Teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan- persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat prosesuil.
3. Teori hukum obyektif Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta
kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada
peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
Teori hukum ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak diatur oleh undang-undang.
4. Teori Keadilan Menurut Teori ini, beban pembuktian diletakkan pada pihak yang paling sedikit menanggung
beban pembuktian atau yang paling sedikit jika disuruh membuktikan.
1
2. Prinsip Pembuktian
Untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui sidang di depan sidang pengadilan. Dalam hal ini hakim perlul memperhatikan kepentingan masyarakat
dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana KUHP atau kitab undang-undang pidana lainnya, harus
mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya sedangkan kepentingan terdakwa harus di perhatikan dengan adil sedemikian rupa, sehingga seorang yang tidak bersalah
jangan sampai mendapat hukuma. Bahkan kalau memang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat, tetapi hukuman itu harus setimpal dengan
kesalahannya.
2
Dalam KUHAP maupun HIR mempunyai persamaan dalam cara menggunakan alat bukti yaitu sistem negatif menurut undang-undang negatief wetelijk yang termuat dalam
pasal 183 KUHAP dan 294 ayat 1 HIR.
3
Pasal 183 KUHAP berbunyi :
1
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 172-178.
2
Hlm. 602
3
Ibid.
Pembuktian Hukum Acara TUN | 6
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 294 1 HIR berbunyi :
“Tiada seorang pun dapat dihukum, kecuali hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi, dan bahwa terdakwa telah
bersalah melakukannya.” Berdasarkan hal di atas bahwa apa yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP yaitu :
1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah 2. Degan dasar dua alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa :
a. tindak pidana telah terjadi; b. terdakwa telah bersalah;
Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti yang memberikan limitative dan bukti yang minimum yang harus disampaikan pada acara pembuktian. Alat bukti sah tersebut terdapat
dalam Pasal 184 KUHAP yang meliputi : 1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli 3. Surat
4. Pentunjuk 5. Keterangan Terdakwa
6. Apa yang disebut notoit tidak perlu di buktikan Mengenai pasal 183 KUHAP menetapkan adanya dua alat bukti minimum, misalnya
keterangan saksi dan keterangan ahli atau keteranga saksi dan surat dan bahkan keterangan dari dua orang saksi yang seterusnya terdapat beberapa kombinasi atau gabungan dari alat-
alat bukti yang sah.
Pembuktian Hukum Acara TUN | 7
Adapun yang diminta oleh HIR yang minimum, pasal 294 1 tidak secara tegas disebutkan beberapa alat bukti minimum yang dikehendaki, apakah satu alat bukti saja atau dua alat
bukti yang sah, dari alat-alat bukti yang disebutkan Pasal 295 HIR yaitu : 1. Keterangan saksi
2. Surat-surat bukti 3. Pengakuan salah satu terdakwa berkentennis
4. Penunjukan aanwijzing Akan tetapi dari pasal 342 ayat 1 dan 4 HIR dapat di tarik kesimpulan bahwa
sebagai alat bukti minimum dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Kedua ayat itu menyebutkan, bahwa keterangan seorang saksi saja atau pengakuan salah satu dari terdakwa saja tidak
cukup bagi hakim pidana untuk menganggap kesalahan terdakwa telah terbukti. Berkenaan dengan pembuktian dan kedudukan alat bukti sah, maka Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 secara tegas meyatakan bahwa : 1. Tiada seorang jua pun yang dapat dihadapkan di depan pengadilan, selain daripada
yang ditentukan baginya undang-undang. 2. Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan
atau dirinya. Apabila mengacu pada ketentuan tersebut, maka pembuktian suatu peristiwa melalui suatu
alat bukti yang sah merupakan suatu kemutlakan yang tidak dapat dibantah lagi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1865 BW yang menyatakan :
“Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas namanya berdasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembatahan hak orang lain. Diwajibkan juga membutktikan peristiwa-peristiwa itu”.
Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara TUN dengan Acara Perdata. Dalam Hukum Acara TUN dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi
Pembuktian Hukum Acara TUN | 8
dalam pemeriksaaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak hakim TUN bebas untuk menentukan.
4
1. Apa yang harus dibuktikan. 2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh oleh
pihak yang berpekara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri. 3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan dalam pembuktian.
4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan. Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara TUN adalah sistem vrij
bewijsleer, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Apakah kita harus Pasal 100 UU N0. 5 Tahun 1986, maka dapatlah disimpulkan
bahwa Hukum Acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal
tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Adapun pembuktian dalam
Hukum Acara Perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.
5
Selain itu juga dalam pembuktiannya selalu menggunakan asas praduga tak bersalah. Asas dimana mewajibkan semua pihak untuk tidak mendahului putusan pengadilan untuk
menyatakan kesalahan seseorang.
3. Kedudukan Alat Bukti