Pelayanan Publik di Bandar Udara Polonia Medan

(1)

PELAYANAN PUBLIK

DI BANDAR UDARA POLONIA MEDAN

Oleh :

YULI SUDOSO HASTONO NIM : 057024047

PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2008


(2)

ABSTRACT

Public service nowadays have come to central issue in creation of development in Indonesia. And the thesis study about implementation of public service in Office of Administrator Airport of Polonia.

Public service or the public service can be defined as all the form of service, good in the form of public goods and also service of public which in principle become responsibility and executed by governmental institution in Center and in environment of BUMN or BUMD, in order to effort of accomplishment of requirement socialize and also in order to execution of law and regulation rule. Equally, organizer of public service [is] governmental institution.

Along with concept of service of public which progressively extend demand socialize to be applied by a public service do not only in autonomous framework of nearer area at governance system. But nowadays socialize to wish public service conducted by all area. Every institution of public service have to own standard of service and publicized to consumer as guarantee of existence of certainty for service receiver. type of public Service in Airport of Polonia of Field cover first, service activities landing, location and depository of aeroplane ( PJP4U). Second, service activities of Aeroplane Passenger ( PJP2U). Third, service activities Air transport (PJP). Fourth, service activities of Usage Counter. Fifth, service activities of Usage Garbarata. In research of this thesis will focussed at Service Activities of Aeroplane Passenger ( PJP2U).

Result of research show first that, procedure of permanent service there have that is Decree of Director-General of Communication of Air of Number SKEP/284/X/1999. Second, time of solving of disagree with standard of service in Airport of Polonia covering check in which is lost time etc. Third, expense of service which is disagree with service accepted by society. Fourth, product of service that is result of service not yet as according to standard of existing service. Fifth, medium which not yet adequate. Sixth, interest of worker which not yet as according to requirement in airport of Polonia Field.


(3)

ABSTRAK

Pelayanan publik kini telah menjadi isu sentral dalam penciptaan pembangunan di Indonesia. Dan tesis membahas tentang implementasi pelayanan publik di Kantor Administrator Bandar Udara Polonia

Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah.

Seiring dengan konsep pelayanan publik yang semakin meluas tuntutan masyarakat untuk diterapkan pelayanan publik tidak hanya dalam kerangka otonomi daerah yang lebih dekat pada sistem pemerintahan. Namun kini masyarakat menginginkan pelayanan publik dilakukan disegala bidang. Setiap penyelenggaran pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan kepada konsumen sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Jenis pelayanan publik di Bandar Udara Polonia Medan meliputi pertama, pelayanan jasa pendaratan, penempatan dan penyimpanan pesawat udara (PJP4U). Kedua, pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U). Ketiga, pelayanan Jasa Penerbangan (PJP). Keempat, pelayanan Jasa Pemakaian Counter. Kelima, pelayanan Jasa Pemakaian Garbarata. Dalam penelitian tesis ini akan memfokuskan pada Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U).

Hasil penelitian menunjukkan bahw pertama, prosedur pelayanan yang baku telah ada yaitu Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/284/X/1999. Kedua, waktu penyelesaian tidak sesuai dengan standar pelayanan di Bandar Udara Polonia yang meliputi check in yang terlambat dll. Ketiga, biaya pelayanan yang tidak sesuai dengan jasa yang diterima oleh masyarakat. Keempat, produk pelayanan yaitu hasil pelayanan belum sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Kelima, sarana dan prasarana yang belum memadai. Keenam, kompetensi petugas yang belum sesuai dengan kebutuhan di bandar udara Polonia Medan.


(4)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ………... 5

1.3. Tujuan Penelitian ………... 5

1.4. Manfaat Penelitian ………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 7

2.1. Pengertian Pelayanan….…... 7

2.2. Pengertian Pelayanan Publik... 8

2.3. Makna dan Tujuan Pelayanan Publik... 10

2.4. Pemberdayaan Pengguna Pelayanan Publik ... 11

2.5. Standarisasi Pelayanan Perizinan Minimal …….……… 16

2.6. Pelayanan Publik Sebagai Sebuah Teori Produk Administrasi Negara ... 21

2.7. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik ... 23

2.8. Efektivitas Pelayanan Publik ... 26

2.9. Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik ... 28

2.10. Pelayanan Publik Di Bandar Udara... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 42

3.1 Jenis Penelitian ... 42

3.2. Definisi Konsep ... 42

3.3. Lokasi Penelitian ... 43

3.4. Informan Kunci ……… 43


(5)

3.6. Teknik Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 45

4.1 Prosedur pelayanan yang harus baku dan berlaku bagi pemberi dan penerima pelayanan... 49

4.2. Waktu Penyelesaian yang Telah Ditetapkan ... 60

4.3. Biaya pelayanan yaitu besarnya biaya yang ditetapkan termasuk rincian dalam pelayanan publik... 64

4.4. Produk pelayanan yaitu hasil pelayanan yang sesuai dengan ketentuan atau standar... 67

4.5 Sarana dan prasarana yang harus tersedia memadai... 67

4.6. Kompetensi Petugas ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Keberadaan suatu Bandara selain sebagai pintu gerbang masuk ke suatu daerah atau negara juga merupakan simbol prestise suatu daerah atau negara yang akan dikenal atau dikenang oleh penumpang pesawat udara baik domestik maupun internasional yang datang dan pergi menggunakan pesawat udara. Demikian halnya dengan Bandara Polonia sebagai bandar udara pusat penyebaran (hub airport) merupakan pintu gerbang Indonesia bagian barat mempunyai nilai strategis dan prestise terhadap pengembangan perekonomian wilayah .

Bandara Polonia dengan luas areal 144 hektar merupakan bandara enclave sipil, artinya bandar udara milik TNI AU yang dipergunakan selain untuk mendukung operasi militer juga untuk melayani penerbangan sipil (penerbangan umum). Sebagai bandara Internasional tentunya selain melayani penerbangan domestik juga melayani penerbangan internasional artinya Polonia sebagai entryport bagi penumpang pesawat udara yang datang maupun berangkat ke luar negeri.

Pelayanan publik kini telah menjadi isu sentral dalam penciptaan pembangunan di Indonesia. Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik


(7)

Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Kep.Menpan No. 63/2003). Pada saat ini masyarakat sangat menuntut pelayanan yang baik yang bisa diberikan oleh negara atau dalam hal ini pemerintah. Demikian pula dengan masyarakat pengguna jasa penerbangan selalu mengharapkan ketersediaan dan keandalan pelayanan jasa bandar udara baik dari segi keselamatan, keamanan dan kenyamanan.

Sedangkan penyelenggaraan pelayanan di suatu bandar udara internasional

membutuhkan sinergitas antara pengelola bandar udara dan pihak lain yang saling

terkait seperti instansi Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, instansi lain terkait dengan intelijen dan pengamanan, maskapai penerbangan, perusahaan penunjang kegiatan penerbangan (diantaranya jasa ground handling, pengisisian bahan bakar pesawat, ,jasa ramp handling, cleaning sevice pesawat,catering service pesawat), perusahaan penunjang kegiatan bandar udara (diantaranya jasa porter, greeting service, jasa ekspor impor atau ekspedisi muatan pesawat udara,parkir service, taxi service,kontraktor layanan kebersihan, konsesioner-konsesiner dan lain-lain). Apabila salah satu instansi atau perusahaan jasa pelayanan saja yang bermasalah tentu akan mempengaruhi kinerja pelayanan bandar udara secara keseluruhan.

Dalam penyelenggaraan pelayanan di bandar udara harus ada keseimbangan antara pertumbuhan pengguna jasa moda transportasi angkutan udara dengan penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana yang mendukung pelayanan di bandar udara, termasuk jasa pelayanan dan informasi bagi masyarakat konsumen pengguna jasa bandar udara. Dari hasil pantauan di lapangan banyak keluhan masyarakat pengguna jasa penerbangan yang belum merasakan adanya pelayanan yang baik di bandar udara


(8)

Polonia, dan nampaknya sudah menjadi pembicaraan publik seperti diantaranya adalah yang dimuat harian Sinar Harapan (Krisman Kaban-2002)”..Wartawan SH yang mendarat di sana beberapa waktu lalu mendapat kesan bahwa bandara Polonia tak beda jauh dengan terminal bus.Fasilitas dengan standar internasonal sulit ditemukan, misalnya absennya penyejuk udara di tempat-tempat konsentrasi penumpang, tidak nyamannya ruang check-in dan check out serta di tempat pegambilan bagasi”. Begitu pula yang dialami oleh Srimaya tenaga kerja yang bekerja di Malaysia mereka merasa tidak nyaman di bandara Polonia Medan, diperlakukan berbelit, dia harus tertahan selama kurang lebih 20 menit untuk kepengurusan pelayanan debarkasi, sementara keluarga dan sahabatnya sudah lama menunggu di luar terminal bandara. Kemudian informasi yang paling baru adalah hasil kerjasama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen bidang program konsultasi publik untuk perbaikan pelayanan jasa bandar udara Polonia mendapatkan 975 pengaduan dari penumpang/ pengguna jasa terhadap kualitas pelayanan, fasilitas dan sarana prasarana di bandar udara Polonia yang dinila jauh dari memuaskan ( Harian Suara Indonesia Baru, 13 Februari 2008)

Berangkat dari informasi dan pemikiran tersebut, maka melalui tesis ini akan dikaji lebih mendalam terhadap implementasi pelayanan publik di bandar udara Polonia. Pelayanan Publik di bandar udara biasa disebut pelayanan jasa kebandarudaraan yang diselenggarakan oleh berbagai instansi dan perusahaan jasa lainnya.

Pengkajian ini tentunya akan dicoba memandang dari berbagai aspek yang mendasari, diantaranya adalah penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk mengimbangi laju pertumbuhan pengguna jasa transportasi, tingkat pemahaman


(9)

masyarakat penguna jasa terhadap aturan dan standar keamanan dan keselamatan penerbangan, kepedulian penyedia jasa dan pemandu jasa untuk melayani pengguna jasa secara lebih baik sampai kepada standar norma yang dijadikan acuan terhadap tingkat pelayanan (level of service)jasa kebandarudaraan itu sendiri.

1.2 Perumusan Masalah

Mengingat pelayanan jasa kebandarudaraan terdiri dari berbagai pelayanan dalam bentuk pelayanan jasa kepada pengguna bandar udara dan berbagai pelayanan jasa pengaturan lalu-lintas udara dan pelayanan lainnya ,sedangkan yang paling dominan berhubungan langsung dengan publik adalah Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara, maka penulis merumuskan masalah yaitu “bagaimana implementasi pelayanan publik di Bandar udara Polonia Medan khususnya terkait dengan Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U)”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui pelayanan publik di Bandar Udara Polonia.

2. Untuk mengetahui kinerja pelayanan terhadap masyarakat yang menggunakan jasa bandar udara Polonia.

1.4. Manfaat Penelitian


(10)

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran sebagai masukan dalam rangka peningkatan pelayanan publik di Bandar Udara Polonia.

3. Bagi Program Studi Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pelayanan

Sama halnya dengan defenisi manajemen, konsep pelayanan didefinisikan juga oleh banyak pakar. Soetopo (1999) dalam (Dr.Paimin Napitupulu Msi) mendefinisikan pelayanan sebagi “suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Atau dapat diartikan bahwa pelayanan adalah serangkaian kegiatan atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain secara lebih memuaskan berupa produk jasa dengan sejumlah ciri seperti tidak terwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan dari pada dimiliki dan pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam mengkonsumsi jasa tersebut. Defenisi yang sangat simpel diberikan oleh Ivancevich, Lorenzi, Skinner dan Crosby (1997: 448) ”Pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia yang menggunakan peralatan.” ini adalah defenisi yang paling simpel. Sedangkan defenisi yang paling rinci diberikan oleh Groonroos (1990: 27) sebagaimana dikutip di bawah ini.

”Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan”

Kotler (1994) dalam (DR Paimin Napitupulu Msi) menyebutkan sejumlah karakteristik pelayanan sebagai berikut:


(12)

1. Intangibility (tidak berwujud);tidak dapat dilihat, diraba, dirasa, didengar, dicium sebelum ada transaksi. Pembeli tidak mengetahui dengan pasti atau dengn baik hasil pelayanan (service outcome) sebelum pelayanan dikonsumsi. 2. Inseparability (tdak dapat dipisahkan), dijual lalu diproduksi dan dikonsumsi

secara bersamaan karena tidak dapat dipisahkan. Karena itu, konsumen ikut berpartisipasi menghasilkan jasa layanan. Dengan adanya kehadiran konsumen, pemberi pelayanan berhati-hati terhadap interaksi yang terjadi antara penyedia dan pembeli. Keduanya mempengaruhi hasil layanan.

3. Variability (berubah-ubah dan bervariasi).Jasa beragam selalu mengalami perubahan, tidak selalu sama kualitasnya bergantung kepada siapa yang menyediakannya dan kapan serta dimana disediakan.

4. Perishability ( cepat hilang, tidak tahan lama); jasa tidak dapat disimpan dan permintaannya berfluktuasi.Daya tahan suatu layanan bergantung kepada situasi yang diciptakan oleh berbagai faktor.

Dari beberapa defenisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa ciri pokok pelayanan adalah tidak kasat mata dan melibatkan upaya manusia (karyawan) atau peralatan lain yang disediakan oleh perusahaan penyelenggara pelayanan.

2.2. Pengertian Pelayanan Publik

Pengertian pelayanan publik adalah berbagai aktivitas yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa (Pamudji 1999) dalam (DR. Paimin Napitupulu Msi).

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 mendefenisikan pelayanan publik sebagai:


(13)

”Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Miliki Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Keputusan MENPAN Nomor 63/2003)

Mengikuti defenisi tersebut di atas, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefenisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Miliki Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan publik atau pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemeritah atau perijinan tersebut mungkin dilakukan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, misalnya upaya Kantor Pertanahan untuk memberikan jaminan kepastian hukum atas kepemilikan tanah dengan menerbitkan akta tanah, pelayanan penyediaan air bersih, pelayanan transportasi, pelayanan penyediaan listrik dan lain-lain. Pelayanan publik, pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan juga mungkin diselenggarakan sebagai pelaksanaan peraturan undangan. Misalnya karena ada ketentuan pelaksanaan peraturan perundang-undangan bahwa setiap pengendara harus memiliki Surat Ijin Mengemudi, maka diselenggarakan pelayanan pengadaan SIM.


(14)

2.3. Makna dan Tujuan Pelayanan Publik

Dukungan kepada pelanggan dapat bermakna sebagai suatu bentuk pelayanan yang memberikan kepuasaan bagi pelanggannya, selalu dekat dengan pelanggannya sehingga kesan yang menyenangkan senantiasa diingat oleh para pelanggannya.

Bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan. Selain itu membangun kesan yang dapat memberikan citra positif dimata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terkendali/terjangkau bagi pelanggan yang membuat pelanggan terdorong atau termotivasi untuk bekerjasama dan berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan yang prima.

Tujuan dari pelayanan publik adalah memuaskan keinginan masyarakat atau pelanggan pada umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan.

Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

2.4. Pemberdayaan Pengguna Pelayanan Publik

Jika membahas mengenai pelayanan publik ini maka, kata kuncinya ialah kemampuan pemerintah mengatur penyediaan beragam pelayanan publik yang responsif, kompetitif dan berkualitas kepada rakyatnya (Abdul Wahab, 1998 : 4). Tuntutan politik yang berkembang di arus global sejak dasawarsa 1980-an memang menunjukkan bahwa pemberian pelayanan publik yang semakin baik pada sebagian besar rakyat merupakan salah satu tolok ukur bagi legitimasi kredibilitas dan sekaligus kapasitas politik


(15)

pemerintah di mana pun (Dahrendorf, 1995; World Development Report, 1997; Abdul Wahab, 1999).

Karena itu diperlukan refleksi kritis untuk mencari alternatif solusi yang dianggap cocok dan mampu memenuhi berbagai kebutuhan baru akan pelayanan publik yang efisien dan berkualitas. Di sinilah menurut hemat saya relevansi teori Governance dengan salah satu pendekatannya yang disebut sociocybernetics approach (Rhodes, 1996). Inti dari pendekatan ini ialah bahwa sejalan dengan pesatnya perkembangan masyarakat dan kian kompleknya isu yang harus segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy making), maka hasil akhir (outcome) yang memuaskan dari kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan sektor pemerintah. Kebijakan publik yang efektif dari sudut pandang teori Governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi (flat Rhodes, 1996; Stoker, 1998-Kazaneigil, 1998; Dowbor, 1998).

Di negara-negara maju, konsep pemberdayaan (empowering) terhadap para pengguna pelayanan publik telah cukup lama menjadi tema sentral dari gerakan-gerakan penyadaran hak-hak konsumen (consumerism) atau gerakan yang memperjuangkan pelayanan publik yang berkualitas (Abdul Wahab, 1997; 1998). Bentuk-bentuk penyadaran hak-hak konsumen itu, menurut Pollitt (1988) bervariasi, mulai dari yang sekedar bersifat "kosmetik” seperti yang dilakukan oleh banyak instansi pemerintah (di Pusat dan daerah) dengan cara menyediakan informasi kepada para konsumen atau menyediakan kotak saran, hingga partisipasi langsung konsumen dalam proses pembuatan keputusan yang menyangkut konteks dan konten pelayanan itu sendiri. Pada


(16)

contoh yang disebut terakhir itu, sesungguhnya tersirat makna “berbagi kekuasaan" (sharing of power). Menarik kiranya untuk mencermati komitmen politik dan komitmen profesional yang kini tengah berkembang dalam studi kebijakan publik yang keduanya mencoba meredefinisi konsep penerima pelayanan publik (recipient of public service) sebagai pelanggan atau konsumen itu.

Penggunaan nomenklatur pelanggan atau konsumen dalam konteks pelayanan publik mengandung makna bahwa hakikat dan pendekatan dalam pemberian pelayanan publik yang semua berkiblat pada kepentingan birokrasi (bureacratic-oriented) atau berorientasi pada produsen (producer-oriented) berubah menjadi berorientasi pada konsumen (consumer-driven approach). Pollitt (1988:86), menegaskan bahwa tujuan utamanya bukan sekedar untuk menyenangkan hati para penerima pelayanan publik, melainkan untuk memberdayakan mereka. Sebab, orientasi kearah pelayanan publik yang lebih baik (better public service delivery) juga mencerminkan penegasan akan arti penting posisi dan perspektif para pengguna dalam sistem pelayanan publik tersebut. publik tidak hanya diperlakukan sebagai obyek (sebagai klien jasa pelayanan semata), tetapi juga sebagai warganegara yang aktif (active citizen). Bagi pembuat kebijakan dan administrator publik (pada semua level) perspektif demikian membawa konsekuensi mendasar atau berupa kewajiban ganda yang harus mereka pikul sebagai perwujudan akuntabilitas kepada publik (lihat Abdul Wahab, 1998).

Kewajiban ganda yang diemban oleh pejabat publik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut Sebagai warganegara yang aktif, menurut Clarke dan Steward (1987), para pengguna jasa pelayanan publik sesungguhnya memiliki sejumlah hak-hak untuk memperoleh pelayanan yang baik, hak untuk mengetahui bagaimana


(17)

keputusan-keputusan kebijakan mengenai jenis pelayanan tertentu dibuat dan, yang tak kalah penting, hak untuk didengar dan diperhatikan pendapat-pendapatnya. Namun, amat disayangkan sejumlah hak penting ini, sering hanya ada di atas kertas. Di kebanyakan negara sedang berkembang (tak terkecuali Indonesia) hak-hak itu justru kerap ditelikung oleh birokrasi, bahkan dikebiri. Karena posisinya yang monopolistik dan meluasnya kekuasaan administrasi serta diskresi, maka oleh para pejabat birokrasi setiap jengkat prosedur administrasi pada mata rantai birokrasi pelayanan publik itu (terutama di bidang perijinan dan pekerjaan umum) sering dijadikan sebagai lahan subur untuk mencari tambahan penghasilan ini membenarkan hasil observasi Dwivedi, bahwa:

“.... regulations, together with increased bureaucratic discretion, have provided and incentive for corruption, since regulations goveming acces to good and services can be exploited by civil servants to extract service charges from the need fuli” (Dwivedi, 1999 : 170).

Dalam spektrum yang lebih luas, salah satu, sumber penyebab timbulnya fenomena the high cost economy (ekonomi biaya tinggi) di Indonesia adalah masih bercokolnya kartel, monopoli, favoritisme, praktik standard ganda dan masih merajalelanya berbagai bentuk pungutan mulai dari yang setengah resmi hingga tak resmi yang menyertai pemberian pelayanan publik oleh dinas-dinas pemerintah.

Memang kita sudah sering mendengar propaganda yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru maupun pemerintah transisional Habibie yang kurang lebih berkaitan dengan reformasi birokrasi pelayanan publik Beberapa contoh, misalnya, kampanye tentang pendayagunaan aparatur negara yang bersih dan berwibawa, perang melawan ekonomi biaya tinggi, gerakan efisiensi nasional, gerakan penegakan disiplin


(18)

nasional, pelayanan prima (Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 6 tahun 1995) dan yang mutakhir penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (TAP MPR RJ No.XI /MPP/1998).

Namun, sejauh ini, kesemua itu masih berupa retorika politik, belum berdampak nyata pada publik karena belum ada tindakan yang serius untuk mengimplementasikannya. Lemahnya institusi masyarakat madani semisal adanya lembaga konsumen bebas, dibarengi dengan lemahnya law enforcement yang bisa berperan efektif dalam melindungi kepentingan konsumen dan kepentingan publik pada umumnya, makin memperburuk situasi di sektor pelayanan publik, di Tanah Air kita. Kita sering mendengar, membaca surat-surat pembaca di berbagai surat kabar dan bahkan menyaksikan sendiri betapa masih rendahnya respon birokrasi terhadap kerugian-kerugian yang diketahui publik dan konsumen. Padahal, dalam penentuan kualitas suatu pelayanan publik apakah ia bagus ataukah buruk hanyalah publik yang dilayani itulah yang sesungguhnya dapat menilai. Konsumen pula yang dapat menilai dengan tepat bagaimana kinerja pelayanan publik yang telah diberikan kepada mereka (Clarke and Steward, 1987:34).

Dalam arti yang seluas-luasnya, peran penting yang dimainkan oleh para pengguna jasa pelayanan publik dalam rangka menyempumakan kualitas pelayanan publik dapat kita kategorikan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat (empowering society). Sebagaimana halnya barang, jasa/pelayanan itu adalah merupakan sesuatu yang dihasilkan artinya, ia adalah sesuatu produk. Pelayanan disektor publik umumnya memiliki dimensi kualitatif, sebab lahir dari rahim sistem politik. Kendati dibanding sektor swasta, persoalan kualitas disektor publik ini diakui lebih sukar untuk merumuskan


(19)

dan mengukurnya diantaranya karena sarat dengan nilai-nilai politik dan ideologi sebenamya telah ada konsensus diantara para pakar bahwa pada akhirnya hal itu akan ditentukan oleh para pengguna jasa pelayanan itu sendiri.

Sebab, satu-satunya ukuran atas kualitas pelayanan publik adalah apakah ia memberikan kepuasan tertentu pada diri konsumen. Makna kualitas kata Jackson dan Palmer (1992), ialah persepsi konsumen terhadap ciri-ciri dan tampilan tertentu yang dianggap ada pada sebuah pelayanan, dan nilai-nilai yang mereka (konsumen) berikan pada ciri-ciri dan tampilan tersebut. Jadi, sebagai sebuah konsep, kualitas pada hakikatnya merupakan sesuatu nilai yang dilihat dari sudut pandang mereka yang dilayani, bukan hasil rekayasa dari mereka yang memberikan pelayanan (Jackson and Palmer, 1992:50). Salah satu tolok ukur bagi pelayanan publik yang baik (good service) dengan demikian adalah the ability to meet the needs of each individual served (Morgan and Bacon, 1996:361-362).

2.5. Standarisasi Pelayanan Perizinan Minimal

Penerapan standarisasi pelayanan perizinan minimal ini berbasis pada teori negara hukum modern (negara hukum demokratis) yang merupakan perpaduan antara konsep negara hukum (rechtsstaat) dan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan (supremasi hukum).

Menurut Bagir Manan (1994:18) hukum yang supreme mengandung makna: 1. Bahwa suatu tindakan hanya sah apabila dilakukan menurut atau berdasarkan aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan-ketentuan hukum hanya dapat dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benar-benar menghendaki atau


(20)

penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasardasar keadilan yang berlaku dalam masyarakat (principles of natural justice).

2. Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya.

Dengan demikian dalam suatu negara hukum setiap kegiatan kenegaraan atau pemerintahan wajib tunduk pada aturan-aturan hukum yang menjamin dan melindungi hak-hak warganya, baik di bidang sipil dan politik maupun di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Dengan perkataan lain, hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan untuk menata masyarakat yang damai, adil, dan bermakna. Oleh karena itu, setiap kegiatan kenegaraan atau pemerintahan harus dilihat sebagai bentuk penyelenggaraan kepentingan masyarakat (public service) yang terpancar dari hak-hak mereka yang mesti dilayani dan dilindungi. Itulah sebabnya konsep negara hukum yang dikembangkan dewasa ini selalu terkait dengan konsep negara kesejahteraan.

Konsep negara kesejahteraan itu sendiri menurut Mustamin Dg. Matutu seperti yang dikutip Aminuddin Ilmar (2004:15), adalah menempatkan peran negara tidak hanya terbatas sebagai penjaga ketertiban semata seperti halnya dalam konsep “Nachtwakerstaat”, akan tetapi negara juga dimungkinkan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Tujuan negara dalam konsep negara hukum kesejahteraan tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan setiap warganya. Berdasar tujuan tersebut, maka negara diharuskan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan ide dasar tentang tujuan negara, sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD 1945.


(21)

Dalam kepustakaan istilah pelayanan umum seringkali dikaitkan dengan pelayanan yang disediakan untuk kepentingan umum. Istilah pelayanan sendiri mengandung makna perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurus hal-hal yang diperlukan masyarakat. Dengan kata lain, pelayanan umum itu sendiri bukanlah sasaran atau kegiatan, melainkan merupakan suatu proses untuk mencapai sasaran tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tjosvold sebagaimana dikutip dari bukunya Sadu Wasistiono (2003:42) mengemukakan, bahwa melayani masyarakat baik sebagai kewajiban maupun sebagai kehormatan merupakan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang manusiawi.

Pemberian pelayanan kepada masyarakat merupakan kewajiban utama bagi pemerintah. Peranan pemerintah dalam proses pemberian pelayanan, adalah bertindak sebagai katalisator yang mempercepat proses sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan diperankannya pelayanan sebagai katalisator tentu saja akan menjadi tumpuan organisasi pemerintah dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Oleh karenanya, pelayanan yang diberikan oleh pemerintah sebagai penyedia jasa pelayanan kepada masyarakat sangat ditentukan oleh kinerja pelayanan yang diberikan. Sejauhmana pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat terjangkau, mudah, cepat dan efisien baik dari sisi waktu maupun pembiayaannya.

Pelayanan publik dalam perkembangannya timbul dari adanya kewajiban sebagai sebuah proses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan baik yang bersifat individual maupun kelompok. Dalam pemberian pelayanan tidak boleh tercipta perlakuan yang berbeda sehingga menimbulkan diskriminasi pelayanan bagi masyarakat. Selain itu, manajemen pelayanan perlu pula mendapat pembenahan melalui keterbukaan dan


(22)

kemudahan prosedur, penetapan tarif yang jelas dan terjangkau, keprofesionalan aparatur dalam teknik pelayanan, dan tersedianya tempat pengaduan keluhan masyarakat (public complain), serta tersedianya sistem pengawasan terhadap pelaksanaan prosedur.

Dalam kaitan dengan pelayanan perizinan investasi sekarang ini telah dikembangkan suatu sistem pelayanan yang tujuan utamanya diarahkan pada terciptanya kemudahan pelayanan perizinan investasi baik asing maupun dalam negeri, dengan tidak mengurangi syarat-syarat yang harus dipenuhi dengan menerapkan konsep “one roof service system”. Sebelumnya, konsep pelayanan perizinan investasi yang diusung adalah “one stop service system” dengan bertumpu kepada “one door service system”. Namun, konsep pelayanan perizinan tersebut tidak banyak membawa perubahan pada level bawah, dimana investor masih merasakan prosedur yang berbelit-belit dimana persyaratan, waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh investor tidak dapat diukur atau dipastikan.

Melihat kenyataan tersebut di atas tentu saja diperlukan adanya perubahan paradigma pelayanan khususnya pelayanan perizinan investasi, agar tercipta prosedur perizinan investasi yang dapat dikategorikan murah, cepat dan jelas sesuai dengan standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pelayanan perizinan khususnya pelayanan perizinan investasi di daerah haruslah sesuai dengan prosedur, syarat dan ketentuan yang diadakan untuk itu agar tercipta persepsi yang sama dalam pemberian pelayanan baik pada dasar hukum pemberian pelayanan, jenis, persyaratan, biaya yang harus dikeluarkan dan lamanya pelayanan diberikan.

Dengan adanya standardisasi pelayanan publik dalam pemberian pelayanan perizinan investasi tentu saja akan diperoleh sistem pelayanan yang baku dan


(23)

berkepastian sehingga investor baik asing maupun dalam negeri dapat mengukur tingkat aksesibilitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara investasi. Disinilah diperlukan peranan dan fungsi kelembagaan pelayanan perizinan khususnya komitmen penyelenggara investasi di daerah dalam hal ini guna mengatur dan menentukan suatu standardisasi pelayanan perizinan investasi, agar diperoleh kepastian hukum dalam pemberian pelayanan investasi di daerah, sehingga pihak investor baik asing maupun dalam negeri dapat mengaplikasikan modalnya dengan lancar dan terukur. Tanpa adanya standardisasi pelayanan perizinan investasi yang diadakan dalam sebuah pedoman umum prosedur standar pelayanan investasi, tentu saja akan membawa implikasi pada aplikasi investasi yang umumnya dikeluhkan oleh para investor dengan terciptanya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

2.6. Pelayanan Publik Sebagai Sebuah Teori Produk Administrasi Negara

Jika pelayanan publik sebagai produk dari orientasi pemikiran administrasi pembangunan, dan administrasi pembangunan sebagai orientasi baru dari reformasi administrasi negara; maka muncul pertanyaan, adakah teori khusus yang berkaitan dengan pelayanan publik? Gerald Caiden (1986) sebagai seorang pakar administrasi negara pernah menyindir tentang keberadaan teori administrasi negara ini. Menurut Caiden, administrasi negara itu terlalu banyak teori, tetapi tidak terdapat satu teoripun yang dapat diberlakukan secara umum dari administrasi negara.

Hal yang bernada sama pernah disampaikan pula oleh Fred.W Riggs (1964) dan Ferrel Heady (1966) yang mempertanyakan perihal isi dan kecenderungan dari teori administrasi negara yang dianggapnya tidak jelas metodologinya. Dipihak lain, dalam


(24)

beberapa literatur pelayanan publik lebih dikenal sebagai tatanan konsep daripada tatanan teori (Thoha,1992; Munafe,1966; Djumara,1994; Hardjosoekarso, Kristiadi dan Saragih,1994). Oleh karena itu istilah pelayanan publik disebut juga dengan istilah pelayanan kepada orang banyak (masyarakat), pelayanan sosial, pelayanan umum dan pelayanan prima. Pernyataan semacam ini sekaligus menambah adanya kerancuan ontologis (apa, mengapa), epistemologis (bagaimana) dan axiologis (untuk apa) dalam Memperbincangkan teori yang berkaitan dengan pelayanan publik ?

Secara ideal, persyaratan teori administrasi yang menyangkut pelayanan publik antara lain :

1. Harus mampu menyatakan sesuatu yang berarti dan bermakna yang dapat diterapkan pada situasi kehidupan nyata dalam masyarakat (konteksual) 2. Harus mampu menyajikan suatu perspektif kedepan

3. Harus dapat mendorong lahirnya cara-cara atau metode baru dalam situasi dan kondisi yang berbeda

4. Teori administrasi yang sudah ada harus dapat merupakan dasar untuk mengembangkan teori administrasi lainnya, khususnya pelayanan publik 5. Harus dapat membantu pemakainya untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang dihadapi

6. Bersifat multi disipliner dan multi dimensional (komprehensif)

Berpedoman dari persyaratan diatas, maka Ferrel Heady (1966) menyarankan adanya a. Tindakan modifikasi terhadap teori administrasi negara klasik/ tradisional b. Perubahan isi dari teori administrasi yang lebih diorientasikan kepada


(25)

kepentingan pembangunan

c. Melakukan redifinisi secara umum terhadap sistem dan model-model pengembangan

d. Menemukan perumusan baru teori administrasi yang bersifat middle range theory.

Adapun Fred. W Riggs (1964) menyarankan adanya pergeseran pendekatan metodologi penelitian administrasi (khususnya yang berkaitan dengan pengamatan fenomena pelayanan publik) dari :

(1) Pendekatan normatif ke pendekatan empiris (2) Pendekatan ideografik ke pendekatan nomotetik (3) Pendekatan struktural ke pendekatan ekologi, dan

(4) Pendekatan behavior ke pendekatan post-behavior (pendekatan analogi).

2.7. Budaya Birokrasi Pelayanan Publik

Ada asumsi menarik yang dipertanyakan, Apakah budaya organisasi birokrasi mempengaruhi proses pelayanan publik, ataukah tradisi pelayanan publik akan mempengaruhi dan menciptakan budaya organisasi birokrasi ?

Jika yang pertama muncul maka akan terjadi stagnasi dan kekuatan statusquo dalam organisasi birokrasi; tetapi jika yang kedua muncul maka akan tercipta perubahan dan pengembangan organisasi birokrasi yang dinamis. Budaya organisasi (birokrasi) merupakan kesepakatan bersama tentang nilainilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam organisasi yang bersangkutan (Sondang P.Siagian,1995). Oleh karena itu budaya organisasi birokrasi akan menentukan apa yang


(26)

boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota organisasi; menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasai; menentukan sifat dan bentuk-bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi; menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; menentukan cara-cara kerja yang tepat, dan sebagainya. Secara spesifik peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi (birokrasi) adalah membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi; menciptakan jati diri para anggota organisasi; menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan pekerja yang terlibat didalamnya; membantu menciptakan stabilitas organisasi sebagai sistem sosial; dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.

Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi (birokrasi) terhadap perilaku para anggota organisasi, maka budaya organisasi (birokrasi) mampu menetapkan tapal batas untuk membedakan dengan organisasi (birokrasi) lain; mampu membentuk identitas organisasi dan identitas kepribadian anggota organisasi; mampu mempermudah terciptanya komitmen organisasi daripada komitmen yang bersifat kepentingan individu; mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial; dan mampu berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbul-simbul kendali perilaku para anggota organisasi.

Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi (birokrasi), keterikatan dan pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Dengan kata lain, apapun kegiatan yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik haruslah berpedoman pada rambu-rambu aturan normatif yang telah ditentukan oleh organisasi publik sebagai perwujudan dari budaya organisasi publik. Oleh karena itu Dennis A.Rondinelli (1981) pernah mengingatkan


(27)

bahwa penyebab kegagalan utama dalam melaksanakan orientasi pelayanan publik ini (jelasnya, tugas desentralisasi) adalah : Kuatnya komitmen budaya politik yang bernuansa sempit; kurangnya tenaga-tenaga kerja yang terlatih dan trampil dalam unit-unit lokal; kurangnya sumber-sumber dana untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab; adanya sikap keengganan untuk melakukan delegasi wewenang; dan kurangnya infrastruktur teknologi dan infra struktur fisik dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas pelayanan publik. Demikian juga Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter.

Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya Privati asi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

Masalahnya sekarang, untuk masyarakat Indonesia dewasa ini tergolong dalam kategori budaya masyarakat yang mana ? Ini harus dipahami. Menurut Grabiel A.Almond (1960) proses perubahan pembudayaan ini harus disebar luaskan atau disosialisasikan secara merata kepada masyarakat, dicarikan rekruitmen tenagatenaga kerja (birokrasi) yang profesional, dipahami atau diartikulasikan secara tepat dan benar, ditumbuh


(28)

kembangkan sebagai kepentingan masyarakat secara umum, dan dikomunikasikan secara dialogis. Hasil dari proses pembudayaan diharapkan mampu menciptakan pengambilan keputusan/ kebijaksanaan yang benar,menciptakan terbentuknya kelompok pelaksana kerja yang efektif, dan terciptanya tim pengawasan yang bertindak jujur dan obyektif. Pada akhirnya, proses ini berujung pada proses internalisasi kepribadian dan sinergi ekonomi masyarakat sebagai basis utamanya.

2.8. Efektivitas Pelayanan Publik

Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pelayanan publik ini menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan khalayak masyarakat ramai yang memiliki keaneka ragaman kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain.

Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai programprogram pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi


(29)

dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan . Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik). Oleh karena itu, guna menanggulangi kesan buruk birokrasi seperti itu, birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain :

a. Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan

b. Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat) c. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni: pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu.

d. Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan

e. Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, flrksibel dan responsif.

Dari pandangan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada


(30)

masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).

2.9. Tolok Ukur Kualitas Pelayanan Publik

Dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :

(1) Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan

(2) Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan (3) Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah ( prinsip rasionalisasi)

(4) Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat pelanggan

Mencermati pandangan ini, maka dalam kontek pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni :


(31)

Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan.

Dalam hal ini Irfan Islamy (1999) menyebut beberapa prinsip pokok yang harus dipahami oleh aparat birokrasi publik dalam aspek internal organisasi yaitu :

(a) Prinsip Aksestabelitas, dimana setiap jenis pelayanan harus dapat dijangkau secara mudah oleh setiap pengguna pelayanan (misal: masalah tempat, jarak dan prosedur pelayanan)

(b) Prinsip Kontinuitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan harus secara terus menerus tersedia bagi masyarakat dengan kepastian dan kejelasan ketentuan yang berlaku bagi proses pelayanan tersebut

(c) Prinsip Teknikalitas, yaitu bahwa setiap jenis pelayanan proses pelayanannya harus ditangani oleh aparat yang benar-benar memahami secara teknis pelayanan tersebut berdasarkan kejelasan, ketepatan dan kemantapan sistem, prosedur dan instrumen pelayanan

(e) Prinsip Profitabilitas, yaitu bahwa proses pelayanan pada akhirnya harus dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien serta memberikan keuntungan

ekonomis dan sosial baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat luas. (f) Prinsip Akuntabelitas, yaitu bahwa proses, produk dan mutu pelayanan yang telah diberikan harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat karena aparat pemerintah itu pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat.

Begitu pentingnya profesionalisasi pelayanan publik ini, pemerintah melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan suatu kebijaksanaan Nomer.63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang perlu dipedomani oleh setiap birokrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berdasar prinsip-prinsip pelayanan sebagai berikut :

1. Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan

2. Kejelasan


(32)

b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;

c

. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran. 3 Kepastian Waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun wakrtu yang telah ditentukan.

4. Akurasi

Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. 5. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum. 6. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk

bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

7. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).

8. Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika. 9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10. Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

Oleh karena itu dalam merespon prinsip-prinsip pelayanan publik yang perlu dipedomani oleh segenap aparat birokrasi peleyanan publik , maka kiranya harus disertai pula oleh sikap dan perilaku yang santun, keramah tamahan dari aparat pelayanan publik baik dalam cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan proses pelayanan maupun dalam hal ketapatan waktu pelayanan.

Hal ini dimungkinkan agar layanan tersebut dapat memuaskan orang-orang atau kelompok orang yang dilayani. Ada 4 (empat) kemungkinan yang terjadi dalam mengukur kepuasan dan kualitas pelayanan publik ini, yaitu : (1) Pihak aparat birokrasi


(33)

yang melayani dan pihak masyarakat yang dilayani sama-sama dapat dengan mudah memahami kualitas pelayanan tersebut (mutual knowledge), (2) Pihak aparat birokrasi yang melayani lebih mudah memahami dan mengevaluasi kualitas pelayanan publik daripada masyarakat pelanggan yang dilayani (producer knowledge), (3) Masyarakat pelanggan yang dilayani lebih mudah dan lebih memahami dalam mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat birokrasi pelayanan publik (consumer knowledge), dan (4) Aparat birokrasi pelayanan publik maupun masyarakat yang dilayani sama-sama tidak tahu dan mendapat kesulitan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan publik (mutual Ignorance).

Dalam hal ini teori analisa yang dapat dipergunakan antara lain teori “Impression Management” yaitu bagaimana mengukur tingkat responsif, tingkat responsibility dan tingkat representatif seseorang atau kelompok orang terhadap fenomena tertentu (Fred Luthans, 1995). Sayangnya, dalam praktek dan tinjauan teoritis untuk menentukan tolok ukur kualitas pelayanan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Suatu misal Richard M.Steers (1985) menyebutkan beberapa faktor yang berkepentingan dalam upaya mengidentifikasi kualitas pelayanan publik antara lain : variabel karakteristik organisasi, variabel karakteristik lingkungan, variabel karakteristik pekerja/aparat, variabel karakteristik kebijaksanaan, dan variabel parkatek-praktek manajemennya.

Untuk melengkapi pendapat ini, maka Sofian Effendi (1995) menyebutkan beberapa faktor lagi yang menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan publik (di Indonesia) antara lain adanya: (a) Konteks monopolistik, dalam hal ini karena tidak adanya kompetisi dari penyelenggara pelayanan publik non pemerintah, tidak ada dorongan yang kuat untuk meningkatkan jumlah, kualitas maupun pemerataan pelayanan


(34)

tersebut oleh pemerintah (b) Tekanan dari lingkungan, dimana faktor lingkungan amat mempengaruhi kinerja organisasi pelayanan dalam transaksi dan interaksinya antara lingkungan dengan organisasi publik (c) Budaya patrimonial, dimana budaya organisasi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia masih banyak terikat oleh tradisi-tradisi politik dan budaya masyarakat setempat yang seringkali tidak kondusif dan melanggar peraturan-peraturan yang telah ditentukan.

Untuk solusinya dalam menghadapi tantangan dan kendala-kendala pelayanan publik sebagaimana disebutkan diatas, maka diperlukan adanya langkah langkah strategis antara lain : Pertama: Merubah tekanan-tekanan sistem pemerintahan yang sifatnya sentralistik otoriter menjadi sistem pemerintahan desentralistik demokratis; Kedua : Membentuk asosiasi/perserikatan kerja dalam pelayanan publik; Ketiga: Meningkatkan keterlibatan masyarakat , baik dalam perumusan kebijakan pelayanan publik, proses pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam monitoring dan pengawasan pelaksanaan pelayanan publik; Keempat : Adanya kesadaran perubahan sikap dan perilaku dari aparat birokrasi pelayanan publik menuju model birokrasi yang lebih humanis (Post weberian);Kelima : Menyadari adanya pengaruh kuat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menunjang efektivitas kualitas pelayanan publik; Keenam: Pentingnya faktor aturan dan perundang-undangan yang menjadi landasan kerja bagi aparat pelayanan publik; Ketujuh: Pentingnya perhatian terhadap faktor pendapatan dan penghasilan (wages and salary) yang dapat memenuhi kebutuhan minimum bagi aparat pelayanan publik; Kedelapan: Pentingnya faktor keterampilan dan keahlian petugas pelayanan publik; Kesembilan:Pentingnya faktor sarana phisik pelayanan publik;


(35)

Kesepuluh : Adanya saling pengertian dan pemahaman bersama (mutual understanding) antara pihak aparat birokrasi pelayan publik dan masyarakat yang memerlukan pelayanan untuk mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku khususnya dalam pelayanan publik.

Pelayanan publik merupakan semua pelayanan yang diberikan oleh negara melalui alat-alat kelengkapannya (agencies) bagi masyarakat. Pelayanan publik secara umum dibedakan atas pelayanan dasar dan pelayanan lanjutan. Pelayanan dasar adalah pelayanan yang wajib dan harus dipenuhi dan kebutuhannya mendesak. Sedangkan pelayanan lanjutan adalah pelayanan publik yang dapat dipenuhi setelah pelayanan dasar diberikan.

Sementara itu, prinsip pelayanan publik meliputi pertama, kesederhanaan yang merupakan prosedur yang tidak berbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. Kedua, kejelasan yang merupakan persyaratan, unit pelaksana, penanggungjawab, penerima keluhan, rincian biaya dan tata cara pembayaran. Ketiga, kepastian waktu yaitu ada kepastian waktu penyelesaian. Keempat, akurasi yaitu produk harus dapat diterima denagn benar, tepat dan sah. Kelima, keamanan yaitu proses dan produk memberi rasa aman dan kepastian hukum. Keenam, tanggung jawab yaitu penyelenggara bertanggungjawab secara penuh atas penyelenggaraan pelayanan publik. Ketujuh, kelengkapan sarana dan prasarana yaitu tersedianya sarana dan prasarana kerja termasuk telekomunikasi. Kedelapan, kemudahan akses yaitu tempat dan lokasi mudah dijangkau oleh masyarakat baik secara fisik maupun melalui media komunikasi. Kesembilan, kesiplinan, kesopanan, keramahan yaitu pemberi pelayanan harus disiplin, sopan santun,


(36)

ramah melayani dengan ikhlas. Kesepuluh, kenyamanan yaitu lingkungan pelayanan tertib, teratur, bersih, rapih, dan dilengkapi fasilitas pendukung.

2.10 Pelayanan Publik di Bandar Udara

Bahwa bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang dan /atau bongkar muat barang dan/atau pos yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan, dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi. Terkait dengan hal tersebut bandar udara adalah tempat yang sarat dengan berbagai aktivitas kegiatan perekonomian dan berbagai jenis pelayanan publik baik jasa tersebut diberikan oleh perusahaan / badan hukum Indonesia, perorangan (stake holder) lainnya yang mempunyai aktivitas di bandar udara maupun jasa yang diberikan oleh penyelenggara bandar udara. Adapun jasa yang diberikan oleh penyelenggara bandar udara adalah disebut pelayanan jasa kebandarudaraan. Pelayanan jasa kebandarudaraan dikelompokkan menjadi :

a. Pelayanan jasa kegiatan penerbangan yang terdiri dari;

1) Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U). dalam hal ini yang memberikan jasa penyelenggara bandar udara dan yang menerima jasa adalah perusahaan angkutan udara.

Dalam PJP4U ini terdapat beberapa hal yang memang harus diperhatikan yaitu pertama, breakdown of separation (BOS) yaitu suatu kejadian dalam proses pemanduan lalu lintas udara yang mengakibatkan terjadinya separasi kurang dari standar minimum yang ditentukan untuk masing-masing klasifikasi pelayanan. Kedua, Breakdown of Coordination (BOC) yaitu suatu kejadian dalam proses pemanduan lalu lintas udara dimana


(37)

prosedur koordinasi antar ATS unit yang terkait tidak dilakukan sesuai prosedur koordinasi yang ditetapkan. Ketiga, Waktu Holding yaitu waktu menunggu yang diperlukan bagi pesawat udara sejak disampaikannya permintaan ijin mendarat sampai diperolehnya ijin mendarat. Keempat, Kelengkapan Marka Landasan yaitu suatu kelengkapan yang ada dilandasan yang dapat memberikan petunjuk yang diperlukan dengan jelas dan benar. Kelima, Skid Resistance yaitu suatu keadaan permukaan landasan guna mendukung pencapaian break action. Keenam, kenyamanan keselamatan pendaratan yaitu kenyamanan/keselamatan dalam pendaratan yang dikaitkan dengan tersedianya fasilitas kondisi landasan yang sesuai dengan standar ketentuan yang berlaku. Ketujuh, tidak ada obstacel yaitu kondisi kawasan keselamatan operasi penerbangan yang masih dalam batas toleransi yang ada pada ketentuan keselamatan penerbangan.

Kedelapan, response time yaitu waktu tanggap yang diperlukan oleh unit-unit PKP-PK sejak diterimanya informasi accident pesawat udara sampai mencapai ujung landasan terjauh. Kesembilan, service ability yaitu kemampuan peralatan dalam memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku selama periode tertentu. Kesepuluh, readibility yaitu kemampuan peralatan radio dalam memancarkan atau menerima sinyal sesuai standar yang ditentukan. Kesebelas, kapasitas apron yaitu kemampuan apron dalam menampung jumlah pesawat udara sesuai dengan volume lalu lintas yang dilayani.


(38)

Bentuk pelayanan PJP4U ini meliputi ; Pelayanan lalu lintas udara untuk membantu pendaratan, Landasan yang memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan,Tersedianya Pertolongan Kecelakaan Penerbangan-Pemadam Kebakaran, Tersedianya Instrumen Lending System (ILS), Tersedianya Doppler Very High Frequency Omnidirectional Radio Range (DVOR), Tersedinya Distance Measuring Equipment (DME), Tersedianya NDB Localizer, Radar, Peralatan telekomunikasi, Approach Light, Tersedia Marka, Apron Light, Guidance Sign, Parking Stand, Flood Light, Hanggar dan pengamanan lingkungan hangar

2) Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U),dalam hal ini yang memberikan jasa adalah penyelengara bandar udara, dan yang menerima jasa adalah penumpang pesawat udara saat sebelum dan sesudah terbang atau saat proses check-in sampai dengan boarding dan saat proses penerimaan bagasi.

3) Pelayanan Jasa Penerbangan (PJP) pelayanan ini diberikan oleh penyelenggara bandar udara kepada pesawat udara yang berangkat, datang dan yang melewati ruang udara yang menjadi tanggung jawab pengendaliannya guna menjamin keselamatan penerbangan tersebut.

4) Pelayanan jasa pemakaian counter, pelayanan atau penyediaan counter dan fasilitasnya oleh penyelenggara bandar udara untuk kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan dalam proses pelayanan check-in.


(39)

5) Pelayanan Jasa Pemakaian Garbarata (avio bridge), pelayanan yang disediakan oleh penyelenggara bandar udara untuk perusahaan angkutan udara guna memperlancar proses boarding.

b. Pelayanan jasa kegiatan penunjang bandar udara meliputi;

1) Pelayanan jasa yang secara langsung menunjang kegiatan penerbangan, yang dapat diselenggarakan oleh unit pelaksana dari badan usaha kebandarudaraan, badan hukum Indonesia atau perseroan atas persetujuan penyelenggara bandar udara, jasa ini terdiri dari; penyediaan hanggar pesawat udara, perbengkelan pesawat udara, pergudangan, jasa boga pesawat udara, pelayanan jasa teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), pelayanan jasa penumpang dan bagasi, jasa penanganan kargo, dan jasa lainnya yang secara langsung menunjang kegiatan penerbangan.

2) Pelayanan jasa yang secara langsung atau tidak langsung menunjang kegiatan kegiatan bandar udara yang terdiri dari; jasa penyediaan penginapan/hotel, jasa penyediaan toko dan restoran, jasa penempatan kendaraan bermotor, jasa perawatan, jasa penggunaan ruangan, jasa penggunaan tanah, jasa tanda masuk (pas) bandara, jasa penggunaan air, jasa penggunaan telpon, jasa penggunaan listrik dan jasa lainnya yang menunjang secara langsung atau tidak langsung kegiatan bandar udara. Penyelenggara bandar udara adalah penyelenggara pelayanan publik yang harus memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan kepada konsumen sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang


(40)

dibakukan dalam penyelenggaran pelayanan publik yang wajib /harus dipatuhi oleh pemberi pelayanan atau penerima pelayanan.

Standar pelayanan, sekurang-kurangnya meliputi;

a. Prosedur pelayanan, prosedur pelayanan harus baku dan berlaku bagi pemberi dan penerima pelayanan,

b.Waktu penyelesaian, yaitu waktu yang ditetapkan sejak saat pengajuan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan,

c. Biaya pelayanan, yaitu besarnya biaya/tarif yang diperlukan termasuk rincian yang ditetapkan dlam proses pelayanan publik,

d. Produk pelayanan artinya hasil pelayanan sesuai ketentuan standar

e. Sarana dan prasarana artinya sarana dan prasarana harus tersedia memadai, f . Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

Sejalan dengan hal tersebut Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah mengeluarkan berbagai keputusan yang mendukung kebijakan tersebut antara lain:

a)Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 284/X/1999 tentang Standar Kinerja Operasional Bandar Udara yang terkait dengan tingkat pelayanan di bandar udara sebagai dasar kebijakan pentarifan jasa kebandarudaraan.


(41)

b)Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 347/XII/1999 tentang Standar rancang bangundan /atau rekayasa fasilitas dan peralatan bandar udara,

c)Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara

Mendasari dari berbagai jenis pelayanan publik yang diuraikan diatas,mengingat jasa yang paling banyak diterima secara langsung oleh penumpang pesawat udara maka tesis ini akan mefokuskan penelitian pada Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) Berdasarkan Standar Kinerja Operasional Bandar Udara yang terkait pada tingkat pelayanan jenis pelayanan PJP2U, dengan faktor pendukung pelayanan terminal penumpang, terdapat 2 (dua) kelompok pelayanan yang berorientasi pada keselamatan, keamanan, kelancaran dan yang berorientasi pada kenyamanan.

Yang berorientasi pada keselamatan, keamanan,dan kelancaran bentuk pelayanannya adalah; pelayanan check-in, pelayanan pemeriksaan sekuriti penumpang dan barang, pelayanan imigrasi keberangkatan dan kedatangan, pelayanan bea cukai, pelayanan penyerahan bagasi saat kedatangan.Sedangkan yang berorientasi pada kenyamanan bentuk pelayanannya adalah;ketersediaan kapasitas terminal, kesejukan ruang terminal, kebersihan ruang terminal, kemudahan bagi penumpang untuk mengangkut bagasinya,tersedianya pelayanan informasi (public information system, public address system,,flight progress display) dan ketersedianya fasilitas umum.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis studi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dimana penelitian ini berupaya menjelaskan implementasi pelayanan publik di Bandar udara Polonia.

3.2. Definisi Konsep

Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala


(43)

di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) adalah pelayanan publik

yang diterima penumpang pesawat udara di terminal penumpang saat sebelum dan sesudah terbang atau saat proses check-in sampai dengan boarding dan saat proses penerimaan bagasi, dari penyelenggara bandar udara, dan atas pelayanan tersebut penumpang dibebani biaya.

Tingkat pelayanan (level of service) adalah tingkat pelayanan untuk jasa

penumpang pesawat udara yang diterima oleh penumpang pesawat udara yang variabel-variabelnya meliputi aspek keselamatan, keamanan, kelancaran dan kenyamanan penyelenggaraan jasa penumpang pesawat udara .Sedangkan indikator kualitas

pelayanan antara lain; untuk aspek keselamatan, keamanan, dan kelancaran adalah waktu

menunggu, waktu proses, kondisi normal, kondisi khusus, penyerahan bagasi pertama, penyerahan bagasi terakhir. Adapun untuk aspek kenyamanan adalah luas ruang per penumpang pada waktu sibuk, suhu ruang, kebersihan terminal, jumlah trollies, ketersediaan fasilitas. (lihat Lampiran :1)

3.3. Lokasi Penelitian

Dalam upaya menjawab berbagai kritik maupun masukan dari berbagai masyarakat melalui media massa maupun keluhan secara langsung yang diterima terhadap pelayanan di bandara Polonia, maka penulis menertapkan lokasi penelitian terletak di Bandar Udara Polonia


(44)

3. 4. Informan Kunci

Untuk memperdalam analisis data yang berkaitan dengan pelayanan publik di bandar udara Polonia, maka akan dilakukan wawancara secara mendalam dengan Informan kunci seperti Kepala Kantor Administrator Bandar Udara Polonia, Pegawai Angkasa Pura, Karyawan Adbandara, Karyawan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan Departemen Perhubungan, serta penumpang pesawat udara.

3. 5. Teknik Pengumpulan Data

a. Data sekunder diperoleh melalui: studi kepustakaan yang bersumber pada literatur dokumen-dokumen atau tulisan-tulisan serta studi-studi penelitian sejenis yang ada hubungannya dengan permasalahan penelitian.

b. Data primer diperoleh melalui:

Wawancara mendalam (in-depth interview) dengan penggunaan alat penelitian verbal (tape recording), untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini menjadi lengkap.

3. 6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan, baik data sekunder maupun primer akan disusun dan disajikan serta dianalissis dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa pemaparan yang kemudian di analisis dan di narasikan sesuai dengan masalah penelitian.


(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nama Polonia berasal dari nama negara asal para pembangunnya, Polandia (Polonia merupakan nama "Polandia" dalam bahasa Latin). Sebelum menjadi bandar udara, kawasan tersebut merupakan lahan perkebunan milik orang Polandia bernama Baron Michalsky. Tahun 1872 dia mendapat konsesi dari Pemerintah Belanda untuk membuka perkebunan tembakau di Sumatra Timur di daerah Medan. Kemudian dia menamakan daerah itu dengan nama Polonia, sebuah daerah di negeri kelahirannya.

Tahun 1879 karena suatu hal, konsesi atas tanah perkebunan itu berpindah tangan kepada Deli Maatschappij (Deli MIJ) atau NV Deli Maskapai. Tahun itu terdapat kabar pionir penerbang bangsa Belanda van der Hoop akan menerbangkan pesawat kecilnya Fokker dari Eropa ke wilayah Hindia Belanda dalam waktu 20 jam terbang. Maka Deli MIJ yang memegang konsesi atas tanah itu, menyediakan sebidang lahan untuk diserahkan sebagai lapangan terbang pertama di Medan.

Pada tahun 1924, setelah berita pertama tentang kedatangan pesawat udara itu tidak terdengar, maka rencana kedatangan pesawat udara kembali terdengar. Mengingat waktu itu sangat pendek, persiapan untuk lapangan terbang tidak dapat dikejar, akhirnya pesawat kecil yang diawaki van der Hoop yang menumpangi pesawat Fokker, bersama VN Poelman dan van der Broeke mendarat di lapangan pacuan kuda yakni Deli Renvereeniging, disambut Sultan Deli Sulaiman Syariful Alamsyah.


(46)

Setelah pesawat pertama mendarat di Medan, maka Asisten Residen Sumatera Timur Mr. CS Van Kempen mendesak pemerintah Hindia Belanda di Batavia, agar mempercepat dropping dana untuk menyelesaikan pembangunan lapangan terbang Polonia. Pada 1928 lapangan terbang Polonia dibuka secara resmi, ditandai dengan mendaratnya enam pesawat udara milik KNILM, anak perusahaan KLM, pada landasan yang masih darurat, berupa tanah yang dikeraskan. Mulai tahun 1930, perusahaan penerbangan Belanda KLM serta anak perusahaannya KNILM membuka jaringan penerbangan ke Medan secara berkala. Pada tahun 1936 lapangan terbang Polonia untuk pertama kalinya melakukan perbaikan yaitu pembuatan landasan pacu (runway) sepanjang 600 meter.

Pada tahun 1975, berdasarkan keputusan bersama Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Perhubungan dan Departemen Keuangan, pengelolaan pelabuhan udara Polonia menjadi hak pengelolaan bersama antara Pangkalan Udara AURI dan Pelabuhan Udara Sipil. Dan mulai 1985 berdasarkan Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1985, pengelolaan pelabuhan udara Polonia diserahkan kepada Perum Angkasa Pura yang selanjutnya mulai 1 Januari 1994 menjadi PT. Angkasa Pura II (Persero).


(47)

Tabel.4.1

Data Perkembangan Jumlah Penumpang

Perkembangan penumpang di bandara Polonia

Tahun

Penumpang domestik (dalam ribuan)

Penumpang mancanegara (dalam ribuan)

2002 1.480,545 587,362 2003 2.122,796 582,350 2004 3.014,306 763,349 2005 3.142,325 814,597 2006 3.599,382 867,089 2007 3.963,898 896,354

Sumber : Bandara Polonia Medan

Bandara Polonia mempunyai luas sebesar 144 hektar. Panjang landasan pacu saat ini adalah 2.900 meter, sementara yang dapat digunakan sepanjang 2.625 meter (sehingga terdapat displaced threshold sebesar 275 meter). Hal ini terjadi karena banyaknya benda yang menghalang di sekitar tempat lepas landas dan mendarat. Polonia juga memiliki 4 penghubung landasan pacu dengan tempat parkir pesawat(taxiway) dan tempat parkir pesawat (apron) seluas 81.455 meter. Polonia dirancang untuk dapat memuat maksimum sekitar 900.000 penumpang.

Dari tahun ke tahun arus penumpang Polonia cenderung mengalami peningkatan antara 15 hingga 20 persen. Pada tahun 2003, arus penumpang mencapai sebesar


(48)

2.705.146 orang, naik dari 2.067.907 orang pada tahun sebelumnya. Jumlah pergerakan pesawat adalah 36.359 pada tahun 2003, naik dari 29.842 pada tahun 2002. Tercatat ada 23.095 penerbangan domestik dan 6.747 penerbangan internasional dari Polonia pada 2002, Pada 2004 jumlahnya telah mencapai 35.906 penerbangan domestik dan 8.266 penerbangan internasional.

Dari segi jumlah penerbangan, pada 1998 terdapat 56 penerbangan dalam sehari, namun pada tahun 2005 telah meningkat antara 125 hingga melebihi 150 penerbangan perhari, dengan penumpang lebih kurang 3,956 juta orang pertahun, baik domestik dan internasional.

Dalam kaitannya dengan pelayanan publik di Bandar Udara Polonia utamanya yang menyangkut pelayanan PJP2U,sejalan dengan acuan dari Menpan indikator yang dipergunakan untuk menganalisis implementasi pelayanan publik adalah ;

1. Prosedur pelayanan yang harus baku dan berlaku bagi pemberi dan penerima pelayanan

2. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan

3. Biaya pelayanan yaitu besarnya biaya yang ditetapkan termasuk rincian dalam pelayanan publik.

4. Produk pelayanan yaitu hasil pelayanan yang sesuai dengan ketentuan atau standar


(49)

6. Kompetensi petugas, Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

4.1. Prosedur pelayanan ; prosedur harus baku dan berlaku bagi pemberi dan penerima pelayanan

Dengan merujuk pada aturan Internasional IATA(International Air Transport Association;Airport Handling Manual) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara telah mengeluarkan berbagai keputusan yang mendukung kebijakan dan digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kebandarudaraan yang didalamnya termasuk pelayanan PJP2U antara lain:

a)Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 284/X/1999 tentang Standar Kinerja Operasional Bandar Udara yang terkait dengan tingkat pelayanan di bandar udara sebagai dasar kebijakan pentarifan jasa kebandarudaraan.

b)Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 347/XII/1999 tentang Standar rancang bangundan /atau rekayasa fasilitas dan peralatan bandar udara,

c)Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis Pengoperasian Fasilitas Teknik Bandar Udara

Sesuai dengan standar pelayanan baku unsur-unsur yang terkandung dalam Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U) adalah sebagai berikut :


(50)

Pelayanan check-in merupakan bagian penting sebelum penumpang melakukan penerbangan. Pelayanan Check-in sangat tergantung pada metode operasional, struktur rute penerbangan, karakteristik penumpang dan lain-lain dengan juga mempertimbangkan kecepatan, ketelitian, kelancaran, kenyamanan penumpang dan biaya operasional. Alternatif pelayanan check in terminal penumpang adalah :

Pertama, sentralisasi yaitu pelayanan check in diproses terpusat di area keberangkatan. Pengendalian sistem operasi pelayanan dilakukan oleh satu unit kerja dengan pembagian counter check-in sebagai berikut; -direncanakan sesuai dengan jumlah airlinea atau jumlah penerbangan, -atau alternatif lain adalah membebaskan setiap penumpang untuk melapor pada setiap counter check-in yang ada . Alternatif ini memerlukan penanganan sortir barang bawaan yang baik. Sistim ini menguntungkan pihak pengelola, karena efisien dan efektif

Kedua, desentralisasi yaitu menyebarkan pelayanan check in di beberapa tempat. Biasanya pengelola fasilitas pelayanan ini adalah perusahaan angkutan udara dengan beberapa tipe penempatan check in seperti split check in, gate check in, dan city check in.

Bentuk denah bangunan terminal penumpang sangat dipengaruhi oleh konsep check in yang diterapkan oleh perusahaan angkutan udara. Dengan demikian, airlines dan pengusaha pengiriman sebaiknya dilibatkan pada tahapan awal proses perencanaan. Check in area harus cukup untuk menampung penumpang waktu sibuk selama mengantri untuk check-in. Indikator kualitas pelayanan waktu menunggu adalah kurang dari 20 menit, dan waktu proses adalah kurang dari 2 menit 30 detik


(51)

Tapi kondisi dilapangan masih ditemukan proses check in yang kurang lancar. Pelayanan yang kurang ramah dan kurangnya petugas pemandu antrian , menyebabkan terkadang penumpang harus berdesakan untuk mengantri ketika check in, karena kepatuhan penumpang untuk antri belum membudaya di daerah . Hal ini semakin diperburuk ketika proses check in banyak melibatkan penjual jasa yang tidak mau mengantri dan cendrung mengambil alih giliran. Padahal seharusnya giliran orang lain.

2. Pemeriksaan sekuriti penumpang dan barang

Pelayanan pemeriksaan sekuriti penumpang dan barang dilakukan dengan menggunakan peralatan X-ray, hand held detector dan Walk through metal detector dan sekali-kali dilakukan juga dengan pemeriksaan manual, atau perlakuan khusus bagi barang atau penumpang yang dicurigai (body search).Indikator kualitas pelayanan pemeriksaan sekuriti dalam kondisi normal kurang dari 3 menit, sedangkan kondisi khusus (memerlukan pencermatan dalam pemeriksaan) kurang dari 8 menit.

3. Imigrasi keberangkatan

Pelayanan pemeriksaan keimigrasian keberangkatan penumpang dan awak alat angkut yang mengacu pada prosedur pemeriksaan keimigrasian bagi penumpang saat keberangkatan. Diantaranya adalah pengecekan dokumen perjalanan, ijin keimigrasian, boarding pas dan ticket, serta bukti pembayaran fiscal. Indikator kualitas pelayanan waktu menunggu adalah kurang dari 15 menit, dan waktu proses adalah kurang dari 2 menit


(52)

4. Imigrasi kedatangan

Pelayanan pemeriksaan keimigrasian kedatangan penumpang dan awak alat angkut yang mengacu pada prosedur pemeriksaan keimigrasian bagi penumpang saat kedatangan. Diantaranya adalah dokumen perjalanan, keabsahan persyaratan dokumen, mencocokan nama dengan daftar cekal, memberikan ijin masuk keimigrasian dll. Indikator kualitas pelayanan waktu menunggu adalah kurang dari 15 menit, dan waktu proses adalah kurang dari 2 menit

5. Pelayanan bea cukai

Pelayanan bea cukai terkait dengan pemeriksaan barang-barang yang keluar dan masuk ke wilayah RI yang dibawa oleh penumpang baik saat keberangkatan maupun kedatangan dari bandara luar negeri.Utamanya adalah barang barang yang terkena bea masuk (cukai) dan barang barang yang dapat membahayakan kehidupan manusia seperti Narkoba,barang-barang yang mendatangkan penyakit dan wabah. Indikator kualitas pelayanan waktu menunggu adalah kurang dari 20 menit, dan waktu proses adalah kurang dari 10 menit

6. Penyerahan bagasi

Sistim penanganan bagasi ini harus dapat memproses sejumlah besar bagasi dalam waktu singkat dengan keakuratan yang dapat diandalkan. Prinsip yang dapat membentuk sistem penanganan bagasi secara efisien antara lain(Skep Dirjen/347/XII/1999):

- Aliran bagasi harus lancar dan cepat dengan jumlah penanganan operasional minimum,


(53)

- Aliran bagasi tidak mengganggu/ memotong arus penumpang, barang ,petugas maupun kendaraan,

- Tersedianya fasilitas untuk transfer bagasi ke daerah pemilahan bagasi kedatangan, - Tersedianya fasilitas untuk pemeriksaan bagasi, dan fasilitas bagasi dengan ukuran

ekstra besar

- Penataan fasilitas penanganan bagasi didalam bangunan harus konsisten dengan bentuk apron serta jenis dan volume arus bagasi.

- Sistim penanganan bagasi harus mempunyai sistem cadangan apabila sistim tersebut tidak bekerja/dalam keadaan darurat.

Pada umumnya, para penumpang datang yang barang bawaannya masuk dalam bagasi harus menunggu dulu diruang pengambilan bagasi sebelum barang bawaannya datang. Hal ini disebabkan karena waktu yang dibutuhkan penumpang untuk berjalan dari pesawat ke ruang pengambilan bagasi lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk proses barang dari pesawat ke ruang pengambilan bagasi .Dengan demikian lobi kedatangan harus dapat menampung penumpang datang sementara barang-barang diproses. Untuk pengamanan bagasi penumpang , perlu suatu sistem pemeriksaan bagasi dengan mencocokan nomor bagasi dan barang yang diambil penumpang.Pemeriksaan ini dilakukan sebelum pintu keluar ruang kedatangan

Pelayanan penyerahan bagasi dari pengangkut sampai ketangan penumpang, diharapkan tidak timbul keluhan atau komplain dari penumpang, dari soal kelancaran penyerahan,waktu tunggu, kemudahan mendapatkan alat angkut bagasi, sampai keutuhan


(1)

Lampiran - 3 PERHITUNGAN TINGKAT PELAYANAN (LEVEL OF SERVICE) JASA PJP2U BANDARA POLONIA

NO

JENIS PELAYA

NAN

FAKTOR PENDUKUNG

PELAYANAN

BENTUK PELAYANAN INDIKATOR KUALITAS

PELAYANAN TOLOK UKUR SKALA NILAI BOBOT

KINERJA OPERASIO NAL (%)

NILAI KINERJA OPERSIO

NAL (%)

NILAI PEROLEHAN

KINERJA OPERASIONAL

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

3. PJP2U Pelayanan Terminal Penumpang - Keselamatan - Keamanan - Kelancaran

- Pelayanan check-in - Waktu menunggu <20’, 90 % 80%-100% = baik=1,0 60%-79% = cukup=0,9 <60% = kurang =0,8

0,05 98 1 0,05

- Waktu proses <2’30”, 90% 80%-100% = baik =1,0 60%-79% = cukup=0,9 <60% = kurang =0,8

0,05 98 1 0,05

- Pemeriksaan sekuriti penumpang dan barang

- Kondisi normal <3’, 90% 90%-100% =baik=1,0 80%-89% =cukup=0,9 <80% = kurang=0,8

0,10 100 1 0,10

- Kondisi khusus <8’,90% 90%-100% = baik =1,0 80%-89% =cukup=0,9 <80% = kurang=0,8

0,15 100 1 0,15 - Imigrasi keberangkatan - Waktu menunggu <15’, 90% 70%-100% =baik=1,0

50%-69% =cukup=0,9 <50% =kurang=0,8

0,03 98 1 0,03

- Waktu proses <2’, 90% 70%-100% =baik=1,0 50%-69% =cukup=0,9 <50% =kurang=0,8

0,02 90 0,9 0,18

- Imigrasi kedatangan - Waktu menunggu <15’, 90% 70%-100% =baik=1,0 50%-69% =cukup=0,9 <50% =kurang=0,8

0,03 96 1 0,03

- Waktu proses <2’, 90% 70%-100% =baik=1,0 50%-69% =cukup=0,9 <50% =kurang=0,8


(2)

NO

JENIS PELAYANA

N

FAKTOR PENDUKUNG

PELAYANAN

BENTUK PELAYANAN INDIKATOR KUALITAS

PELAYANAN TOLOK UKUR SKALA NILAI BOBOT

KINERJA OPERASIO

NAL (%)

NILAI KINERJA OPERSIO

NAL (%)

NILAI PER OLEHAN KINERJA OPERASIONAL

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

- Pelayanan Bea Cukai - Waktu menunggu <20’, 90 % 70%-100% = baik=1,0 50%-69% =cukup=0,9 <50% =kurang=0,8

0,03 98 1 0,03

- Waktu proses <10’, 90% 70%-100% = baik=1,0 50%-69% =cukup=0,9 <50% =kurang=0,8

0,02 98 1 0,02

- Penyerahan bagasi - Bagasi pertama <20’, 90% 80%-100% =cukup=1,0 60%-79% = cukup=0,9 <60% =kurang=0,8

0,04 96 1 0,04

- Bagasi terakhir <30’,90% 80%-100% =cukup=1,0 60%-79% = cukup=0,9 <60% =kurang=0,8

0,06 94 1 0,06

- Kenyamanan - Kapasitas terminal - Luas ruang per penumpang pada jam sibuk

Sesuai standard 90%

85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8

0,08 60 0.8 0,064

- Kesejukan ruang terminal - Suhu ruang dalam terminal

23-27 C, 90% 85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8

0,08 70 0,8 0,064

- Ruang terminal yang

bersih - Kebersihan terminal 90%

85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8

0,07 50 0,8 0.056

- Kemudahan bagi penumpang untuk mengangkut bagasinya

- Jumlah trollies 6 trollies per 10 pnp,90%

85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8


(3)

NO

JENIS PELAYAN

AN

FAKTOR PENDUKUNG

PELAYANAN

BENTUK PELAYANAN INDIKATOR KUALITAS PELAYANAN

TOLOK

UKUR SKALA NILAI BOBOT

KINERJA OPERASIO

NAL (%)

NILAI KINERJA OPERSIO

NAL (%)

NILAI PEROLEHAN

KINERJA OPERASION

AL

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

-

- Service ability 90% 85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8

0,03 50 0,8 0,024 - Pelayanan informasi :

a. Public information system

b. Public Address system

c. Flight Progress Display

- Service ability 90% 85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8

0,02 60 0,8 0,016

- Tersedianya fasilitas umum

- Service ability 90% 85%-100% =baik=1,0 80%-84% =cukup=0,9 <80% =kurang=0,8

0,02 60 0,8 0,016


(4)

PENDISTRIBUSIAN BIAYA PERJASA

BANDARA POLONIA- MEDAN Lampiran-4

NO URAIAN PJP4U PJP PJP2U KONTER NON AERO TOTAL

I Biaya

1 Biaya pegawai 13.016.772 13.329.596 14.059.355 49.564 4.697.595 45.602.83 2 Biaya pemeliharaan 2.774.564 269.685 5.999.170 229.398 2.051.232 11.324.050

3 Biaya persediaan 608.346 684.238 782.300 30.464 269.0672 2.374.414

4 Biaya operasi 5.025.396 2.957.532 5.235.485 188.247 1.756.324 15.162.985

5 Biaya umum 7.701.872 2.657.904 7.188.439 272.895 2.451.704 20.270.814

6 Biaya penyusutan 5.088.064 377.526 6.071.575 215.741 2.028.679 13.781.585

7 Overhead 10.059.308 4.383.868 7.617.482 259.091 2.516.741 24.838.490

Jumlah I 44.274.321 24.660.350 46.951.807 1.695.401 15.771.342 133.353.221 II Total produksi 1.422.927 14.280.242 752.844 2.212.716

III Biaya Pokok Domestik 31.115 1.727 62.366 766


(5)

PERHITUNGAN TINGKAT PELAYANAN (LEVEL OF SERVICE) JASA PJP2U BANDARA POLONIA TANPA MENGGUNAKAN SKALA NILAI. Lampiran -5

NO

JENIS PELAYA

NAN

FAKTOR PENDUKUNG

PELAYANAN

BENTUK PELAYANAN INDIKATOR KUALITAS

PELAYANAN TOLOK UKUR BOBOT

NILAI KINERJA OPERASIO

NAL (%)

NILAI PEROLEHAN

KINERJA OPERASIONAL

1 2 3 4 5 6 8 9 11

3. PJP2U Pelayanan Terminal Penumpang - Keselamatan - Keamanan - Kelancaran

- Pelayanan check-in - Waktu menunggu <20’, 90 % 0,05 98 0,049

- Waktu proses <2’30”, 90% 0,05 98 0,049 - Pemeriksaan sekuriti

penumpang dan barang

- Kondisi normal <3’, 90% 0,10 100 0,10 - Kondisi khusus <8’,90% 0,15 100 0,15 - Imigrasi keberangkatan - Waktu menunggu <15’, 90% 0,03 98 0,0294

- Waktu proses <2’, 90% 0,02 90 0,018 - Imigrasi kedatangan - Waktu menunggu <15’, 90% 0,03 96 0,0288

- Waktu proses <2’, 90% 0,02 96 0,0192 - Pelayanan Bea Cukai - Waktu menunggu <20’, 90 % 0,03 98 0,0294 - Waktu proses <10’, 90% 0,02 98 0,0196 - Penyerahan bagasi - Bagasi pertama <20’, 90% 0,04 96 0,0384 - Bagasi terakhir <30’,90% 0,06 94 0,0564


(6)

NO

JENIS PELAYANA

N

FAKTOR PENDUKUNG

PELAYANAN

BENTUK PELAYANAN INDIKATOR KUALITAS

PELAYANAN TOLOK UKUR BOBOT

KINERJA OPERASIO

NAL (%)

NILAI PER OLEHAN KINERJA OPERASIONAL

1 2 3 4 5 6 8 9 11

- Kenyamanan - Kapasitas terminal - Luas ruang per penumpang pada jam sibuk

Sesuai standard 90%

0,08 60 0,048

- Kesejukan ruang terminal - Suhu ruang dalam terminal

23-27 C, 90% 0,08 70 0,056 - Ruang terminal yang

bersih - Kebersihan terminal 90%

0,07 50 0,035 - Kemudahan bagi

penumpang untuk mengangkut bagasinya

- Jumlah trollies 6 trollies per 10 pnp,90%

0,07 50 0,035

-

- Service ability 90% 0,03 50 0,015 - Pelayanan informasi :

a. Public information system

b. Public Address system

c. Flight Progress Display

- Service ability 90% 0,02 60 0,012

- Tersedianya fasilitas umum

- Service ability 90% 0,02 60 0,012