Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Seruyan, Kalimantan Tengah

(1)

FLUKS CO

2

DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH

PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH

ETIKA AGRIANITA

A14070036

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

ETIKA AGRIANITA. Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lahan

Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Seruyan, Kalimantan Tengah. Di bawah bimbingan SUPIANDI SABIHAM dan SURIA D. TARIGAN.

Pembuatan saluran drainase pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk memperbaiki kondisi lahan tersebut sebagai media pertumbuhan tanaman. Namun akibat lain yang ditimbulkannya adalah lahan dapat menjadi bersifat oksidatif sebagai akibat dari penurunan kedalaman muka air tanah yang dihasilkan. Kondisi lahan yang bersifat oksidatif tersebut dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan juga meningkatkan emisi gas CO2.Mekanisme proses keluarnya gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sangat kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.

Fluks CO2 adalah besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menguji nilai korelasi antara kedalaman muka air tanah dan fluks CO2, serta melihat pengaruh lokasi pengukuran, ketebalan gambut dan tingkat dekomposisi gambut terhadap nilai fluks CO2.

Fluks CO2 yang dihasilkan pada lahan gambut dari beberapa kebun menunjukkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan lokasi pengukuran, nilai fluks CO2 pada piringan di Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring lebih tinggi dibandingkan di luar piringan yaitu masing-masing 626,49 mg/m2/jam dan 1046,34 mg/m2/jam. Berdasarkan kedalaman muka air tanah, nilai fluks CO2 tertinggi berada di Kebun Tanjung Paring pada kedalaman 30 cm sebesar 1334,00 mg/m2/jam, sedangkan yang terendah berada di Kebun Nahiyang-2 pada kedalaman 45 cm sebesar 280,08 mg/m2/jam. Berdasarkan tingkat dekomposisi dan ketebalan gambut, rata-rata fluks CO2 tertinggi terdapat di Kebun Tanjung Paring dengan tingkat dekomposisi saprik dan ketebalan >330 cm. Secara umum, kedalaman muka air tanah saat musim hujan pada lahan gambut di lokasi penelitian tidak memberikan pengaruh yang jelas terhadap nilai fluks CO2.


(3)

SUMMARY

ETIKA AGRIANITA. CO2 Flux and Depth of Ground Water on Peatlands in Seruyan Oil Palm Plantations, Central Kalimantan. Under Supervision of

SUPIANDI SABIHAM and SURIA D. TARIGAN.

The aim to construct the drainage channels on peatlands was to improve the lands for providing the condition of soil water content that can support plant growth. However, this effort promotes the change of the land into an oxidative condition due to decreasing ground water level that is generated. Oxidative condition accelerates the decomposition of organic materials and increases CO2 emissions from peatlands. The mechanism of CO2 release from peatlands into the atmosphere is very complex. The objective of this study was to observe the influence of ground water level on the flux of CO2 emitted from peatlands in oil palm plantations.

Flux of CO2 can be expressed as the amount of CO2 concentration that is release from a certain area in a specific period and usually expressed in mg/m2/hour. The analysis was conducted to examine the correlation between the depth of the groundwater and CO2 flux, as well as study the influence of location in which the flux was measured, peat thickness and peat decomposition degree on CO2 flux.

Flux of CO2 produced from peatlands showed varying results. Based on the location, the CO2 flux from peat under canopy in Sulin-1 and Tanjung Paring was higher than that outside canopy that were 626.49 mg/m2/hour and 1046.34 mg/m2/hour, respectively. However, based on the ground water level, the highest CO2 flux was 1334.00 mg/m2/hour in Tanjung Paring at 30 cm depth, meanwhile the lowest value was 280.08 mg/m2/hour in Nahiyang-2 at 45 cm depth. Based on the decomposition rate and the thickness of peat, the average CO2 flux was the

highest in the peatland of Tanjung Paring having sapric decomposition degree with the peat thickness higher than 330 cm. In general, the effect of ground water level in peatlands at the study area was not significant on the CO2 flux during

rainy season.

Keywords: CO2 flux, Peatlands, Depth of Ground Water


(4)

FLUKS CO2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH

PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH

ETIKA AGRIANITA A14070036

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

Judul Skripsi : Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lahan Gambut di Perkebunan Kelapa Sawit Seruyan, Kalimantan Tengah

Nama Mahasiswa : Etika Agrianita

NRP : A14070036

Departemen : Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr Dr. Ir. Suria D. Tarigan, M.Sc NIP. 19490105 197403 1 001 NIP. 19620305 198703 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Dr.Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003 Tanggal Lulus:


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 16 Agustus 1989 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Sumarto (Ayah) dan Aryani S.Pd (Ibu). Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK) Kartika II-27 Bandar Lampung tahun 1995. Kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD Kartika II-5 Bandar Lampung sampai tahun 2001. Tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMP Negeri 2 Bandar Lampung. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 9 Bandar Lampung kemudian berkesempatan masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.

Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah sebagai anggota Divisi Infokom (2008-2009) dan Rumah Kompos sebagai sekretaris (2008-2009). Selain itu penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepanitian yang diselenggarakan BEM Fakultas Pertanian IPB seperti Gebyar Pertanian 2008, Seminar Pertanian Nasional 2008 dan Seri-A 2009. Selain itu juga sebagai Panitia Wisuda Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Masa Perkenalan Departemen (MPD) 2008, Open House Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan 2008, Seminar Nasional Soil & Palm Oil 2009, Portan 2009 dan Poelang Kandang Soiler 2009 yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB .


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lahan Gambut di

Perkebunan Kelapa Sawit Seruyan, Kalimantan Tengah”. Skripsi ini

merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr selaku Dosen Pembimbing Skripsi I sekaligus Pembimbing Akademik penulis sejak masuk ke Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang senantiasa memberikan bimbingan, saran, arahan, nasehat serta motivasi selama kuliah dan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Suria D. Tarigan, M.Sc selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan serta saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan kepada penulis dalam memperbaiki penulisan skrpisi ini.

4. Seluruh anggota Tim IPB serta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2011) yang telah membantu penulis dalam penelitian.

5. Seluruh Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah mendidik penulis selama kuliah.

6. Pegawai Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah serta seluruh staff dan karyawan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

7. Ibu, Ayah, Mbak Ema, Kak Eryk, Cicik, dan Ariyan Dwiyantara serta seluruh keluarga yang selalu memberikan doa, dukungan moril dan materil serta semangat kepada penulis.


(8)

8. Teman-teman semasa kuliah (Evi, Eni, Heni, Nindi) dan seluruh anggota keluarga besar Soilscaper 44.

Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dalam skripsi ini sehingga bisa menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Gambut... 3

2.1.1 Pengertian Tanah Gambut ... 3

2.1.2 Gambut di Indonesia ... 4

2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut ... 4

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca ... 7

2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut ... 8

III. METODE PENELITIAN ... 11

3.1 Waktu Pengumpulan Data Penelitian ... 11

3.2 Metode ... 11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 14

4.1 Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Kabupaten Seruyan ... 14

4.2 Fluks CO2 di Dalam dan Luar Piringan pada Lahan Gambut ... 15

4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut ... 17

4.4 Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut .. 22

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26

5.1 Kesimpulan ... 26

5.2 Saran ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Jenis dan Metode Analisis Tanah ... 12 2. Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Kabupaten Seruyan ... 14 3. Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Jarak

dari Saluran Drainase dan Lokasi Pengukuran ... 15 4. Fluks CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Muka Air Tanah

pada Lokasi Penelitian ... 18 5. Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut di


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Rata-Rata Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Setiap Kebun berdasarkan Lokasi Pengukuran ... 17 2. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi

Penelitian ... 19 3. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Dalam

Piringan pada Lokasi Penelitian ... 20 4. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Luar

Piringan pada Lokasi Penelitian ... 22 5. Fluks CO2 dan Tingkat Dekomposisi Gambut pada Lokasi Penelitian... 23 6. Fluks CO2 dan Tingkat Ketebalan Gambut pada Lokasi Penelitian ... 24


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Teks

1. Data Sifat Kimia dari Contoh Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit ... 30 2. Data Sifat Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di Perkebunan

Kelapa Sawit ... 31 3. Hasil Perhitungan Fluks CO2 pada Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa

Sawit ... 32 4. Gambar Hubungan Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ciri utama berupa kandungan bahan organik yang tinggi yang berasal dari sisa-sisa jaringan tanaman. Menurut Radjagukguk (1997) gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerob di mana laju penambahan bahan organik lebih cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan yang demikian terjadi pada tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat lambat. Hal tersebut akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik, sehingga bahan organik menjadi terakumulasi. Biomassa tanaman menyimpan CO2 dari udara melalui proses fotosintesis mengakibatkan tanah gambut menjadi salah satu carbon sink yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi status karbon di bumi dan atmosfer. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008)

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya mengakibatkan meningkatnya luas lahan yang digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk lahan gambut. Saat ini lahan gambut banyak digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah luas lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berkembang seiring dengan keinginan perusahaan baik swasta maupun milik pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit. Selain itu adanya fakta keberhasilan dalam penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit juga mempengaruhi pengembangan sektor agribisnis kelapa sawit di lahan gambut.

Pengelolaan kebun kelapa sawit memerlukan lahan yang cukup air namun tidak tergenang, sedangkan tanah gambut merupakan tanah yang memiliki kadar


(14)

2 air yang sangat tinggi. Gambut yang masih mentah (gambut fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500%-1000% bobot (Noor, 2001). Faktor utama yang menyebabkan kadar air gambut tersebut tinggi dikarenakan adanya pengaruh bentuk cekungan dari tanah mineral di bawahnya yang menyebabkan air di dalam lahan tersebut tidak bisa keluar. Hal tersebut menyebabkan drainase lahan gambut menjadi faktor utama yang diperhatikan dalam pengelolaannya untuk perkebunan kelapa sawit. Drainase yang dilakukan pada lahan gambut akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada lahan tersebut, yang akhirnya akan melepaskan gas CO2 ke atmosfer.

Emisi gas CO2 beberapa tahun terakhir menjadi topik utama beberapa peneliti, termasuk emisi yang dihasilkan oleh lahan gambut. Dalam keadaan hutan alami lahan gambut merupakan penyerap (sink) CO2. Dengan demikian, hutan gambut alami tumbuh secara perlahan dan kandungan karbonnya bertambah tinggi. Namun apabila hutan gambut diganggu, maka lahan gambut berubah fungsi dari penyerap menjadi sumber emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca terpenting. Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan mempengaruhi fluks CO2, yakni besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Besarnya peningkatan emisi CO2 dari lahan gambut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya proses perubahan fungsi lahan gambut menjadi perkebunan. Mengingat pentingnya proses drainase dalam pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, dan juga CO2 yang perlu diperhatikan pengaruhnya pada lingkungan, maka diperlukan penelitian mengenai fluks CO2 yang dihasilkan serta pengaruh kedalaman muka air dalam sistem drainase pada kebun kelapa sawit di atas lahan gambut.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.


(15)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambut

2.1.1 Pengertian Tanah Gambut

Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peatymuck, mucky).

Menurut Hardjowigeno (1986) gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik.

Dalam kunci taksonomi tanah (Soil Survey Staff 1999) gambut dikelaskan dalam Order Histosol. Gambut merupakan bahan tanaman atau organisme mati yang terlapuk dengan fraksi mineral < ½ berat tanah dan memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Jenuh air < 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan mengandung 20% karbon organik, atau

2. Jenuh air selama > 30 hari (kumulatif) setiap tahun dalam tahun-tahun normal dan tidak termasuk perakaran hidup, mempunyai karbon organik


(16)

4 sebesar :

a. 18 % atau lebih, bila fraksi mineralnya mengandung liat 60 % atau lebih, atau

b. 12 % atau lebih, bila fraksi mineralnya tidak mengandung liat, atau c. 12 % atau lebih ditambah (% liat x 0,1)% bila fraksi mineralnya

mengandung < 60% liat.

2.1.2 Gambut di Indonesia

Di Indonesia gambut terbentuk dalam ekosistem lahan rawa. Proses pembentukan gambut terjadi di daerah cekungan di bawah pengaruh penggenangan yang cukup lama (Sabiham, 2006). Barchia (2006), menyebutkan bahwa tanah gambut terjadi di bawah kondisi yang jenuh air seperti daerah depresi, danau dan pantai yang banyak menghasilkan bahan organik yang melimpah oleh vegetasi yang telah beradapatasi dengan kondisi setempat seperti rumput-rumputan, mangrove atau hutan rawa.

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian (Agus dan Subiksa, 2008).

2.1.3 Sifat-Sifat Tanah Gambut

Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis yaitu gambut fibrik, hemik dan saprik. Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah yang dicirikan dengan tingginya kandungan bahan-bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keadaan


(17)

5 aslinya dengan ukuran beragam dengan diameter antara 0,15 mm hingga 2,00 cm. Gambut hemik adalah tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang. Gambut saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan lanjut dan bersifat matang hingga sangat matang (Noor, 2001). Bila dilihat volume seratnya, fibrik memiliki serat 2/3 volume, hemik 1/3-2/3 volume dan saprik kurang dari 1/3 volume.

Tingkat dekomposisi gambut sangat mempengaruhi sifat fisik tanah gambut. Kerapatan lindak adalah salah satu pengukuran yang penting untuk menafsirkan data analisis tanah, terutama yang menunjukkan kesuburan (Andriesse, 2003). Kerapatan lindak atau bulk density (BD) tanah gambut sangat rendah jika dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut memiliki BD yang beragam antara 0,01 g/cm3- 0,20 g/cm3. Makin rendah kematangan gambut, maka makin rendah nilai BD-nya. Nilai BD gambut fibrik < hemik < saprik. Kerapatan lindak yang rendah dari gambut memberi konsekuensi rendahnya daya tumpu tanah gambut (Noor, 2001).

Kadar air tanah gambut merupakan air yang ditahan oleh gambut terutama sebagai air kapiler dan air terjerap. Air yang tertahan secara kapiler dipengaruhi oleh porositas total dan tingkat dekomposisi, sedangkan air yang terjerap dipengaruhi oleh sifat koloidal dan luas permukaan spesifik gambut. Namun demikian, kapasitas air maksimum untuk gambut fibrik 850-3000 %, gambut hemik 450-850 %, dan gambut saprik < 450 % (Andriesse, 2003). Di lapangan kadar air yang bervariasi ini tidak hanya mempunyai keterkaitan dengan tingkat kematangan atau tingkat dekomposisi gambut. Kadar air yang tinggi lebih banyak disebabkan oleh bentuk permukaan tanah mineral yang cekung berada di bawah gambut. Dengan kemampuan menampung air yang tinggi, maka daerah cekungan dapat berfungsi sebagai penyimpan air yang cukup besar (Sabiham, 2006).

Sifat fisik yang penting dari tanah gambut yaitu sifat kering tidak balik (irreversible drying). Kering tidak balik berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang, dan melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan ini disebut dengan kering tak balik. Gambut yang telah mengalami kering tak balik menjadi rawan terbakar.


(18)

6 Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan memegang air tinggal sebesar 50% (Rieley et al., 1996 dalam Noor, 2001). Menurut Noor (2001) kering tak balik besar terjadi pada gambut tropik, khususnya gambut rawa. Sebagian pakar berpendapat bahwa penurunan kemampuan gambut yang mengalami kekeringan dalam menyerap air merupakan akibat terbentuknya selimut (coating) penahan air. Coulter (1975) dalam Andriesse (2003) menyatakan bahwa sifat hidrofobik gambut dari gambut kering adalah karena adanya lapisan seperti resin yang terbentuk pada waktu pengeringan.

Sifat lain dari tanah gambut yang penting yaitu sifat kimianya. Sifat dan ciri kimia tanah gambut yang utama antara lain kemasaman tanah, kapasitas tukar kation, C-organik dan kadar abu. Kemasaman (pH) tanah-tanah organik berkaitan dengan kehadiran senyawa-senyawa organik, alumunium dan hidrogen yang dapat dipertukarkan, serta besi sulfida dan senyawa-senyawa sulfur lain yang dapat dioksidasi. Gambut-gambut tropika yang bersifat ombrogen dan oligotrofik, yang mencangkup sebagian tropika daratan rendah biasanya bersifat masam atau sangat masam dengan kisaran pH sebesar 3-4,5 (Andriesse, 2003). Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut tersebut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai pH antara 4,0-5,1, sedangkan gambut dalam mempunyai pH antara 3,1-3,9.

Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut memegang peranan penting dalam pengelolaan tanah dan menjadi penciri kesuburan tanah. Nilai KTK gambut berkisar dari < 50 sampai lebih dari 100 cmol (+) kg-1 bila dinyatakan atas dasar bobot tetapi lebih rendah jika dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 1997). Nilai KTK tanah gambut sangat bergantung pada pH. Andriesse (2003) menyatakan KTK tanah gambut pada pH 7, tanah organik yang mengalami sedikit perombakan mempunyai KTK 100 cmol (+) kg-1, tetapi yang mempunyai tingkat perombakan tinggi tergolong gambut saprik mempunyai KTK sekitar 200 cmol (+) kg-1.

Kandungan C-organik dalam tanah gambut tergantung tingkat dekomposisinya. Proses dekomposisi menyebabkan berkurangnya kadar karbon dalam tanah gambut. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan menunjukkan kadar C-organik lebih rendah dibandingkan dengan


(19)

7 fibrik. Kandungan C-organik gambut dapat bervariasi dari 12-60%. Kisaran besaran ini menunjukkan jenis bahan organik, tahap dekomposisi dan kemungkinan juga metode pengukurannya (Andriesse, 2003).

Kadar abu pada gambut alami yang belum terganggu tergolong rendah. Kadar abu yang rendah menunjukkan bahwa tanah gambut tersebut miskin. Semakin tinggi kadar abu, maka semakin tinggi mineral yang dikandungnya. Radjagukguk (1997) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar abu gambut Indonesia berkisar 2,4%-16,9%. Semakin dalam ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu sangat dalam (>3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (1-3m) berkisar 11%-12% dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001).

2.2 Emisi Gas Rumah Kaca

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer saat ini terus menjadi perhatian serius dari masyarakat global karena pengaruhnya terhadap lingkungan. Pembakaran energi fosil karbon dan konversi hutan hujan tropis menjadi sorotan utama penyebab pelepasan gas rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O. Gas-gas tersebut merupakan gas rumah kaca yang utama dari lahan gambut. Emisi CO2 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 (walaupun dikalikan dengan global warming potensialnya setinggi 21 kali CO2). Dalam mempresentasikan emisi dari lahan gambut, data emisi CO2 sudah cukup bisa digunakan jika pengukuran gas lainnya sulit dilakukan (Hooijer et al., 2006). Barchia (2006) menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton atau 75 % dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui di mana tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepas selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak bijaksana, laju pelepasan CO2 dan CH4 dapat meningkat.

Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling besar kontribusinya terhadap pemanasan global. Konsentrasi alaminya hanya 0,03 % persen di


(20)

8 atmosfer, namun dapat dimanfaatkan tanaman untuk proses fotosintesis. Bila tanaman dan hewan mati, kandungan karbon akan terlepas dalam bentuk karbon dioksida, demikian pula dengan kegiatan membakar kayu dan bahan bakar fosil. Tanah secara alami juga mengandung karbon sampai 50% dari berat keringnya bisa berupa bahan organik yang membusuk sebagian. Bahan organik jika terdekomposisi dapat menghasilkan karbon dioksida.

Gas CO2 memiliki waktu urai hingga 50-200 tahun dan memiliki daya tangkap sinar matahari seperti efek rumah kaca. Dari jaman pra industri (tahun 1750-1800), konsentrasi CO2 telah bertambah dari 280 ppmv (part per million volume) menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Saat ini laju penambahan CO2 di atmosfer rata-rata berjumlah 1,8 ppmv. Kehadiran gas CO2 memberikan kontribusi besar terhadap kenaikan suhu permukaan bumi dan IPCC menyarankan agar emisi gas CO2 sekurang-kurangnya 60% dari emisi gas yang dikeluarkan saat ini (Bapppenas, 2004).

2.3 Emisi Karbon Dioksida dari Lahan Gambut

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem. Secara alami gambut berfungsi sebagai penambat karbon, sehingga berperan dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer. Lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 Gt C atau 13-35 % dari total karbon terestris. Sekitar 86% (445 Gt) dari karbon lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3, kandungan karbon 50% dan luasnya 16 juta ha, maka cadangan karbon di lahan gambut Indonesia sebesar 46 Gt (Murdiyarso et al., 2004). Oleh karena itu, pertukaran CO2 dari lahan gambut ke atmosfer sangat mempengaruhi siklus karbon dan terhadap pemanasan global.

Fluks CO2 dari tanah merupakan komponen utama dari siklus karbon global (Raich and Schlesinger, 1992; Houghton, 1995 dalam Melling et al., 2005). Produksi CO2 oleh tanah adalah suatu proses yang dapat dipertukarkan yang disebut sebagai fluks CO2 tanah atau respirasi tanah. Fluks CO2 tanah bervariasi menurut ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, faktor lingkungan


(21)

9 terutama suhu dan kelembaban. Analisis kadar air, kadar abu, kandungan bahan organik berkaitan dengan besarnya fluks CO2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses biologi seperti absorpsi oksigen dan emisi CO2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer (Handayani, 2009).

Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu :

1. Pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO2. 2. Drainase lahan gambut yang menyebabkan aerasi bahan gambut di samping

oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006).

Kunci utama dari pengembangan pertanian di lahan gambut adalah pengendalian atau pengelolaan air (Sarwani et al., 1994; Sumangat dan Rusdi 1979). Fungsi drainase adalah untuk membuang kelebihan air, menciptakan keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Tindakan utama yang perlu dilakukan yaitu mempertahankan tinggi muka air. Akan tetapi sebaliknya yang terjadi kebanyakan lahan gambut adalah terjadinya over drainage (pengurasan air). Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam (Agus dan Subiksa, 2008).

Drainase pada perkebunan kelapa sawit berfungsi untuk pertumbuhan akar tanaman dan sebagai akses jalan. Tingginya muka air akibat proses drainase berpengaruh terhadap keadaan oksidasi dan reduksi pada lahan gambut dan berakibat pada laju dekomposisi serta emisi gas CO2. Drainase pada lahan gambut menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada tanah gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Selain adanya proses dekomposisi bahan gambut, respirasi akar tanaman juga mempengaruhi produksi CO2 dari dalam tanah. Sejumlah penelitian tentang tingkat emisi CO2


(22)

10 hubungannya dengan kedalaman drainase yang dibutuhkan dalam pengelolaan untuk budidaya telah dilakukan, dari sejumlah penelitian yang menggunakan metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber) Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Dari review sejumlah literatur dikemukakan bahwa untuk kedalaman drainase antara 30 sampai 120 cm, emisi akan meningkat setinggi 0,91 ton CO2 ha-1 tahun-1 untuk setiap penambahan kedalaman drainase sedalam 1 cm.


(23)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu Pengumpulan Data Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan bulan Maret 2011. Data yang dikumpulkan berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim IPB serta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2011) di perkebunan kelapa sawit, Seruyan, Kalimantan Tengah.

3.2 Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data hasil dari pengukuran analisis sifat kimia tanah gambut, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran fluks CO2, dengan metode pengukuran sebagai berikut.

a. Analisis Sifat Tanah Gambut

Analisis sifat tanah yang dilakukan di lapang berupa penetapan tingkat kematangan bahan organik pada tanah gambut dengan mengambil segenggam bahan organik kemudian diremas dengan telapak tangan. Selanjutnya dilihat sisa remasan yang tertinggal pada telapak tangan dan dikelompokkan berdasarkan kriteria berikut (Sabiham, 2006):

1)Fibrik, yaitu apabila segenggam bahan organik diremas sehingga menghasilkan kurang dari 1/3 bagian bahan teremas keluar, atau sisa remasan lebih dari 2/3 bagian.

2)Hemik, yaitu apabila antara 1/3-2/3 bagian dari bahan yang teremas keluar.

3)Saprik, yaitu apabila yang teremas lebih dari 2/3 bagian bahan keluar, atau sisa remasan kurang dari 1/3 bagian.

Bahan tanah gambut pada perkebunan kelapa sawit yang diamati, diambil contoh tanahnya pada kedalaman 10-20 cm, kemudian dibersihkan dari akar tanaman dan bahan kasar. Bahan tanah tersebut digunakan untuk analisis sifat kimia tanah meliputi pH, C-organik, N-total, P-total, K-total, dan kadar abu. Metode yang akan digunakan untuk penetapan analisis tanah tersebut tertera pada Tabel 1.


(24)

12 Tabel 1. Jenis dan Metode Analisis Tanah

Sifat Tanah Metode

pH (1:5) (H2O dan KCl) C-organik

N-total P-total K-total Kadar Abu

pH- meter Walkley & Black Kjeldahl

Ekstraksi HCl 25 % Ekstraksi HCl 25 % Pengabuan Kering

b. Pengukuran Kedalaman Muka Air Tanah

Pada titik-titik lokasi pengukuran yang telah ditetapkan di lahan gambut, masing-masing diukur kedalaman muka air tanahnya menggunakan Piezometer. Piezometer adalah alat untuk mengukur kedalaman muka air tanah yang dibuat dari pipa paralon dengan diameter berukuran 5 inchi yang dibenamkan ke tanah dengan kedalaman ± 2 meter. Sebuah alat ukur (meteran) yang telah dirangkai dengan pelampung (gabus) dimasukkan ke dalam pipa paralon tersebut. Pengukuran kedalaman muka air diukur setiap akan dilakukan pengukuran contoh gas di lokasi tersebut.

c. Pengukuran Fluks CO2

Kegiatan pengukuran fluks CO2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi pada kebun kelapa sawit, pembuatan transek dan titik-titik pengukuran. Pada setiap lokasi pengukuran (di dalam dan di luar kanopi) pada transek yang dibuat ditentukan 3 titik pengamatan berdasarkan jarak dari saluran drainase yaitu pada pada jarak antara 5-10 m, 25-30 m dan 100-150 m. Pada titik-titik pengamatan dipasang sungkup tertutup yang terbuat dari mika dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm, sungkup ini untuk menangkap emisi gas yang dikeluarkan oleh gambut. Contoh gas dari titik pengukuran diambil dengan jarum suntik 10 ml dengan interval tiga menit selama 24 menit. Konsentrasi CO2 bagian dari contoh gas tersebut dianalisis menggunakan portable gas chromatography (GC) yang dapat secara langsung dioperasikan di lapang. Perhitungan konsentrasi gas CO2 menggunakan persamaan USEPA (1990) yang banyak digunakan oleh Balai


(25)

13 Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), yaitu :

E = dc / dt x mW / mV x t x [273,2 / (273,2 + T)] Keterangan :

E = fluks CO2 (mg m-2 jam-1)

dc / dt = perubahan konsentrasi CO2 per waktu (ppm menit-1) t = tinggi sungkup (cm)

mW = berat molekul CO2 (g)

mV = volume molekul CO2 (22,41 liter) * T = suhu dalam sungkup (oC).

Catatan: * 22,41 liter adalah volume 1 mol gas pada suhu dan tekanan standar.

d. Analisis Data Pengukuran

Hasil pengukuran dari penelitian seperti yang telah diuraikan di atas selanjutnya diuji nilai korelasinya menggunakan Software Microsoft Office Excel. Pengujian korelasi yang dihitung yaitu antara kedalaman muka air tanah dan fluks CO2, serta melihat pengaruh lokasi pengukuran, ketebalan gambut dan tingkat dekomposisi gambut terhadap nilai fluks CO2.


(26)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Kabupaten Seruyan

Kabupaten Seruyan adalah salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Kalimantan Tengah. Keadaan geografi Kabupaten Seruyan terletak di daerah khatulistiwa yaitu antara 111'15o 00 Bujur Timur dan 045o00 Lintang Utara, 330o Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Seruyan termasuk daerah yang beriklim tropis dengan suhu udara rata-rata 29o C dan temperatur tertinggi 34o C. Tipe iklim adalah tropis lembab dan panas, curah hujan rata-rata per tahun 3.479,8 mm dengan rata-rata hujan per tahun 13,8 hari. Musim penghujan akan terjadi antara bulan Desember-Maret, sedangkan musim kemarau antara bulan Juli-September (Kabupaten Seryuan, 2011).

Kelapa sawit merupakan aset perkebunan utama Kabupaten Seruyan selama ini. Dengan luas lahan lebih kurang 78.871 hektar, potensi itu hendak dikembangkan dengan membuka lahan-lahan baru. Sentra tanaman kelapa sawit berada di tiga dari lima kecamatan, yaitu Danau Sembuluh, Hanau, dan Seruyan Tengah. Banyak kebun yang terletak di atas lahan gambut, di antaranya Kebun Sulin, Nahiyang dan Tanjung Paring dengan luas seperti yang tertera pada Tabel 2. Usaha pertanian yang dilakukan di atas lahan gambut mendapat banyak perhatian terutama mengenai masalah lingkungan yang dihasilkannya yaitu emisi gas rumah kaca terutama CO2. Area terluas dimiliki oleh Kebun Nahiyang yaitu 1420 ha, selanjutnya Kebun Sulin yang memiliki luas 1042 ha, namun tidak seluruh area kebun tersebut ditanami. Kebun Tanjung Paring memiliki luas area yang terendah dibandingkan kedua kebun lain yaitu 856 ha dan seluruhnya ditanami kelapa sawit.

Tabel 2. Perkebunan Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Kabupaten Seruyan

Nama Perkebunan

Luas Area Gambut (ha) Ditanami

<3 M

Ditanami >3 M

Total Ditanami

Tidak

Ditanami Total

Sulin 461 248 709 333 1042

Nahiyang 434 163 597 823 1420

Tanjung

Paring 405 451 856 - 856


(27)

15

4.2 Fluks CO2 di Dalam dan Luar Piringan pada Lahan Gambut

Pengukuran Fluks CO2 merupakan pengukuran dasar dan sering digunakan dalam penentuan emisi gas. Fluks CO2 dapat dinyatakan sebagai besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan tertentu dan periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Pengukuran fluks CO2 ini berdasarkan pada pengukuran contoh gas dari sungkup tertutup. Pengambilan contoh gas dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada setiap kebun kecuali Tanjung Paring, dengan selang waktu satu jam. Dalam satu ulangan terdiri dari 3 contoh. Pada setiap contoh dilakukan pengukuran gas dengan selang waktu 30 menit.

Nilai fluks CO2 tanah bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor di ekosistem, waktu, kualitas dan kuantitas C-organik, dan faktor lingkungan. Kedalaman muka air tanah yang dipengaruhi oleh jarak dari saluran drainase merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses dekomposisi bahan organik pada gambut. Faktor lain yaitu daerah piringan yang merupakan tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar yang memberikan pengaruh dalam pengukuran fluks CO2 di lahan gambut. Hasil pengukuran fluks CO2 masing-masing transek pada lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 3 dan diilustrasikan pada Gambar 1.

Tabel 3. Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Lokasi Penelitian Berdasarkan Jarak dari Saluran Drainase dan Lokasi Pengukuran

Kebun Lokasi

Pengukuran

Jarak dari Saluran (m) Rata-Rata

Fluks

(mg/m2/jam)

Rata-Rata Emisi (ton/ha/tahun) 10 75 150

Sulin 1 Piringan 564,85 583,50 731,11 626,49 54,88 Luar Piringan 690,78 481,47 523,21 565,15 49,51 Sulin 2

Piringan 629,69 810,50 706,89 715,69 62,69 Luar Piringan 436,42 815,27 1046 765,90 67,09 Nahiyang

1

Piringan 452,01 395,49 717,15 521,55 45,69 Luar Piringan 768,14 714,43 863,90 782,16 68,52 Nahiyang

2

Piringan 708,27 454,41 404.3 522,33 45,76 Luar Piringan 571,21 280,08 790,10 547,13 47,93 Tanjung

Paring

Piringan 1258,89 546,14 1334 1046,34 91,66 Luar Piringan 516,40 997,68 510,88 674,99 59,13


(28)

16 Berdasarkan Tabel 3, rata-rata nilai fluks CO2 berkisar antara 521-1047 mg/m2/jam di dalam piringan dan 547-766 mg/m2/jam di luar piringan. Pada Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan di dalam piringan lebih besar dari pada di luar piringan, yaitu 626,46 mg/m2/jam dan 1046,34 mg/m2/jam di dalam piringan, sedangkan di luar piringan 565,15 mg/m2/jam dan 674,99 mg/m2/jam. Tingginya fluks CO2 di rhizosfer ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu mengubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999 dalam Handayani, 2009). Tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas akar merupakan tanah yang memiliki populasi mikrob lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak. Selain merupakan daerah terkonsentrasinya akar tanaman, piringan di sekitar tanaman kelapa sawit juga merupakan daerah pemupukan. Oleh karena itu, disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar daerah perakaran juga meningkat akibat tingginya konsentrasi nutrisi dari hasil pemupukan yang diberikan dan juga pengaruh eksudat akar. Meningkatnya populasi dan aktivitas mikrob menyebabkan respirasi mikrob juga semakin meningkat. Dengan demikian, produksi CO2 yang merupakan resultan dari respirasi mikroorganisme dan respirasi akar di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer (Handayani, 2009).

Namun mekanisme proses keluarnya gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah kompleks dan juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Satu faktor tidak dapat langsung menghasilkan dampak yang nyata terhadap nilai fluks CO2, beberapa faktor dapat saling mempengaruhi. Dari banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor mempunyai pengaruh yang beragam terhadap nilai fluks CO2. Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan pengelolaan kebun yang sangat berbeda (Handayani, 2009).

Pada Gambar 1 dapat dilihat bawa Kebun Sulin-2, Nahiyang-1 dan Nahiyang-2 diperoleh hasil pengukuran fluks CO2 yang lebih tinggi di luar piringan dibandingkan dengan yang berada di piringan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor suhu yang lebih tinggi di luar piringan, sehingga proses dekomposisi gambut pun menjadi lebih tinggi. Barchia (2006) menyebutkan,


(29)

17 degradasi bahan gambut semakin cepat dengan semakin meningkatnya suhu tanah dan akan mencapai maksimum pada sekitar suhu 35 oC dan 37 oC. Selain itu Chimner (2004) di dalam hasil penelitiannya juga menyebutkan nilai respirasi tanah tahunan pada lahan gambut berkorelasi dengan rata-rata suhu tahunan. Berdasarkan data pengukuran seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 3, rata-rata suhu di luar piringan dari ketiga kebun tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata suhu di dalam piringan.

Gambar 1. Rata-Rata Fluks CO2 dari Lahan Gambut pada Setiap Kebun berdasarkan Lokasi Pengukuran

4.3 Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut

Kedalaman muka air tanah dipengaruhi oleh adanya proses drainase lahan gambut yang diperlukan untuk pengelolaan kebun kelapa sawit, baik untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit juga untuk digunakan sebagai akses jalan. Perubahan kedalaman muka air tanah pada lahan gambut ini mempengaruhi proses keluarnya CO2 ke atmosfer melalui suasana oksidasi dan reduksi yang terbentuk. Handayani (2009) menyebutkan bahwa dari hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang (muka air tanah lebih dangkal).

Pengukuran kedalaman muka air ini dilakukan pada musim hujan, sehingga perubahan kedalaman muka airnya kurang terlihat jelas. Data hasil

0 200 400 600 800 1000 1200

Fluks CO2 (mg/m2/jam)

Piringan Luar Piringan


(30)

18 pengukuran dari setiap kebun seperti yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan kedalaman muka air tanah cenderung menurun mulai dari jarak 5-10 m, 75 m sampai 150 m. Kedalaman muka air tanah dapat mempengaruhi terciptanya suasana oksidasi, di mana pada kondisi tersebut proses dekomposisi menjadi lebih cepat. Hal berbeda terjadi pada Kebun Sulin-1 di mana kedalaman muka air tanah pada setiap jarak sama yakni 35 cm. Hal ini diduga karena pengukuran yang dilakukan pada musim hujan sehingga menyebabkan muka air pada saluran drainase yang dangkal mempengaruhi kedalaman muka air tanah pada transek tersebut. Kedalaman muka air tanah pada musim hujan kurang dapat menunjukkan dengan jelas perubahan kedalaman muka air tanah yang terjadi. Kedalaman muka air tanah pada setiap kebun berbeda-beda, berkisar antara 30-59 cm.

Tabel 4. Fluks CO2 dari Lahan Gambut Berdasarkan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi Penelitian

Kebun Jarak

(m)

Kedalaman Muka Air

(cm)

Fluks CO2 (mg/m 2

/jam) Piringan Luar piringan

Sulin 1

5-10 35 564,85 690,78

75 35 583,50 481,47

150 35 731,11 523,21

Sulin 2

5-10 38 629,69 436,42

75 35 810,50 815,27

150 36 706,89 1046,00

Nahiyang 1

5-10 50 452,01 768,14

75 50 395,49 714,43

150 40 717,15 863,90

Nahiyang 2

5-10 50 708,27 571,21

75 45 454,41 280,08

150 45 404,30 790,10

Tanjung Paring

5-10 59 1258,89 516,40

75 36 546,14 997,68

150 30 1334,00 510,88

Fluks CO2 yang dihasilkan dari setiap kebun beragam. Apabila seluruh nilai fluks yang diamati dikelompokan akan diperoleh diagram pencar seperti Gambar 2. Fluks yang terukur pada kedalaman muka air tanah yang berbeda-beda,


(31)

19

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65

F

luks

C

O2

(m

g/m

2 /j

a

m

)

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Fluks CO2di Dalam dan di Luar Piringan

Piringan Luar piringan

serta lokasi yang berada baik di piringan maupun di luar pringan tidak membentuk pola yang dapat menunjukkan adanya hubungan diantara fluks CO2, kedalaman muka air, maupun lokasi pengukuran. Rata-rata kedalaman muka air tanah dari semua kebun berkisar antara 35-60 cm, sedangkan fluks yang dihasilkan berkisar antara 200-1300 mg/m2/jam.

Gambar 2. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah pada Lokasi Penelitian

Analisis sulit dilakukan jika nilai fluks CO2 digabungsecara keseluruhan. Oleh karena itu, fluks CO2 yang dihasilkan dari pengukuran dibedakan berdasarkan lokasinya dari tanaman, yaitu di piringan dan di luar piringan (Gambar 3 dan Gambar 4). Gambar 3 menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan. Fluks CO2 yang terukur paling tinggi terdapat pada Kebun Tanjung Paring yaitu mencapai 1334 mg/m2/jam, meskipun kedalaman muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Sedangkan pada kedalaman muka air 59 cm di titik yang lebih dekat dengan saluran drainase fluks yang dihasilkan sebesar 1258,89 mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan menurun pada kedalaman muka air setinggi 36 cm, yaitu menjadi 546,14 mg/m2/jam. Kedalaman muka air yang tinggi menyebakan proses dekomposisi yang lebih lanjut dari tanah gambut, sehingga fluks yang dihasilkan pada titik yang lebih dekat dengan saluran lebih tinggi. Namun fluks yang lebih tinggi (1334 mg/m2/jam) justru terdapat pada titik yang lebih jauh dari saluran drainase, meskipun kedalaman muka airnya lebih dangkal yaitu 30 cm. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh faktor biologi


(32)

20

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65

F

luks

C

O2

(m

g/m

2/j

a

m

)

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Fluks CO2di Dalam Piringan

yaitu dari akar tanaman serta aktifitas organisme di daerah rizhosfer. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dimana fluks tertinggi terdapat pada piringan.

Fluks CO2 terendah yang didapatkan dari hasil pengukuran berada di Kebun Nahiyang-1 yaitu 395,49 mg/m2/jam dengan kedalaman muka airnya sebesar 50 cm, sedangkan pada kedalaman muka air yang lebih dangkal (40 cm) fluks CO2 justru meningkat menjadi 717,15 mg/m2/jam. Pola yang sama dengan hasil pengukuran di Kebun Tanjung Paring dimana fluks CO2 yang dihasilkan pada kedalaman muka air tanah 30 cm lebih besar dibandingkan pada kedalaman 36 cm dan juga 59 cm. Peningkatan fluks CO2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah ternyata kurang konsisten pada hasil penelitian ini (Lampiran 4). Pada Kebun Sulin-1 terjadi peningkatan fluks CO2 meskipun kedalaman muka air tanahnya konstan. Kebun Sulin-2 justru menunjukkan fluks CO2 pada kedalaman muka air tanah yang lebih dangkal menghasilkan fluks CO2 yang lebih tinggi.

Gambar 3. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Dalam Piringan pada Lokasi Penelitian

Hal berbeda terjadi pada kebun Nahiyang-2. Di kedalaman muka air tanah 50 cm, fluks CO2 yang dihasilkan 708,27 mg/m2/jam, selanjutnya fluks CO2 turun menjadi 454,41 mg/m2/jam pada kedalaman muka air tanah setinggi 45 cm. Penurunan nilai fluks CO2 tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah yang semakin dangkal dengan semakin jauh jaraknya dari saluran drainase menghasilkan nilai fluks CO2 yang juga semakin menurun. Selanjutnya fluks CO2 semakin menurun menjadi 404,30 mg/m2/jam meskipun kedalaman muka airnya


(33)

21 tetap sama. Penurunan nilai fluks CO2 pada kedalaman yang sama namun jarak yang berbeda dari saluran drainase tidak sebesar dengan penurunan fluks CO2 saat kedalaman muka air tanahnya berubah dari 50 cm menjadi 45 cm. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh kedalaman muka air tanah dengan fluks CO2 yang dihasilkan, di mana muka air tanah yang lebih dalam akan menciptakan kondisi aerob yang mempercepat proses dekomposisi.

Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan. Fluks CO2 yang dihasilkan di luar piringan dominan lebih tinggi dibandingkan fluks CO2 yang dihasilkan di dalam piringan. Fluks CO2 di piringan yang dihasilkan lebih menyebar dibandingkan fluks CO2 di luar piringan. Fluks tertinggi terdapat di Kebun Sulin-2 yaitu 1046 mg/m2/jam, sedangkan fluks terendah terdapat di Kebun Nahiyang-2 yaitu 280,08 mg/m2/jam.

Pola pada Gambar 4 menunjukkan nilai fluks CO2 dari seluruh kebun cenderung menurun dengan semakin meningkatnya kedalaman muka air tanah, begitu pula jika dilihat pada masing-masing kebun. Hal tersebut menunjukkan kedalaman muka air tanah kurang memberikan pengaruh yang nyata. Hasil yang sama dari penelitian Watannabe et al. (2009), di mana disebutkan kedalaman muka air tanah tidak memberikan pengaruh yang nyata pada fluks CO2. Jauhiainen et al. (2005) dalam Watannabe et al. (2009) juga menyebutkan adanya kepekaan yang rendah dari fluks CO2 dengan kedalaman muka air tanah yang ditemukan di hutan rawa gambut di Kalimantan.

Selain faktor suhu, banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya pola seperti Gambar 4. Handayani (2009) di dalam penelitiannya juga mengalami dinamika seperti yang terjadi pada hasil penelitian ini, namun dalam skala emisi (ton/ha/tahun). Tingkat kematangan dan kedalaman gambut serta sistem pengelolaan pada kebun diduga menjadi faktor yang mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan. Purwanto et al. (2005) dalam Watannabe et al. (2009) menyebutkan bahwa akumulasi bahan gambut yang lebih bersifat aromatik pada gambut tropis lebih banyak dibandingkan gambut sub tropis, yang kemungkinan diperoleh dari vegetasi yang berbeda-beda dan tingkat dekomposisi dari campuran bahan organik yang masih labil, menjadi penyebab dari variasi yang rendah dari nilai fluks CO2.


(34)

22 0 200 400 600 800 1000 1200

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Fluks CO2di Luar Piringan

Gambar 4. Diagram Pencar Fluks CO2 dan Kedalaman Muka Air Tanah di Luar Piringan pada Lokasi Penelitian

4.4Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut

Tingkat dekomposisi dan ketebalan dari gambut diperkirakan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi nilai fluks CO2. Ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas (Sylvia et al., 1998 dalam Handayani, 2009), ketersediaan bahan tersebut dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi dan ketebalan gambut. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tingkat Dekomposisi, Ketebalan dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut di Lokasi Penelitian

No Kebun

(Estate) Contoh Blok

Tingkat Dekomposisi (0-50 cm) Ketebalan (cm) Rata-Rata

(mg/m2/jam)

Piringan Luar Piringan 1 Sulin 1 UG-09 J-60 Saprik S.1 150-300

cm S.1 626,49 565,15 2 Sulin 2 SK-1 N-81 Hemik S.2 < 150 cm

S.2 715,69 765,90 3 Nahiyang

1 Hi-3 A-79 Saprik N.1

> 300 cm

N.1 521,55 782,16 4 Nahiyang

2 Hi-2 D-85

Saprik/Hemik N.2

150-300

N.2 522,33 547,13 5 Tanjung Paring UG-14 R-36 Saprik/Hemik

TP

> 330 cm


(35)

23 Berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dapat dibedakan menjadi 5 kelompok (Najiyati et al., 2005), yaitu lahan bergambut (0-50 cm), dangkal (50-100 cm), sedang ((50-100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (> 300 cm). Tingkat kematangan gambut pada kelima kebun bervariasi seperti yang tertera pada Tabel 5. Tingkat kedalaman mulai dari sedang sampai sangat dalam, sedangkan untuk tingkat dekomposisi pada kedalaman 0-50 cm, rata-rata berada pada tingkat kematangan saprik. Tingkat dekomposisi gambut berpengaruh terhadap kandungan C-organik di dalamnya. Kehilangan C-organik melalui proses dekomposisi bahan gambut akan menghasilkan CO2. Umumnya pada tingkat dekomposisi lanjut seperti hemik dan saprik akan memperlihatkan kadar C-organik lebih rendah dibanding dengan fibrik.

Pada Gambar 5 ditunjukkan gambut pada tingkat kematangan hemik di Kebun Sulin-2 rata-rata fluks CO2 yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan kebun-kebun yang lain. Gambut pada tingkat dekomposisi hemik memiliki stabilitas rendah dan kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan saprik. Oleh karena itu, pada saat terdrainase bahan organik akan teroksidasi menghasilkan gas CO2. Kehilangan C pada gambut ini lebih tinggi daripada gambut lebih matang (saprik).

Gambar 5. Fluks CO2 dan Tingkat Dekomposisi Gambut pada Lokasi Penelitian

0 200 400 600 800 1000 1200

F

luks

C

O2

(m

g/m

2/j

a

m

)

Tingkat Dekomposisi (0-50 cm)

Fluks CO2Pada Tingkat Kematangan Gambut

Piringan Luar Piringan


(36)

24 0 200 400 600 800 1000 1200 150-300 cm S.1

< 150 cm S.2

> 300 cm N.1

150-300 N.2

> 330 cm TP F luks C O2 (m g/m 2/j a m )

Tingkat Ketebalan (cm)

Fluks CO2 Pada Tingkat Ketebalan Gambut

Piringan Luar Piringan Pada Kebun Tanjung Paring didapatkan nilai fluks CO2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kebun Sulin-2, sedangkan gambut pada Kebun Tanjung Paring sebagian besar termasuk dalam gambut saprik. Hal tersebut diduga karena masih adanya pengaruh kedalaman muka air tanah, di mana Kebun Tanjung Paring memiliki kedalaman muka air tanah tertinggi yaitu 59 cm. Selain itu faktor-faktor lain seperti suhu dan respirasi akar yang juga dapat mempengaruhi fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut.

Sylvia et al. (1998) dalam Handayani (2009) menyatakan bahwa ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut mempengaruhi nilai fluks CO2 yang dihasilkan, baik pada proses keluarnya gasCO2 maupun proses dekomposisi yang menghasikan gas CO2. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa Kebun Sulin-2 memiliki tingkat ketebalan yang paling rendah dibanding keempat kebun lain. Handayani (2009) menyebutkan gambut dalam memiliki tingkat kesuburan lebih rendah dibandingkan gambut dangkal, sehingga pada gambut dangkal dekomposisi akan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi gambut dalam. Selain itu seperti yang tertera pada Tabel 5, bahwa Kebun Sulin-2 merupakan gambut dengan tingkat dekomposisi hemik di mana bahan organik yang dimiliki masih cukup banyak, sehingga memungkinkan dekomposisi lebih besar dan nilai rata-rata fluks CO2 yang dihasilkan lebih tinggi.

Gambar 6. Fluks CO2 dan Tingkat Ketebalan Gambut pada Lokasi Penelitian


(37)

25 Pada Kebun Tanjung Paring rata-rata fluks CO2 lebih tinggi dibandingkan Kebun Sulin-2, sedangkan ketebalan gambut sangat dalam yaitu > 330 cm. Hal ini diduga karena Kebun Tanjung Paring memiliki kedalaman muka air yang paling tinggi di dekat saluran drainase dibandingkan keempat kebun yang lain, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai fluks CO2 yang tertinggi juga diperoleh pada lokasi piringan, sehingga dimungkinkan peran aktivitas dari perakaran dan mikroorganisme yang mempengaruhi nilai fluks CO2 pada kebun ini menjadi lebih tinggi.


(38)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Fluks CO2 yang dihasilkan pada lahan gambut dari beberapa kebun menunjukkan hasil yang bervariasi. Berdasarkan lokasinya pada tanaman nilai fluks CO2 di Kebun Sulin-1 dan Tanjung Paring, fluks CO2 di dalam piringan lebih tinggi dibandingkan di luar piringan yaitu masing-masing 626,49 mg/m2/jam dan 1046,34 mg/m2/jam. Namun di Kebun Sulin-2, Nahiyang-1 dan Nahiyang-2, fluks CO2 di luar piringan lebih besar dibandingkan di dalam piringan yaitu masing-masing 765,90 mg/m2/jam, 782,16 mg/m2/jam, dan 547,13 mg/m2/jam. Berdasarkan kedalaman muka air tanah, nilai fluks CO2 terbesar yaitu 1334,00 mg/m2/jam berada di Kebun Tanjung Paring pada kedalaman 30 cm, sedangkan yang terendah yaitu 280,08 mg/m2/jam, berada di Kebun Nahiyang-2 pada kedalaman 45 cm. Berdasarkan tingkat dekomposisi dan ketebalan gambut, rata-rata fluks CO2 tertinggi terdapat di Kebun Tanjung Paring dengan tingkat dekomposisi saprik dan ketebalan > 330 cm.

Berdasarkan uji korelasi, kedalaman muka air tanah pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit yang diukur pada musim hujan tidak memberikan pengaruh yang jelas terhadap nilai fluks CO2 yang dihasilkan. Fluks CO2 pada lahan gambut dapat dipengaruhi oleh karakteristik inhern tanah gambut serta faktor biotik maupun abiotik yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain.

5.2 Saran

Perlu dilakukan pengukuran fluks CO2 dalam jangka waktu yang panjang (termasuk musim kemarau) dan pada area yang lebih luas agar data yang diperoleh lebih dapat mewakili nilai fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia.

Andriesse J. P. 2003. Ekologi dan Pengelolaaan Tanah Gambut Tropika. Cahyo Wibowo dan Istomo [penerjemah]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Bappenas. 2004. Sumberdaya alam dan lingkungan hidup Indonesia. Antara Krisis dan Peluang. Jakarta.

Barchia, Muhammad Faiz. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Chimner, R. A. 2004. Soil respiration rate of tropical peatlands in Micronesia and Hawaii. WETLANDS, Vol. 24, No. 1, March 2004, pp. 51–56.

Handayani, E. P. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. [Disertasi]. Bogor; Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kabupaten Seruyan. 2011. http://www.seruyankab.go.id/main/index.php?option =com_content&task=view&id=22. [3 Agustus 2011]

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.

Melling, L., R. Hatano, and K. J. Goh. 2005. Soil CO2 flux from three ecosystems in tropic peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus57 B, 1-11.

Murdiyarso, D., U. Rosalina., K. Hairiah., L. Muslihat., I.N.N. Suryadiputra, dan A. Jaya. 2004. Petunjuk Lapang. Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Wetland International-Indonesia Programme.

Najiyati S, Muslihat L, Suryadiputra INN. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands International- Indonesia Programme.

Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.


(40)

28 Radjagukguk, B. 1997. Pertanian berkelanjutan di lahan gambut berwawasan lingkungan. Dalam Alami vol. 2. No. 1, pp, 17-20. Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan. BPP Teknologi. Jakarta.

Rinnan R, Silvola J, Martikainen PJ. 2003. Carbon dioxide and methane fluxes in boreal peatland microcosms with different vegetation cover-effects of ozone or ultraviolet-B exposure. Occologia. 137:475-483.

Sabiham, S. 2006. Pengelolaan lahan gambut Indonesia berbasis keunikan ekosistem. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Sarwani, M dan Adhi WIPG. 1994. Penyusutan lahan gambut dan dampaknya terhadap produktivitas lahan pertanian di sekitar Kasus Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional 25 Tahun Pemanfaatan Lahan Gambut dan Pengawasan Kawasan Pasang Surut. Jakarta, 14-15 Desember 1994.

Sumangat, Rusdi M. 1979. Pengaturan tata air mikro dan masalah penyediaan tenaga kerja dalam hubungannya dengan usaha intensifikasi tanah dua kali setahun di persawahan pasang surut. Proceeding Simposium Nasional III Pengembangan Pasang Surut di Indonesia. Buku III. IPB.

Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Edisi Kedua. Pusat Penenlitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Watanabe, A. Benito H. Purwanto, Ho Ando, Ken-ichi Kakuda, Foh-Shoon Jong. 2009. Methane and CO2 fluxes from an Indonesian peatland used for sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation: Effects of fertilizer and groundwater level management. Agriculture, Ecosystems and Environment 134 (2009)14-18.


(41)

(42)

30 Lampiran 1. Data Sifat Kimia dari Contoh Tanah Gambut pada Setiap

Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit

Lokasi Sender

Batas

Horison Nilai pH (1:5) Bahan Organik HCl 25 %

Kadar Abu Top-sub

soil (cm) H2O KCl

Walkley &

Black Kjeldahl C/

N P2O5 K2O

C N

% mg/100g %

Sulin UG-9

0-40 3,5 2,8 50,71 1,09 47 17 10

0,5

40-70 3,6 2,7 50,50 0,89 57 4 9

70-160 3,3 2,8 47,84 0,83 58 4 16

160-200 4,1 3,6 4,10 0,31 13 2 2

Sulin SK-1

0-28 4,0 3,7 55,89 1,14 49 6 29

3,51

28-75 4,2 3,8 43,60 0,78 56 7 6

75-135 4,1 3,7 40,67 1,15 35 16 6

>135 4,1 3,8 38,05 0,88 43 7 6

Nahiyang Hi-3 0-70 3,6 3,1 50,62 1,42 36 8 9 0,62

70-100 43,33 0,89 49 4 25

Nahiyang Hi-2

0-18 3,9 3,4 60,27 1,59 38 44 15 1,26

18-33 3,8 3,4 56,16 1,06 53 10 7

1,67

33-74 3,7 3,4 49,98 1,36 37 18 14

74-263 4,1 3,7 46,02 1,46 32 4 13

263-294 4,0 3,7 37,34 0,76 49 1 6

>294 3,8 3,4 3,38 0,30 11 1 6

Tanjung Paring

UG-14

0-30 3,7 2,8 56,55 1,04 54 15 6

1,44

30-90 3,6 3,0 53,79 1,00 54 2 4

90-330 3,4 3,1 41,40 0,77 54 7 28


(43)

31 Lampiran 2. Data Sifat Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di

Perkebunan Kelapa Sawit

No Kebun No

Observasi Blok Taksonomi Tanah

Tingkat Dekomposisi Soil Minerals

Content

Ketebalan Gambut

(cm)

Kedalaman Muka Air

Tanah Lapisan Atas Lapisan Bawah

1 Sulin

UG 01 H-59 Typic Haplosaprists Sapric Sapric - 255 35 UG 02 H-59 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 210 45 UG 03 H-59 Typic Haplohemist Sapric Hemic - 140 43 UG 04 H-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 390 30 UG 05 H-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 400 35 UG 05 G-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 400 35 Kesimpulan Hydric Haplohemist Sapric Hemic 140-400 30-45

2 Sulin

UG 07 J-60 Typic Haplohemist Sapric Hemic - 480 10 UG 08 J-60 Fluvaquentic Haplosaprists Sapric Sapric Minor 470 20 UG 07 J-60 Sapric Haplohemists Sapric/Pc Hemic Medium 205 70 UG 07 J-60 Sapric Haplohemists Sapric Hemic 195 40 UG 07 J-60 Fluvaquentic Haplosaprists Sapric/Pc Sapric Medium 170 30 Kesimpulan Haplohemists Sapric Sapric Medium 100-200 30-70

3 Tanjung Paring

HH-1 S-37 Typic Haplosaprists Sapric Sapric - >500 45 HH-2 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 600 30 HH-2 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 400 20 HH-3 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - >600 38 HH-4 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 300 64 Kesimpulan Sapric Haplohemists Sapric Hemic >300 20-64


(44)

32 Lampiran 3. Hasil Perhitungan Fluks CO2 pada Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit

Kebun Ulangan

Tanggal pengambilan

sampel gas

Waktu pengambilan

sampel gas

Tanggal pengukuran

sampel gas

Waktu pengukuran

sampel gas

Ketebalan gambut

(cm)

Jarak (m)

Rata-rata suhu (oC) Fluks CO2

(mg/m2/jam)

Piringan Luar

piringan Piringan

Luar Piringan

Sulin I 30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 21.30 230 10 26,5 26,6 638,15 513,95

30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 22.00 75 24,8 26,2 431,44 608,39

30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 22.30 150 24,7 27,1 319,49 862,79

II 30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 23.00 10 24,5 25,6 637,02 957,94

30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 23.30 75 23,8 23,8 501,15 304,62

30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 24.00 150 24,8 26,1 1071,17 307,35

III 30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 00.30 10 24,0 26,0 419,37 600,45

30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 01.00 75 23,2 23,3 817,91 531,39

30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 01.30 150 23,1 24,0 802,67 399,49

Sulin I 31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 11.00 70 10 29,6 29,6 947,17 337,40

31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 11.30 75 29,4 32,8 697,84 543,10

31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 12.00 150 28,2 33,3 544,05 923,68

II 31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 12.30 10 31,9 29,6 312,21 535,45

31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 13.30 75 28,2 35,3 923,16 1087,45

31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 14.00 150 28,5 37,4 869,74 1168,32

Nahiyang I 1-Feb-11 9.13 1-Feb-11 14.00 330 10 30,8 31,4 538,80 783,42

1-Feb-11 9.13 1-Feb-11 14.30 75 29,0 31,0 241,81 843,44


(45)

33 Lampiran 3. (Lanjutan)

Kebun Ulangan

Tanggal pengambilan

sampel gas

Waktu pengambilan

sampel gas

Tanggal pengukuran

sampel gas

Waktu pengukuran

sampel gas

Ketebalan gambut

(cm)

Jarak (m)

Rata-rata suhu (oC) Fluks CO2 (mg/m2/jam)

Piringan Luar

piringan Piringan

Luar Piringan

Nahiyang II 1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 15.30 10 33,4 31,4 422,68 695,90

1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 16.00 75 31,4 31,9 212,09 682,97

1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 16.30 150 34,3 36,3 941,32 868,74

III 1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 17.00 10 36,6 36,8 394,55 825,10

1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 17.30 75 36,1 32,8 732,58 616,88

1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 18.00 150 38,1 37,1 563,69 992,74

Nahiyang I 31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 15.30 270 10 28,0 32,3 676,32 642,49

31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 16.00 75 31,3 33,1 347,68 239,46

31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 16.30 150 29,3 33,7 468,59 1275,72

II 31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 17.00 10 29,6 32,4 949,38 267,68

31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 17.30 75 31,4 31,1 756,36 204,35

31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 18.00 150 31,6 32,1 376,12 385,01

III 31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 18.30 10 29,1 31,4 499,11 803,46

31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 19.00 75 30,6 32,8 259,20 396,44

31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 19.30 150 31,1 33,8 368,19 709,58

Tanjung

Paring I 1-Feb-11 15.52 1-Feb-11 19.30 350 10 28,0 28,0 1258,89 516,40

1-Feb-11 15.52 1-Feb-11 20.00 75 27,0 28,9 546,14 997,68


(46)

34 Lampiran 4. Gambar Hubungan Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks

CO2 pada Lahan Gambut di Setiap Lokasi Penelitian a. Kebun Sulin 1

b. Kebun Sulin 2

c. Kebun Nahiyang 1 0 100 200 300 400 500 600 700 800

0 10 20 30 40

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Sulin 1 Piringan Luar piringan 0 200 400 600 800 1000 1200

34 35 36 37 38 39

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Sulin 2 Piringan Luar piringan 0 200 400 600 800 1000

0 20 40 60

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Nahiyang 1

Piringan Luar piringan


(47)

35 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 20 40 60 80

F luks C O2 (m g/m 2/j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Tanjung Paring

Piringan Luar piringan d. Kebun Nahiyang 2

e. Kebun Tanjung Paring 0 200 400 600 800 1000

44 46 48 50 52

F luks C O2 (m g/m 2/j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Nahiyang 2

Piringan Luar piringan


(48)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ciri utama berupa kandungan bahan organik yang tinggi yang berasal dari sisa-sisa jaringan tanaman. Menurut Radjagukguk (1997) gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik yang terdekomposisi secara anaerob di mana laju penambahan bahan organik lebih cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan yang demikian terjadi pada tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat lambat. Hal tersebut akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik, sehingga bahan organik menjadi terakumulasi. Biomassa tanaman menyimpan CO2 dari udara melalui proses fotosintesis mengakibatkan tanah gambut menjadi salah satu carbon sink yang memiliki peran penting dalam mempengaruhi status karbon di bumi dan atmosfer. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007 dalam Agus dan Subiksa, 2008)

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua (BB Litbang SDLP, 2008 dalam Agus dan Subiksa, 2008). Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya mengakibatkan meningkatnya luas lahan yang digunakan untuk berbagai kegiatan, termasuk lahan gambut. Saat ini lahan gambut banyak digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Peningkatan jumlah luas lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berkembang seiring dengan keinginan perusahaan baik swasta maupun milik pemerintah untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit. Selain itu adanya fakta keberhasilan dalam penggunaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit juga mempengaruhi pengembangan sektor agribisnis kelapa sawit di lahan gambut.

Pengelolaan kebun kelapa sawit memerlukan lahan yang cukup air namun tidak tergenang, sedangkan tanah gambut merupakan tanah yang memiliki kadar


(49)

2 air yang sangat tinggi. Gambut yang masih mentah (gambut fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500%-1000% bobot (Noor, 2001). Faktor utama yang menyebabkan kadar air gambut tersebut tinggi dikarenakan adanya pengaruh bentuk cekungan dari tanah mineral di bawahnya yang menyebabkan air di dalam lahan tersebut tidak bisa keluar. Hal tersebut menyebabkan drainase lahan gambut menjadi faktor utama yang diperhatikan dalam pengelolaannya untuk perkebunan kelapa sawit. Drainase yang dilakukan pada lahan gambut akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik pada lahan tersebut, yang akhirnya akan melepaskan gas CO2 ke atmosfer.

Emisi gas CO2 beberapa tahun terakhir menjadi topik utama beberapa peneliti, termasuk emisi yang dihasilkan oleh lahan gambut. Dalam keadaan hutan alami lahan gambut merupakan penyerap (sink) CO2. Dengan demikian, hutan gambut alami tumbuh secara perlahan dan kandungan karbonnya bertambah tinggi. Namun apabila hutan gambut diganggu, maka lahan gambut berubah fungsi dari penyerap menjadi sumber emisi CO2 yang merupakan gas rumah kaca terpenting. Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan mempengaruhi fluks CO2, yakni besarnya aliran konsentrasi CO2 yang keluar dari suatu luasan lahan tertentu pada periode tertentu, biasanya dinyatakan dalam mg/m2/jam. Fluks yang dihasilkan dari pengukuran dapat dikonversikan menjadi emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Besarnya peningkatan emisi CO2 dari lahan gambut dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya proses perubahan fungsi lahan gambut menjadi perkebunan. Mengingat pentingnya proses drainase dalam pengelolaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, dan juga CO2 yang perlu diperhatikan pengaruhnya pada lingkungan, maka diperlukan penelitian mengenai fluks CO2 yang dihasilkan serta pengaruh kedalaman muka air dalam sistem drainase pada kebun kelapa sawit di atas lahan gambut.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan gambut di perkebunan kelapa sawit.


(1)

31

Lampiran 2. Data Sifat Tanah Gambut pada Setiap Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit

No Kebun No

Observasi Blok Taksonomi Tanah

Tingkat Dekomposisi Soil Minerals

Content

Ketebalan Gambut

(cm)

Kedalaman Muka Air

Tanah Lapisan Atas Lapisan Bawah

1 Sulin

UG 01 H-59 Typic Haplosaprists Sapric Sapric - 255 35 UG 02 H-59 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 210 45 UG 03 H-59 Typic Haplohemist Sapric Hemic - 140 43 UG 04 H-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 390 30 UG 05 H-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 400 35 UG 05 G-59 Hydric Haplohemist Sapric Hemic - 400 35 Kesimpulan Hydric Haplohemist Sapric Hemic 140-400 30-45

2 Sulin

UG 07 J-60 Typic Haplohemist Sapric Hemic - 480 10 UG 08 J-60 Fluvaquentic Haplosaprists Sapric Sapric Minor 470 20 UG 07 J-60 Sapric Haplohemists Sapric/Pc Hemic Medium 205 70 UG 07 J-60 Sapric Haplohemists Sapric Hemic 195 40 UG 07 J-60 Fluvaquentic Haplosaprists Sapric/Pc Sapric Medium 170 30 Kesimpulan Haplohemists Sapric Sapric Medium 100-200 30-70

3 Tanjung Paring

HH-1 S-37 Typic Haplosaprists Sapric Sapric - >500 45 HH-2 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 600 30 HH-2 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 400 20 HH-3 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - >600 38 HH-4 S-37 Sapric Haplohemists Sapric Hemic - 300 64 Kesimpulan Sapric Haplohemists Sapric Hemic >300 20-64


(2)

32

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Fluks CO2 pada Lokasi Penelitian di Perkebunan Kelapa Sawit

Kebun Ulangan

Tanggal pengambilan

sampel gas

Waktu pengambilan

sampel gas

Tanggal pengukuran

sampel gas

Waktu pengukuran

sampel gas

Ketebalan gambut

(cm)

Jarak (m)

Rata-rata suhu (oC) Fluks CO2 (mg/m2/jam) Piringan Luar

piringan Piringan

Luar Piringan Sulin I 30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 21.30 230 10 26,5 26,6 638,15 513,95

30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 22.00 75 24,8 26,2 431,44 608,39

30-Jan-11 14.43 30-Jan-11 22.30 150 24,7 27,1 319,49 862,79

II 30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 23.00 10 24,5 25,6 637,02 957,94

30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 23.30 75 23,8 23,8 501,15 304,62

30-Jan-11 15.33 30-Jan-11 24.00 150 24,8 26,1 1071,17 307,35

III 30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 00.30 10 24,0 26,0 419,37 600,45

30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 01.00 75 23,2 23,3 817,91 531,39

30-Jan-11 16.21 30-Jan-11 01.30 150 23,1 24,0 802,67 399,49

Sulin I 31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 11.00 70 10 29,6 29,6 947,17 337,40

31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 11.30 75 29,4 32,8 697,84 543,10

31-Jan-11 8.36 31-Jan-11 12.00 150 28,2 33,3 544,05 923,68

II 31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 12.30 10 31,9 29,6 312,21 535,45

31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 13.30 75 28,2 35,3 923,16 1087,45

31-Jan-11 9.23 31-Jan-11 14.00 150 28,5 37,4 869,74 1168,32

Nahiyang I 1-Feb-11 9.13 1-Feb-11 14.00 330 10 30,8 31,4 538,80 783,42

1-Feb-11 9.13 1-Feb-11 14.30 75 29,0 31,0 241,81 843,44


(3)

33

Lampiran 3. (Lanjutan)

Kebun Ulangan

Tanggal pengambilan

sampel gas

Waktu pengambilan

sampel gas

Tanggal pengukuran

sampel gas

Waktu pengukuran

sampel gas

Ketebalan gambut

(cm)

Jarak (m)

Rata-rata suhu (oC) Fluks CO2 (mg/m2/jam) Piringan Luar

piringan Piringan

Luar Piringan Nahiyang II 1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 15.30 10 33,4 31,4 422,68 695,90

1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 16.00 75 31,4 31,9 212,09 682,97

1-Feb-11 10.00 1-Feb-11 16.30 150 34,3 36,3 941,32 868,74

III 1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 17.00 10 36,6 36,8 394,55 825,10

1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 17.30 75 36,1 32,8 732,58 616,88

1-Feb-11 10.44 1-Feb-11 18.00 150 38,1 37,1 563,69 992,74

Nahiyang I 31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 15.30 270 10 28,0 32,3 676,32 642,49

31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 16.00 75 31,3 33,1 347,68 239,46

31-Jan-11 11.20 31-Jan-11 16.30 150 29,3 33,7 468,59 1275,72

II 31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 17.00 10 29,6 32,4 949,38 267,68

31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 17.30 75 31,4 31,1 756,36 204,35

31-Jan-11 12.18 31-Jan-11 18.00 150 31,6 32,1 376,12 385,01

III 31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 18.30 10 29,1 31,4 499,11 803,46

31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 19.00 75 30,6 32,8 259,20 396,44

31-Jan-11 13.26 31-Jan-11 19.30 150 31,1 33,8 368,19 709,58

Tanjung

Paring I 1-Feb-11 15.52 1-Feb-11 19.30 350 10 28,0 28,0 1258,89 516,40

1-Feb-11 15.52 1-Feb-11 20.00 75 27,0 28,9 546,14 997,68


(4)

34

Lampiran 4. Gambar Hubungan Kedalaman Muka Air Tanah dan Fluks CO2 pada Lahan Gambut di Setiap Lokasi Penelitian

a. Kebun Sulin 1

b. Kebun Sulin 2

c. Kebun Nahiyang 1

0 100 200 300 400 500 600 700 800

0 10 20 30 40

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Sulin 1 Piringan Luar piringan 0 200 400 600 800 1000 1200

34 35 36 37 38 39

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Sulin 2 Piringan Luar piringan 0 200 400 600 800 1000

0 20 40 60

F luks C O2 (m g/m 2 /j a m )

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Nahiyang 1

Piringan Luar piringan


(5)

35

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600

0 20 40 60 80

F

luks

C

O2

(m

g/m

2/j

a

m

)

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Tanjung Paring

Piringan Luar piringan d. Kebun Nahiyang 2

e. Kebun Tanjung Paring

0 200 400 600 800 1000

44 46 48 50 52

F

luks

C

O2

(m

g/m

2/j

a

m

)

Kedalaman Muka Air Tanah (cm)

Nahiyang 2

Piringan Luar piringan


(6)

SUMMARY

ETIKA AGRIANITA. CO2 Flux and Depth of Ground Water on Peatlands in

Seruyan Oil Palm Plantations, Central Kalimantan. Under Supervision of

SUPIANDI SABIHAM and SURIA D. TARIGAN.

The aim to construct the drainage channels on peatlands was to improve the lands for providing the condition of soil water content that can support plant growth. However, this effort promotes the change of the land into an oxidative condition due to decreasing ground water level that is generated. Oxidative condition accelerates the decomposition of organic materials and increases CO2 emissions from peatlands. The mechanism of CO2 release from peatlands into the atmosphere is very complex. The objective of this study was to observe the influence of ground water level on the flux of CO2 emitted from peatlands in oil palm plantations.

Flux of CO2 can be expressed as the amount of CO2 concentration that is release from a certain area in a specific period and usually expressed in mg/m2/hour. The analysis was conducted to examine the correlation between the depth of the groundwater and CO2 flux, as well as study the influence of location in which the flux was measured, peat thickness and peat decomposition degree on CO2 flux.

Flux of CO2 produced from peatlands showed varying results. Based on the location, the CO2 flux from peat under canopy in Sulin-1 and Tanjung Paring was higher than that outside canopy that were 626.49 mg/m2/hour and 1046.34 mg/m2/hour, respectively. However, based on the ground water level, the highest CO2 flux was 1334.00 mg/m2/hour in Tanjung Paring at 30 cm depth, meanwhile the lowest value was 280.08 mg/m2/hour in Nahiyang-2 at 45 cm depth. Based on the decomposition rate and the thickness of peat, the average CO2 flux was the highest in the peatland of Tanjung Paring having sapric decomposition degree with the peat thickness higher than 330 cm. In general, the effect of ground water level in peatlands at the study area was not significant on the CO2 flux during

rainy season.

Keywords: CO2 flux, Peatlands, Depth of Ground Water