Epidemologi TB Paru Landasan Teori

xxvi getah bening, dan lain lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru paru.

2.2. Epidemologi TB Paru

Survei prevalensi TB paru tahun 2004 di Indonesia dengan jumlah sampel 86.000 rumah tangga menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang berada di pedesaan lebih rendah di banding masyarakat perkotaan mengenai gejala gejala penyakit TB paru, penularan TB paru. Hasil survei juga menemukan bahwa sikap masyarakat pedesaan dalam pencarian pengobatan TB paru lebih rendah dibanding masyarkat di perkotaan Depkes RI, 2004. Penelitian follow up yang dilakukan Gotama 2002, di Tangerang menyimpulkan bahwa sanitasi perumahan yang jelek, pemakaian sumber air minum, dan air bersih yang tidak terlindungi menyebabkan peningkatan kasus TB paru sebesar 0,5. Penelitian yang dilakukan Firdous 2005 di poli paru Rumah Sakit Persahabatan jakarta menemukan bahwa faktor faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan kesembuhan ketidaksembuhan orang yang sedang berobat TB paru adalah merokok OR = 7,78, penghasilan OR = 7,56, pengetahuan tentang TB paru OR = 5,51, sikap terhadap proses poengobatan Tb paru OR = 6,27, perilaku OR = 6,83, keadaan rumah di pandang dari segi kesehatan OR = 6,68, program OAT gratis drai pemerintah OR = 4,15, PMO OR = 4,52, keadaan gizi OR = 9,95. xxvii Penelitian yang dilakukan Sukana 1998, di Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang, diperoleh angka ketaatan minum obat penderita dengan memberdayakan tenaga anggota keluarga lebih baikberbeda makna dibandingkan dengan tanpa pemanfaatan anggota keluarga tenaga PMO. Angka konversi BTA + setelah terapi intensif 2 bulan adalah 81,8 dan 62,5 untuk kasus dengan PMO dari anggota keluarga tanpa PMO, sedangkan angka konversi BTA akhir terapi adalah masing masing 100. Angka konversi dahak poenderita setelah terapi intensif pada akhir terapi antara dua kelompok tidak berbeda makna P0,05.

2.3. Penularan

TB paru Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA +. Penularan terjadi pada waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman bakteri ke udara dalam bentuk droplet percikan dahak. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian bagian tubuh lainnya Depkes RI, 2002. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif tidak terlihat kuman maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut Depkes RI, 2002. xxviii Perlu diketahui bahwa basil tuberkulosis dalam paru tidak hanya keluar ketika penderita TB paru batuk. Basil tuberkulosis juga dapat keluar bila penderita bernyanyi, bersin atau bersiul. Di Jepang dan Inggris telah ada beberapa kali laporan menunjukkan penularan tuberkulosis pada murid sekolah, terutama yang duduk di barisan depan yang tertular dari guru yang mengajar di depan kelas Aditama, 1994. Hal penting yang perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang terhirup basil tuberkulosis akan mejadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberkulosis. Risiko orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB Paru pada ARTI Annual Risik of Tuberculosis Infenction sebesar 1. Hal ini berarti diantara 100.000 penduduk rata rata terjadi 100 penderita TB paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif Depkes RI, 2002.

2.3.1 Gejala Penyakit TB Paru

Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada banyaknya jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini berkaitan bagaimana bentuk kerusakan paru yang ada Aditama, 1994. Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa: 1. Batuk lebih dari 3 minggu 2. Batuk berdarah 3. Sakit di dada selama lebih dari 3 minggu xxix 4. Demam selama lebih dari 3 minggu Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila terdapat tanda tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaan Crofton, 2002 Gejala tubuh penderita tuberkulosis secara umum dapat berupa; 1. Keadaan umum, kadang kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan 2. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami kenaikan suhu badan secara tidak teratur 3. Nadi, pada umumnya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam 4. Dada, seringkali menunjukkan tanda tanda abnormal. Hal paling umum adalah krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara pernapasan bronkial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan Wheezing terlokalisasi disebabkan oleh tuberkulosis Crofton, 2002.

2.3.2. Diagnosis TB Paru

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksan jasmani radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat Indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TB paru. Uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis Depkes RI, 2004. 1. Gejala Klinik xxx Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik dan gejala sistemik. a. Gejala respiratorik dapat berupa 1 Batuk lebih atau sama dengan 3 minggu 2 Batuk darah 3 Sesak napas 4 Nyeri dada b. Gejala sistemik 1 Demam 2 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 2. Pemeriksaan Jasmani Pemeriksaan jasmani akan dijumpai sangat tergantung luas dan kelainan struktural paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya atau sulit sekali menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas lemah, ronkhi basa, tanda tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum Aditama, 2002. 3. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologi standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi:L foto apiko lordotik, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto xxxi toraks tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam macam bentuk multiforom. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: a. Bayangan berawannodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. b. Kapitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan atau nodular. c. Bayangan bercak milier. d. Efusi pleura unilateral. Gambaran radiologist yang dicurigai lesi TB inaktif: a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas b. Kalsifikasi atau fibrotik c. Fibrothorax dan atau penebalan pleura 4. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan darah dan uji tuberkulin. a. Pemeriksaan bakteriologik Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahkan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari sputum, bilasan bronkhitis, jaringan paru, cairan pleura b. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju Endap Darah LED jam pertama dan kedua dibutuhkan. Data ini dapat xxxii dipakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologi penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebaga predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan biologikdaya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresitidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. c. Uji Tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB paru di darah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan sebelumnya atau apabila ada kepositifan uji yang di dapat besar sekali atau timbul bulae.

2.3.3. Tipe Penderita TB Paru

Tipe penderita ditetntukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita, yaitu: 1. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan 30 dosis harian. xxxiii 2. Kambuh Relaps Adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 3. Pindahan Transfer In Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupatenkota lain dan kemudian pindah berobat ke kabupatenkota lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukanpindah. 4. Lalai Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif. 5. Lain lain a. Gagal Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih. b. Kronis Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan basil BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 depkes RI, 2002. Program penanggulangan Tuberkulosis DepKes 2002. xxxiv Strategi : 1. Paradigma Sehat a. Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta meningkatkan cakupan program. b. Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat. c. Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu. 2. Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. b. Diagnosa TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. c. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat PMO. d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC. 3. Peningkatan mutu pelayanan. a. Pelatihan seluruh tenaga pelaksana. b. Ketetapan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. c. Kualitas labolatorim diawasi melalui pemeriksaan uji silang cross check. xxxv d. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan labolatorium, dibentuklah KPP Kelompok Puskesmas Pelaksana terdiri dari 1 satu PRM Puskesmas Rujukan Mikroskopik dan beberapa PS Puskesmas Satelit. Untuk daerah dengan geografis sulit dapat dibentuk PPM Puskesmas Pelaksana mandiri. e. Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan. f. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus. g. Keteraturan menelan obat sehari – hari diawasi oleh pengawas oleh Pengawas Menelan Obat PMO. Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab petugas kesehatan. h. Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar.

2.4. Pendidikan

dan Perilaku Kesehatan 2.4.1. Prinsip Prinsip Pendidikan Kesehatan Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu penting untuk menunjang program program kesehatan lain, tetapi pada kenyataannya pengakuan ini tidak didukung oleh kenyataan. Program program pelayanan kesehatan kurang melibatkan pendidikan kesehatan, meskipun ada tetapi kurang efektif. Argumentasi yang dikemukakan untuk hal ini adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan tidak jelas memperlihatkan hasilnya. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan itu tidak segera membawa manfaat bagi masyarakat, yang dapat dengan mudah dilihat atau diukur, karena xxxvi pendidikan adalah behavior investment jangka panjang. Hasil investment pendidikan kesehatan baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian. Dalam waktu yang pendek immediate impact pendidikan kesehatan hanya menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan masyarakat, sedangkan peningkatan pengetahuan saja, belum berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku, sebagai hasil jangka menengah intermediate impact dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran outcome pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda dengan program kesehatan yang lain, terutama program pengobatan yang dapat langsung memberikan hasil immediate impact terhadap penurunan kesakitan. Menurut H.L. Blum di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang sudah maju. Belum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan, dan berturut turut disusul oleh perilaku, memberikan andil nomor dua, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap suatu kesehatan Notoatmodjo,2002. Bagaimana proporsi pengaruh faktor faktor tersebut terhadap status kesehatan dinegara negara berkembang terutama di Indonesia, belum ada penelitiannya. Bila dilakukan penelitian, mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar. Meskipun variabel ekonomi di sini belum mewakili seluruh variabel lingkungan, tetapi paling tidak pengaruh perilaku lebih besar daripada variabel lain. xxxvii Selanjutnya Green dan Marshall 2005 menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor faktor predisposisi predisposing factors, faktor faktor yang mendukung enabling factor dan faktor faktor yang memperkuat atau mendorong reinforcing factor. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut. Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat. Beberapa komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan langsung dengan perilaku, antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai nilai, dan menyadari kemampuan dan keperluan seseorang atau masyarakat terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan motivasi dari individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan , Green dan Marshall, 2005. Sebagai contoh perilaku masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya akan lebih baik, jika masyarakat tahu apa manfaat periksa kesehatan tahu siapa dan dimana periksa kesehatan tersebut dilakukan. Demikian pula, perilaku tersebut akan dipermudah jika masyarakat yang bersangkutan mempunyai sikap yang positif terhadap periksa kesehatan. Kepercayaan, tradisi, sistem, nilai di masyarakat setempat juga dapat mempermudah positif atau mempersulit negatit perilaku seseorang, Notoatmodjo, 2005. Pada umumnya, faktor enabling memudahkan penampilan seseorang atau masyarakat untuk melakukan suatu tindakan. Faktor ini meliputi sumber sumber daya xxxviii pelayanan kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan, dan kesanggupan. Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti ketersediaan transportasi atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling juga meliputi keterampilan orang, organisasi, atau masyarakat untuk melaksanakan perubahan perilaku, Green dan. Marshall, 2005. Faktor enabling menjadi target langsung dari organisasi masyarakat atau perkembangan organisasi dan intervensi training dalam suatu program dan terdiri dari somber daya dan keahlian baru yang diperlukan untuk melakukan tindakan kesehatan dan tindakan kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengubah lingkungan. Sumber daya meliputi organisasi, individu dan kemudahan dari fasilitas pelayanan kesehatan, sekolah dan klinik. Keahlian kesehatan perorangan seperti pendidikan kesehatan sekolah, merupakan tindakan kesehatan khusus. Keahlian dalam rnempengaruhi masyarakat, digunakan untuk tindakan sosial dan perubahan masyarakat dalam melakukan tindakan kesehatan, Green dan Marshall, 2005. Menurut Notoatmodjo 2005, faktor enabling adalah faktor pemungkin atau pendukung seperti fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan adanya umpan balik feedback dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga kesehatan. Dalam pengembangan program kesehatan, sumber daya yang mendukung sangat tergantung pada tujuan dan jenis xxxix program. Dalam program kesehatan kerja, sumber daya manusia adalah pekerja, supervisor, pemimpin; dan anggota keluarganya dapat menjadi penguat program. Dalam perencanaan perawatan pasien, sebagai penguat reinforcement adalah perawat pasien, dan anggota keluarganya, Green dan Marshall 2005. Reinforcing dapat positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang di dalam lingkungannya Green dan Marshall, 2005. Pendapat Blum dan Green dapat dimodifikasi sebagai berikut : Keturunan Pelayanan Status Lingkungan Kesehatan Kesehatan Perilaku Predisposing Factors pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, Enabling Factors ketersediaan sumber sumberfasilitas Reinforcing Factors sikap dan perilaku xl Pemeberdayaan Pada Masyarakat Pemasaran Sosial Pengembangan Organisasi Komunikasi Dinamika Training Pengembangan organisasi Pendidikan Kesehatan Sumber : Notoadmodio 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Gambar 2.1.: Skema Modifikasi Teori Blum dan Green Dari skema tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku, sehingga perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai nilai kesehatan. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan adalah suatau usaha untuk menyediakan kondisi psikologis dari sasaran, agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai nilai kesehatan Notoatmodjo. S, 2003.

2.4.2. Perilaku Kesehatan

Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia xli itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup : berbicara, berjalan, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dibedakan oleh organisme tesebut baik dapat diamati secara langsung atau tidak langsung Notoatmodjo. S, 2003. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik keturunan dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup, termasuk perilaku manusia. Heriditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk itu untuk selanjutnya. Di sisi lain, lingkungan adalah merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon dan stimulus atau. perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif pengetahuan, persepsi dan sikap, maupun bersifat aktif tindakan yang nyata. Sedangkan stimulus atau rangsangan di sini terdiri 4 empat unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan Notoatmodjo. S, 2003. xlii

2.5. Lingkungan

Perumahan Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit. Secara garis besar lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial. Lingkungan fisik perumahan berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik meliputi udara, kelembaban, air, pencemaran udara, pencahayaan, ventilasi rumah, dan lain sebagainya.

2.5.1. Ventilasi

Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia di dalam rumah. Atmosphere yang ideal adalah bila udaranya kering tapi sejuk dan sirkulasi gerakan angin yang terus menerus. Inilah sebenarnya fungsi ventilasi, menyediakan udara segar dan melenyapkan udara yang jenuh dan tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi khemis. Mc. Nall dalam buku perumahan sehat karangan Pandapotan Lubis, bahwa temperatur optimal di dalam rumah adalah 73 – 77 F 23 – 25 C, kelembaban antara 20 – 60. Josef Lubart menganjurkan batas antara 68 F dengan kelembaban relatif 50 sampai dengan 76 F. Udara yang bersih merupakan komponen utama di dalam rumah dan sangat diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan xliii masalah ventilasi. Untuk itu luas ventilasi alamiah yang permanen seharusnya dirancang 10 dari luas lantai Depkes RI, 1999. Penelitian yang dilakukan Sumarjo 2004 di Kabupaten Banjarnegara mendapatkan bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai OR = 6,176, p = 0,003. 2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan. Sebab rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, kamar tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan kakus. Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan hunianper meter persegi sehingga efek sinergis yang diciptakan sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan bersama dengan terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan hunian pada setiap keluarga. Dengan demikian bakteri TBC dirumah penderita TB paru semakin banyak, bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan penularan TB paru melalui droplet dan kontak langsung. Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia FT. UI, 1998 menggunakan luas rumah per penghuni yang dibedakan xliv dalam 5 kategori yaitu 3,9m 2 orang, 4 5 m 2 orang, 5 6,9m 2 orang, 7 8m 2 orang dan 9m 2 orang. Depkes RI 1999 menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur. Penelitian Daryatno tahun 2000 di Semarang mendapatkan bahwa kepadatan hunian ada kaitan dengan kejadian tersangka TB paru. Penelitian yang dilakukan Sugiharto tahun 2004 juga menemukan bahwa ada hubungan kepadatan hunian ruang tidur dengan kejadian TB paru dengan nilai OR = 3,161, 0 = 0,001.

2.5.3. Lantai Rumah

Kualitas tanah pada perumahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a timah hitam Pb maksimal 300 mgkg, b arsenik total maksimal 100 mgkg, c cadmium Cd maksimal 20 mgkg dan Benzo pyrene maksimal 1 mgkg Depkes RI, 1999. Komposisi tanah tergantung kepada proses pembentukan, iklim, jenis tumbuhan yang ada, suhu, air yang ada. Tanah merupakan sumber daya alam yang mengandung bahan organik dan anorganik yang mampu mendukung hara dan air yang perlu ditambah untuk pengganti yang habis pakai Modul Kuliah pasca sarjana, 2005.

2.5.4. Pencahayaan Ruangan

Bakteri TBC akan mati jika terpapar cahaya matahari secara langsung memerlukan waktu sekitar 6 8 jam dan cahaya ruangan yang kurang sekitar 2 – 7 hari. Sputum yang mengandung bakteri TBC di dalam ruangan yang gelap dapat hidup berminggu minggu atau berbulan bulan Default dalam Crofton, 2002. xlv Pencahayaan alam danatau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan Depkes RI, 1999.

2.6. Landasan Teori

MacMahon dan Pugh 1970 dalam Murti 2003 mengemukakan bahwa setiap efek atau penyakit tak pernah tergantung kepada sebuah faktor penyebab, tetapi tergantung kepada sejumlah faktor dalam rangkaian kausalitas sebelumnya. Faktor faktor yang memudahkan terjadinya efek disebut promotor sedangkan yang menghambat terjadinya efek disebut inhibitor. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Penyebaran penyakit TB paru dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan sanitasi perumahan seperti pencahayaan, ventilasi, kepadatan hunian, lantai rumah, status gizi, daya tahan tubuh. xlvi

2.7. Kerangka Konsep