dalam pemeriksaaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak hakim TUN bebas untuk menentukan.
4
1. Apa yang harus dibuktikan. 2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh oleh
pihak yang berpekara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri. 3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan dalam pembuktian.
4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan. Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam Hukum Acara TUN adalah sistem vrij
bewijsleer, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Apakah kita harus Pasal 100 UU N0. 5 Tahun 1986, maka dapatlah disimpulkan
bahwa Hukum Acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal
tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Adapun pembuktian dalam
Hukum Acara Perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formil.
5
Selain itu juga dalam pembuktiannya selalu menggunakan asas praduga tak bersalah. Asas dimana mewajibkan semua pihak untuk tidak mendahului putusan pengadilan untuk
menyatakan kesalahan seseorang.
3. Kedudukan Alat Bukti
Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara. Hubungan
hukum inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh
salah satu pihak yang kebenarannya dibantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya. Setelah itu,
pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan kebenaran dalil sangkalannya.
4
Ibid, hlm. 604
5
Ibid, hlm. 605 Pembuktian Hukum Acara TUN | 9
Untuk membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal lima macam alat
bukti, yaitu: a. Surat atau tulisan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi
hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Adapun menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 101, bahwa surat
sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu: 1. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum,
yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk digunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya. 2. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
3. Surat-surat lain yang bukan akta. b. Keterangan ahli.
Di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 102 dijelaskan, bahwa keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di
bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya,
Kehadiran seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjukan
seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran
sepanjang pengetahuan dan pengalamannya Pasal 103 PTUN. Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim mengenai suatu persoalan di bidang
tertentu, yang memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang tertentu, yang
Pembuktian Hukum Acara TUN | 10
memang hanya bisa dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di bidang perbankan, ahli di bidang komputer, dan ahli balistik.
c. Keterangan saksi. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan didengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 88 UPTUN sebagai berikut:
1. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
2. Istri atau suami salah satu pihak ang bersangkutan meskipun sudah bercerai. 3. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun.
4. Orang sakit ingatan. Ada beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula
mengundurkan diri sebagai saksi Pasal 89 UPTUN, yaitu: 1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak.
2. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
Perbedaan antara Keterangan Saksi dan Keterangan Ahli
Keterangan Saksi Keterangan Ahli
Pembuktian Hukum Acara TUN | 11
1 Seseorang beberapa saksi dipanggil ke muka pengadilan
untuk mengemukakan
keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, didengar, atau dialami
sendiri. 2 Keterangan saksi harus lisan,
bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis.
3 Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali
sama-sama melihat, mendengar, dan menyaksikan peristiwa itu.
1 Seseorang beberapa saksi ahli dipanggil ke muka pengadilan
untuk mengemukakan
keterangan berdasarkan
keahliannya terhadap suatu peristiwa.
2 Keterangan saksi ahli bisa secara lisan ataupun tertulis.
3 Kedudukan seseorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain
yang sesuai dengan keahliannya.
d. Pengakuan para pihak. Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, di
mana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.
Menurut Pasal 105 UU No.51986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan di
depan persidangan oleh para pihak, untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna yang sempurna terhadap pihak yang memberikan pengakuan itu. Hal ini
berarti hakim harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar. Pengakuan di luar persidangan, nilai pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain, pengakuan yang diberikan di luar persidangan merupakan alat bukti bebas dan konsekuensinya hakim leluasa
untuk menilai alat bukti tersebut, atau bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan. Terserah kepada hakim untuk menerima atau idak
menerimanya.
e. Pengakuan hakim.
Pembuktian Hukum Acara TUN | 12
Pengakuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Melihat pada pengertian ini, maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan sebagai
apa yang dilihat,didengar, dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan. Misalnya, sikap, perilaku, emosional, dan tindakan para pihak dalam memutus perkara. Tetapi
pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti dalam memutus perkara.
Mengenai pengetahuan hakim tersebut, Mahkamah Agung dalam keputusannya tertanggal 10 April 1957 Reg. No. 213 KSip1955, menyatakan:
Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat 1 bersambung dengan pasal 164 Herziene Indonesisch reglement HIR tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang
ahli, namun penglihatan hakim pada suatu tanda tangan di dalam sidang boleh dipakai hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha pembuktian.
6
4. Surat atau Tulisan