Konsep Pemerintahan Desa GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA DESA DALAM MUSRENBANG DESA (Studi di desa Margo Mulyo Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran)
Berdasarkan rumusan pasal 1 angka 1, terjawablah, bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, danatau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud
penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat.
Dasar yang digunakan adalah berdasarkan 1 prakarsa masyarakat, 2 berdasarkan hak asal usul atau hak tradisional. Pertanyaan siapa
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat ? Pertanyaan ini dijawab dalam rumusan
pada Pasal 1 angka 3 yang menyatakan, bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Jadi yang berwenang adalah pemerintah desa, yakni Kepala Desa dibantu perangkat desa, sebagai unsur
penyelenggaran pemerintahan desa.
Pasal 1 angka 4 UU No 6 Tahun 2014 menjawab yang dimaksudkan unsur lain, yakni Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain
adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis.
Pasal 23 UU No 6 Tahun 2014 memberikan penegasan, yakni Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa. Jelas terjawab siapakah yang
dimaksud pemerintah desa, maka dikembalikan pada pasal 1 angka 3 UU No 6
Tahun 2014, yakni Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Desa. Jika demikian BPD kedudukannya adalah hanya lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil
dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis . Hal ini ditegaskan juga pada Pemerintah Desa. Pasal 25 bahwa
Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa
atau yang disebut dengan nama lain.
Berdasarkan konstruksi hukum yang demikian, jelas Kepala Desa memiliki kedudukan yang strategis sebagai Penyelenggara Pemerintahan Desa. Namun
ketika melaksanakan kewenangan desa dua lembaga tersebut mempunyai kedudukan yang sama, yakni Kepala Desa dan BPD. Untuk memahami, perlu
dipahami konstruksi hukum terhadap Kewenangan Desa sebagaimana
dimaksud Pasal 18 UU no 6 Tahun 2014, Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat
istiadat Desa.
Pasal 19 Kewenangan Desa meliputi: a. Kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b. Kewenangan lokal berskala Desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah KabupatenKota; dan
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
atau Pemerintah
Daerah KabupatenKota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20 : Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal
berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh Desa.
Pasal 21 : Pelaksanaan kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas
lain dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah KabupatenKota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf
d diurus oleh Desa.
Pada teks hukum Pasal 19 perlu dipahami konstruksi hukumnya, bahwa ada kewenangan yang diurus oleh desa dan ada kewenangan yang berasal dari
penugasan dari pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan kabupaten kota. Pertanyaannya kewenangan yang berasal dari penugasan dari
pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintahan kabupaten kota meliputi apa saja ? Jika kita mengacu pada UU No 6 Tahun 2014, hal tersebut
ditegaskan pada pasal Pasal 22 yang menyatakan: 1 Penugasan dari Pemerintah danatau Pemerintah Daerah kepada Desa
meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
2 Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disertai biaya.
Berdasarkan Pasal 22 ada empat penugasan yang bisa datang dari pemerintah, dan atau pemerintah daerah bisa Pemerintaha Daerah Provinsi, bisa
Pemerintah daerah Kabupaten Kota yakni; Pertama, penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Kedua , pelaksanaan Pembangunan Desa Ketiga, pembinaan kemasyarakatan Desa
Keempat, pemberdayaan masyarakat Desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengangkat kembali otonomi desa berbasis jati diri desa, mengakomodasi keanekaragaman dan
keunikan budaya tiap desa, didalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia. Secara struktural, organisasi negara mengatur kepemerintahan
hanya sampai tingkat kecamatan, sehingga organ di bawah kecamatan diklasifikasi sebagai organ masyarakat, sehingga masyarakat desa disebut
sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri dan mendirikan pemerintahan desa yang mengatur dirinya sendiri sebagai sebuah otoritas lokal
bertaraf desa, pada Perubahan UUD 1945 Pasal 18 B disebut sebagai otonomi khusus yang mendapat pengakuan dan penghormatan sebagai masyarakat
hukum adat yang sesuai prinsip NKRI.
Sejak beberapa tahun terakhir sebelum awal Tahun 2014, upaya pemerintah meningkatkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa,
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa
menjadi Kelurahan, serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan
Desa, menjadi sebuah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan berbagai perubahan mendasar, disahkan DPR pada hari Rabu tanggal
18 Desember 2013 dan diundangkan pada 15 Januari 2014.
Sesungguhnya, dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk
Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bertransformasi menjadi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diundangkan pada 15 Januari 2014.
Falsafah Bhineka Tunggal Ika menguat kala Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengakui dan melindungi keaneka ragaman adat istiadat, Undang-
Undang Desa secara eksplisit bermaksud melestarikan adat cq budaya asli
sebagai kebhinekaan yang menyatu dibawah Peraturan Perundang-undangan NKRI. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mengatur desa
atau sebutan lain, desa adat atau sebutan lain, serta secara ringan mengatur dusun. Undang-Undang 6 Tahun 2014 mengatur materi mengenai Asas
Pengaturan Desa, Kedudukan Desa dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban
Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha
Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini
juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan
local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa
menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam
pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintahan Desa merupakan lembaga perpanjangan pemerintah pusat memiliki peran
yang strategis dalam pengaturan masyarakat desakelurahan dan keberhasilan pembangunan nasional. Karena perannya yang besar, maka perlu adanya
Peraturan-peraturan atau
Undang-Undang yang
berkaitan dengan
pemerintahan desa yang mengatur tentang pemerintahan desa, sehingga roda pemerintahan berjalan dengan optimal, hal ini sejalan dengan gaya
kepemimpinan kepala desa yang memimpin wilayah tersebut.