Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: Kondisi Daerah Kajian .1 Kondisi Demografi

3 atmosfer juga akan mengalami perubahan akibat berubahnya tata guna lahan. Perubahan emisi karbon tersebut saat ini menjadi pusat perhatian yang cukup penting karena sangat berhubungan dengan perubahan iklim global. Kalimantan Tengah merupakan daerah yang menjadi kajian penting di dalam pengurangan emisi karbon mengingat proyek konversi lahan gambut sejuta hektar menjadi lahan pertanian pada tahun 1995, meninggalkan dampak kerusakan lingkungan yang signifikan khususnya terhadap besarnya pelepasan karbon ke atmosfer. Cadangan karbon pada lahan gambut tropis telah terakumulasi lebih dari satu milenium tetapi beresiko tinggi terhadap ketidakstabilan akibat perubahan lahan khususnya konversi ke perkebunan, pertanian, drainase dan kebakaran hutan yang mengubah endapan karbon menjadi sumber emisi karbon dan berdampak positif terhadap pemanasan global Page et al. 2008. Kebijakan pemerintah daerah di bidang konservasi lahan, khususnya hutan sangat penting sejak adanya proses desentralisasi kebijakan yakni otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001. Berdasarkan data statistik kehutanan tahun 2008, izin penggunaan lahan yang dijadikan sebagai industri pengolahan kayu di Provinsi Kalimantan tengah meningkat dari tahun ke tahun. Pada wilayah kabupaten Pulang Pisau, ijin penggunaan lahan yang dijadikan sebagai kawasan industri pengolahan kayu seluas 30.020 ha pada tahun 2004 dan menjadi 112.770 ha pada tahun 2006 atau sekitar 12 dari total luas wilayah kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan pada kabupaten Kapuas ijin penggunaan lahan untuk industri kayu seluas 61.450 ha pada tahun 2004 dan 125.040 ha pada tahun 2006. Dengan adanya rencana induk rehabilitasi dan revitaslisasi eks- proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah pada tahun 2007 dan ditetapkannya provinsi Kalimantan Tengah sebagai daerah percontohan program REDD+ pada tahun 2010 serta target pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 pada tahun 2020, maka diharapkan kebijakan pemerintah daerah, khususnya mengenai konversi lahan dapat diterapkan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem. Selama ini para ilmuwan telah menyadari hubungan antara pengembangan lahan gambut dan emisi, akan tetapi para pengambil kebijakan dan pengelola lahan basah masih kurang menyadari akan implikasi global dari strategi dan tindakan pengelolan lahan gambut lokal dan nasional mereka. Akibatnya, emisi CO 2 dari lahan gambut yang dikeringkan dan terbakar di Asia Tenggara tidak diperhitungkan dalam debat perubahan iklim global, dan belum dimulai adanya suatu aksi besar berskala internasional yang terkoordinasi untuk membantu negara-negara tersebut dalam mengelola lahan gambutnya dengan lebih baik Hooijer et al. 2006. Hasil studi literatur ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai perubahan penggunaan lahan yang dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi serta faktor biofisik lainnya yang berkaitan erat dengan emisi karbon yang disebabkan karena drainase. Angka-angka perhitungan yang dipakai dalam penelitian ini merupakan hasil dari peneltian yang telah dipublikasikan oleh Jauhiainen et al . 2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005 serta ketetapan emisi berdasarkan kedalaman drainase Hooijer et al. 2006.

1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Memprediksi perubahan tata guna lahan pada tahun 2020 berdasarkan model perubahan lahan tahun 2003 dan 2006 . 2. Menduga emisi CO 2 dengan menggunakan jenis tata guna lahan hasil prediksi peta prediksi tahun 2020 berdasarkan kedalaman drainase yang diterapkan pada daerah kajian yang bersumber dari beberapa literatur. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Daerah Kajian 2.1.1 Kondisi Demografi Proyek PLG Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah, melalui Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang Ketahanan Pangan dan Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah, diarahkan untuk mengkonversi hutan rawa gambut wetland yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan dan melanjutkan swasembada beras nasional yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, bahkan diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian yang lebih besar. Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007 Tetapi karena kondisi tanahnya terbukti kurang cocok untuk penanaman padi, sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dulu ditempatkan di kawasan tersebut kini telah pergi Tim Rencana Induk 2008 Dalam penelitian ini, daerah yang dijadikan objek penelitian adalah daerah eks proyek lahan gambut di kalimantann Tengah khususnya blok C dan D . Total luasan areal Eks PLG adalah seluas 1.567.884 Ha, yang terdiri atas 4 empat Blok, masing-masing Blok A seluas 315.894 Ha, Blok B seluas 161.461Ha, Blok C seluas 440.760Ha, Blok D seluas 145.707 Ha, dan Blok E seluas 504.022 ha Boehm dan Siegert 2001. Berdasarkan data administrasi wilayah provinsi Kalimantan Tengah, daerah yang dijadikan objek kajian termasuk ke dalam 4 wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Pandih Batu, Kahayan Kuala, dan Kahayan Hilir di kabupaten Pulang Pisau, serta kecamatan Basarang di kabupaten Kapuas BPS 2006. Berdasarkan data administrasi wilayah provinsi Kalimantan Tengah yang diperoleh dari BPS 2006, daerah yang dijadikan objek penelitian meliputi sebagian wilayah kabupaten Pulang Pisau dan sebagian wilayah kabupaten Kapuas. Luas kabupaten Kapuas sebesar 1.500.000 ha dan luas kabupaten Pulang pisau sebsesar 897.700 ha. Gambaran umum wilayah kajian dapat dilihat dari Gambar 4 dan Gambar 5. Gambar 4 Daerah kajian berdasarkan kecamatan. Sumber: Badan Planologi Kementrian Kehutanan 2003 Gambar 5 Daerah eks proyek pengembangan lahan gambut. Sumber: Euroconsult Mott MacDonald 2008 Kawasan eks-PLG mempunyai tipe iklim tropis basah Aw dan Af dan termasuk dalam zona agroklimat C2, yang memungkinkan dilakukan kegiatan tanam sepanjang tahun, tentunya melalui perencanaan yang matang. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan DesemberJanuari dan terendah bulan 5 Agustus. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 27 o C - 30 o C dan malam hari sekitar 24 o C. Kelembaban udara rata-rata 84, sedangkan lama penyinaran matahari rata-rata 5,9 jamhari Bappenas 2008. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki angka kepadatan penduduk sebesar 12 jiwakm 2 BPS 2006. Secara administrasi, wilayah penelitian yang termasuk di dalam Kabupaten Pulang Pisau, mengalami perubahan pada tahun 2004 yaitu dengan adanya penambahan 2 kecamatan baru yang mengambil sebagian wilayah kecamatan yang sudah ada terlebih dahulu Tabel 1. Tabel 1 Perubahan Wilayah Kajian Kabupaten Kecamatan Keterangan sampai tahun 2003 Luas km2 Tahun 2004 ke atas Luas km2 Pulang Pisau Pandih Batu 535.86 Pandih Batu 535.86 daerah kajian Kahayan Kuala 4956 Kahayan Kuala 1155 Kahayan Hilir 1683 Kahayan Hilir 360 Maliku 413.14 Maliku 413.14 daerah non kajian Kahayan Tengah 783 Kahayan Tengah 783 Banama Tingang 626 Banama Tingang 626 Jabiren Raya 1323 Sebangau Kuala 3801 TOTAL 8997 TOTAL 8997 Kapuas Basarang 206 Basarang 206 daerah kajian Sumber : BPS 2006 Kepadatan penduduk diperoleh dari data jumlah penduduk yang dibagi dengan luas wilayah kajian. Kepadatan penduduk di daerah kajian cenderung menurun dalam rentang tahun 2000 sampai tahun 2007. Hal ini disebabkan karena angka imigrasi ke luar daerah yang cukup tinggi terutama pada kecamatan Kahayan Kuala yaitu sebanyak 4989 jiwa yang melakukan migrasi keluar daerah BPS 2006. Selain itu angka kematian yang cukup tinggi sebesar 50 dari angka kelahiran juga mempengaruhi jumlah penduduk di daerah kajian BPS 2006 Tabel 2. Tabel 2 Jumlah Penduduk Daerah Kajian Kabupaten Kecamatan Jumlah Penduduk jiwa 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pulang Pisau Pandih Batu 21445 21226 21358 20969 21147 21150 21270 21660 Kahayan Kuala 24689 24465 24372 27335 18867 18840 18980 19160 Kahayan Hilir 26641.5 25807 25972 27596 20383 20600 22500 23905 Kapuas Basarang 15828 16028 16181 16543 16683 16755 15992 17773 Jumlah 88603.5 87526 87883 92443 77080 77345 78742 82498 Sumber : BPS 2007 Pada daerah kajian terdapat 3 jenis lahan yang mendapatkan investasi dengan nilai yang cukup besar selain pertambangan, yaitu kehutanan, perkebunan dan pertanian, serta permukiman. Di bidang kehutanan, industri pengolahan kayu yang berkembang di di daerah Kalimantan Tengah terutama di kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas adalah 6 plywood, sawn timber , dan veneer Dephut 2008. Pada sektor pertanian dan perkebunan, kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas merupakan daerah penghasil karet, kopi , serta salah satu lumbung padi di Kalimantan BPS 2006. Hal ini bisa dilihat dari 70 penduduk Kalimantan Tengah yang berprofesi sebagai petani BPS 2006. Proyek PLG yang pada awal pelaksanaannya tanpa didahului Analisis Dampak Lingkungan AMDAL telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik, biologi, dan sosial. Dampak- dampak negatif tersebut, antara lain : 1. Pembuatan Saluran Primer Induk SPI sepanjang 187 kilometer yang menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta memotong cukup banyak anak sungainya yang mengakibatkan berubahnya pola tata air dan kualitasnya. 2. Pembukaan lahan dengan penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan tanah berkurang. Kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar. Kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 merupakan salah satu penyumbang karbon yang cukup besar di udara. 3. Terbukanya akses bagi masyarakat untuk melakukan penebangan liar di kawasan-kawasan hutan dan tersedianya saluran-saluran air untuk membawa kayu hasil tebangan liar, mengakibatkan semakin maraknya penjarahan hutan secara liar illegal logging di kawasan Eks PLG. 4. Beberapa spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin Gonystylus spp., jelutung Dyera lowii , kempas Koompassia malaccensis , ketiau Ganua motleyana , dan nyatoh Dichopsis elliptica terancam punah. 5. Proyek ini menyisakan berbagai masalah sosial dan lingkungan, seperti nasib yang kurang menguntungkan bagi para transmigran yang pada umumnya belum menguasai pengolahan lahan basah untuk pertanian, dan masyarakat setempat terpinggirkan dari lahannya. Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007

2.1.2 Kondisi Tutupan Lahan

Secara geografis kawasan Pengembangan Lahan Gambut PLG di Kalimantan Tengah terletak di antara Kota Palangkaraya Sungai Kahayan ke arah timur melalui sebuah Saluran Primer Induk SPI sepanjang 187 kilometer memotong Sungai Barito di Mangkatip. Pada bagian Barat, membujur dari Kota Palangkaraya ke arah Selatan menyusuri sebelah Timur Sungai Sebangau ke arah Selatan hingga bermuara di Teluk Sebangau di laut Jawa. Sedangkan di sebelah Timur dibatasi oleh Sungai Barito dan menyusuri Sungai Barito, Sungai Kapuas Murung ke arah Selatan melewati Kuala Kapuas hingga muara Sungai Kapuas yang bermuara di Laut Jawa. Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007 Ekosistem hutan gambut tebal, ekosistem hutan gelam, ekosistem hutan kerangas dan ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem-ekosistem spesifik pada kawasan eks proyek PLG yang saat ini situasinya bermasalah, karena gangguan dari faktor-faktor eksternal yang menyebabkan degradasi dari struktur dan fungsi ekosistem- ekosistem tersebut Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007. Selain tipe ekosistem di atas, Rieley et al. 2008 menyebutkan bahwa topografi pada permukaan lahan gambut terdiri dari hummock dan hollow. Hummock terdiri dari pohon basa dan akar batang pohon kecil yang padat, yang memiliki berat bervariasi tetapi bisa mencapai 50 cm dari permukaan tanah. Sementara hollow merupakan daerah yang lebih terbuka dibandingkan dengan hummock,dengan cirri khas: vegetasi yang jarang dengan sistem perakaran di atas permukaan bervaiasi dan akar nafas yang halus. Hollow atau biasanya disebut cekungan merupakan ekosistem lahan gambut yang biasanya ditempati oleh ekosistem hutan rawa dan gambut air tawar Balai Besar Penelitian 7 dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006 Gambar 6. Konversi Hutan Kerangas Menjadi Ladang Sumber Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007 Pada kondisi alami, proses pembentukan vegetasi lahan gambut berasal dari akumulasi vegetasi yang tersimpan pada daerah yang tergenang air, yang lebih cepat dari proses pembusukan Ritzema dan Wosten 2002. Ekosistem hutan gambut tebal di beberapa wilayah telah mengalami gangguan serius berupa kebakaran, penebangan liar, pembuatan saluran drainase dan konversi tegakan hutan menjadi lahan pertanian. Badan Planologi Departemen Kehutanan 2007. Tanpa membuat saluran drainase atau kanal pada gambut pedalaman, dipastikan hanya jenis pohon asli setempat ramin, meranti rawa, jelutung, gemor, dll yang bisa tumbuh dalam kondisi jenuh air atau daerah yang dominan basah. Limin 2006. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat sequester karbon berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun Parish et al. 2007 atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO 2 hatahun Agus et al. 2009. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organic C-organik 18 dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang back swamp atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Agus dan Subiksa 2008 Sejak hidrologi gambut terganggu oleh system drainase, dan biomassa hutan terbakar sebagian, maka resiko kebakaran diperkirakan akan menjadi tinggi di waktu yang akan dating Boehm dan Siegert 2001. Menurut Limin 2006, ada 9 ciri kebakaran pada lahan gambut berlangsung cepat dan mudah dipadamkan, yaitu : 1. kebakaran vegetasi diatas lapisan gambut, 2. lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah, 3. kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama, 4. kebakaranmenghasilkan asap tebal karena terjadi pembakaran tak sempurna, 5. api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya belum terbakar atau masih segar, 6. banyak pohon tumbang dan pohon mati tapi masih berdiri tegak, 7. terdapat jenis vegetasi mudah terbakar 8. bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan 9. penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal. Gambar 7 Hutan Gambut Bekas Terbakar. Sumber Badan Planologi departemen Kehutanan 2007 8

2.1.3 Kondisi Hidrologi

Daerah rawa gambut dataran rendah di pulau Kalimantan merupakan murni tadah hujan, dengan kondisi alami tergenangi oleh air Ritzema dan Wosten 2002. Kondisi tanah gambut pada daerah kajian yang termasuk ke dalam iklim tropis, merupakan daerah yang memiliki kondisi topografi dan curah hujan yang sangat baik untuk mendukung proses drainase yang rendah, serta genangan air dan substrat pengasaman secara permanen Jauhiainen dan Vasander 2002. Lahan gambut, dengan kapasitas menahan air yang tinggi, melakukan fungsi utama dalam mengatur air di dataran rendah tropis Rieley 2005 Rawa-rawa gambut mempengaruhi seluruh hidrologi DAS dan berperan sebagai reservoir air tawar, menstabilkan kadar air, mengurangi aliran deras dan mempertahankan aliran rendah sebagai penyangga terhadap intrusi air asin Safford dan Maltby 1998 dalam Rieley 2005 . Bentuk permukaan sebagian besar rawa gambut tropis dataran rendah adalah kubah sehingga menyebabkan air hujan untuk mengalir ke bagian sisi kubah gambut. Fenomena ini membagi daerah rawa gambut ke dalam beberapa mikro DAS. Rieley 2005 Curah hujan baik menguap atau diangkut dari dekat permukaan rawa-rawa sebagai run-off, aliran interflow atau aliran air tanah. Dalam kondisi alami, permukaan air akan meningkat karena curah hujan dan turun sebagai akibat dari evapotranspirasi serta perpindahan arus air yang berlebihan. Selama musim hujan, curah hujan memiliki intensitas yang lebih besar dari penguapan, run-off, dan aliran air tanah sedangkan pada musim kemarau, permukaan air pada rawa gambut akan turun sampai dibawah permukaan tanah dengan penurunan sampai 1 meter atau lebih. Rieley 2005 Untuk lebih jelas, keseimbangan neraca air dapat dilihat pada Gambar 8 berikut Gambar 8. Bagan Keseimbangan Neraca Air Pada Lahan Gambut Tropis. Sumber Rieley 2005 Secara umum, keseimbangan neraca air pada rawa gambut dapat di tuliskan sebagai berikut: P = E + Q + DS Keterangan : P = total rainfall meter E = total evapotranspirasi meter Q = total pelepasan meter DS = perubahan dalam simpanan meter Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian termasuk perkebunan dan tanaman industri tergolong sangat rawan, terutama jika dilaksanakan pada gambut tebal di daerah pedalaman disebut gambut pedalaman. Jika lahan gambut pedalaman dimanfaatkan untuk pengembangan komoditi-komoditi diatas, maka mengharuskan adanya upaya menyesuaikan kondisi air lahan atau mengeringkan lahan dengan cara membuat saluran drainase atau kanal. Sedangkan untuk jenis gambut pantai di daerah pasang surut, pembuatan drainase atau kanal ditujukan untuk menyalurkan air ke bagian dalam beberapa kilometer dari tepi sungai atau laut. Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Volume gambut akan menyusut bila 9 lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah subsiden. Selain karena penyusutan volume. Agus dan Subiksa 2008 Permukaan air tanah di wilayah yang didrainase mempengaruhi permukaan air pada daerah yang tidak didrainase menyebar bebrapa kilometer sehingga, kegiatan atau proyek yang berlangsung di salah satu tangkapan akan mempengaruhi kegiatan di lain dan mengakibatkan konflik kepentingan Rieley 2005 Pembuatan saluran drainase atau kanal-kanal melintasi lapisan gambut tebal, tampaknya belum banyak diketahui oleh banyak pihak akan berdampak negatif untuk jangka panjang. Contoh nyata adalah proyek PLG sejuta hektar yang mulai dibangun tahun 1996. Dengan program kanalisasi yang merusak habis hamparan gambut diantara 4 sungai besar Sabangau, Kahayan, Kapuas dan Barito, sejak itu pula terjadi perubahan drastis neraca air pada 4 empat daerah aliran sungai DAS tersebut, sehingga kawasan eks PLG merupakan penghasil asap terbesar di Kalimantan Tengah. Limin 2006 Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cmtahun tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase Agus dan Subiksa 2008. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan yang dipublikasikan oleh Charman 2002 yaitu dalam kondisi alami laju subsiden pada lahan gambut sebesar 2-5 mmtahun dan akan meningkat sepluh kali lipat pada kondisi terdrainase Ritzema dan Wosten 2006. Semakin dalam saluran drainase semakin cepat terjadi penurunan permukaan subsiden dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan gambut akan cepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung dan penurunan permukaan gambut Agus dan Subiksa 2008 Gambar 9. Skema Proses Emisi Dan Penembatan Karbon Yang Berhubungan Dengan Pembukaan Hutan Gambut Menjadi Lahan Perkebunan. Sumber Agus dan Subiksa 2008 Di balik pembuatan drainase yang menyebabkan penurunan air tanah, terjadi perubahan suhu dan kelembaban di lapisan gambut dekat permukaan, sehingga mempercepat proses pelapukan dan permukaan gambut semakin menurun. Limin 2006 Gambar 10. Saluran Drainase Pada Eks- Proyek Lahan Gambut. Sumber: Pieter 2008 10 Situasi semacam ini telah menyebabkan “gambut kering tidak balik” irreversible drying , sehingga pada saat musim hujan gambut menjadi terkelupas, terjadi banjir di dataran-dataran rendah dan terbentuknya genangan-genangan air di lantai hutan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kebakaran gambut dan kekurangan air, baik bagi pertumbuhan tanaman, kehidupan fauna air maupun bagi keperluan irigasi, air minum dan transportasi air karena debit sungai menjadi kecil. Badan Planologi Departemen kehutanan 2007; Ritzema dan Wosten 2002 Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam Agus dan Subiksa 2008 Gambar 11. Gambar 11. Bangunan dam pada kanal Kalampangan dan kanal Taruna Eks PLG blok C. Sumber: Limin 2006

2.2 Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Terdrainase