3
atmosfer juga akan mengalami perubahan akibat berubahnya tata guna lahan. Perubahan
emisi karbon tersebut saat ini menjadi pusat perhatian yang cukup penting karena sangat
berhubungan dengan perubahan iklim global. Kalimantan Tengah merupakan daerah yang
menjadi kajian penting di dalam pengurangan emisi karbon mengingat proyek konversi
lahan gambut sejuta hektar menjadi lahan pertanian pada tahun 1995, meninggalkan
dampak kerusakan lingkungan yang signifikan khususnya terhadap besarnya pelepasan
karbon ke atmosfer.
Cadangan karbon pada lahan gambut tropis telah terakumulasi lebih dari satu
milenium tetapi beresiko tinggi terhadap ketidakstabilan
akibat perubahan
lahan khususnya konversi ke perkebunan, pertanian,
drainase dan kebakaran hutan yang mengubah endapan karbon menjadi sumber emisi karbon
dan berdampak positif terhadap pemanasan global Page et al. 2008. Kebijakan
pemerintah daerah di bidang konservasi lahan, khususnya hutan sangat penting sejak adanya
proses desentralisasi kebijakan yakni otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001.
Berdasarkan data statistik kehutanan tahun 2008, izin penggunaan lahan yang dijadikan
sebagai industri pengolahan kayu di Provinsi Kalimantan tengah meningkat dari tahun ke
tahun. Pada wilayah kabupaten Pulang Pisau, ijin penggunaan lahan yang dijadikan sebagai
kawasan industri pengolahan kayu seluas 30.020 ha pada tahun 2004 dan menjadi
112.770 ha pada tahun 2006 atau sekitar 12 dari total luas wilayah kabupaten Pulang
Pisau. Sedangkan pada kabupaten Kapuas ijin penggunaan lahan untuk industri kayu seluas
61.450 ha pada tahun 2004 dan 125.040 ha pada tahun 2006. Dengan adanya rencana
induk rehabilitasi dan revitaslisasi eks- proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah pada
tahun 2007 dan ditetapkannya provinsi Kalimantan
Tengah sebagai
daerah percontohan program REDD+ pada tahun
2010 serta
target pemerintah
untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 pada
tahun 2020, maka diharapkan kebijakan pemerintah daerah, khususnya mengenai
konversi lahan dapat diterapkan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem.
Selama ini para ilmuwan telah menyadari hubungan antara pengembangan lahan gambut
dan emisi, akan tetapi para pengambil kebijakan dan pengelola lahan basah masih
kurang menyadari akan implikasi global dari strategi dan tindakan pengelolan lahan gambut
lokal dan nasional mereka. Akibatnya, emisi CO
2
dari lahan gambut yang dikeringkan dan terbakar
di Asia
Tenggara tidak
diperhitungkan dalam debat perubahan iklim global, dan belum dimulai adanya suatu aksi
besar berskala
internasional yang
terkoordinasi untuk membantu negara-negara tersebut dalam mengelola lahan gambutnya
dengan lebih baik Hooijer et al. 2006. Hasil
studi literatur
ini diharapkan
mampu memberikan gambaran mengenai perubahan
penggunaan lahan yang dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi serta faktor biofisik
lainnya yang berkaitan erat dengan emisi karbon yang disebabkan karena drainase.
Angka-angka perhitungan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan hasil dari peneltian
yang telah dipublikasikan oleh
Jauhiainen et al .
2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
serta ketetapan emisi berdasarkan kedalaman drainase
Hooijer et al. 2006.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memprediksi perubahan tata guna lahan pada tahun 2020 berdasarkan model
perubahan lahan tahun 2003 dan 2006 . 2. Menduga
emisi CO
2
dengan menggunakan jenis tata guna lahan hasil
prediksi peta prediksi tahun 2020 berdasarkan kedalaman drainase yang
diterapkan pada daerah kajian yang bersumber dari beberapa literatur.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Daerah Kajian 2.1.1 Kondisi Demografi
Proyek PLG Satu Juta Hektar di Provinsi
Kalimantan Tengah,
melalui Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang
Ketahanan Pangan dan Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan
Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah,
diarahkan untuk mengkonversi hutan rawa gambut wetland yang terletak di Provinsi
Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan
dan melanjutkan
swasembada beras nasional yang telah dicapai Indonesia
pada tahun
1984, bahkan
diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian yang lebih besar. Badan Planologi
Departemen Kehutanan 2007 Tetapi karena kondisi tanahnya terbukti kurang cocok untuk
penanaman padi, sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dulu ditempatkan
di kawasan tersebut kini telah pergi Tim Rencana Induk 2008
Dalam penelitian ini, daerah yang dijadikan objek penelitian adalah daerah eks
proyek lahan gambut di kalimantann Tengah khususnya blok C dan D . Total luasan areal
Eks PLG adalah seluas 1.567.884 Ha, yang terdiri atas 4 empat Blok, masing-masing
Blok A seluas 315.894 Ha, Blok B seluas 161.461Ha, Blok C seluas 440.760Ha, Blok D
seluas 145.707 Ha, dan Blok E seluas 504.022 ha Boehm dan Siegert 2001. Berdasarkan
data administrasi wilayah provinsi Kalimantan Tengah, daerah yang dijadikan objek kajian
termasuk ke dalam 4 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Pandih Batu, Kahayan Kuala,
dan Kahayan Hilir di kabupaten Pulang Pisau, serta kecamatan Basarang di kabupaten
Kapuas BPS 2006. Berdasarkan data administrasi wilayah provinsi Kalimantan
Tengah yang diperoleh dari BPS 2006, daerah yang dijadikan objek penelitian
meliputi sebagian wilayah kabupaten Pulang Pisau dan sebagian wilayah kabupaten
Kapuas. Luas kabupaten Kapuas sebesar 1.500.000 ha dan luas kabupaten Pulang pisau
sebsesar 897.700 ha. Gambaran umum wilayah kajian dapat dilihat dari Gambar 4
dan Gambar 5.
Gambar 4
Daerah kajian
berdasarkan kecamatan. Sumber: Badan
Planologi Kementrian
Kehutanan 2003
Gambar 5 Daerah eks proyek pengembangan lahan
gambut. Sumber:
Euroconsult Mott
MacDonald 2008
Kawasan eks-PLG mempunyai tipe iklim tropis basah Aw dan Af dan termasuk
dalam zona
agroklimat C2,
yang memungkinkan dilakukan kegiatan tanam
sepanjang tahun,
tentunya melalui
perencanaan yang matang. Curah hujan bulanan
tertinggi terjadi
pada bulan
DesemberJanuari dan
terendah bulan
5
Agustus. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 27
o
C - 30
o
C dan malam hari sekitar 24
o
C. Kelembaban udara rata-rata 84, sedangkan lama penyinaran matahari rata-rata
5,9 jamhari Bappenas 2008. Provinsi
Kalimantan Tengah
memiliki angka kepadatan penduduk sebesar 12 jiwakm
2
BPS 2006. Secara administrasi, wilayah penelitian yang termasuk di dalam
Kabupaten Pulang
Pisau, mengalami
perubahan pada tahun 2004 yaitu dengan adanya penambahan 2 kecamatan baru yang
mengambil sebagian wilayah kecamatan yang sudah ada terlebih dahulu Tabel 1.
Tabel 1 Perubahan Wilayah Kajian Kabupaten
Kecamatan Keterangan
sampai tahun 2003 Luas km2
Tahun 2004 ke atas
Luas km2
Pulang Pisau Pandih Batu
535.86 Pandih Batu 535.86
daerah kajian
Kahayan Kuala 4956 Kahayan Kuala
1155 Kahayan Hilir
1683 Kahayan Hilir 360
Maliku 413.14 Maliku
413.14
daerah non kajian
Kahayan Tengah 783 Kahayan Tengah
783 Banama Tingang
626 Banama Tingang 626
Jabiren Raya 1323
Sebangau Kuala 3801
TOTAL 8997
TOTAL 8997
Kapuas Basarang
206 Basarang
206 daerah
kajian Sumber : BPS 2006
Kepadatan penduduk diperoleh dari data jumlah penduduk yang dibagi dengan
luas wilayah kajian. Kepadatan penduduk di daerah kajian cenderung menurun dalam
rentang tahun 2000 sampai tahun 2007. Hal ini disebabkan karena angka imigrasi ke luar
daerah yang cukup tinggi terutama pada kecamatan Kahayan Kuala yaitu sebanyak
4989 jiwa yang melakukan migrasi keluar daerah BPS 2006. Selain itu angka kematian
yang cukup tinggi sebesar 50 dari angka kelahiran
juga mempengaruhi
jumlah penduduk di daerah kajian BPS 2006 Tabel
2. Tabel 2 Jumlah Penduduk Daerah Kajian
Kabupaten Kecamatan
Jumlah Penduduk jiwa 2000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 Pulang
Pisau Pandih Batu
21445 21226 21358 20969 21147 21150 21270 21660
Kahayan Kuala
24689 24465 24372 27335 18867 18840 18980 19160
Kahayan Hilir 26641.5 25807 25972 27596 20383 20600 22500 23905
Kapuas Basarang
15828 16028 16181 16543 16683 16755 15992 17773
Jumlah 88603.5 87526 87883 92443 77080 77345 78742 82498
Sumber : BPS 2007 Pada daerah kajian terdapat 3 jenis
lahan yang mendapatkan investasi dengan nilai yang cukup besar selain pertambangan,
yaitu kehutanan, perkebunan dan pertanian, serta permukiman. Di bidang kehutanan,
industri pengolahan kayu yang berkembang di di daerah Kalimantan Tengah terutama di
kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas adalah
6
plywood, sawn timber , dan veneer Dephut
2008. Pada sektor pertanian dan perkebunan, kabupaten
Pulang Pisau
dan Kapuas
merupakan daerah penghasil karet, kopi , serta salah satu lumbung padi di Kalimantan BPS
2006. Hal ini bisa dilihat dari 70 penduduk Kalimantan Tengah yang berprofesi sebagai
petani BPS 2006.
Proyek PLG
yang pada
awal pelaksanaannya tanpa didahului Analisis
Dampak Lingkungan
AMDAL telah
menimbulkan dampak
negatif terhadap
lingkungan fisik, biologi, dan sosial. Dampak- dampak negatif tersebut, antara lain :
1. Pembuatan Saluran Primer Induk SPI sepanjang 187 kilometer yang
menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito
serta memotong cukup banyak anak sungainya
yang mengakibatkan
berubahnya pola tata air dan kualitasnya.
2. Pembukaan lahan
dengan penebangan pohon di hutan rawa
gambut mengakibatkan daya serap permukaan tanah berkurang. Kondisi
ini menyebabkan sering terjadinya banjir
di musim
penghujan, sebaliknya pada musim kemarau
lahan gambut lebih mudah terbakar. Kebakaran lahan gambut pada tahun
1997 merupakan
salah satu
penyumbang karbon yang cukup besar di udara.
3. Terbukanya akses bagi masyarakat untuk melakukan penebangan liar di
kawasan-kawasan hutan
dan tersedianya saluran-saluran air untuk
membawa kayu hasil tebangan liar, mengakibatkan semakin maraknya
penjarahan hutan secara liar illegal logging
di kawasan Eks PLG. 4. Beberapa spesies tumbuhan langka
yang dilindungi
seperti ramin
Gonystylus spp., jelutung Dyera lowii
, kempas
Koompassia malaccensis
, ketiau
Ganua motleyana
, dan nyatoh Dichopsis elliptica
terancam punah. 5. Proyek ini menyisakan berbagai
masalah sosial dan lingkungan, seperti
nasib yang
kurang menguntungkan
bagi para
transmigran yang pada umumnya belum menguasai pengolahan lahan
basah untuk
pertanian, dan
masyarakat setempat terpinggirkan dari lahannya. Badan Planologi
Departemen Kehutanan 2007
2.1.2 Kondisi Tutupan Lahan
Secara geografis
kawasan Pengembangan Lahan Gambut PLG di
Kalimantan Tengah terletak di antara Kota Palangkaraya Sungai Kahayan ke arah timur
melalui sebuah Saluran Primer Induk SPI sepanjang 187 kilometer memotong Sungai
Barito di Mangkatip. Pada bagian Barat, membujur dari Kota Palangkaraya ke arah
Selatan menyusuri sebelah Timur Sungai Sebangau ke arah Selatan hingga bermuara di
Teluk Sebangau di laut Jawa. Sedangkan di sebelah Timur dibatasi oleh Sungai Barito dan
menyusuri Sungai Barito, Sungai Kapuas Murung ke arah Selatan melewati Kuala
Kapuas hingga muara Sungai Kapuas yang bermuara di Laut Jawa. Badan Planologi
Departemen Kehutanan 2007
Ekosistem hutan gambut tebal, ekosistem hutan gelam, ekosistem hutan
kerangas dan ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem-ekosistem spesifik pada
kawasan eks proyek PLG yang saat ini situasinya bermasalah, karena gangguan dari
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan degradasi dari struktur dan fungsi ekosistem-
ekosistem
tersebut Badan
Planologi Departemen Kehutanan 2007. Selain tipe
ekosistem di atas, Rieley et al. 2008 menyebutkan
bahwa topografi
pada permukaan
lahan gambut
terdiri dari
hummock dan hollow. Hummock terdiri dari pohon basa dan akar batang pohon kecil yang
padat, yang memiliki berat bervariasi tetapi bisa mencapai 50 cm dari permukaan tanah.
Sementara hollow merupakan daerah yang lebih
terbuka dibandingkan
dengan hummock,dengan cirri khas: vegetasi yang
jarang dengan sistem perakaran di atas permukaan bervaiasi dan akar nafas yang
halus. Hollow atau biasanya disebut cekungan merupakan ekosistem lahan gambut yang
biasanya ditempati oleh ekosistem hutan rawa dan gambut air tawar Balai Besar Penelitian
7
dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan
Pertanian 2006
Gambar 6. Konversi Hutan Kerangas Menjadi Ladang Sumber Badan Planologi
Departemen Kehutanan 2007 Pada
kondisi alami,
proses pembentukan vegetasi lahan gambut berasal
dari akumulasi vegetasi yang tersimpan pada daerah yang tergenang air, yang lebih cepat
dari proses pembusukan Ritzema dan Wosten 2002. Ekosistem hutan gambut tebal di
beberapa wilayah telah mengalami gangguan serius berupa kebakaran, penebangan liar,
pembuatan saluran drainase dan konversi tegakan hutan menjadi lahan pertanian.
Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007. Tanpa membuat saluran drainase atau
kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat ramin,
meranti rawa, jelutung, gemor, dll yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air atau daerah
yang dominan basah. Limin 2006.
Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut
berfungsi sebagai
penambat sequester
karbon berperan
dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir,
walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun
Parish et al. 2007 atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO
2
hatahun Agus et al. 2009. Lahan gambut adalah lahan yang
memiliki lapisan tanah kaya bahan organic C-organik 18 dengan ketebalan 50 cm
atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang
belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh
karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang back swamp atau
daerah cekungan yang drainasenya buruk. Agus dan Subiksa 2008
Sejak hidrologi gambut terganggu oleh system drainase, dan biomassa hutan
terbakar sebagian, maka resiko kebakaran diperkirakan akan menjadi tinggi di waktu
yang akan dating Boehm dan Siegert 2001. Menurut Limin 2006, ada 9 ciri kebakaran
pada lahan gambut berlangsung cepat dan mudah dipadamkan, yaitu :
1. kebakaran vegetasi diatas lapisan gambut,
2. lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah,
3. kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama,
4. kebakaranmenghasilkan asap tebal karena
terjadi pembakaran
tak sempurna,
5. api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya
belum terbakar atau masih segar, 6. banyak pohon tumbang dan pohon
mati tapi masih berdiri tegak, 7. terdapat
jenis vegetasi
mudah terbakar
8. bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan
9. penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam
total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal.
Gambar 7 Hutan Gambut Bekas Terbakar. Sumber
Badan Planologi
departemen Kehutanan 2007
8
2.1.3 Kondisi Hidrologi
Daerah rawa gambut dataran rendah di pulau Kalimantan merupakan murni tadah
hujan, dengan kondisi alami tergenangi oleh air Ritzema dan Wosten 2002. Kondisi tanah
gambut pada daerah kajian yang termasuk ke dalam iklim tropis, merupakan daerah yang
memiliki kondisi topografi dan curah hujan yang sangat baik untuk mendukung proses
drainase yang rendah, serta genangan air dan substrat
pengasaman secara
permanen Jauhiainen dan Vasander 2002.
Lahan gambut, dengan kapasitas menahan air yang tinggi, melakukan fungsi
utama dalam mengatur air di dataran rendah tropis Rieley 2005 Rawa-rawa gambut
mempengaruhi seluruh hidrologi DAS dan berperan
sebagai reservoir
air tawar,
menstabilkan kadar air, mengurangi aliran deras dan mempertahankan aliran rendah
sebagai penyangga terhadap intrusi air asin Safford dan Maltby 1998 dalam Rieley
2005
.
Bentuk permukaan sebagian besar rawa gambut tropis dataran rendah adalah
kubah sehingga menyebabkan air hujan untuk mengalir ke bagian sisi kubah gambut.
Fenomena ini membagi daerah rawa gambut ke dalam beberapa mikro
DAS. Rieley 2005 Curah hujan baik menguap atau
diangkut dari dekat permukaan rawa-rawa sebagai run-off, aliran interflow atau aliran air
tanah. Dalam kondisi alami, permukaan air akan meningkat karena curah hujan dan turun
sebagai akibat dari evapotranspirasi serta perpindahan arus air yang berlebihan. Selama
musim hujan, curah hujan memiliki intensitas yang lebih besar dari penguapan, run-off, dan
aliran air tanah sedangkan pada musim kemarau, permukaan air pada rawa gambut
akan turun sampai dibawah permukaan tanah dengan penurunan sampai 1 meter atau lebih.
Rieley 2005
Untuk lebih
jelas, keseimbangan neraca air dapat dilihat pada
Gambar 8 berikut Gambar 8. Bagan Keseimbangan Neraca Air
Pada Lahan Gambut Tropis. Sumber Rieley 2005
Secara umum, keseimbangan neraca air pada rawa gambut dapat di tuliskan
sebagai berikut:
P = E + Q + DS
Keterangan : P
= total rainfall meter E
= total evapotranspirasi meter Q
= total pelepasan meter DS
= perubahan dalam simpanan meter Pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian termasuk perkebunan dan tanaman industri tergolong sangat rawan, terutama jika
dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman disebut gambut pedalaman. Jika
lahan gambut pedalaman dimanfaatkan untuk pengembangan
komoditi-komoditi diatas,
maka mengharuskan
adanya upaya
menyesuaikan kondisi
air lahan
atau mengeringkan lahan dengan cara membuat
saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai di daerah pasang surut,
pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air ke bagian dalam
beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut.
Fungsi drainase
adalah untuk
membuang kelebihan
air, menciptakan
keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam
organik. Volume gambut akan menyusut bila
9
lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah subsiden.
Selain karena penyusutan volume. Agus dan Subiksa 2008 Permukaan air tanah di wilayah
yang didrainase mempengaruhi permukaan air pada daerah yang tidak didrainase menyebar
bebrapa kilometer sehingga, kegiatan atau proyek yang berlangsung di salah satu
tangkapan akan mempengaruhi kegiatan di lain dan mengakibatkan konflik kepentingan
Rieley 2005
Pembuatan saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal,
tampaknya belum banyak diketahui oleh banyak pihak akan berdampak negatif untuk
jangka panjang. Contoh nyata adalah proyek PLG sejuta hektar yang mulai dibangun tahun
1996. Dengan program kanalisasi yang merusak habis hamparan gambut diantara 4
sungai besar Sabangau, Kahayan, Kapuas dan Barito, sejak itu pula terjadi perubahan
drastis neraca air pada 4 empat daerah aliran sungai DAS tersebut, sehingga kawasan eks
PLG merupakan penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah. Limin 2006
Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa
mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2
– 6 cmtahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran
drainase Agus dan Subiksa 2008. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan yang
dipublikasikan oleh Charman 2002 yaitu dalam kondisi alami laju subsiden pada lahan
gambut sebesar 2-5 mmtahun dan akan meningkat sepluh kali lipat pada kondisi
terdrainase Ritzema dan Wosten 2006. Semakin dalam saluran drainase semakin
cepat terjadi penurunan permukaan subsiden dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan
gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun.
Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung dan penurunan
permukaan gambut Agus dan Subiksa 2008 Gambar 9. Skema Proses Emisi Dan
Penembatan Karbon Yang Berhubungan
Dengan Pembukaan Hutan Gambut
Menjadi Lahan Perkebunan. Sumber Agus dan Subiksa
2008
Di balik pembuatan drainase yang menyebabkan penurunan air tanah, terjadi
perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut
dekat permukaan,
sehingga mempercepat
proses pelapukan
dan permukaan gambut semakin menurun. Limin
2006
Gambar 10. Saluran Drainase Pada Eks- Proyek
Lahan Gambut.
Sumber: Pieter 2008
10
Situasi semacam ini telah menyebabkan “gambut kering tidak balik” irreversible
drying , sehingga pada saat musim hujan
gambut menjadi terkelupas, terjadi banjir di dataran-dataran rendah dan terbentuknya
genangan-genangan air di lantai hutan, sedangkan pada musim kemarau terjadi
kebakaran gambut dan kekurangan air, baik bagi pertumbuhan tanaman, kehidupan fauna
air maupun bagi keperluan irigasi, air minum dan transportasi air karena debit sungai
menjadi kecil. Badan Planologi Departemen kehutanan 2007; Ritzema dan Wosten 2002
Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah
bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk
mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam Agus dan
Subiksa 2008 Gambar 11.
Gambar 11. Bangunan dam pada kanal Kalampangan dan kanal Taruna
Eks PLG blok C. Sumber: Limin 2006
2.2 Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Terdrainase