Keanekaragaman Ikan di Sungai Silang, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi
(Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) Stasiun 1 = Daerah Kontrol
Stasiun 2 = Daerah Pertanian
Stasiun 3 = Daerah Pertemuan Sungai Silang dan Sungai Simangira Stasiun 4 = Daerah Pengerukan Pasir
(2)
Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO Sampel Air
1 ml MnSO4
1 ml KOHKI Dikocok Didiamkan Sampel Endapan
Puith/Cokelat
1 ml H2SO4
Dikocok Didiamkan Larutan Sampel
Berwarna Cokelat
Diambil 100 ml
Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N
Sampel Berwarna Kuning Pucat
Ditambah 5 tetes Amilum
Sampel Berwarna Biru
Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N
Sampel Bening
Dihitung volume Na2S2O3
yang terpakai Hasil
(3)
Lampiran 3. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5
(Suin, 2002) Keterangan :
Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan penghitungan Nilai DO
Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir
dihitung nilai DO akhir diinkubasi selama 5 hari
pada temperatur 20°C dihitung nilai DO awal
Sampel Air
Sampel Air Sampel Air
DO Akhir DO Awal
(4)
Lampiran 4. Tabel Kelarutan O2 (Oksigen) T˚C
0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
0 14,6 14,12 14,08 14,04 14,00 13,97 13,93 13,89 13,85 13,81
1 13,77 13,74 13,70 13,66 13,63 13,59 13,55 13,51 13,48 13,44
2 13,40 13,37 13,33 13,30 13,26 13,22 13,19 13,15 13,12 13,08
3 13,05 13,01 12,98 12,94 12,91 12,87 12,84 12,81 12,77 12,74
4 12,70 12,67 12,64 12,60 12,57 12,54 12,51 12,47 12,44 12,41
5 12,37 12,34 12,31 12,28 12,25 12,22 12,18 12,15 12,12 12,09
6 12,06 12,03 12,00 11,97 11,94 11,91 11,88 11,85 11,82 11,79
7 11,76 11,73 11,70 11,67 11,64 11,61 11,58 11,55 11,52 11,50
8 11,47 11,44 11,41 11,38 11,36 11,33 11,30 11,27 11,25 11,22
9 11,19 11,16 11,14 11,11 11,08 11,06 11,03 11,00 10,98 10,95
10 10,92 10,90 10,87 10,85 10,82 10,80 10,77 10,75 10,72 10,70
11 10,67 10,65 10,62 10,60 10,57 10,55 10,53 10,50 10,48 10,45
12 10,43 10,40 10,38 10,36 10,34 10,31 10,29 10,27 10,24 10,22
13 10,20 10,17 10,15 10,13 10,11 10,09 10,06 10,04 10,02 10,00
14 9,98 9,95 9,93 9,91 9,89 9,87 9,85 9,83 9,81 9,78
15 9,76 9,74 9,72 9,70 9,68 9,66 9,64 9,62 9,60 9,58
16 9,56 9,54 9,52 9,50 9,48 9,46 9,45 9,43 9,41 9,39
17 9,37 9,35 9,33 9,31 9,30 9,28 9,26 9,24 9,22 9,20
18 9,18 9,18 9,15 9,13 9,12 9,10 9,08 9,06 9,04 9,03
19 9,01 8,99 8,98 8,96 8,94 8,93 8,91 8,89 8,88 8,86
20 8,84 8,83 8,81 8,79 8,78 8,76 8,75 58,73 8,71 8,70
21 8,68 8,67 8,65 8,64 8,62 8,61 8,59 8,58 8,56 8,55
22 8,53 8,52 8,50 8,49 8,47 8,46 8,44 8,43 8,41 8,40
23 8,38 8,37 8,36 8,34 8,33 8,32 8,30 8,29 8,27 8,26
24 8,25 8,23 8,22 8,21 8,19 8,18 8,17 8,15 8,14 8,13
25 8,11 8,10 8,09 8,07 8,06 8,05 8,04 8,02 8,01 8,00
26 7,99 7,97 7,96 7,95 7,94 7,92 7,91 7,90 7,89 7,88
27 7,86 7,85 7,84 7,83 7,82 7,81 7,79 7,78 7,77 7,76
28 7,75 7,74 7,72 7,71 7,70 7,69 7,68 7,67 7,66 7,65
29 7,64 7,62 7,61 7,60 7,59 7,58 7,57 7,56 7,55 7,54
(5)
Lampiran 5. Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3)
5 ml Sampel Air
1 ml NaCl (pipet volum) 5 ml H2SO4
4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid
Larutan
Dipanaskan selama 25 menit
Larutan
Didinginkan Diukur dengan
Spektrofotometer pada λ = 410 nm
Hasil
(6)
Lampiran 6. Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO43-)
5 ml Sampel Air
1 ml Amstrong Reagent 1 ml Ascorbic Acid Larutan
Dibiarka selama 20 menit Diukur dengan
Spektrofotometer pada λ= 880 nm
Hasil
(7)
Lampiran 7. Contoh Perhitungan Kepadatan (K) ikan Osteochillus hasselti K =
jala Luas ulangan spesies suatu individu Jumlah / = 56 , 12 40 / 8
= 0,015 ind/m2
KR =
K total spesies setiap dalam K jumlah
x 100 % = 035 , 0 015 , 0
x 100% = 42,85%
FK = x100%
plot total Jumlah jenis suatu ditempati yang plot Jumlah = 40 8
x 100% = 20%
Indeks Diversitas Shannon-Wiener (Indeks Keanekaragaman) stasiun 2
H’ =
pi ln piH’ = - ∑ (
19
8
In19
8
+19
5
In19
5
+19
6
In19
6
)H’ = - ∑ (-0,364)+(- 0,351)+(- 0,363)
H’= 1,078
Indeks Keseragaman E = max ' H H
E =
7 ln 078 , 1 = 0,554 Indeks Similaritas
IS = 2 x100% b
a c
IS = 100%
3 2 ) 1 ( 2 x
= 40%
(8)
Lampiran 8. Hasil Korelasi
Suhu Kec. Arus In. Cahaya Pen. Cahaya DO Kej. Oksigen pH BOD5 Nitrat Fosfat TDS TSS
H .932 -.768 .122 -.675 -.584 .131 -.998** .699 -.579 -.326 .904 .075
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
(9)
Lampiran 9. Data Mentah Ikan Stasiun 1
No Species Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 Mystacoleucus padangensis - - - - 2 Osteochillus hasselti - - - - 1 - - - 1 - 1 - - - 1 - 1 - - - 1 - - 1 - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - - 1 - - 1 - - - 5 Tor tambra - - 1 - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 6 Glossogobius circumspectus - - - - 7 Parambassis apogonoides - - - -
No Species Ulangan
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 1 Mystacoleucus padangensis - - - - 2 Osteochillus hasselti - 1 - - - - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - 1 - - - - 5 Tor tambra - - - 1 - - - - 6 Glossogobius circumspectus - - - - 7 Parambassis apogonoides - - - -
49 Universitas Sumatera Utara
(10)
Stasiun 2
No Species Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 Mystacoleucus padangensis - - - - 2 Osteochillus hasselti - - - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - - 1 - - - 1 - - - - 5 Tor tambra - - - - 1 - - - 1 - - - - 6 Glossogobius circumspectus - - - - 7 Parambassis apogonoides - - - -
No Species Ulangan
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 1 Mystacoleucus padangensis - - - - 2 Osteochillus hasselti - - - - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - - - 5 Tor tambra - - - - 6 Glossogobius circumspectus - - - - 7 Parambassis apogonoides - - - - Stasiun 3
No Species Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 Mystacoleucus padangensis - - - - 1 - - - 1 - 1 - - - 1 - - - 1 - - 2 Osteochillus hasselti - - - - 3 Puntius binotatus - - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 4 Rasbora sumatrana - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - - - 5 Tor tambra - - - - 6 Glossogobius circumspectus - - - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - 7 Parambassis apogonoides - - - -
(11)
Stasiun 4
No Species Ulangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 1 Mystacoleucus padangensis - - - 1 1 - - - 2 - - - 1 - 1 - - 2 - - 2 - 1 - 2 2 Osteochillus hasselti - - - 1 - - - - 1 - - - 1 - - - 2 - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - 1 - - 5 Tor tambra - - - - 6 Glossogobius circumspectus - - - 1 - - - 2 - - - 1 - - - 2 7 Parambassis apogonoides - - - 1 - 2 - - 2 - - 2 - - - - 1 - - 2 - - 1 - 2
1
No Species Ulangan
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 1 Mystacoleucus padangensis - - - - 2 Osteochillus hasselti - - - - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - - - 5 Tor tambra - - - - 6 Glossogobius circumspectus - - - - 7 Parambassis apogonoides - - - -
No Species Ulangan
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 1 Mystacoleucus padangensis 1 - 1 - - - 2 - 1 - - - 2 - - 2 Osteochillus hasselti - - - - 3 Puntius binotatus - - - - 4 Rasbora sumatrana - - - - 5 Tor tambra - - - - 6 Glossogobius circumspectus - 2 - - - - 7 Parambassis apogonoides 1 - - - 2 - - 1 - 2 - 2 - - -
51 Universitas Sumatera Utara
(12)
Lampiran 10. Foto Kerja
Pengambilan sampel Pengukuran pH
(13)
Lampiran 11. Hasil analisa Nitrat dan Fosfat
(14)
Lampiran 12. Hasil analisa TDS dan TSS Stasiun 1
(15)
Stasiun 2
(16)
(17)
Stasiun 4
(18)
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. dan Subehi, K. 2012. Pengukuran dan Evaluasi Kualitas Air dalam Rangka Mendukung Pengelolaan Perikanan Di Danau Limboto. Gorontalo: Pusat Penelitian Limnologi- LIPI
Ansori, A. K. 2008. Penentuan Kekeruhan Pada Air Reservoir Di PDAM Tirtanadi Instalasi Pengelolahan Air Sunggal Medan Metode Turbidimetri (Skripsi). Medan: Universitas Sumatra Utara.
Ardi, D. 2000. Hubungan Faktor Fisika Kimia Air dengan Keanekaragaman Perifiton dan Ikan pada Perairan Batang Arau. Laporan Penelitian. Universitas Negeri Padang.
Asdak. C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Fakultas Pertanian PPSDAL. UGM Press. Yogyakarta.
Asriyana dan Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Bumi Aksara. Jakarta.
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi, Studi tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Jurusan Biologi. Fakultas MIPA USU. Medan.
Boyd, C. E. 1982, Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific-Amsterdam. Development in Aguaculture and FisheriesScience Vol. 9
Brotowidjoyo, M. D., Fauziah, Y., Nursal dan Supriyanti. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Dongkyun, I., Kang, H., Kyu-Ho, K., Sung-Uk, C., 2011. Changes of river
morphology and physical fish habitat following weir removal. Ecological Engineering, 37: 883-892.
Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan IPB. Bogor.
Effendi, M. I. 2003. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Bogor. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Eschmeyer, W.N. 1998. Catalog of fishes. California Academic of Sciences. San Francisco. Revised version of November 2000.
(19)
Fachrul, M. F.. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta. Bumi Aksara.
Fadil, M. S. 2011. Kajian Beberapa Aspek Parameter Fisika Kimia Air dan Aspek Fisiologis Ikan Yang Ditemukan pada Aliran Buangan Pabrik Karet di Sungai Batang Arau. [Artikel]. Program Studi Biologi Pascasarjana Universitas Andalas.
Ferianita, F. 2008. Metode sampling bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Ed 1 Cet 2 Goldman, C. R. and Horne, A. J. 1983. Limnology. New York: Mc. Graw Hill. Gultom, L. 2010. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan Dikaitkan dengan Faktor
Fisik dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan. Thesis. USU Press: Medan. Gonawi, G. R. 2009. Habitat Struktur Komunitas Nekton Di Sungai
Cihideung-Bogor Jawa Barat (Skripsi). Cihideung-Bogor : Institut Pertanian Cihideung-Bogor.
Hariyadi, S., I. N. N. Suryadipura dan Bambang Widigdo. 1992. Limnologi. Metoda Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. 122 hal. Haryono dan Subagja, J. 2008.Populasi dan Habitat Ikan Tambra, Tor Tambroides
(Bleeker, 1894) di Perairan Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. 9(4):1-307
Hasim, Koniyo, Y. dan Kasim, F. 2015. Parameter Fisik-kimia Perairan Danau Limboto Sebagai Dasar Pengembangan Perikanan Budidaya Air Tawar. Nike: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 3, Nomor 4, Desember 2015, hal 130 – 136. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-UNG.
Indriyani E., Nitimulyo K.H., Hadisusanto S dan Rustadi. 2015. Analisis Kandungan Nitrogen, Fosfor dan Karbon Organik Di Danau Sentani-Papua. Yogyakarta : Program Doktoral Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol.22, No.2.
Jubaedah, I. dan Hermawan, A. 2010. Kajian Budidaya Ikan Nilem (Osteochilus Hasselti) Dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Ikan (Studi Di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat). Bogor: Sekolah Tinggi Perikanan Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor. Vol. 4 (1).
Kar, D., A.V. Nagarathna, T.V. Ramachandra and S.C. Dey. 2006. Fish diversity and conservation aspect in an aquatic ecosystem in Northeastern India. Zoos Print Journal 21 (7) : 2308 – 2315.
(20)
Kartamihardja, E.S dan Sarnita A.S. 2008. Populasi Ikan Bilih di Danau Toba. Keberhasilan Introduksi Ikan Implikasi Pengelaolaan dan Prospek Masa Depan. Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP, DKP.
Kottelat, M. and A.J. Whitten with S.N. Kartikasari, and S. Wirjoatmodjo., 1993. Freshwater fish of Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition (HK) Ltd, in Collaboration With Enviromental Management Project. Ministry of State for Population and Enviroment. Republic of Indonesia. Jakarta.
Kordi, K. M. G. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta.
Krebs, C. J., 1985. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper Collins, Publisher, p. 894.
Macmentum, K. M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. University StateDepartment of the Interior. Federal Water Control Pollution.
Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV. Rajawali. Jakarta.
Marshall and Bone. 1982. Biology of Fishes. Chapman and Hall. New York. Maryono, A. 2005. Ecological Hydraulics of River Development. Edisi Kedua.
Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium UI Press, Jakarta.
Mulya, M. B. 2004. Keanekaragaman Ikan di Sungai Deli Propinsi Sumatera Utara Serta Keterkaitannya dengan Faktor Fisik Kimia Perairan. Jurnal Komunikasi Penelitian 16(5): 10-16
Mulyanto, H. R. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta Nugroho, A. 2006. Bioindikator Kualitas Air. Universitas Trisakti, Jakarta.
Nontji, A. 1986. Rencana Pengembangan Puslitbang Limnologi. LIPI pada Prosiding Expose Limnologi dan Pembangunan. Bogor..
Odum, E. P. 1993 . Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta : Gadja Mada University Press.
Odum, E. P. 1996 . Dasar-Dasar Ekologi: edisi ketiga. Yogyakarta : Gadja Mada University Press.
(21)
Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Permadi, A., Syamsudin, S., Musa, I. 2010. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan. Bogor: Sekolah Tinggi Perikanan Jurusan Penyuluhan Perikanan Bogor. Vol. 4 (1).
Raharjo, M., Setiadi, D., Muhdiono, I. dan Yusron, A.. 2011. Iktiology. Bandung: Lubuk Agung.
.
Rifai, S. A. N., N, Sukaya dan Z. Nasution. 1983. Biologi Perikanan. Edisi I Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Ross, R., 1997. Fisheries Conservation and Management. USA: Prentice Hall, Inc.
Rukmini, Slamat dan Aisiah, S. 2014. Bio-Ekologi Larva Ikan Betok (Anaba Testudineus Bloch) di Berbagai Perairan Rawa Kalimantan Selatan dan Upaya Untuk Pemeliharaan. Laporan Akhir. Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Fakultas Perikanan Dan Kelautan Unlam
Salmin. 2005 . Oksigen Terlarut ( DO) dan Kebetuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Jurnal Osean 30 (3) : 21-26.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sawyer, C. N. and McCarty, P. L. 1978. Chemistry for Envimental Engineering. Third editon. McGraw-Hill Book Company. Tokyo. 532 p
Schiemer, F. and M. Zalewski., 1992. The Importance of Riparian Ecotone For Diversity & Productivity or Riverine Fish Comunities. Netherland Journal of Zoology, 42 (2-3): 323-335.
Siagian, C, 2009, Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan serta Keterkaitannya dengan Kualitas Perairan di Danau Toba Balige Sumatera Utara, [Tesis], Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Silalahi, J. 2010. Analisis Kualitas Air dan Hubungannya dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Simamora, D. R. 2009. Studi Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi. [Skripsi]. Departemen Biologi USU, Medan. Sinaga, T. 2009. Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas
Perairan Danau Toba Balige Kabupaten Toba Samosir. [Tesis]. Program Pasca Sarjana USU, Medan.
(22)
Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri. Paradigma baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah MadaUniversity Press.
Sudarto. 1993. Pembuatan Alat Pengukuran Arus Secara Sederhana. Jurnal Oseana 18 (1) : 35-44.
Suin, N. M. 2002. Ekologi Populasi. Edisi 2. Padang: Universitas Andalas
Sulistiyarto, B. 1998. Pengaruh Beberapa Komponen Habitat Terhadap Kelimpahan Anak Ikan Seluang (Rasbora sumatrana) di Rawa Bebengkel Palangkaraya. Tesis. Bogor: Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sulistiyarto, B. 2012. Hubungan Panjang Berat, Faktor Kondisi, dan Komposisi Makanan Ikan Saluang (Rasbora argyrotaenia Blkr) di Dataran Banjir Sungai Rungan Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmu Hewani Tropika Vol 1. No. 2. Desember 2012.
Sumich, J. L. 1992. Introduction to the Biology of Marine Life. 5th Edition. WCB, Wm. C. Brown Publishers, USA. 348 p.
Supratno KP T. 2006. Evaluasi Lahan Tambak Wilayah Pesisir Jepara untuk Pemanfaatan Budidaya Ikan Kerapu. Tesis. Semarang : Program Studi Megister Manajeman Sumberdaya Pantai Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Susanto, H. dan A. Rochdianto. 2008. Kiat Budi Daya Ikan Mas Dilahan Kritis. Penebar Swadaya Depok. Jakarta.
Yustina. 2001. Keanekaragaman Jenis Ikan Disepanjang Sungai Rangau. Riau, Sumatera: Journal Nature Indonesia 4(1):1-14(2001) ISSN 1410-9379. Wardana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.
Yogyakarta.
Winata, I. N. A., A. Siswoyo, dan T. Mulyono. 2000. “Perbandingan Kandungan P dan N Total Dalam Air Sungai di Lingkungan Perkebunan dan
(23)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1Waktu dan Tempat
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2016. Pengambilan sampel ikan dilakukan di aliran Sungai Silang yang melewati Desa Sosor Binanga, Desa Sibosur, Desa Hatupangan dan Desa Parriaan serta identifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan penentuan titik lokasi pengambilan sampel
menggunakan metode “Purpose Sampling” yaitu dengan menentukan 4 stasiun pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas yang terdapat di stasiun tersebut.
3.3Deskripsi Area 3.3.1 Stasiun 1
Stasiun ini terletak di Desa Sosor Binanga yang secara geografis terletak pada 02018’23” LU dan 098047’41,39” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah batu-batuan dan berpasir. Stasiun ini merupakan daerah kontrol.
Gambar 1. Daerah Bebas Aktifitas (Kontrol)
(24)
3.3.2 Stasiun 2
Stasiun ini terletak di Desa Sibosur yang secara geografis terletak pada 02018’29,60” LU dan 098048’32,08” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah batu-batuan dan berpasir. Stasiun ini merupakan daerah pertanian.
Gambar 2. Daerah Pertanian
3.3.3 Stasiun 3
Stasiun ini terletak di Desa Hatupangan yang secara geografis terletak pada 02019’06,44” LU dan 098049’05,80” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah batu-batuan dan berpasir. Stasiun ini merupakan daerah pertemuan sungai Silang dengan sungai Simangira.
(25)
3.3.4 Stasiun 4
Stasiun ini terletak di Desa Hatupangan yang secara geografis terletak pada 02019’24,57” LU dan 098049’17,90” BT. Substrat dasar pada lokasi ini adalah berpasir. Stasiun ini merupakan daerah pengerukan pasir.
Gambar 4. Daerah PengerukanPasir
3.4Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala, toples, penggaris besi, kertas milimeter laminating, camera digital, pipet tetes, botol alkohol, coolbox, toolbox, erlenmeyer 150 ml, botol winkler, plastik 5 kg, GPS, pH meter, termometer, Lux meter, keping sechii, bola pimpong, meteran tanah dan alat tulis sedangkan bahan yang digunakan adalah Alkohol 70%, lakban coklat, MnSO4,
KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 0,00125 N dan amilum.
3.5 Pengambilan Sampel Ikan
Pengambilan sampel ikan dilakukan setelah pengukuran faktor-fisik kimia perairan. Pengambilan ikan dilakukan dengan menebar jala sebanyak 40 ulangan pada masing-masing stasiun. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan ke dalam toples dan diawetkan dengan alkohol 70% untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi ikan yaitu Kottelat et al. (1993).
(26)
3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 3.6.1 Suhu (oC)
Suhu air diukur dengan menggunakan termometer air raksa berskala 0-100
o
C yang dimasukkan pada badan air kira-kira 10 menit sampai penunjuk pada skala konstan. Diamati dan dicatat suhu yang tertera pada termometer.
3.6.2 Penetrasi Cahaya (m)
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan menggunakan keeping sechii yang dimasukkan ke dalam air hingga tidak tampak dari permukaan, kemudian diukur panjang tali sebagai kedalaman penetrasi cahaya.
3.6.3 Intensitas Cahaya (Candela)
Intensitas cahaya diukur menggunakan lux meter. Dicatat angka yang muncul pada lux meter tersebut.
3.6.4 pH (potential of Hydrogen)
Pengukuran pH menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi, kemudian dimasukkan pH meter ke dalam air lalu dibaca skala yang tertera pada pH meter tersebut.
3.6.5 Kecepatan Arus
Arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting baik pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertical. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen, yaitu arus air bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan tersebut. Selain itu dikenal arus laminar, yaitu arus air yang bergerak ke arah tertentu saja (Barus, 2004).
3.6.6 Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen) (mg/L)
Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan menggunakan metode Winkler, yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan
(27)
dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga
terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat,
lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga
terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang
terpakai dihitung dan hasilnya dicatat (Lampiran 2).
3.6.7 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) (mg/L)
Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi
selama 5 hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen kimia yaitu MnSO4 dan KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Sampel air
dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel
didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel
diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum
sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna
menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya
dicatat. Nilai BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir.
(Lampiran 3).
3.6.8 Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran kandungan TSS dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Sumatera Utara (BTKL).
3.6.9 Total Disolved Suspended (TDS)
Pengukuran kandungan TDS dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometer di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Sumatera Utara (BTKL).
(28)
3.6.10 Kejenuhan Oksigen
Menurut Barus (2004), disamping pengukuran konsentrasi oksigen, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tinggkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tinggkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/l, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem dari air tersebut.
Harga kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Barus (2004):
Kejenuhan O2 x 100%
O2 [u] =Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/L)
O2 [t] =Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya (Lampiran 4) sesuai dengan harga temperatur.
3.6.11 Kandungan Nitrat (NO3)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine
Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit. Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada
λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer (Lampiran
E).
3.6.12 Kandungan Posfat (PO4)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1 ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur
dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera
pada spektrofotometer (Lampiran F).
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia perairan beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.
(29)
Tabel 1. Alat dan satuan yang digunakan dalam pengukuran faktor fisik-kimia perairan
No Parameter
Fisik-Kimia Satuan Alat
Tempat Pengukuran
1 Suhu °C Termometer In situ
2 Penetrasi cahaya Meter Keping secchi In situ
3 Intensitas cahaya Candela Lux meter In situ
4 pH air - pH meter In situ
5 Kecepatan Arus M/Det Stopwatch, Gabus, Meteran In situ
6 DO mg/L Metoda Winkler In situ
7 BOD5 mg/L Metode Winkler dan Inkubasi Laboratorium
8 TSS mg/L Spektrofotometri Laboratorium
9 TDS mg/L Spektrofotometri Laboratorium
10 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium
11 Kadar Nitrat (NO3) mg/L Spektrofotometri Laboratorium
12 Kadar Fosfat (PO4) mg/L Spektrofotometri Laboratorium
3.7 Analisis Data 3.7.1 Ikan
Data ikan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon Wiener, Indeks keseragaman dan indeks kesamaan.
a. Kepadatan Populasi K (ind/m2) =
Luasjala Ulangan spesies suatu individu Jumlah / (Michael, 1994)
b. Kepadatan Relatif Ikan
KR (%) =
K total spesies setiap dalam K jumlah
x 100 %
Apabila KR > 10 % maka suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme (Barus, 2004).
(30)
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
FK = x100%
plot total Jumlah
jenis suatu ditempati yang
plot Jumlah
Apabila nilai FK : 0 - 25 % = kehadiran sangat jarang 25 - 50 % = kehadiran jarang
50 -75 % = kehadiran sering
75 - 100 % = kehadiran absolut (sangat sering)
(Michael, 1994)
d. Indeks Diversitas Shannon –Wiener (H’)
H’ =
pi ln pi dimana :H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener ln = logaritma Nature
pi =
ni /N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)0 < H´ < 2,302 = keanekaragaman rendah 2,302 < H´ < 6,907 = keanekaragaman sedang H´ > 6,907 = keanekaragaman tinggi
(Krebs, 1985)
e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)
E =
max ' H
(31)
dimana :
H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum
= ln S (dimana S banyaknya genus)
(Krebs, 1985)
f. Indeks Similaritas (IS)
IS = dimana:
IS = Indeks Similaritas
a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b
c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
(Michael, 1994)
3.7.2 Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap nilai indeks keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver. 17.00. Nilai korelasi Pearson dapat diklasifikasikan seperti tertera pada Tabel 2 berikut ini;
Tabel 2. Kriteria Nilai Korelasi Pearson
Nilai Korelasi Pearson Kriteria Korelasi
0,00-0,199 Sangat rendah
0,20-0,399 Rendah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,00 Sangat kuat
100% X
b a
2c
(32)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis-jenis Ikan yang diperoleh tiap stasiun
Ikan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, terdiri dari dua ordo, tiga famili dan tujuh species. Famili Cyprinidae mendominasi di keempat stasiun penelitian. Menurut Kottelat et al. (1993), famili Cyprinidae merupakan penghuni terbesar ikan air tawar yang memiliki adaptasi yang cepat terhadap perubahan kondisi perairan.
Tabel 3. Keanekaragaman Ikan di Sungai Silang
No Ordo Famili Species Stasiun
1 2 3 4
1 Perciformes 1. Gobiidae 1. Glossogobius
circumspectus - - + + 2. Ambassidae 2. Parambassis
apogonoides - - - +
2 Cypriniformes 3. Cyprinidae 3. Mystacoleucus
padangensis - - + +
4. Osteochillus hasselti + + - -
5. Puntius binotatus - - + +
6. Rasbora sumatrana + + + +
7. Tor tambra + + - -
Keterangan: (+) = Ada (-) = Tidak ada
Pada data tersebut diketahui bahwa setiap spesies memiliki penyebaran yang berbeda-beda. Osteochillus hasselti dan Tor tambra ditemukan di stasiun 1 dan 2. Hal ini disebabkan ikan Osteochillus hasselti dan Tor tambra merupakan ikan yang memiliki sifat yang sama yaitu hidup di perairan yang jernih, memiliki arus yang deras dan berbatu. Ikan Osteochillus hasselti dan Tor tambra dapat hidup pada suhu 18-280C, pH 6-8,6 dan kandungan oksigen 5-8 mg/L (Susanto, 2010). Habitat asli ikan tambra umumnya pada bagian hulu sungai di daerah perbukitan dengan air yang jernih dan berarus kuat (Haryono dan Subagja, 2008). Menurut Jubaedah & Hermawan dalam Permadi et al., 2010), ikan Osteochillus hasselti banyak ditemukan hidup liar di perairan umum terutama di sungai yang berarus dan berair jernih.
(33)
Ikan Mystacoleucus padagensis, Puntius binotatus dan Glossogobius circumspectus hanya ditemukan pada stasiun 3 dengan stasiun 4 dan tidak ditemukan pada stasiun 1 dan 2. Hal ini dapat di sebabkan ikan ini dapat hidup di habitat yang memiliki kecepatan arus yang rendah dan perairan yang jernih. Ikan bilih atau dalam bahasa ilmiah disebut Mystacoleucus padangensis Bleeker merupakan ikan endemik yang hidup di danau Singakarak, Sumatera Barat (Kottelat, M. et al. 1993).
Ikan Mystacoleucus padangensis diintroduksi dari habitat asli di danau Singkarak ke habitat baru di Danau Toba (Kartamihardja dan Sarnita, 2008). Tanggal 3 Januari 2003, ikan bilih ditebarkan di daerah Parapat dan Ajibata di Danau Toba. Namun, ikan ditemukan pada sungai Silang. Hal ini disebabkan oleh ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai yang bermuara di danau. Puntius binotatus hidup di perairan tawar daerah tropis pada dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir, perairan tenang dan tidak mempunyai arus yang deras (Kottelat, 1996) serta hidup pada pH 6-6,5 (Roberts, 1989). Ikan Glossogobius circumspectus lebih menyukai perairan yang tenang dan substrat berupa pasir, berlumpur seperti muara sungai dan berarus.
Parambassis apogonoides hanya dijumpai di stasiun 4 karena ikan tersebut memiliki sifat yang hidupnya lebih banyak di perairan berpasir bercampur dengan lumpur dan kecepatan arus yang tenang. Rasbora sumatrana ditemukan di keempat stasiun penelitian. Hal ini dikarenakan bahwa ikan Rasbora sumatrana hidup di perairan yang berarus kecil atau besar, hidup di balik bebatuan dan berpasir pada suhu 200C-260C dan pH 6.5 - 7 (Scott, 1979 dalam Sulistiarto, 2013).
Karakteristik masing-masing ikan yang diperoleh pada sungai Silang: 1. Mystacoleucus padangensis
Panjang total: 9,5-17,5 cm; panjang standar: 7,3-14 cm; panjang kepala: 2-2,8 cm; tinggi badan: 2,1-5 cm; panjang ekor: 2,1-3,8 cm, ikan ini memiliki sirip punggung berjari-jari keras. Badan bulat panjang dan pipih, tipe ekor membundar Tubuh ditutupi oleh sisik yang berwarna keperak-perakan. Punggung dan ekor bagian sebelah sirip berwarna kehitam-hitaman, sisiknya kecil-kecil dan tipis dan tipe sisik sikloid.
(34)
Gambar 4. Mystacoleucus padangensis
2. Osteochillus hasselti
Panjang total: 10,2-19,5 cm; panjang standar: 11-15,5 cm; panjang kepala: 2-3 cm; tinggi badan: 5,8-6,5 cm; panjang ekor: 2,6-5 cm. Badan memanjang dan pipih. Siripnya berwarna coklat kehijauan,bagian punggung ikan nilem berwarna kuning kemerahan. Posisi mulut terletak diujung hidung (terminal). Posisi sirip perut terletak di belakang sirip dada (abdominal), moncong lebih pendek daripada panjang kepala, Tipe letak mulut sub-terminal,dan bentuk sirip dubur agak tegak.
Gambar 5. Osteochillus hasselti
3. Puntius binotatus
Panjang total: 8,9-12 cm; panjang standar: 8,1-9,3 cm; panjang kepala: 2-2,6 cm; tinggi badan: 2,1-3,2 cm; panjang ekor: 2-2,5 cm. Ikan mempunyai tubuh bulat dan pipih. Mempunyai empat sungut, perutnya membundar, mulutnya kecil, bibirnya halus, jari-jari terakhir sirip punggung mengeras dan bergerigi, tipe ekor bercagak, warna tubuh abu-abu keperakan. Tipe letak mulut sub-terminal. Ikan ini memiliki garis warna hitam yang samar-samar dari operkulum hingga pangkal ekor dibagian atas lateral line. mulutnya kecil, bibirnya halus.
(35)
Gambar 6. Puntius binotatus 4. Rasbora sumatrana
Panjang total: 10-18 cm; panjang standar: 9,6-14 cm; panjang kepala: 2-2,8 cm; panjang ekor: 2,5-4,8 cm; tinggi badan: 2,5-4 cm. Mempunyai bandan memanjang. Warna tubuh abu-abu keperakan, sirip punggung pertama berjari-jari keras. Tipe letak mulut sub-terminal, tipr ekor bercagak.
Gambar 7. Rasbora sumatrana 5. Tor tambra
Panjang total: 10,5-12,2 cm; panjang standar: 9,3-10 cm; panjang kepala: 1,6-2,4 cm; tinggi badan: 2,2-2,8 cm; panjang ekor: 2-2,4 cm. Tor tambra memiliki sirip punggung berjari-jari keras, tipe ekor bentuk bulan sabit, tipe letak mulut terminal, warna tubuh abu-abu keperakan.
Gambar 8. Tor tambra
(36)
6. Glossogobius circumspectus
Morfologi: panjang total: 9-11,5 cm; panjang standar: 7,9-9 cm; panjang kepala: 1,3-1,8 cm; tinggi badan: 1,2-1,8 cm; panjang ekor: 1,5-2 cm. Berukuran kecil tetapi tebal dengan bentuk ekor menipis. Ujung sirip ekor berwarna kecoklatan. Letak mulut superior, sisik stenoid.
Gambar 9. Glossogobius circumspectus 7. Parambassis apogonoides
Morfologi: panjang tota: 4,2-5 cm; panjang standar: 4,1-4,6 cm; panjang kepala: 0,5-0,8 cm; tinggi badan: 1-1,5 cm; panjang ekor: 0,5-1 cm. Memiliki tubuh pendek dan pipih, tipe letak mulut superior, tipe sirip ekor seperti bulan sabit. Sirip perut dan sirip dubur menyatu, sirip penggung berjari-jari keras dan bergerigi. Tubuh berwarna keperakan dan sedikit transparan.
Gambar 10. Parambassis apogonoides
4.1.1 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Ikan
Nilai kepadatan , kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran ikan yang diperoleh di setiap stasiun di Sungai Silang dapat dilihat pada Tabel 4.
(37)
iii
Tabel 3. Nilai Kepadatan (ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) ikan pada Sungai Silang
No Species Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK
1 Mystacoleucus padangensis
- - - 0,009 32,14 12,5 0,039 35,13 35
2 Osteochillus hasselti 0,015 42,85 20 0,005 45,45 12,5 - - - - 3 Puntius binottatus - - - 0,007 25 10 0,009 8,10 10 4 Rasbora sumatranus 0,009 25,71 12,5 0,003 27,27 5 0,005 17,85 7,5 0,007 6,30 10 5 Tor tambra 0,011 31,42 15 0,003 27,27 5 - - - - 6 Glossogobius
circumspectus
- - - 0,007 25 10 0,015 13,51 12,5
7 Parambassis apogonoides
- - - 0,041 36,93 32,5
Total 0,035 99,98 0,011 99,99 0,028 99,99 0,111 99,97
25 Universitas Sumatera Utara
(38)
Pada stasiun 1 dan 2 ditemukan 3 species ikan. Osteochillus hasselti mempunyai nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,015 ind/m2. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan kerena stasiun 1 dan 2 merupakan daerah bebas aktivitas yang memiliki kondisi lingkungan dengan parameter yang sesuai untuk ikan tersebut. Ikan Osteochillus hasselti hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran kandungan oksigen terlarut yang cukup yaitu 5-8 mg/L, suhu 18-280C dan pH antara 6-8,6 (Cholik et al., 2005).
Pada stasiun 3 ditemukan 4 species ikan. Mystacoleucus padagensis mempunyai nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,009 ind/m2. Hal ini disebabkan kerena stasiun 3 memiliki kondisi lingkungan dengan parameter yang sesuai untuk ikan tersebut. Ikan Mystacoleucus padagensis melakukan pemijahan dengan mengikuti aliran air di sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina beruaya ke arah sungai dengan kecepatan arus berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan kedalaman antara 10-20 cm. Habitat pemijahan adalah perairan sungai yang jernih, dengan suhu air relatif rendah, berkisar 24,0-26,0°C, dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau pasir.
Pada stasiun 4 ditemukan 5 species ikan. Parambassis apogonoides mempunyai nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,041 ind/m2. Hal ini disebabkan kerena stasiun 4 memiliki kondisi lingkungan dengan parameter fisik kimia yang sesuai untuk ikan tersebut. Parambassis apogonoides hidup di perairan berpasir bercampur dengan lumpur dan kecepatan arus yang tenang.
4.1.2 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman
Nilai indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) ikan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E).
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
H’ 1,078 1,076 1,368 1,398
E 0,554 0,553 0,703 0,718
Pada Tabel 5 dapat dilihat nilai keanekaragaman di keempat stasiun berkisar antara 1,076-1,398. Nilai keanekaragaman tersebut menandakan bahwa keanekaragamannya rendah. Menurut Krebs (1985), nilai indeks keanekaragaman
(39)
keanekaragaman di setiap stasiun dipengaruhi oleh jumlah individu, jumlah spesies dan penyebaran individu dari masing-masing spesies. Rendahnya nilai keanekaragaman di lokasi penelitian lebih disebabkan faktor jumlah individu dan jumlah spesies yang sedikit sedangkan penyebaran spesies relatif merata.
Menurut Barus (2004), suatu komunitas dapat dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Sebaliknya, apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut akan mempunyai keanekaragaman yang rendah.
Indeks Keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 4 disebabkan
stasiun ini memiliki kondisi yang baik untuk keberadaan ikan, menurut Rifai et al. (1983) dalam Gultom (2010), keanekaragaman ikan pada habitatnya didukung oleh faktor biotik lingkungan dan faktor abiotik. Faktor yang mempengaruhi keanekaragaman tersebut adalah karakteristik habitat perairan. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan juga ditentukan oleh karakteristik habitat perairan (Ross 1997 dalam Yustina, 2001).
Nilai Indeks Keseragaman (E) pada setiap stasiun yang ditunjukkan pada tabel 5 berkisar antara 0,553-0,718. Nilai Indeks Keseragaman tersebut menunjukkan bahwa kemerataan antara spesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama. Menurut Odum (1993) nilai indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E, menunjukkan penyebaran kelimpahan jumlah individu tiap spesies tidak sama atau ada kecenderungan atau spesies mendominansi. Nilai E mendekati 1 artinya sebaran jumlah individu tiap jenis cenderung merata.
Menurut Odum (1996), bahwa individu ikan dalam komunitas menyebar dalam 3 (tiga) pola dasar, yaitu penyebaran secara acak, merata atau seragam dan bergerombol atau berkelompok. Pola penyebaran biota atau jenis ikan atau komunitas tergantung dari faktor fisik, kimia dan biologi. Pola tersebut tergantung juga dari jenis ekosistem dan jenis ikan sehingga masing-masing menunjukkan karakteristik sendiri-sendiri. Menurut Fachrul (2007), menjelaskan bahwa indeks keseragaman menggambarkan ukuran jumlah individu antara spesies dalam suatu
(40)
komunitas ikan. Semakin merata penyebaran individu antara spesies maka keseimbangan ekosistem semakin meningkat.
Menurut Ferianita (2008), bahwa komponen lingkungan, baik yang hidup (biotik) maupun yang mati (abiotik) akan mempengaruhi kelimpahan dan keanekaragaman biota air yang ada pada suatu perairan. Perairan yang berkualitas baik biasanya memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan sebaliknya pada perairan yang buruk atau tercemar keanekaragaman jenis yang rendah.
4.1.3 Indeks Similaritas Ikan (IS)
Nilai indeks similaritas ikan (IS) pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Indeks Similaritas (IS) antar stasiun
IS (%) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun 1 - 60% 40% 33,33%
Stasiun 2 - - 40% 33,33%
Stasiun 3 - - - 80%
Stasiun 4 - - - -
Indeks similaritas tertinggi terdapat pada stasiun 3 dan stasiun 4 yaitu sebesar 80% yang artinya kedua stasiun memiliki kesamaan spesies yang sangat mirip. Indeks similaritas terendah terdapat stasiun 1 dan stasiun 4 dan juga pada stasiun 2 dan stasiun 4 yaitu sebesar 33,33% yang artinya antara kedua stasiun tidak mirip. Ketidak-miripan antara kedua stasiun dapat disebabkan karena kondisi lingkungan perairan di kedua stasiun berbeda sedangkan kemiripan kedua stasiun juga disebabkan kondisi lingkungan yang sama.
Menurut Fachrul (2007), organisme air termasuk ikan, cenderung memilih bagian perairan yang sesuai dengan lingkungannya. Menurut Michael (1994) menyatakan bahwa nilai Indeks Kesamaan (IS) antara 75-100% dikategorikan sangat mirip, 50-75% dikategorikan mirip, 25-50% dikategorikan tidak mirip dan <25% dikategorikan sangat tidak mirip.
4.2 Faktor Abiotik Lingkungan
Hasil pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Silang dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini.
(41)
Tabel 7. Faktor fisik-kimia perairan sungai Silang pada setiap stasiun No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 A Parameter Fisika
1 Suhu oC 19 19 20 21
2 Kecepatan Arus m/detik 0,83 0,78 0,73 0,43
3 Intensitas Cahaya Cd 386 389 392 390
4 Penetrasi Cahaya Cm 78 68 70 56
B Parameter Kimia
5 Oksigen Terlarut (DO) mg/L 7,2 7 7,1 6,7
6 Kejenuhan Oksigen % 80,17 77,69 80,40 78,27
7 Derajat Keasaman (pH) - 7,5 7,5 7 7
8 BOD mg/L 3,1 3,5 3,2 3,7
9 Nitrat (NO3-N) mg/L 1,74 1,6 1,58 1,61
10 Fosfat (PO4) mg/L 0,63 0,55 0,85 1,88
11 12 TDS TSS mg/L mg/L 25 28 25 33 99 39 67 25 Keterangan:
Stasiun 1 : Daerah Kontrol Stasiun 2 : Daerah Pertanian
Stasiun 3 : Daerah Pertemuan Sungai Silang dan Sungai Simangira Stasiun 4 : Daerah Pengerukan Pasir
4.2.1 Parameter Fisika
Suhu berkisar antara 19-210C. Adanya perbedaan suhu antar stasiun menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu besar, hanya berbeda sekitar 1-20C. hal ini menunjukkan perbedaan suhu tidak terlalu berbeda. Menurut Effendi (2003), kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme perairan adalah antara 18-300C.
Suhu merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan, termasuk dari jenis ikan (Michael, 1994). Selanjutnya Rifai dkk., (1983) dan Asdak (1995) menjelaskan bahwa secara umum kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktifitas fisiologis organisme ikan.
Parameter fisika yang lain adalah kecepatan arus yang diukur berada pada kisaran 0,43-0,83 m/detik. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1. Hal ini disebabkan karena pada stasiun 3 merupakan daerah hulu sungai. Hulu sungai biasanya memiliki kecepatan arus yang tinggi. Kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 4. Stasiun 4 memiliki dasar perairan berpasir sehingga tidak mempengaruhi gerak cepat lambatnya air.
Menurut Mason (1981) dalam Gonawi (2009), kecepatan arus merupakan faktor penting di perairan. Kelompok sungai berdasarkan kecepatan arus yaitu:
(42)
arus yang sangat cepat (> 1 m/detik), arus yang cepat (0,5 –1 m/detik), arus yang sedang (0,25 –0,5 m/detik), arus yang lambat (0,1 –0,25 m/detik) dan arus yang sangat lambat (< 0,1 m/detik).
Intensitas cahaya matahari merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi penyebaran ikan. Intensitas cahaya berkisar antara 386-393 Candela. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan kanopi atau naungan dan cuaca pada setiap stasiun. Menurut Barus (2004), bila intensitas cahaya matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air juga akan berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme.
Penetrasi cahaya yang diukur di setiap stasiun berada pada kisaran 56-78 cm. Nilai tertinggi pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 4. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kedalaman atau bahan organik yang terdapat pada sungai tersebut. Menurut Odum (1994), kecerahan suatu perairan berkaitan dengan padatan tersuspensi, warna air dan penetrasi cahaya yang datang, sehingga dapat menurunkan intensitas cahaya yang tersedia bagi organisme perairan..
Kecerahan adalah kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan. Kecerahan di dalam air sangat bervariasi tergantung kekuatan cahaya, refleksi, absorbsi, dispersi cahaya dan faktor-faktor lainnya. Henderson dan Morkland (1987) dalam Rukmini et al., (2014), menyatakan bahwa suatu perairan yang mempunyai nilai kecerahan keping secchi < 3 m adalah tipe perairan yang subur (eutropik), antara 3-6 m kesuburan sedang (mesotrofik) dan > 6 m digolongkan pada tipe perairan kurang subur (oligotrofik).
4.2.2 Parameter Kimia
Nilai oksigen terlarut (DO) di setiap stasiun berada pada kisaran 6,8-7,2 mg/L. Menurut Siagian (2009), menyatakan bahwa tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi oleh faktor temperatur, tekanan dan konsentrasi berbagai ion yang terlarut dalam air pada perairan tersebut. Nilai oksigen terlarut pada ketiga stasiun dianggap masih ideal untuk pertumbuhan ikan. Kandungan oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara 6-8 mg/L pada suhu 250C.
(43)
Sanusi (2004), menyatakan bahwa DO yang berkisar antara 5,45-7,00 mg/liter ini pun cukup baik bagi proses kehidupan biota perairan. Semakin rendah nilai DO suatu perairan, maka semakin tinggi pencemaran dalam suatu ekosistem perairan tersebut. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l. ikan merupakan makhluk hidup air yang memerlukan oksigen tertinggi. Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 mg/L. Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang lainnya membutuhkan oksigen akan mati (Fardiaz, 1992).
Derajat keasaman (pH) di setiap stasiun berkisar antara 7-7,5. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 1,2 dan yang terendah di stasiun 3,4. Menurut Boyd (1982) pH ideal untuk kehidupan ikan yaitu 6.5-9.0. Selanjutnya disampaikan bahwa pH yang rendah dapat menyebabkan kenaikan toksitas dalam suatu perairan yang lama kelamaan akan menyebabkan penurunan nafsu makan ikan (Alabaster and Lloyd, 1982 dalam Hasim et al., 2015).
Nilai BOD merupakan salah satu indikator pencemaran perairan. Nilai BOD pada setiap stasiun berkisar antara 3,1-3,7 mg/L. Menurut Salmin (2005), semakin tinggi kadar BOD dalam suatu perairan maka kadar oksigen terlarut dalam air semakin sedikit. Kebutuhan oksigen biokimia merupakan jumlah oksigen terlarut dan dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah dan mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air.
Tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan kandungan nilai BOD5 dimana kandungan ≤ 2,9 mg/L merupakan perairan yang tidak
tercemar, kandungan 3,0 - 5,0 mg/L merupakan perairan yang tercemar ringan, kandungan 5,1 – 14,9 mg/L merupakan perairan yang tercemar sedang dan
kandungan ≥ 15,0 mg/L merupakan perairan yang tercemar berat (Lee, et al., 1978 dalam Fadil, 2011) . Berdasarkan kriteria diatas, maka perairan pada semua tersebut tercemar ringan.
Nitrat juga memiliki peranan yang cukup penting bagi kehidupan ikan. Nitrat yang di ukur di setiap stasiun berada pada kisaran 1,58-1,74 mg/L. Nilai nitrat dipengaruhi oleh adanya sampah atau bahan organik yang dibuang ke dalam sungai tersebut. Nitrat merupakan suatu parameter kesuburan pada suatu perairan, nitrat berpengaruh pada nutrien yang berperan dalam pembentukan biomassa
(44)
organisme perairan. Boyd (1979) dalam Indrayani, dkk., (2015) menyebutkan bahwa kadar nitrat yang baik untuk perairan adalah 2–5 mg/L. Kadar nitrat dalam air yang berbahaya bagi ikan maupun invertrebata berkisar antara 1.000 – 3.000 ppm (Supratno, 2006).
Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Effendi (2003) menyatakan bahwa sumber utama peningkatan kadar nitrat diperairan berasal dari limpasan pupuk pertanian. Daerah sekitar stasiun pengamatan tidak digunakan sebagai area pertanian sehingga limpasan pupuk pertanian ke perairan tersebut sangat sedikit sekali. Dengan demikian kadar nitrat pada perairan tersebut sangat kecil sekali.
Fosfat yang diukur di setiap stasiun berada pada kisaran 0,55-1,88 mg/L. Hasil fosfat yang tertinggi terdapat pada stasiun 4, hal ini dikarenakan bahwa banyaknya limbah baik dari rumah tangga atau pertanian yang masuk ke dalam sungai. Menurut Silalahi (2010), kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Di daerah pertanian phospat berasal dari bahan pupuk yang masuk ke dalam sungai melalui drainase dan aliran air hujan (Winata dkk., 2000).
Menurut Chu dalam Mackmentum (1969), kandungan fosfat dalam air merupakan karakteristik kesuburan perairan yang bersangkutan. Pada umumnya perairan yang mengandung fosfat antara 0,003-0,010 mg/L digolongkan pada perairan oligotrofik; 0,011-0,030 mg/L adalah perairan mesotrofik; dan 0,031-0,100 mg/L adalah perairan eutrofik. Sedangkan untuk pertumbuhan optimal antara 0,090-1,800 mg/L.
Padatan terlarut (TDS) pada setiap stasiun berkisar antara 25-99 mg/L. Nilai TDS di perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari air tanah dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri (Effendi, 2000). Total padatan terlarut yang diperkenankan untuk kepentingan air minum adalah > 1000 mg/L (Hariyadi et al, 1992).
Padatan tersuspensi (TSS) adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen. Nilai TSS
(45)
tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 39 mg/L. Hal ini disebabkan oleh pertemuan sungai yang memiliki bahan anorganik atau organik yang terbawa oleh sungai yang sudah mengendap dalam sungai sehingga menyebabkan padatan tersuspensinya tinggi. Menurut Alabaster dan Lioyd (1982) dalam Aisyah dan Subehi (2012) Total padatan tersuspensi yang terkandung dalam suatu perairan yang baik untuk kegiatan budidaya yaitu berkisar antara <25mg/L.
Berdasarkan padatan tersuspensi Lee et al. (1978) menyatakan kriteria perairan, tidak tercemar , tercemar ringan, tercemar sedang dan tercemar berat. Kandungan padatan tersuspensi (mg/L) berdasarkan kriteria tersebut secara berurutan adalah: 20<; 20-49; 50-100; dan >I00 mg/L. Sehingga sungai tersebut tergolong sungai tercemar ringan.
4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson
Analisis korelasi Pearson diperoleh dengan menganalisi hubungan keanekaragaman dan faktor fisik-kimia perairan Sungai Silang dengan menggunakan metode pearson. Nilai indeks korelasi (r) dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Nilai korelasi Pearson antara keanekaragaman ikan dengan sifat fisik- kimia perairan Sungai Silang.
No Parameter Nilai Korelasi
A Parameter Fisika
1 Suhu 0,932
2 Kecepatan Arus -0,768
3 Intensitas Cahaya 0,122
4 Penetrasi Cahaya -0,675
B Parameter Kimia
5 Oksigen Terlarut (DO) -0,584
6 Kejenuhan Oksigen 0,131
7 Derajat Keasaman (pH) -0,998
8 BOD -0,362
9 Nitrat (NO3-N) -0,579
10 11 12
Fosfat (PO4)
TDS TSS
-0,326 0,904 0,075 Keterangan : (+) = Korelasi positif (searah)
(-) = Korelasi negatif (berlawanan)
(46)
Tabel 8 menunjukkan hasil uji analisis korelasi antara parameter fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman ikan di Sungai Silang. Nilai TDS dan nilai suhu berkorelasi sangat kuat dan searah terhadap keanekaragaman ikan yaitu 0,904-0,932. Nilai derajat keasaman (pH) berkorelasi sangat kuat dan berlawanan terhadap keanekaragaman ikan yaitu -0,998. Nilai penetrasi cahaya dan kecepatan arus berkorelasi kuat dan berlawanan terhadap keanekaragaman ikan yaitu -0,675-0,768. Sedangkan nilai nitrat dan DO berkorelasi sedang dan berlawanan terhadap keanekaragaman ikan yaitu -0,579-0,584. Nilai BOD dan fosfat berkorelasi rendah dan berlawanan terhadap keanekaragaman ikan yaitu -0,362 dan -0,326. Sedangkan nilai kejenuhan oksigen, intensitas cahaya dan TSS tidak berkorelasi terhadap keanekaragaman ikan yaitu 0,075-0,131.
Nilai suhu, derajat keasaman, penetrasi cahaya dan kecepatan arus berpengaruh kuat terhadap keanekaragaman ikan karena:
1. Suhu merupakan faktor yang penting bagi kehidupan organism perairan termasuk ikan, terutama terhadap laju metabolisme seperti pertumbuhan, reproduksi dan aktivitasnya.
2. Derajat keasaman netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan. Kondisi perairan yang sangat asam akan menyebabkan mobilitas bebrbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi akan mengancam kelangsungan hidup ikan, sedangkan pH yang sangat basa akan meningkatkan amoniak yang juga bersifat toksik bagi ikan. (Mulya, 2004). 3. Kecepatan arus akan bepengaruh terhadap distribusi ikan. Ikan adalah hewan
yang aktif bergerak untuk mencari makan. Arus sebagai faktor pembatas mempunyai peranan sangat penting dalam perairan, baik pada ekosistem lotic (mengalir) maupun ekosistem lentic (menggenang) karena arus berpengaruh terhadap distribusi organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air.
4. Penetrasi cahaya juga berperan dalam menentukan keberadaan ikan. Apabila penetrasi cahaya cukup tinggi hingga mencapai dasar perairan maka ketersediaan oksigen hingga dasar perairan cukup baik. Sehingga ikan dapat berada pada bagian permukaan maupun dasar perairan dan menyebabkan berbagai jenis ikan dapat hidup di setiap bagian perairan.
(47)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:
a. Keanekaragaman ikan yang diperoleh di Sungai Silang terdiri dari dua ordo, tiga famili dan tujuh spesies.
b. Nilai Kepadatan Relatif yang melebihi 10% dapat diketahui bahwa semua spesies ikan yang ditemukan sangat baik hidup di Sungai Silang kecuali spesies ikan Puntius binotatus dan Rasbora sumatrana pada stasiun empat.
c. Indeks keanekaragaman ikan di sungai Silang Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan tergolong rendah yaitu berkisar antara 1,076-1,398. d. Nilai indeks keanekaragaman ikan tersebut menunjukkan keanekaragaman
yang Parameter fisik kimia air yang berkorelasi kuat dan searah (+) terhadap Indeks Keanekaragaman ikan adalah suhu dan padatan terlarut (TDS) dan parameter fisik kimia air yang berkorelasi kuat dan berlawanan (-) terhadap Indeks Keanekaragaman ikan adalah derajat keasaman (pH).
5.2 Saran
Saran untuk penelitian ini adalah perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai reproduksi ikan di Sungai Silang tersebut.
(48)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai
Sungai merupakan perairan terbuka yang mengalir (lotik) yang mendapat masukan dari semua buangan berbagai kegiatan manusia di daerah pemukiman, pertanian, dan industri dari daerah sekitarnya. Masukan buangan ke dalam sungai dapat mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia, dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghasilkan bahan-bahan yang esensial dalam perairan sehingga menggangu lingkungan perairan ( Nontji 1986).
Sungai memiliki beberapa ciri antara lain: memiliki arus, resident time (waktu tinggal air), organisme yang ada memiliki adaptasi biota khusus, substrat umumnya berupa batuan, kerikil, pasir dan lumpur, tidak terdapat stratifikasi suhu dan oksigen, serta sangat mudah mengalami pencemaran dan mudah pula menghilangkannya (Odum, 1996).
Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamian, mulai dari bentuk kecil dibagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dalam perjalanannya sebagian kecil menguap dan sebagian besar mengalir dalam bentuk alur-alur kecil, kemudian menjadi alur-alur sedang seterusnya mengumpul menjadi satu alur besar (Loebis et.al., 1993).
Selain berfungsi sebagai media kehidupan, sungai juga berperan sebagai tempat pembuangan dari semua limbah kegiatan manusia seperti limbah dari daerah pemukiman, pertanian, perikanan, pariwisata dan industri yang ada di sekitarnya (Mahida, 1984). Adanya masukan dari limbah di atas akan dapat merubah sifat fisika, kimia dan biologi dari ekosistem sungai. Perubahan tersebut dapat menurunkan kualitas air dan mengganggu tatanan kehidupan organisme di dalam sungai (Odum, 1998).
Terdapat tiga kondisi yang mencirikan suatu sungai yaitu: (a) arus di lingkungan sungai menjadi pengontrol utama dan faktor pembatas bagi kehidupan organisme yang ada (b) sungai memiliki hubungan tanah dan air yang relatif luas,
(49)
sehingga komponen jaring-jaring makanannya sebagian berasal dari luar dan lebih bervariasi dan (c) sungai memiliki tekanan oksigen yang lebih seragam dengan sedikit atau bahkan tidak ada stratifikasi termal ataupun kimia (Odum, 1996).
Pada perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan lentik. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola aliran air. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut (Effendi, 2003).
Sungai merupakan perairan mengalir (lotik) yang dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1-1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis batuan dasar dan curah hujan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, semakin besar ukuran batuan dasar dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin kuat dan kecepatan arus semakin cepat (Mulyanto, 2007).
2.2 Ekologi Ikan
Ikan merupakan hewan vertebrata dan dimasukkan ke dalam filum Chordata yang hidup dan berkembang di dalam air dengan menggunakan insang. Ikan mengambil oksigen dari lingkungan air di sekitarnya. Ikan juga mempunyai anggota tubuh berupa sirip untuk menjaga keseimbangan dalam air sehingga tidak tergantung pada arus atau gerakan air yang disebabkan oleh angin (Sumich, 1992).
Raharjo (2011), menyebutkan beberapa habitat ikan pada umumnya yaitu habitat air tawar dan air laut. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi 2, yaitu air tergenang atau disebut habitat lentik dan habitat lotik. Habitat lentik berasal dari kata lenis yang berarti tenang, contohnya danau, kolam dan rawa. Habitat lotik atau air mengalir, berasal dari kata lotus yang berarti tercuci, contohnya mata air, aliran air atau sungai.
Scheimer & Zalewski (1992) mengatakan bahwa keheterogenan habitat dan kualitas air juga diperhitungkan sebagai penyebab keanekaragaman ikan di
(50)
sungai. Secara ekologi diasumsikan bahwa keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan keseimbangan ekosistem yang lebih baik dan memiliki elastisitas terhadap berbagai bencana, seperti penyakit, predator, dan lainnya. Sebaliknya keanekaragaman yang rendah (jumlah spesies sedikit) menunjukkan sistem yang stress atau sistem yang sedang mengalami kerusakan, misalnya bencana alam, polusi, dan lain-lain.
2.3 Pengelompokan Ikan
Ikan merupakan vertebrata yang paling banyak jumlahnya yang menghabiskan seluruh hidupnya pada perairan. Sekarang ini ada sekitar 20.000 sampai 30.000 spesies yang telah diketahui, hampir setengah dari jumlah vertebrata. Kebanyakan ikan adalah ikan bertulang sejati terutama teleostei dan sisanya 50 spesies ikan jawless dan 800 spesies ikan bertulang rawan (Marshall & Bone, 1982).
Menurut Eschmeyer (1998), ikan dikelompokkan dalam 6 kelas. yaitu: a. Kelas Myxini memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular, tidak mempunyai tulang
belakang (vertebra), tidak mempunyai rahang mata rudimenter. Tidak ada sirip berpasangan dan tidak ada sirip dorsal. Bertulang rawan. Lubang hidung pada bagian kepala. Nostril di bagian depan kepala. Terdapat 5-15 kantung insang pada setiap sisi. Sistem garis sisi mengalami degenerasi. Semua anggota kelas Myxini hidup di laut. sebagian besar di zona intertidal pada dasar berlumpur lunak dan berpasir.
b. Kelas Cephalaspidomorphi memiliki ciri-ciri bentuk seperti ular. Vertebrae terdiri atas tulang rawan. Ikan ini tidak mempunyai rahang. Mata berkembang baik. Nostril di bagian atas kepala, tidak ada lengkung insang sejatiuntuk menyokong dan melindungi insang, dan sebagai gantinya terdapat suatu kantung yang terletak di luar insang, arteri insang dan saraf terletak di dalamnya, satu lubang hidung. Sirip berpasangan tidak ada. Sirip dorsal satu atau dua. Usus bersilia. Telur kecil dengan kait. Salah satu spesies ikan anggota kelas ini adalah ikan lamprey (Lampreta planeri, Petromyzon marinus).
c. Kelas Holocephali ikan ini umum disebur sebagai ratfish karena ekornya yang ramping dan memanjang serta kepala yang meruncing memberikan gambaran seperti tikus. Rahang atas menyatu dengan kranium. Jumlah insang ada empat
(51)
pasang dan celah insang satu pasang. Tanpa sisik pada ikan dewasa. Tidak punya spirakel dan tidak ada kloaka. Ikan yang jantan mempunyai alat penyalur sperma disebut tenakulum, yang terletak di kepala bagian depan. d. Kelas Elasmobranchii ikan ini mempunyai rahang. Jumlah insang dan celah
insang berkisar antara 5-7 pasang, yang setiap pasangnya mempunyai sekat pelat insang. Spirakel terletak di depan celah insang. Ikan mempunyai sirip yang berpasangan. Terdapat sepasang nostril (dirhinous). Bersisik plakoid atau tidak bersisik. Ikan jantan biasanya mempunyai alat penyalur sperma yang dinamakan klasper (miksopterigium). Bentuk sirip ekor tidak simetris (heteroserkal).
e. Kelas Sarcopterygii, sebagian dari kelas ini sudah punah dan tinggal fosil. Salah satu anggota kelas ini adalah coelacanth yang berupa fosil dan diperhitungkan hidup pada kurun waktu antara masa pertengahan Devonian (350 juta tahun yang lalu) sampai akhir Cretaceous (66 juta tahun yang lalu). f. Kelas Actinopterygii merupakan kelas yang dominan di bumi. Kelas ini
mempunyai ciri-ciri lengkung insang merupakan tulang sejati, yang terletak di bagian tengah insang, mengandung arteri dan saraf. Notokorda seperti rangkaian manik, atau seperti manik-manik yang terpisah mempunyai rahang (maksila dan premaksila) rangka terdiri atas tulang sejati. mempunyai sirip yang berpasangan (sirip dada dan sirip perut) mempunyai sepasang lubang hidung mempunyai sisik yang umumnya bertipe sikloid dan stenoid, tetapi ada juga yang bersisik tipe ganoid dan beberapa kelompok tanpa sisik biasanya mempunyai gelembung gas tidak ada kloaka.
2.4Karakteristik Ikan
Ikan adalah organisme vertebrata akuatik yang bernapas dengan ingsang. Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus dan caudal. Batas nyata antara caput dan truncus disebut tepi caudal overculum dan batas antara badan dan ekor disebut anus. Kulit terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari jaringan pengikat yang dilapisi dari sebelah luar oleh sel epithelium. Di antara sel sel epithelium terdapat kelenjar uniselular yang mengeluarkan lendir yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin (Radiopoetra, 1990).
(52)
Ikan mempunyai otak yang terbagi menjadi region-region, dan dibungkus dalam cranium berupa kartilago. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran semikularis, sebagai organ keseimbangan. Jantung berkembang baik, sirkulasi mengangkut aliran darah dari jantung melalui ingsang kaki ke seluruh tubuh bagian lain. Tipe ginjal pronerfos dan mesonepros (Brotowidjoyo et al., 1995).
Menurut Rifai et al., (1983), ciri-ciri umum ikan adalah mempunyai rangka tulang sejati dan tulang rawan, terdapat sirip tunggal dan berpasangang mempunyai operculum sebagai penutup ingsang, tubuh bersisik dan memiliki lendir serta bagian tubuh sudah jelas antara kepala, badan dan ekor.
Menurut Radiopoetro (1990), bentuk, ukuran dan jumlah sisik ikan dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan ikan tersebut. Sisik ikan mempunyai bentuk dan ukuran yang beraneka macam, yaitu sisik ganoid merupakan sisik besar dan kasar, sisik sikloid dan stenoid merupakan sisik yang kecil, tipis atau ringan serta sisik placoid merupakan sisik yang lembut.
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan Sungai
Kualitas air sungai juga dapat mempengaruhi kehidupan biota dalam ekosistem tersebut. Sifat-sifat fisika dan kimia yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan diantaranya :
2.5.1 Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan (Michael, 1994). Secara umum kenaikan temperatur perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas fisiologis organisme (Asdak, 1995).
Peningkatan suhu sebesar 10˚C akan meningkatkan laju fotosintesis maksimum lebih kurang dua kali lipat (Asriyana dan Yuliana, 2012). Peningkatan suhu pada perairan mengakibatkan peningkatan metabolisme ikan dan sebaliknya dengan penurunan suhu, menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan metabolisme.Kecepatan metabolisme berpengaruh terhadap konsumsi oksigen.Suhu optimal untuk ikan berkisar antara 20-28˚C (Nugroho, 2006).
(53)
2.5.2. pH (potential of Hydrogen)
Potential of Hydrogen (pH)merupakan suatu ukuran keasaman air yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan perairan (Odum, 1996). Ini dikarenakan sungai bagian hulu masih belum tercemar. pH juga merupakan derajat keasaman yang menyatakan keasaman atau kebasaan dalam suatu larutan. Adanya pengaruh pembuangan limbah dari penduduk dapat menurunkan pH air di Sungai. pH ideal untuk ikan hidup berkisar 7-8,5 ( Effendi, 2003 dalam Ansori, 2008).
Sastrawidjaya (1991), mengatakan pH air turut mempengaruhi kehidupan ikan, pH air yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5 – 7,5. pH air kurang dari 6 atau lebih dari 8,5 perlu diwaspadai karena mungkin ada pencemaran, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ikan.
2.5.3 Intensitas Cahaya
Cahaya merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan ikan dan berperan secara langsung maupun tidak langsung. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator dan dalam perjalanan menuju suatu tempat. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan. Ikan yang mendiami daerah air yang dalam pada siang hari akan bergerak menuju ke daerah yang lebih dangkal untuk mencari makanan dengan adanya rangsangan cahaya (Goldman & Horne, 1983).
2.5.4 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Menurut Barus (2004) faktor cahaya matahari yang masuk kedalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorsi dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar dari permukaan air. Nilai penetrasi cahaya pada suatu badan air dipengaruhi oleh zat-zat yang tersuspensi pada perairan tersebut. Menurut Odum (1998), bahwa penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat-zat terlarut di dalam air sehingga membatasi zona fotosintesis.
(54)
2.5.5 Kekeruhan air
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan larut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Selanjutnya Dongkyun et al., (2011) menjelaskan bahwa kekeruhan dapat mempengaruhi habitat organisme perairan. Tingginya tingkat kekeruhan dapat menyebabkan stress bahkan kematian pada ikan.
2.5.6 Arus air
Arus air merupakan pergerakan massa air dari daerah yang tinggi ke daerah yang rendah sesuai dengan sifat air. Aliran sungai sangat fluktuatif dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Beberapa variabel penting dalam dinamika sungai adalah debit air, kecepatan, gradient, muatan sedimen dan base level (level terendah sungai). Menurut Sudarto (1993), debit adalah jumlah air yang melalui suatu titik tertentu dengan interval waktu tertentu (m3/s). Sedangkan kecepatan tidak sama sepanjang kanal sungai hal ini tergantung dari bentuk, kekasaran kanal sungai dan pola sungai. Kecepatan air mengalir secara proporsional terhadap kemiringan kanal sungai (Odum, 1996).
Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan tumbuhan sisa metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan. Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus yang ideal sekitar 0,2- 0,5 m/s (Kordi, 2004). Mulya (2004), menjelaskan semakin ke hilir kecepatan arus air biasanya semakin lambat, selain itu panjang dan lebar sungai juga akan berpengaruh terhadap kecepatan arus.
2.5.7 Kedalaman sungai
Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika, dimana semakin dalam perairan maka intensitas cahaya yang masuk semakin berkurang. Kedalaman merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang berhubungan dengan banyak air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan (Gonawi, 2009). Kedalaman
(55)
merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang berhubungan dengan banyak air masuk kedalam suatu sistem perairan, karena semakin dalam suatu sungai akan semakin banyak pula jumlah ikan yang menempati (Kottelat et al., 1993).
2.5.8 Disolved Oxygen (DO)
Oksigen terlarut atau kebutuhan oksigen merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas air. Nilai DO yang semakin besar pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Oksigen terlarut pada air yang ideal ikan adalah 5-7 ppm, jika kurang dari itu maka resiko kematian akan semakin tinggi. Salmin (2005) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan rendahnya suhu. Pada permukaan sungai kadar oksigen cenderung lebih tinggi karena adanya difusi dari udara bebas dan fotosintesis dibandingkan dengan dasar sungai yang proses fotosintesis berkurang akibat kekurangan intesitas cahaya (Odum, 1996).
2.5.9 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Angka BOD yang tinggi menunjukkan terjadinya pencemaran organik di perairan. Simamora (2009), menyatakan nilai konsentrasi BOD menunjukkan kualitas suatu perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2 selama periode
5 hari berkisar 5 mg/l.
2.5.10 Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi. Kenyataannya hampir semua zat organik dapat dioksidasi oleh oksidator kuat seperti kalium permanganat dalam suasana asam, diperkirakan 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi (Sinaga, 2009).
(1)
THE DIVERSITY OF FISH IN SILANG RIVER SUBDISTRICT
OF BAKTIRAJA DISTRICT OF HUMBANG HASUNDUTAN
ABSTRACT
The diversity of fish in Silang river, subdistrict of Baktiraja district of Humbang Hasundutan has been observed in Mei 2016. Determination of the research station
by using “Purposive Sampling Methode”. Seven genera of fishes, classifying into
two ordo (Perciformes, Cypriniformes) are recorded from the study area. The highest diversity is found four location with the number 1,398 ind/m2 and the lowest two is found at the last location with the number 1,076 ind/m2. The lowest diversity is recorded from four location with the number 0,718, while the lowest is found in the two location with the number 0,553. Temperature and Total Suspended Solid (TDS) are very strong correlated to the diversity of fishes.
Keywords: Diversity, Fish, Silang river
(2)
DAFTAR ISI Halaman Lembar Persetujuan Lembar Pernyataan i ii
Penghargaan iii
Abstrak v
Abstract vi
Daftar Isi viii
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
Daftar Lampiran xi
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai 3
2.2 Ekologi Ikan 4
2.3 Penggolongan Ikan 5
2.4 Karakteristik Ikan 6
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan Sungai 7
2.4.1 Suhu (0C) 7
2.4.2 pH (potential of Hydrogen) 8
2.4.3 Intensitas Cahaya 8
2.4.4 Penetrasi Cahaya 8
2.4.5 Kekeruhan Air 9
2.4.6 Arus Air 9
2.4.7 Kedalaman Sungai 9
2.4.8 Dissolved Oxygen (DO) 9
2.4.9 Biochemical Oxygen Demand (BOD) 10
2.4.10 Chemical Oxygen Demand (COD) 10
BAB 3. BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat 11
3.2 Metode Penelitian 11
3.3 Deskripsi Area 11
3.3.1 Stasiun 1 11
3.3.2 Stasiun 2 12
3.3.3 Stasiun 3 12
3.3.4 Stasiun 4 13
3.4 Alat dan Bahan 13
(3)
3.5 Pengambilan Sampel Ikan 13
3.6 Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan 14
3.6.1 Suhu (0C) 14
3.6.2 Penetrasi Cahaya (cm) 14
3.6.1 Suhu (0C) 14
3.6.2 Penetrasi Cahaya (cm) 14
3.6.3 Intensitas Cahaya (Candela) 14
3.6.4 pH (potential of Hydrogen) 14
3.6.5 Kecepatan Arus 14
3.6.6 Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen)(mg/L) 14 3.6.7 BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) (mg/L) 15
3.6.8 Total Suspended Solid (TSS) 15
3.6.9 Total Disolved Suspended (TDS) 15
3.6.10 Kejenuhan Oksigen 16
3.6.11 Kadar Nitrat (NO3) 16
3.6.12 Kadar Fosfat (PO4) 16
3.7 Analisis Data 17
3.7.1 Ikan 17
3.7.2 Analisis Korelasi 19
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis-jenis Ikan yang diperoleh tiap stasiun 20 4.1.1 Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran 25 4.1.2 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan
Indeks Keseragaman
26
4.1.3 Indeks Similaritas Ikan (IS) 28
4.2 Faktor Abiotik Lingkungan 28
4.2.1 Parameter Fisika 29
4.2.2 Parameter Kimia 30
4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson 33
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 35
5.2 Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
(4)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik-Kimia
17
2 Kriteria Nilai Korelasi Pearson 19
3 Klasifikasi Ikan yang diperoleh pada setiap stasiun 20 4 Kepadatan (ind/m2), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi
Kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun
25 5 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman
(E)
26
6 Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun 28
7 Faktor fisik-kimia perairan sungai Silang pada setiap stasiun
29 8 Nilai korelasi Pearson antara keanekaragaman ikan dengan
sifat fisik-kimia perairan Sungai Silang
33
(5)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
1 Stasiun 1 (Daerah Kontrol) 11
2 Stasiun 2 (Daerah Pertanian) 12
3 Stasiun 3 (Daerah Pertemuan Sungai) 12
4 Stasiun 4 (Daerah Pengerukan Pasir 13
5 Mystacoleucus padangensis 22
6 Osteochillus hasselti 22
7 Puntius binottatus 23
8 Rasbora sumatranus 23
9 Tor tambra 23
10 Glossogobius circumspectus 24
11 Parambassis apogonoides 24
(6)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1 Peta Lokasi 41
2 Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur DO 42 3 Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur BOD5 43
4 Tabel Kelarutan O2 (Oksigen) 44
5 Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3) 45
6 Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO43-) 46
7 Contoh Perhitungan 47
8 Hasil Korelasi Pearson 48
9 Data Mentah Ikan 49
10 Foto Kerja 52
11 Hasil Analisis Nitrat dan Fosfat 53
12 Hasil Analisis TDS dan TSS 54