17
Gambar 15. Faktor yang mempengaruhi cadangan karbon Sumber: Vasander dan Jauhianien 2008
Gambar 16. Bagan Proses Perubahan Lahan Sumber Verburg 2010
2.4 Kebijakan Pengurangan Emisi Karbon
Pada tahun 1981, deforestasi telah dilegalkan dalam peraturan perundangan yang
mencakup 30 Mha hutan konversi Murdiyarso dan Adiningsih 2007. Selanjutnya pada awal
2009, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengijinkan pengembangan perkebunan kelapa
sawit pada lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter, yang berpotensi sebagai
pemicu deforestasi dan degradasi lahan gambut Murdiyarso
et al.
2010. Sebelumnya, Departemen Pertanian Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian 2008 dalam Agus dan Subiksa
18
2008 mengarahkan bahwa, lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman
pangan disarankan pada gambut dangkal 100 cm dengan dasar pertimbangan bahwa gambut
dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan
lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Dasar pemanfaatan lahan gambut yang selama
ini hanya mengandalkan KEPPRES No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa ketebalan
gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau untuk kehutanan dan kurang dari 3 meter
dapat dijadikan kawasan produksi, tampaknya harus ditinjau kembali Limin 2006. Kegiatan
ini akan dapat menyebabkan terjadinya subsiden pada bagian gambut dalam di
kubahnya, suatu proses yang akan terus berlangusng hingga keseluruhan kubah akan
lebih rendah dari 3 meter sehingga akhirnya “layak” untuk direklamasi. Silvius dan
Suryadiputra 2005.
Lahan gambut tropis merupakan kolam karbon terestrial yang sangat penting
namun sangat rentan dan telah menjadi sumber utama emisi karbon sehingga diperlukan
perubahan kebijakan untuk melakukan langkah- langkah mitigasi Murdiyarso et al. 2010.
Perubahan cara pengelolaan atau sistem penggunaan lahan kemungkinan memerlukan
tambahan biaya atau menurunkan tingkat keuntungan finansial sehingga diperlukan
insentif di tingkat lokal untuk merubah sistem penggunaan lahan tersebut Agus dan Subiksa
2008
Selama setahun terakhir, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di
negara-negara berkembang, peran konservasi, serta pengelolaan hutan lestari dan peningkatan
cadangan karbon hutan yang dikenal sebagai REDD + telah muncul sebagai isu utama
dalam negosiasi perubahan iklim pada tingkat internasional dan masuk ke dalam media
publik.
World Bank
2011. REDD
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
adalah istilah
umum untuk
kebijakan internasional
dan mekanisme
keuangan yang akan memungkinkan pendanaan konservasi hutan dan pendirian, dan atau
pembelian dan penjualan karbon hutan berskala besar World Bank 2011; CCMP 2009 REDD
merupakan sebuah mekanisme yang diajukan untuk memperlambat perubahan iklim dengan
membayar sejumlah negara berkembang agar menghentikan kegiatan penebangan hutan
mereka. CCMP 2009. Baik REDD maupun REDD+
dimaksudkan untuk
membantu mengurangi
emisi karbon.
REDD+, sebagaimana yang telah didefinisikan di dalam
Bali Action Plan sebagai pendekatan kebijakan
dan insentif positif pada isu-isu yang berkaitan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan; dan peran konservasi,
pengelolaan hutan
berkelanjutan dan
peningkatan stok karbon hutan di negara-negara berkembang. World Bank 2011 Salah satu
hambatan utama dalam mengimplementasikan sistem REDD dalam skala nasional adalah
biaya, dan akses ke data resolusi tinggi yang dibutuhkan untuk memantau perubahan tutupan
hutan secara efektif Kanninen et al. 2009.
Pada pertemuan puncak G-20 pada bulan September 2009 di Pittsburgh, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono secara sukarela telah berkomitmen untuk mengurangi emisi
sebesar 26 dari emisi tahun 2020 berdasarkan skenario BAU business-as-usual sebagai
negara besar berkembang pertama yang melakukannya yang ditegaskan kembali dalam
COP-15 pertemuan perubahan iklim PBB pada Desember 2009 DNPI 2010. Tonggak lainnya
yang telah dicapai adalah pada 28 Mei 2010 telah diumumkan kemitraan REDD+ antara
Indonesia dan Norwegia. DNPI 2010. Pemerintah Norwegia menjamin 1 miliar dolar
amerika sebagai pemicu i pengembangan strategi REDD+ untuk mengatasi penggerak
utama hutan dan lahan hambut yang terkait dengan emisi, ii pendirian badan independen
REDD+ dan institusi pengawasan, pelaporan, dan verifikasi independen, iii serta mekanisme
keuangan Murdiyarso et al. 2010. Pada saat bersamaan, Indonesia berkomitmen untuk
menunda konsesi hutan dan lahan gambut selama 2 tahun untuk memperoleh keuntungan
dari komitmen pendanaan untuk memulai program pengurangan emisi sebesar 30 miliar
dolar amerika DNPI 2010 .
19
Emisi dari lahan gambut saat ini mencakup 38 dari total seluruh emisi CO
2
di Indonesia yaitu sebesar 772Mton CO
2
e pada tahun 2005 dan akan meningkat sebesar 20
yaitu 972 Mton CO
2
e pada tahun 2030 berdasarkan skenario BAU jika tidak ada
tindakan utama yang dilakukan. Peningkatan emisi CO
2
e pada lahan gambut tersaji pada gambar 30berikut DNPI 2010
Perubahan drastis dalam pengelolaan dan konservasi air dan darat sangat diperlukan
untuk mengurangi emisi CO
2
di lahan gambut. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi emisi
CO
2
juga harus mengurangi efek-efek negatrif lainnya dari praktek pengelolaan gambut saat
ini Hooijer et al. 2006 : a. Kabut
asap yang
disebabkan oleh
kebakaran gambut, yang mempengaruhi kesehatan publik dan ekonomi dampak
kepada sumber daya alam, wisata dan sektor perhubungan di seluruh wilayah
regional.;
b. Hilangnya produktivitas pada perkebunan di gambut dalam, yang sering kali akan
menjadi tidak bisa dikeringkan lagi dalam beberapa
dekade akibat
terjadinya subsidensi;
c. Hilangnya produksi kayu alam dalam jangka panjang akibat degradasi hutan
yang tersisa; d. Hilangnya keanekaragaman hayati;
e. Masalah banjir di daerah hilir dari lahan gambut yang dikeringkan dan terdegradasi;
f. Intrusi air laut dan terbentuknya tanah sulfat masam di daerah pesisir.
Pengelolaan drainase adalah salah satu aspek kunci dalam pengembangan kawasan
Eks-PLG. meskipun drainase di daerah gambut dan
sejumlah daerah
mineral akan
menghasilkan perubahan yang tidak dapat dikembalikan dan bertentangan dengan tujuan
rehabilitasi lahan. Rehabilitasi fungsi-fungsi hidrologis akan membutuhkan waktu lama,
mencapai
beberapa dasawarsa,
namun prosesnya sebaiknya dimulai sesegera mungkin
untuk mengurangi oksidasi gambut, memberi kesempatan untuk regenerasi hutan secara
alamiah, dan menyediakan air untuk lahan pertanian di sekelilingnya selama musim
kemarau. Di Kawasan Lindung, pendekatan ini menuntut pengembangan suatu sistem berupa
lebih dari 700 bendungan kecil tabat untuk penambatan saluran drainase. gambut Tim
Rencana Induk 2007 Gambar 17.
Gambar 17. Peta lokasi penabatan saluran indikatif dengan jarak seling
interval 1,0 meter ditandai dengan titik-titik merah dan
lokasi tambahan dengan jarak seling 0,5 meter titik-titik warna
biru. Sumber Tim Rencana Induk 2008
Rehabilitasi lahan
basah menggabungkan pemulihan fungsi hidrologi
gambut dan penanaman kembali dengan spesies asli.
Rehabilitasi lahan
gambut dengan
menambat saluran-saluran drainase relatif lebih murah dengan biaya di bawah 1 dolar Amerika
per ton pengurangan emisi CO
2
e dibandingkan dengan penanaman kembali lahan gambut yg
telah terdegradasi yaitu memerlukan biaya 500 sampai 1100 dolar Amerika per hektar atau 3
sampai 5 dolar Amerika per ton pengurangan emisi CO
2
e. Instalasi sistem pengelolaan air berupa
dam berbasis di perkebunan kayu dan tanaman perkebunan yang terletak di lahan gambut
merupakan alat yang ampuh untuk mengurangi emisi. Potensi pengurangan emisi mencapai 90
Mt CO
2
e pada tahun 2030, selain itu pengelolaan air dapat membantu mengurangi
resiko banjir di musim hujan dan mencegah risiko kekeringan di musim kemarau DNPI
2010 Persyaratan pengelolan di lahan gambut
20
sangat berbeda dengan daerah lainnya, dan memerlukan pemahaman akan sistem hidrologi,
dimana pemahaman tersebut biasanya kurang terlihat pada pengelolaan air lahan gambut saat
ini Asia Tenggara. Selain itu, terdapat pemikiran bahwa pemadaman api adalah
jawaban bagi kejadian kebakaran gambut yang berulang-ulang; hal tersebut mungkin benar
hanya dalam beberapa hal karena A kebakaran gambut nyaris tidak dapat dipadamkan apabila
sudah menyebar ke daerah yang luas dan B akar penyebab kebakaran adalah keringnya
gambut akibat drainase. Lebih jauh lagi, emisi CO
2
lahan gambut tidak hanya disebabkan oleh api tetapi juga karena dekomposisi secara
lambat. Pengembangan kapasitas pengelolaan air di wilayah gambut sangat krusial dalam
mengurangi emsisi CO
2
di wilayah tersebut Hooijer et al. 2006
III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di
Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian
Bogor, pada bulan Juni 2010 sampai Juni 2011. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi beberapa pernagkat lunak yaitu :
1. ArcGIS versi 9.3 2. ArcView versi 3.2
3. SPSS versi 17 4. Minitab 15
Bahan yang digunakan pada penelitian
ini yaitu : 1. Peta digital penutupan lahan format
shapefile tahun 2003 dan 2006 2. Data demografi Badan Pusat Statistik
wilayah Kalimantan Tengah untuk kecamatan Kahayan Kuala, Kahayan
Hilir, Pandih Batu, dan Basarang tahun 2003 sampai tahun 2008
3. Data statistik Departemen Kehutanan wilayah Provinsi Kalimantan Tengah
tahun 2008 dan 2010 Berdasarkan kriteria dari faktor-faktor
penentu perubahan lahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini peneliti
menggunakan data-data dalam bidang sosial- ekonomi serta faktor biofisik lainnya seperti
jarak ke permukiman, jarak ke sungai, jarak ke hutan, dan jarak ke lahan pertanian.
3.3 Metode Penelitian