Pengakuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini, maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai
apa yang dilihat,didengar, dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya, sikap, perilaku, emosional, dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi
pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.
Mengenai pengetahuan hakim tersebut, Mahkamah Agung dalam keputusannya tertanggal 10 April 1957 Reg. No. 213 KSip1955, menyatakan:
Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat 1 bersambung dengan pasal 164 Herziene Indonesisch reglement HIR tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang
ahli, namun penglihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian.
6
4. Surat atau Tulisan
Alat bukti surat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Akta otentik
Surat otentik ialah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat
itu sebagai surat bukti suatu peristiwa atau peristiwa hukum. Pejabat umum ialah notaris, pejabat pembuat akta tanah, pegawai pencatat sipil,
hakim, bupatiwalikota, jurusita, panitera, dan lain-lain. Akta otentik dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara hanya bersifat sebagai
alat pembuktian bebas yang penilainnya diserahkan kepada hakim, karena Pasal 101 ayat a mengatakan bahwa otentik dibuat di hadapan pejabat umum dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum. b. Akta di bawah tangan
6
Titik Wulan dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 605-611.
Pembuktian Hukum Acara TUN | 13
Akta di bawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu peristiwa atau peristiwa hukum. Akta di
bawah tangan tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti sempurna seperti akta otentik, kecuali apabila pihak-pihak
yang bersangkutan mengakuinya mengenai tanggal dan penandatanganan serta isi akta itu.
c. Surat lain bukan akta Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak mengatur mengenai surat-surat
lainnya bukan bersifat akta otentik maupun akta di bawah tangan, demikian juga dalam ordonansi Staatsblad 1867 serta dalam KUHPer, sehingga menimbulkan
persoalan seberapa jauh kekuatan pembuktian surat-surat lain tersebut yang tidak ada penandatanganan, tidak diberi penanggalan dagtekening, serta tidak dikuatkan
legalisasi oleh pejabat umum mengenai kekuatan sebagai alat bukti.
7
5. Keterangan Ahli dan Keterangan Saksi