarta dan Bali, 107/100.000 penduduk untuk  propinsi di Pulau Jawa (kecuali DI Yogyakarta) 160/100.000 penduduk untuk Sumatera dan  210/100.000 penduduk untuk propinsi propinsi di Wilayah Indonesia Timur (Depkes RI,  2004). 

Kasus TB paru di Propinsi Sumatera Utara berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia  tahun 2004 diperkirakan BTA (+)  14.310  kasus dan ditemukan  12.145 kasus BTA (+)  (84,87%). Berdasarkan profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2004, kasus TB paru  sebanyak 12.145 orang dengan angka kesembuhan 67,07%, (8145 orang) tahun 2005  penderita TB paru sebanyak 14.548 orang dengan angka kesembuhan sebesar 53,98% (7853  orang). 

Profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2005, penyakit TB paru terbanyak  berada  di  Kabupaten  Tapanuli  Selatan  dengan  jumlah  kasus  sebanyak  5.303  orang,  Kabupaten Deli Serdang dengan jumlah kasus sebanyak 816 orang, Kabupaten Labuhan Batu  dengan jumlah kasus sebanyak 809 orang. 


(21)

21   

Profil Kesehatan Kab. Tapanuli Utara tahun 2005, dilaporkan jumlah penderita TB  paru sebanyak 182 orang, tahun 2006 sebanyak 216 orang, tahun 2007 sebanyak 434 orang.  Sedangkan  tahun  2008  dilaporkan  jumlah  penderita  TB  paru  sebanyak  534  orang.  Peningkatan TB paru di Tapanuli Utara yang signifikan terjadi pada tahun 2007 sebesar  101,8%. Peningkatan kasus TB paru tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor  seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah. 

Pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku masyarakat di Kabupaten Tapanuli  Utara yang tidak patuh dalam pengobatan TB paru membuat bakteri TB paru menjadi  resisten pada tubuh. Pengawasan selama proses pengobatan yang berlangsung tidak dapat  terlaksana  dengan  baik  oleh  keluarga  maupun  penderita  sendiri.  Penderita  merasa  pengobatan  yang  dijalani  tidak  memberikan  dampak  yang  signifikan  sebagai  upaya  penyembuhan penyakit TB paru yang di derita dalam waktu yang relatif singkat. 

Perilaku sebahagian masyarakat di Tapanuli Utara juga menganggap bahwa penyakit  TB  paru  merupakan  penyakit  memalukan  sehingga  tidak  mau  segera  mengunjungi  pelayanan kesehatan untuk segera mendapatkan pengobatan. Masyarakat di Tapanuli Utara  yang masih memiliki adat istiadat yang kental dan terkadang masih ada yang percaya  terhadap kekuatan gaib, menganggap bahwa penyakit TB paru merupakan penyakit yang  disebabkan oleh kekuatan gaib sehingga penderita TB paru melakukan pengobatan secara 


(22)

baru yang tercatat. Selain perilaku, lingkungan terutama kondisi rumah juga memiliki  peranan dalam penyebaran bakteri TB paru ke orang yang sehat. Bakteri TB paru yang  terdapat di udara saat penderita TB paru bersin akan dapat bertahan hidup lebih lama jika  keadaan udara lembab dan kurang cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat  menyerang orang sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat  hunian. 

Sikap masyarakat di Tapanuli Utara yang beranggapan bahwa TB paru merupakan  penyakit batuk biasa yang dapat sembuh dengan sendirinya dengan mengkonsumsi obat  batuk  biasa  yang  dijual  secara  bebas  juga  menghambat  upaya  penanggulangan  dan  penyembuhan TB paru. Penderita TB paru yang  merasa batuknya merupakan batuk biasa  datang ke puskesmas setelah bakteri TB paru menyebar ke paru paru dan penderita  semakin lemah. 

Menurut observasi lapangan yang dilakukan pada bulan April 2008 kondisi rumah  masyarakat  di  Tapanuli  Utara  yang  kebanyakan  kurang  cahaya  baik cahaya matahari  langsung maupun cahaya buatan menyebabkan bakteri TB paru dapat bertahan hidup  selama 3 bulan. Dengan kondisi bakteri TB paru yang bertahan hidup selama 3 bulan dan  rumah yang padat hunian mempunyai peluang besar untuk menimbulkan kasus baru dalam  satu rumah. 

Berdasarkan survei awal tahun 2008 dan pengamatan yang dilakukan peneliti  terhadap jumlah kasus TB paru, perilaku masyarakat dan kondisi rumah di Tapanuli Utara  maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat preventif dalam upaya penanggulangan 


(23)

23   

penyakit TB paru dengan memperhatikan perilaku penderita TB paru dan keluarga serta  kondisi rumah penderita sekaligus sebagai upaya penurunan dan penanggulangan kasus TB  paru di Kabupaten Tapanuli Utara. 

1.2  Permasalahan 

Upaya  penanggulangan  TB  paru  telah  menjadi  program  nasional  dengan  memberikan pengobatan gratis kepada penderita TB paru. Tetapi program tersebut belum  dapat terlaksana secara optimal dengan adanya insiden baru setiap tahunnya. Di Kabupaten  Tapanuli Utara penderita TB paru baru selalu muncul setiap tahunnya meskipun program  pemerintah telah dijalankan secara optimal. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul  suatu permasalahan yaitu bagaimana pengaruh perilaku dan kondisi rumah dalam upaya  pencegahan penularan TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara. 

1.3.  Tujuan Penelitian 

Penelitian  ini  bertujuan  untuk  menganalisa  pengaruh  perilaku  penderita  dan  keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kabupaten  Tapanuli Utara. 

       


(24)

1.4  Hipotesis 

Ada pengaruh perilaku penderita dan keluarga serta kondisi rumah masyarakat  dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara. 

1.5.  Manfaat Penelitian 

1. Sebagai  bahan  masukan  dan  evaluasi  dalam  menetapkan  serta  menentukan  kebijakan kesehatan dalam upaya pencegahan penularan dan penurunan angka  penyakit TB paru. 


(25)

xxv   

BAB  2 

TINJAUAN PUSTAKA 

 

2.1. Etiologi 

  Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk  basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua  golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang  mengandung basil tuberkulosis paru. 

  Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai  Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada  tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama  baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum  (KP). 

Penyakit  TBC biasanya  menular  melalui udara  yang  tercemar dengan  bakteri  Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering  masuk dan terkumpul di dalam paru paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama  pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh  darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir  seluruh organ tubuh seperti: paru paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar 


(26)

getah bening, dan lain lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu  paru paru.   

 

2.2. Epidemologi TB Paru 

  Survei prevalensi TB paru tahun 2004 di Indonesia dengan jumlah sampel 86.000  rumah tangga menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang berada di pedesaan lebih  rendah  di  banding  masyarakat  perkotaan  mengenai  gejala gejala  penyakit  TB  paru,  penularan TB paru. Hasil survei juga menemukan bahwa sikap masyarakat pedesaan dalam  pencarian pengobatan TB paru lebih rendah dibanding masyarkat di perkotaan (Depkes RI,  2004). 

  Penelitian follow up yang dilakukan Gotama (2002), di Tangerang menyimpulkan  bahwa sanitasi perumahan yang jelek, pemakaian sumber air minum, dan air bersih yang  tidak terlindungi menyebabkan peningkatan kasus TB paru sebesar 0,5%. 

  Penelitian yang dilakukan Firdous (2005) di poli paru Rumah Sakit Persahabatan  jakarta menemukan bahwa faktor faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan  kesembuhan /ketidaksembuhan orang yang sedang berobat TB paru adalah merokok (OR =  7,78), penghasilan (OR = 7,56), pengetahuan tentang TB paru (OR = 5,51), sikap terhadap  proses poengobatan Tb paru (OR = 6,27), perilaku (OR  

= 6,83), keadaan rumah di pandang dari segi kesehatan (OR = 6,68), program OAT gratis drai  pemerintah (OR = 4,15), PMO (OR = 4,52), keadaan gizi (OR = 9,95). 


(27)

xxvii   

  Penelitian yang dilakukan Sukana (1998), di Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang,  diperoleh angka ketaatan minum obat penderita dengan memberdayakan tenaga anggota  keluarga lebih baik/berbeda makna dibandingkan dengan tanpa pemanfaatan anggota  keluarga tenaga PMO. Angka konversi BTA (+) setelah terapi intensif (2 bulan) adalah 81,8%  dan 62,5% untuk kasus dengan PMO dari anggota keluarga tanpa PMO, sedangkan angka  konversi BTA ( ) akhir terapi adalah masing masing 100%. Angka konversi dahak poenderita  setelah terapi intensif pada akhir terapi antara dua kelompok tidak berbeda makna (P>0,05). 

2.3.  Penularan TB paru 

  Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA (+). Penularan terjadi pada  waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman bakteri ke udara  dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan  di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet  tersebut terhirup ke dalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh  lainnya  melalui  sistem  peredaran  darah,  sistem  saluran  limfe,  saluran  nafas,  atau  penyebaran langsung ke bagian bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). 

  Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang  dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin  menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat  kuman) maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB  paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara  tersebut (Depkes RI, 2002). 


(28)

  Perlu diketahui bahwa basil tuberkulosis dalam paru tidak hanya keluar ketika  penderita TB paru batuk. Basil tuberkulosis juga dapat keluar bila penderita bernyanyi,  bersin atau bersiul. Di Jepang dan Inggris telah ada beberapa kali laporan menunjukkan  penularan tuberkulosis pada murid sekolah, terutama yang duduk di barisan depan yang   tertular dari guru yang mengajar di depan kelas (Aditama, 1994). 

  Hal penting yang perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang terhirup basil  tuberkulosis akan mejadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberkulosis. Risiko  orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB Paru pada ARTI (Annual Risik of Tuberculosis  Infenction) sebesar 1%. Hal ini berarti diantara 100.000 penduduk rata rata terjadi 100  penderita TB paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Depkes RI,  2002). 

2.3.1  Gejala Penyakit TB Paru 

  Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru  dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada banyaknya  jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini berkaitan bagaimana  bentuk kerusakan paru yang ada (Aditama, 1994). 

  Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa:  1. Batuk lebih dari 3 minggu 

2. Batuk berdarah 

3. Sakit di dada selama lebih dari 3 minggu 


(29)

xxix   

4. Demam selama lebih dari 3 minggu 

  Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila terdapat  tanda tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaan (Crofton, 2002) 

Gejala tubuh penderita tuberkulosis secara umum dapat berupa; 

1. Keadaan umum, kadang kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat  badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan 

2. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami kenaikan  suhu badan secara tidak teratur 

3. Nadi, pada umumnya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam 

4. Dada, seringkali menunjukkan tanda tanda abnormal. Hal paling umum adalah  krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara pernapasan  bronkial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan Wheezing terlokalisasi  disebabkan oleh tuberkulosis (Crofton, 2002). 

2.3.2.  Diagnosis TB Paru 

  Diagnosis  TB  paru  ditegakkan  berdasarkan  gejala  klinik,  pemeriksan  jasmani  radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak  mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian  besar masyarakat Indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis karena tingginya  prevalensi  TB  paru.  Uji  tuberkulin  positif  hanya  menunjukkan  bahwa  orang  yang  bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2004). 


(30)

  Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik dan  gejala sistemik. 

a. Gejala respiratorik dapat berupa 

1) Batuk lebih atau sama dengan 3 minggu  2) Batuk darah 

3) Sesak napas  4) Nyeri dada  b. Gejala sistemik 

1)  Demam 

2)  Gejala  sistemik  lain:  malaise,  keringat  malam,  anoreksia,  berat  badan  menurun. 

2. Pemeriksaan Jasmani 

  Pemeriksaan jasmani akan dijumpai sangat tergantung luas dan kelainan struktural  paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya atau sulit sekali menemukan kelainan.  Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan  segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat  ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas lemah, ronkhi basa, tanda tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Aditama, 2002). 

3. Pemeriksaan Radiologik 

   Pemeriksaan radiologi standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.  Pemeriksaan lain atas indikasi:L foto apiko lordotik, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto 


(31)

xxxi   

toraks tuberkulosis dapat memberi  gambaran  bermacam macam bentuk  (multiforom).  Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: 

a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan  segmen superior lobus bawah. 

b. Kapitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan atau nodular.  c. Bayangan bercak milier. 

d. Efusi pleura unilateral. 

Gambaran radiologist yang dicurigai lesi TB inaktif: 

a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas  b. Kalsifikasi atau fibrotik 

c. Fibrothorax dan atau penebalan pleura  4. Pemeriksaan laboratorium 

  Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi,   pemeriksaan  darah dan uji tuberkulin. 

a. Pemeriksaan bakteriologik 

  Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti  yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahkan untuk pemeriksaan bakteriologi  ini dapat berasal dari sputum, bilasan bronkhitis, jaringan paru, cairan pleura 

b. Pemeriksaan darah 

  Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk  tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dibutuhkan. Data ini dapat 


(32)

dipakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologi penderita,  sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta  kemungkinan sebaga predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar  limfosit dapat menggambarkan biologik/daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan  supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal  tidak menyingkirkan tuberkulosis. 

 

c. Uji Tuberkulin 

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB paru di darah  dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang  tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti apalagi pada  orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang  dilakukan sebelumnya atau apabila ada kepositifan uji yang di dapat besar sekali atau timbul  bulae. 

2.3.3.  Tipe Penderita TB Paru 

  Tipe  penderita  ditetntukan  berdasarkan  riwayat  pengobatan sebelumnya. Ada  beberapa tipe penderita, yaitu: 

1. Kasus baru 

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah  menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian). 


(33)

xxxiii   

2. Kambuh (Relaps) 

Adalah  penderita  TB  paru  yang  sebelumnya  pernah  mendapat  pengobatan  tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil  pemeriksaan dahak BTA positif. 

3. Pindahan (Transfer In) 

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten/kota lain  dan kemudian pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Penderita pindahan tersebut harus  membawa surat rujukan/pindah. 

4. Lalai 

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan  atau lebih, kemudian  datang  kembali berobat. Umumnya penderita  tersebut kembali  dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 

5. Lain lain  a. Gagal 

  Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif  pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih). 

b. Kronis 

  Adalah  penderita  dengan  hasil  pemeriksaan  basil  BTA  positif  setelah  selesai  pengobatan ulang kategori 2 (depkes RI, 2002). 


(34)

Strategi : 

1. Paradigma Sehat 

a.  Meningkatkan  penyuluhan  untuk  menemukan  kontak  sedini    mungkin,  serta  meningkatkan cakupan program. 

b.  Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat. 

c.  Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu. 

2. Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO 

a.  Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 

b.  Diagnosa TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. 

c.  Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan  pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). 

d.  Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 

e.  Pencatatan  dan  pelaporan  secara  baku  untuk  memudahkan  pemantauan  dan  evaluasi program penanggulangan TBC. 

3. Peningkatan mutu pelayanan. 

a.  Pelatihan seluruh tenaga pelaksana. 

b.  Ketetapan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. 

c.  Kualitas labolatorim diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check). 


(35)

xxxv   

d.  Untuk menjaga kualitas pemeriksaan labolatorium, dibentuklah KPP (Kelompok  Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik)  dan beberapa PS (Puskesmas Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat  dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri). 

e.  Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan. 

f.  Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus. 

g.  Keteraturan menelan obat sehari – hari diawasi oleh pengawas oleh Pengawas  Menelan Obat (PMO). Keteraturan pengobatan  tetap merupakan tanggung jawab  petugas kesehatan. 

h.  Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar. 

2.4.  Pendidikan dan Perilaku Kesehatan 

2.4.1.  Prinsip Prinsip Pendidikan Kesehatan 

Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu penting  untuk menunjang program program kesehatan lain, tetapi pada kenyataannya pengakuan  ini  tidak  didukung  oleh  kenyataan.  Program program  pelayanan  kesehatan  kurang  melibatkan pendidikan kesehatan, meskipun ada tetapi kurang efektif. Argumentasi yang  dikemukakan untuk hal ini adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan tidak  jelas memperlihatkan hasilnya. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan itu tidak segera  membawa manfaat bagi masyarakat, yang dapat dengan mudah dilihat atau diukur, karena 


(36)

pendidikan  adalah  behavior  investment  jangka  panjang.  Hasil  investment  pendidikan  kesehatan  baru  dapat  dilihat  beberapa  tahun  kemudian.  Dalam waktu  yang pendek  (immediate  impact)  pendidikan  kesehatan  hanya  menghasilkan  perubahan  atau  peningkatan pengetahuan masyarakat, sedangkan peningkatan pengetahuan saja, belum  berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan. 

Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku, sebagai hasil jangka  menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan  akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran  (outcome) pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda dengan program kesehatan yang lain,  terutama program pengobatan yang dapat langsung memberikan hasil (immediate impact)  terhadap penurunan kesakitan. 

Menurut H.L. Blum di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang sudah maju.   Belum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap  status kesehatan, dan berturut turut disusul oleh perilaku, memberikan andil nomor dua,   dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil 

terhadap suatu kesehatan (Notoatmodjo,2002). 

Bagaimana proporsi pengaruh faktor faktor tersebut terhadap status kesehatan  dinegara negara  berkembang  terutama  di  Indonesia,  belum  ada  penelitiannya.  Bila  dilakukan penelitian, mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar. Meskipun  variabel ekonomi di sini belum mewakili seluruh variabel lingkungan, tetapi paling tidak  pengaruh perilaku lebih besar daripada variabel lain. 


(37)

xxxvii   

Selanjutnya  Green  dan  Marshall  (2005)  menjelaskan  bahwa  perilaku  itu  dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor faktor predisposisi  (predisposing factors), faktor faktor yang mendukung (enabling factor) dan faktor faktor  yang  memperkuat  atau  mendorong  (reinforcing  factor).  Oleh  sebab  itu,  pendidikan  kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor  pokok tersebut. 

Faktor  predisposisi  adalah  faktor  yang  dapat  mempermudah  atau  mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat. Beberapa  komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan langsung dengan perilaku,  antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai nilai, dan menyadari kemampuan dan  keperluan seseorang atau masyarakat terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini berkaitan  dengan motivasi dari individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan ,    (Green  dan Marshall, 2005).  

Sebagai contoh perilaku masyarakat  untuk memeriksakan kesehatannya akan lebih  baik, jika masyarakat tahu apa manfaat periksa kesehatan tahu siapa dan dimana periksa  kesehatan tersebut dilakukan. Demikian pula, perilaku tersebut akan dipermudah jika  masyarakat yang bersangkutan mempunyai sikap yang positif terhadap periksa kesehatan.  Kepercayaan, tradisi, sistem, nilai di masyarakat  setempat  juga dapat mempermudah  (positif) atau mempersulit (negatit) perilaku seseorang, (Notoatmodjo, 2005). 

Pada  umumnya,  faktor  enabling  memudahkan  penampilan  seseorang  atau  masyarakat untuk melakukan suatu tindakan. Faktor ini meliputi sumber sumber daya 


(38)

pelayanan kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan, dan kesanggupan.  Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti ketersediaan transportasi  atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling juga meliputi keterampilan orang,  organisasi, atau masyarakat untuk melaksanakan perubahan perilaku, (Green dan. Marshall,  2005). 

Faktor  enabling  menjadi  target  langsung  dari  organisasi  masyarakat  atau  perkembangan organisasi dan intervensi training dalam suatu   program dan terdiri dari  somber daya dan keahlian baru yang diperlukan untuk melakukan tindakan  kesehatan dan  tindakan kemasyarakatan yang diperlukan   untuk mengubah lingkungan. Sumber daya  meliputi organisasi, individu dan kemudahan dari fasilitas 

pelayanan kesehatan, sekolah dan klinik. Keahlian kesehatan perorangan seperti pendidikan  kesehatan sekolah, merupakan tindakan kesehatan khusus. Keahlian dalam rnempengaruhi  masyarakat, digunakan untuk tindakan sosial dan perubahan masyarakat dalam melakukan  tindakan kesehatan, (Green dan Marshall, 2005). 

Menurut  Notoatmodjo  (2005),  faktor  enabling  adalah  faktor  pemungkin  atau  pendukung  seperti  fasilitas,  sarana,  atau  prasarana  yang  mendukung  atau  yang  memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.  

Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan adanya  umpan balik (feedback) dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi dukungan sosial,  pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga kesehatan. Dalam pengembangan  program kesehatan, sumber daya yang mendukung sangat tergantung pada tujuan dan jenis 


(39)

xxxix   

program. Dalam program kesehatan kerja, sumber daya manusia adalah pekerja, supervisor,  pemimpin; dan anggota keluarganya dapat 

menjadi  penguat    program.  Dalam  perencanaan  perawatan  pasien,  sebagai  penguat  (reinforcement) adalah perawat pasien, dan anggota keluarganya, (Green dan Marshall  2005). 

Reinforcing dapat positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang di  dalam lingkungannya (Green dan Marshall, 2005).  

Pendapat Blum dan Green dapat dimodifikasi sebagai berikut : 

Keturunan 

  Pelayanan             Status 

Lingkungan  Kesehatan         Kesehatan 

       

      Perilaku   

   

Predisposing Factors  (pengetahuan, sikap,  kepercayaan, tradisi, 

Enabling Factors  (ketersediaan sumber sumber/fasilitas)

Reinforcing Factors  (sikap dan perilaku 


(40)

 

Pemeberdayaan Pada  Masyarakat Pemasaran  Sosial Pengembangan  Organisasi

 

Komunikasi  Dinamika 

Training  Pengembangan  organisasi   

   

Pendidikan Kesehatan 

   

      Sumber : Notoadmodio (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. 

Gambar 2.1.: Skema Modifikasi Teori Blum dan Green   

 

Dari skema tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, peranan pendidikan  kesehatan  adalah  melakukan  intervensi  faktor  perilaku,  sehingga  perilaku  individu,  kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai nilai kesehatan. Dengan perkataan lain  pendidikan kesehatan adalah suatau usaha untuk menyediakan kondisi  

psikologis  dari  sasaran,  agar  mereka  berperilaku  sesuai  dengan  tuntutan  nilai nilai  kesehatan (Notoatmodjo. S, 2003). 

2.4.2. Perilaku Kesehatan 

Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang  bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia 


(41)

xli   

itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas,  mencakup : berbicara, berjalan, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan  internal seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk  kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dibedakan  oleh  organisme  tesebut  baik  dapat  diamati  secara  langsung  atau  tidak  langsung  (Notoatmodjo. S, 2003). 

Perilaku  dan  gejala  perilaku  yang  tampak  pada  kegiatan  organisme  tersebut  dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan  bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup,  termasuk perilaku manusia. Heriditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsep  dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk itu untuk selanjutnya. Di sisi lain,  lingkungan adalah merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut.  Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya  perilaku disebut proses belajar. 

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang  berkaitan  dengan  sakit  dan  penyakit,  sistem  pelayanan  kesehatan,  makanan,  serta  lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon dan stimulus atau.  perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan  sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata). Sedangkan stimulus atau rangsangan di  sini terdiri 4 (empat) unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan  lingkungan (Notoatmodjo. S, 2003). 


(42)

2.5.   Lingkungan Perumahan 

  Faktor  lingkungan  memegang  peranan  penting  dalam  menentukan  terjadinya  proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit.  Secara garis besar lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. 

  Lingkungan fisik perumahan berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung  maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik meliputi  udara,  kelembaban,  air,  pencemaran  udara,  pencahayaan,  ventilasi  rumah,  dan  lain  sebagainya. 

2.5.1.  Ventilasi 

  Ventilasi  adalah  suatu  usaha  untuk  memelihara  kondisi  atmosphere  yang  menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia di dalam rumah. Atmosphere yang ideal  adalah bila udaranya kering tapi sejuk dan sirkulasi gerakan angin yang terus menerus. Inilah  sebenarnya fungsi ventilasi, menyediakan udara segar dan melenyapkan udara yang jenuh  dan tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi khemis. 

  Mc.  Nall  dalam  buku  perumahan  sehat  karangan  Pandapotan  Lubis,  bahwa  temperatur optimal di dalam rumah adalah 73 – 770F (23 – 250C), kelembaban antara 20 –  60%. Josef Lubart menganjurkan batas antara 680F dengan kelembaban relatif 50% sampai  dengan 760F. 

  Udara yang bersih merupakan  komponen utama  di dalam rumah  dan sangat  diperlukan oleh  manusia  untuk hidup  secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan 


(43)

xliii   

masalah ventilasi. Untuk itu luas ventilasi alamiah yang permanen seharusnya dirancang  10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999). 

  Penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara mendapatkan  bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai OR = 6,176, p =  0,003.  

2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian 

  Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan  bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan.  Sebab rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, kamar tamu, ruang  makan, dapur, kamar mandi dan kakus. 

  Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni  bakteri dan kepadatan hunianper meter persegi sehingga efek sinergis yang diciptakan  sumber  pencemar  mempunyai  potensi  menekan  reaksi  kekebalan  bersama  dengan  terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan hunian pada setiap keluarga.  Dengan demikian bakteri TBC dirumah penderita TB paru semakin banyak, bila jumlah  penghuni  semakin  banyak  jumlahnya.  Jadi  ukuran  rumah  yang  kecil  dengan  jumlah  penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan  penularan TB paru melalui droplet dan kontak langsung. 

  Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Teknik  Universitas Indonesia (FT. UI, 1998) menggunakan luas rumah per penghuni yang dibedakan 


(44)

dalam 5 kategori yaitu   3,9m2/orang, 4 5 m2/orang, 5 6,9m2/orang, 7 8m2/orang dan  9m2/orang. Depkes RI (1999) menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 meter, dan  tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur. 

  Penelitian  Daryatno tahun 2000 di Semarang  mendapatkan  bahwa kepadatan  hunian ada kaitan dengan kejadian tersangka TB paru. Penelitian yang dilakukan Sugiharto  tahun 2004 juga menemukan bahwa ada hubungan kepadatan hunian ruang tidur dengan  kejadian TB paru dengan nilai OR = 3,161, 0 = 0,001. 

2.5.3. Lantai Rumah 

  Kualitas tanah pada perumahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) timah  hitam (Pb) maksimal 300 mg/kg, b) arsenik total maksimal 100 mg/kg, c) cadmium (Cd)  maksimal 20 mg/kg dan Benzo pyrene maksimal 1 mg/kg (Depkes RI, 1999). 

  Komposisi tanah tergantung kepada proses pembentukan, iklim, jenis tumbuhan  yang ada, suhu, air yang ada. Tanah merupakan sumber daya alam yang mengandung bahan  organik dan anorganik yang mampu mendukung hara dan air yang perlu ditambah untuk  pengganti yang habis pakai (Modul Kuliah pasca sarjana, 2005). 

2.5.4.  Pencahayaan Ruangan 

  Bakteri TBC akan mati jika terpapar cahaya matahari secara langsung memerlukan  waktu sekitar 6 8 jam dan cahaya ruangan yang kurang sekitar 2 – 7 hari. Sputum yang  mengandung bakteri TBC di dalam ruangan yang gelap dapat hidup berminggu minggu atau  berbulan bulan (Default dalam Crofton, 2002). 


(45)

xlv   

 

  Pencahayaan  alam  dan/atau  buatan  langsung  maupun  tidak  langsung  dapat  menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Depkes RI,  1999). 

2.6. Landasan Teori 

  MacMahon dan Pugh (1970) dalam Murti (2003) mengemukakan bahwa setiap efek  atau penyakit tak pernah tergantung kepada sebuah faktor penyebab, tetapi tergantung  kepada  sejumlah  faktor  dalam  rangkaian  kausalitas  sebelumnya.  Faktor faktor  yang  memudahkan  terjadinya  efek  disebut  promotor  sedangkan  yang  menghambat  terjadinya efek disebut inhibitor.   

  Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk  basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua  golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang  mengandung basil tuberkulosis paru. 

  Penyebaran penyakit TB paru dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan  sanitasi perumahan seperti pencahayaan, ventilasi, kepadatan hunian, lantai rumah, status  gizi, daya tahan tubuh. 

   


(46)

 

2.7. Kerangka Konsep  

  Berdasarkan uraian latar belakang dan studi kepustakaan maka peneliti membuat  suatu kerangka konsep penelitian seperti di bawah ini. 

       

   

Faktor Predisposisi 

1. Umur  2. Pendidikan    3. Pengetahuan 

Tingkat Pencegahan 

Potensi Penularan TB  Paru

Faktor Enabling 

1. Kepadatan Hunian  2. Ventilasi 

3. Pencahayaan ruangan 

i h

     

Faktor Reinforcing 

1. Dukungan Keluarga   

 

     

      Gambar 2.2. Kerangka Konsep 

   


(47)

xlvii   

AB  3 

METODE PENELITIAN 

  3.1.  Jenis Penelitian 

Penelitian ini merupakan penelitian bersifat analitik dengan rancangan penelitian  yang  digunakan  adalah,  cross  sectional  yang  mempelajari  hubungan  antara  faktor  independen dengan faktor dependen.  

3.2.   Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 

  Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara karena berdasarkan survei awal  yang dilakukan jumlah kasus TB paru meningkat selama tahun 2008 sebanyak 534 orang  dibandingkan pada tahun 2007 sebanyak 436 orang. Waktu penelitian dimulai bulan April  2008 berlangsung selama 6 (enam) bulan. 

3.3.   Populasi dan sampel 

3.3.1.   Populasi  

  Populasi dalam penelitian adalah penderita TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara  tahun 2008 sebanyak 534 orang. 

   


(48)

) 1 , 0 ( 534 1 534 2 + = n

3.3.2. Sampel 

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria  eksklusi yang dapat mewakili keberadaan dari suatu populasi yang benar. Besar sampel  penelitian ini didapat melalui perhitungan dengan menggunakan rumus Toro Yamani, di  dalam Notoadmodjo 2005, sebagai berikut: 

)

(

1

N

d

2

N

n

+

=

 

Keterangan :   n = besar sampel      N = besar populasi 

    d = tingkat kepercayaan dalam penelitian adalah 10%.   

    

   

Sampel  dalam  penelitian  ini  dengan  menggunakan  rumus  berdasarkan  besar  jumlah  populasi, maka sampel yang akan digunakan sebanyak 100 kasus. Pengambilan sampel  dilakukan dengan kriteria inklusi yaitu telah menderita batuk lebih dari 3 minggu, menderita  demam lebih dari 3 minggu, dan bersedia untuk dilakukan wawancara, sedangkan kriteria  eksklusi jika responden meninggal atau pindah dan tidak mau untuk dilakukan wawancara. 

   


(49)

xlix   

3.4.    Metode Pengumpulan Data 

1.   Data Primer 

  Pengumpulan  data  langsung  dari  hasil  wawancara terhadap  responden  yaitu:  dengan  menggunakan  instrument  penelitian  berupa  kuesioner.  Data  primer  yang  dikumpulkan  adalah  semua  data  yang  termasuk  variabel  independen  dan  variabel  dependen. 

2.  Data Sekunder 

  Data sekunder diperoleh, catatan hasil pemeriksaan sputum dan formulir laporan  puskesmas dan rumah  sakit serta data data yang ada di  dinas kesehatan  Kabupaten  Tapanuli Utara. 

  Ancok (Singarimbun,1987) menyatakan bahwa alat ukur dilakukan sahih apabila alat  ukur tersebut dapat mengukur konsep yang sebenarnya ingin diukur. 

 Apabila peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk pengumpulan data,  maka kuesioner tersebut harus dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Untuk menguji  keterandalan instrumen, dilakukan uji ketepatan (validitas) dan uji ketelitian (reliabilitas).   

3.5.  Definisi Operasional 

Tabel 3.1. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel   

Variabel  Independent 

Sub  Variabel 

Defenisi  Alat Ukur  Hasil Ukur  Kriteria  Skala 

Faktor  Umur  Usia responden  penelitian di hitung 

Kuesioner  1. 17 – 20 thn  2. 21 – 30 thn 


(50)

dari tanggal lahir  sampai dengan  ulang tahun terakhir 

3. 31    40 thn  4. 40 – 50 thn  5. > 50 thn  Jenis 

Kelamin 

Identitas yang  menunjukkan  perbedaan  responden  

Kuesioner  0 = perempuan  1 = laki laki 

  Nominal  Predisposisi 

Pendidikan  Pendidikan fomal  tertinggi yang  pernah dijalani oleh  responden dengan  mendapat ijazah 

Kuesioner  1. Tidak  Sekolah  2. SD  3. SLTP  4. SLTA  5. DIII/PT 

Rendah      Tinggi 

Ordinal 

  Pengetahuan  Segala sesuatu yang  diketahui responden  tentang penyakit TB  paru 

Kuesioner  Jawaban benar  < 35%.  Jawaban benar 

35 % 

Kurang      Baik 

Ordinal 

  Sikap  Suatu tindakan atau  perilaku reponden  dalam mengatasi  atau mampu  melaksanakan  pelanggulangan  penyakit TB Paru. 

Kuesioner  Jawaban benar  < 35%.  Jawaban benar 

 35 % 

Kurang      Baik  Ordinal                   


(51)

li   

Lanjutan Tabel 3.1. 

  Kepadatan 

Hunian 

Jumlah anggota  keluarga yang  tinggal dalam satu  rumah:  

1.  2 3 orang  2.  4 5 orang  3.  > 5 orang   

 

Kuesioner  1. Baik  2. Kurang     

  Nominal       

Ventilasi  Kondisi rumah yang  memiliki sirkulasi  udara keluar masuk  yang cukup dengan  luas ventilasi  minimal 10% dari  luas lantai. 

Kuesioner  1. Ya  2. Tidak       

  Nominal 

Pencahayaan  sinar  matahari 

Kondisi masuknya  cahaya matahari  yang dapat  menerangi  keseluruh ruangan 

Kuesioner  1. Ya  2. Tidak  

  Nominal        Faktor  Enabling      Lantai  Rumah 

Kondisi keadaan  ubin yang digunakan  responden sebagai  dasar rumah 

Kuesioner  1. Ya  2. Tidak 

  Nominal 

Faktor  Reinforcing 

Pembinaan  Petugas 

Ada tidaknya  bimbingan dan  penyuluhan yang  dilakukan petugas  kesehatan terhadap  responden 

Kuesioner  1. Ada  2. Tidak Ada 

  Nominal 

  Dukungan  Ada tidaknya  Kuesioner  1. Ada  2. Tidak Ada 


(52)

Keluarga  dukungan keluarga  terhadap responden  Variabel 

Dependent 

Pencegahan  Potensi  penularan TB 

Paru 

Adalah suatu  kegiatan yang  dilakukan responden  dalam penanganan  pelanggulangan  penyakit TB Paru 

Kuesioner  Jawaban benar  < 35%.  Jawaban benar  35 70%  Jawaban benar 

70 % 

Kurang    Sedang    Baik  Ordinal   

3.6.  Metode Pengukuran data 

  Untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan dengan mengunakan  kuesioner dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan kategori : 

a.  Kurang 

b.  Cukup 

3.7.  Metode Analisa Data 

  Metode analisa data yang digunakan adalah regresi logistic berganda pada        =  0,05 bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor karakteristik, perilaku (pengetahuan,  sikap dan tindakan). Kondisi rumah (kepadatan hunian, ventilasi, pencahahayaan ruangan,  lantai rumah).  

3.7.1.  Analisis Univariat  

Untuk melihat distribusi variabel independen meliputi karakteristik, perilaku dan  sanitasi rumah yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi. 


(53)

liii   

3.7.2.   Analisis Bivariat  

Analisis  bivariat  digunakan  untuk  melihat  hubungan  variabel  independen  (pengetahuan, sikap, kepadatan hunian, ventilasi  pencahayaan ruangan dan lantai rumah)  dengan variabel dependen (pencegahan potensi TB Paru),   menggunakan uji Chi kuadrat  dengan α  =  0.05.  

3.7.3.  Analisis Multivariat  

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas

dengan variabel terikat yang mempunyai kemaknaan statistik pada analisis bivariat,

melalui analisis regresi logistik berganda (Multiple Logistic Regression) untuk

mencari faktor risiko yang paling dominan pada beberapa variabel yang dilakukan

secara bersama-sama terhadap terjadinya TB paru. Tahapan analisis multivariat yang

akan dilakukan adalah sebagai berikut (Murti, 1997):

1.

Melakukan analisis pada model univariat pada setiap variabel dengan tujuan

untuk mengestimasi peranan masing-masing variabel.

2.

Melakukan pemilahan variabel yang potensial untuk dimasukkan dalam

model. Variabel yang dipilih atau yang dianggap signifikan adalah variabel

yang mempunyai nilai p kurang dari 0,05 (p<0,05)

3.

Penentuan faktor-faktor penyebab TB paru, variabel yang akan dimasukkan

adalah variabel yang mempunyai nilai p kurang dari 0,05.

   


(54)

BAB 4 

HASIL PENELITIAN 

 

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian    

4.1.1. Letak Geografis dan Astronomis   

Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera  Utara terletak di wilayah pengembangan dataran tinggi Sumatera Utara berada pada  ketinggian antara 300 1.500 meter di atas permukaan laut. Topografi dan kontur tanah  Kabupaten Tapanuli Utara beraneka ragam yaitu datar 3,15%, landai 26,86%, miring 25,62%  dan terjal 44,35%. 

Secara astronomis Kabupaten Tapanuli Utara berada pada posisi 10° 20°  20° 41°  Lintang Utara dan 98° 05°  99° 16° Bujur Timur. Sedangkan secara geografis letak Kabupaten  Tapanuli Utara di apit atau berbatasan langsung dengan 5 Kabupaten yaitu:  

1.  Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir 

2.  Sebelah Timur berbatasan Kabupaten Labuhan Batu 

3.  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan 

4.  Sebelah  Barat  berbatasan  dengan  Kabupaten  Humbang  Hasundutan  dan       Tapanuli Tengah. 


(55)

lv   

Letak Geografis dan Astronomis Kabupaten Tapanuli Utara ini sangat menguntungkan  karena berada jalur lintas dari beberapa Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara. 

 4.1.2 Luas Wilayah 

Luas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara sekitar 3.800,31 km2 terdiri dari luas  dataran 3.793,71 km2  dan luas perairan Danau Toba 6,60 km2. Terdiri dari 15 Kecamatan,  225 Desa/Kelurahan (214 Desa dan 11 Kelurahan). Kecamatan yang paling luas di Kabupaten  Tapanuli  Utara adalah Kecamatan Garoga sekitar 567,58 km2   atau 14,96% dari  luas  Kabupaten dan Kecamatan yang terkecil luasnya yaitu Kecamatan Muara sekitar 79,75 km2  atau 2,10%. 

4.1.3. Sosiodemografi 

Jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 262.642 jiwa yang terdiri dari :  laki laki 130.429 jiwa, dan perempuan 132.213 jiwa.  


(56)

Tabel 4.1.     Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur  di  Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 

 

Jumlah Penduduk 

No  Kelompok Umur (Tahun) 

Laki laki  Perempuan 

1  < 1     3.901      2,99    3.913     2,96  2  1 – 4   12.353      9,47  11.468     8,67  3  5 – 14  36.197   27,76  33.765   25,54  4  15 – 44  53.722   41,19  51.861   39,23  5  45 – 64  18.342   14,06  21.433   16,21  6   65    5.914     4,53    9.773     7,39 

  Jumlah  130.429  100,00  132.213  100,00 

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten  

 

Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur  menurut jenis kelamin laki laki di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2008 yang terbanyak  adalah pada kelompok umur 15 44 tahun yaitu 53.722 orang atau sekitar 41,19% dan yang  terkecil pada kelompok umur <1 tahun yaitu 3.091 atau sekitar 2,99%   dan pada jenis  kelamin perempuan yang terbanyak pada kelompok umur      15 44 tahun yaitu 51.861 atau  sekitar 39,23% dan terkecil pada kelompok umur <1 tahun yaitu 3.913 atau sekitar 2,96%. 

Tabel 4.2.  Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Di Kabupaten   Tapanuli Utara  Tahun 2008 

 


(57)

lvii   

No  Tingkat Pendidikan  Jumlah 

1  Tidak Sekolah   105.345    40,11 

2  SD     53.106    20,22 

3  SLTP     56.784    21,62 

4  SLTA     42.180    16,06 

5  DIII/PT       5.227      1,99 

        Total    262.642  100,00 

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten    

Tabel  4.2  diatas  dapat  dilihat  bahwa  jumlah  penduduk  berdasarkan  tingkat  pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 terbanyak pada tingkat pendidikan  tidak sekolah sebesar 105.345 atau sekitar 40,11% dan yang terkecil pada DIII/PT yaitu  sebesar 5.227 atau sekitar 1,99%. 

             


(58)

   

4.1.4. Sarana dan Tenaga Kesehatan  

Tabel 4.3 Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara 

Tahun 2008   

   No          Kecamatan  Dokter  Bidan   Perawat 

1. Parmonangan  3  4,68  4  1,01  9  4,33 

2. Adian Koting  2  3,13  15  3,82  9  4,33  3. Sipoholon   7  10,94  65  16,53  21  10,10 

4. Tarutung  4  6,25  38  9,67  16  7,69 

5. Siatas Barita  4  6,25  19  4,84  10  4,81  6. Pahae Julu  1  1,56  16  4,07  7  3,37 

7. Pahae Jae  5  7,81  18  4,58  3  1,44 

8. Purbatua  2  3,13  6  1,53  2  0,96 

9. Simangumban  2  3,13  5  1,27  3  1,44 

10. Pangaribuan  4  6,25  16  4,07  13  6,25 

11. Garoga  1  1,56  11  2,80  6  2,88 

12. Sipahutar      24  6,11  4  1,92 

13. Siborong borong  3  4,68  46  11,71  17  8,17 

14. Pagaran  2  3,13  16  4,07  11  5,29 

15. Muara  2  3,13  15  3,82  13  6,25 


(59)

lix   

16. Dinas Kesehatan  3  4,68      6  2,88 

17. Rumah Sakit Umum  19  29,69  79  20,10  58  27,89 

Total  64  100,0  393  100,0  208  100,0 

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Tapanuli Utara  

Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan  dokter menurut kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara adalah 64 orang, perawat 208  orang, Bidan 393 orang. 

Tabel 4.4 Jumlah Fasilitas Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli  Utara Tahun 2008 

 

No  Kecamatan  Rumah Sakit  Umum 

Puskesmas  Biasa 

Puskesmas  Rawat Inap 

Puskesmas 

Pembantu  Polindes  Posyandu 

1. Parmonangan    2    4  10  24 

2. Adian Koting    1    6  8  17 

3. Sipoholon     2    5  33  36 

4. Tarutung  1  1    5  13  39 

5. Siatas Barita    1    4  3  15 

6. Pahae Julu    1    4  13  24 

7. Pahae Jae      1  1  10  17 

8. Purbatua    1    1    14 

9. Simangumban    1        9 

10. Pangaribuan    1  1  7  10  36 


(60)

12. Sipahutar      1  3  12  35 

13. Siborong borong    1    6  13  34 

14. Pagaran      1  4  9  21 

15. Muara    1    3  14  18 

  Total  13  59  156  362 

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Taput  

Berdasarkan  tabel  4.4  diatas  dapat  diketahui  bahwa  jumlah  rumah  sakit  di  Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2007 sebanyak 1 unit, puskesmas biasa 13 unit, puskesmas  rawat inap 5 unit, pustu 59 unit, polindes 156 unit dan posyandu 362 unit. 

4.2.

Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi

frekuensi atau besarnya proporsi baik pada kasus maupun kontrol pada

masing-masing variabel yang diteliti.

4.2.1.

Faktor Predisposisi

Hasil analisis univariat pada faktor predisposisi (umur, jenis kelamin, pendidikan,  pengetahuan dan sikap) dapat dilihat secara rinci pada tabel 4.5 di bawah ini: 

Tabel 4.5.  Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di 

Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008     


(1)

  Interviewer bias adalah bias yang bersumber dari pewawancara sendiri. Hal ini  diakibatkan  pemahaman  seorang  pewawancara  berbeda  dengan  pewawancara  lain,  sehingga pemahaman tentang satu pertanyaan di kuesioner mungkin saja berbeda. Untuk  mengatasi hal ini peneliti sudah melakukan pelatihan terhadap pewawancara di lapangan,  uji coba kuesioner untuk menguji validitas dan reliabilitas kuesioner, maka diharapkan  terjadi kesamaan pemahaman terhadap pertanyaan yang ditujukan kepada responden. 

 


(2)

BAB 6 

KESIMPULAN DAN SARAN 

 

6.1.  Kesimpulan  

 Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya maka  dapat disimpulkan bahwa : 

1. Ternyata dari tiga variabel faktor predisposisi yang dianalisa secara bivariat yaitu:  pendidikan, pengetahuan dan sikap  yang  diteliti di Kabupaten Tapanuli  Utara  semuanya memiliki hubungan yang bermakna dengan potensi penularan TB Paru  2. Faktor enabling yang dianalisa secara bivariat, ditemukan tiga variabel yang terbukti 

berhubungan  secara  signifikan  terhadap  potensi  penularan  TB  Paru  yaitu:  kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan. 

3. Faktor reinforcing yang dianalisa secara bivariat, di temukan dua variabel yang  terbukti berhubungan secara signifikan terhadap potensi penularan TB Paru yaitu:  pembinaan petugas dan dukungan keluarga. 

4. Berdasarkan  hasil  uji  multivariat,  didapatkan  delapan  variabel  yang  menjadi  prediktor  yaitu:  sikap,  pembinaan  petugas,  ventilasi,  pendidikan,  dukungan  keluarga, pencahayaan, pengetahuan dan kepadatan hunian dengan faktor dominan  adalah sikap. 


(3)

 

6.2.  Saran  

1. Perlunya upaya peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat tentang upaya  pencegahan dan penanggulangan penyakit TB paru melalui penyuluhan penyuluhan,  simulasi dan penberdayaan arisan ibu ibu dengan memasukkan konsep pencegahan  penyakit  TB  paru,  pemutaran  film  bertajuk  pencegahan  dan  penanggulangan  penyakit TB paru 

2. Perlunya dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang rumah sehat sebagai upaya  pencegahan penyakit TB paru pada masyarakat oleh petugas kesehatan 

3. Untuk Dinas Kesehatan, perlunya upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan  derajat kesehatan secara khusus mengenai penyakit TB paru 

4. Dinas  Kesehatan  melakukan  capacity  building  petugas  untuk  meningkatkan  pembinaan masyarakat khususnya mengenai TB paru oleh petugas kesehatan 

5. Peningkatan kerja sama lintas sektoral khususnya dinas pekerjaan umum dalam  pembangunan perumahan sesuai standar kesehatan. 


(4)

DAFTAR PUSTAKA   

 

Aditama,  T.,  1994.  Tuberkulosis  Paru  Masalah  dan  Penanggulangannya.  Penerbit  Universitas Indonesia Press. Jakarta. 

 

Aditama, T.,  2002.  Tuberkulosis;  Diagnosis,  Terapi dan  Masalahnya. Edisi  ke  empat.  Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta. 

 

Crofton, J., 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi Kedua. Widya Medika. Jakarta.   

Depkes RI., 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan Kedelapan.  Jakarta. 

 

Depkes  RI.,  2002.  Keputusan  Menteri  Kesehatan  Republik  Indonesia  Nomor 

829/MENKES/SK/VII/1999  Tentang  Persyaratan  Kesehatan  Perumahan. 

Cetakan ke II. Jakarta.   

Depkes RI., 2004. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.   

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara., 2005. Profil Kesehatan Kabupaten Tapanuli  Utara. Medan. 

 

Dinas  Kesehatan  Kabupaten  Tapanuli  Utara.,  2006.  Profil  Kesehatan  Tapanuli  Utara.  Medan. 


(5)

Dinas Kesehatan RI., 1995. Survey Kesehatan dan Rumah Tangga tahun 1995. Balitbangkes.  Jakarta. 

 

Gotama I., 2002. Pengembangan Model Pemberantasan Penyakit Berbasis Lingkungan 

Melalui  Pendekatan  Kota  Sehat  di  Kabupaten  Tangerang.  Balitbangkes. 

www.e litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.   

Green. I., 2005. Health Program Planning: An Educational And Ecological  Approach.  Marshall Kreuter. Fourth Edition. Boston. 

 

Harwinta,  dkk.,  2005.  Modul  Kuliah  Kesehatan  Lingkungan.  Sekolah  Pascasarjana.  Universitas Sumatera Utara. Medan. 

 

Herryanto, dkk., 2001. Riwayat Pengobatan Penderita. TB Paru Meninggal di Kabupaten  Bandung. Balitbangkes. www.e litbangkes.com Diakses Tanggal 24 Mei 2007.  Murti, B., 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Cetakan Pertama Edisi Pertama. 

Gajah Mada Press. Yogyakarta. 

  69

Musaddad, A., 2002. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penularan 

Penyakit Tuberkulosis Paru. www.e litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 

2007.   

Notoatmodjo, S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Kedua. Penerbit Rineka  Cipta. Jakarta. 

 

Phelan, P., 1982. Respiratory Illness Childhood. Second Edition. Alden Press. Oxford.   


(6)

Riduwan,  M.,  2003,  Skala  Pengukuran  Variabel variabel  Penelitian.  Cetakan  Kedua,  Penerbit Alfabeta. Jawa Barat. 

 

Sastroasmoro,  S.,  1995.  Dasar dasar  Metodologi  Penelitian  Klinis.  Penerbit  Binarupa  Aksara. Jakarta. 

 

Setiono, K., 1998. Editor. Manusia, Kesehatan dan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung.   

Sukana, B., 2000. Penelitian Pengobatan Penderita TB Paru dengan Memberdayakan  Tenaga Anggota Keluarga di Tangerang. Balitbangkes. www.e litbangkes.or.id  Diakses Tanggal 24 Mei 2007. 

 

..., 1998. Faktor Lingkungan Perumahan Penduduk Penderita TBC Terhadap  Angka Bakteri TBC di DT II Kab. Tangerang Jawa Barat. Balitbangkes. www.e litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007. 

 

...,  1997.  Pengaruh  Lingkungan  Perumahan  Penduduk  Penderita  TB  Paru 

Terhadap Angka Bakteri Tahan Asam (BTA) pada Perumahan di DT II Kab. 

Tangerang Jawa Barat. Balitbangkes. www.e litbangkes.or.id Diakses Tanggal 

24 Mei 2007.   

Wibowo, C., 2004. Kasus Kontak Tuberkulosis Paru Rumah Sakit Umum Pusat Manado.  Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali. www.e litbangkes.or.id Diakses  Tanggal 24 Mei 2007.