32
4.3 Dampak Perubahan Lahan
Skenario perubahan
lahan yang
dilakukan dengan mengubah nilai-nilai pada variabel bebas. Perubahan nilai-nilai variabel
bebas yang dilakukan berdasarkan data yang telah dipublikasikan dan bukan bersifat
konservatif. Variabel bebas yang diubah nilanya untuk memproyeksikan perubahan
lahan adalah kedalaman drainase, persentase kebakaran, kepadatan penduduk, dan persentase
hutan yang diijinkan untuk menjadi HTI hutan tanaman industri.
Dalam memproyeksikan tutupan lahan untuk tahun 2020, diitikberatkan pada variabel
kedalaman drainase yang dipublikasikan oleh Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al.
2004. dan Jauhiainen et al. 2005
.
Peneliti membagi ke dalam 2 skenario perubahan lahan
yaitu skenario A dan skenario B. Skenario A adalah proyeksi perubahan lahan dengan
mempertahankan kondisi lahan yang tetap didrainase sedangkan skenario B adalah
proyeksi lahan dengan tidak diakukan sistem drainase dengan asumsi telah dibuat tambat-
tambat
pada saluran
drainase sehingga
meningkatkan tinggi
muka air
untuk mengurangi emisi CO
2
seperti yang dilakukan oleh Jauhiainen et al. 2008. Kedua skenario
proyeksi lahan tersebut diterapkan untuk jenis tutupan lahan hutan rawa primer dan hutan
rawa sekunder yang mendominasi seluruh daerah kajian.
Memang berdasarkan definisi IPCC 2006 hutan primer merupakan hutan alami
yang tidak terpengaruh kegiatan manusia atau hutan yang tidak terganggu, tetapi berdasarkan
Hooijer et al. 2006 dan Wong 2003 dalam Verwer Caspar 2008 menyatakan bahwa
hutan rawa primer atau hutan alami pada lahan gambut telah terpengaruh oleh drainase yang
disebabkan keadaan disekitar kawasan hutan primer tersebut telah didrainase akibat kegiatan
penebangan baik legal maupun ilegal. Sehingga dalam memproyeksikan tutupan lahan, peneliti
mengkondisikan hutan rawa primer telah terpengaruh oleh drainase. Sedangkan menurut
definisi
IPCC 2006,
hutan sekunder
merupakan hutan yang sedang dalam proses deforestasi atau aforestasi pemulihan. Dalam
hal ini definisi IPCC 2006 sesuai dengan nilai emisi CO
2
berdasarkan pembagian jenis hutan sekunder oleh Jauhiaien et al. 2004 yaitu
hutan bekas tebang pilih yang terpengaruh drainase skenario A dan hutan dalam masa
pemulihan yang tidak terpengaruh drainase skenario B. Skenario dini diterapkan untuk
mengetahui potensi pengurangan emisi CO
2
antara lahan tang didrainase dan lahan yang tidak didrainase.Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa data kedalaman drainase yang digunakan berdasarkan data Jauhiainen et
al .
2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005. Untuk jenis tutupan
lahan pertanian dan rawa serta semak belukar dikondisikan tetap didrainase untuk semua
skenario dikarenakan lahan pertanian memang memerlukan drainase sedangkan untuk semak
belukar dan rawa tidak tersedia emisi CO
2
dalam keadaan tidak didrainase. Data variabel kepadatan penduduk,
diperoleh dari prediksi kepadatan penduduk yang telah dipublikasikan oleh BPS untuk
Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu 19 jiwa km
2
untuk tahun 2020. Tentu saja prediksi ini kurang akurat karena diprediksikan pada
tingkat Provinsi, sedangkan daerah kajian yang digunakan ada pada tingkat kecamatan. Hal ini
juga berlaku untuk data persentase hutan yang diijinkan untuk dijadikan HTI plywood, sawn
timber, veneer
yang tersedia pada tingkat kabupaten. Menurut data Ditjen Bina Produksi
Kehutanan BP2HP Wilayah XII Palangkaraya tahun 2008, luas wilayah yang telah diberi ijin
untuk digunakan sebagai daerah industri kayu hasil hutan primer IKHHP yang diberikan ijin
untuk dijadikan HTI, pada tahun 2004 sebesar 30.020 ha untuk kabupaten Pulang Pisau dan
64.150 ha untuk kabupaten Kapuas. Sehingga persentase luas wilayah yang dijadikan daerah
industri kayu sebesar 3,34 untuk Kabupaten Pulang Pisau dan 4,28 untuk Kabupaten
Kapuas. Kondisi ini meningkat hampir menjadi dua kali lipat karena pada rentang tahun 2005
sampai tahun 2007, pemerintah derah masing- masing kabupaten memberikan perluasan ijin
yaitu seluas 126.330 ha untuk Kabupaten Kapuas dan 75.000 ha untuk kabupaten Pulang
Pisau. Nilai persentase tersebut yang digunakan dalam penelitian ini untuk diproyeksikan.
Kemudian untuk variabel kebakaran, peneliti menggunakan data persentase luas kebakaran
yang dipublikasikan oleh Hascilo et al. 2008 yaitu sebesar 14.3 pada tahun 2004 dan
12.3 pada tahun 2006 dengan frekuensi kebakaran yang sering terjadi pada vegetasi non
hutan Gambar 3.
33
Tabel 8. Skenario Perubahan Lahan Variabel Bebas
Faktor Perubahan Lahan Tahun
2020 Skenario
A B
Drainase cm - Hutan Rawa Primer
-40 - Hutan Rawa Sekunder
-21 - Semak Belukar dan Rawa yang mengalami kebakaran
-10 -10
- Lahan Pertanian sawah, perkebunan, dan pertanian lahan kering
-29 -29
Kepadatan Penduduk jiwakm2 19
Persentase lahan hutan untuk industri kayu - Kabupaten Pulang Pisau
7.16 - Kabupaten Kapuas
7.4 Kebakaran
12.4 Dalam regresi logistik, pengaruh dari
setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas dapat dijelaskan dari nilai odds ratio.
Dari hasil keluaran SPSS 15, odds ratio merupakan nilai eksponensial dari masing-
masing koefisien regresi. Dalam ruang lingkup perubahan lahan, nilai odds ratio dapat
diartikan sebagai perbandingan antara peluang suatu lahan untuk berubah dengan peluang
suatu lahan yang tidak berubah. Artinya, setiap kenaikan satu satuan dari suatu variabel bebas,
akan meningkatkan nilai peluang perubahan lahan menjadi x kali peluang perubahan lahan
yang tidak berubah dengan dianggap variabel bebas lainnya konstan. Jika persamaan regresi
logistik memiliki koefisien regresi yang positif maka peluang suatu kejadian akan meningkat
seiring dengan peningkatan nilai variabel bebas. Sebaliknya jika koefisiennya negatif,
peluang kejadiannya akan menurun untuk nilai variabel bebas yang semakin tinggi. Nilai odds
ratio
secara lengkap disajikan pada Lampiran 8. Dari 4 variabel bebas pada Tabel 8
yang diubah nilainya untuk memproyeksikan perubahan lahan, dapat diketahui pengaruh dari
masing-masing variabel tersebut berdasarkan nilai odss ratio. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya
bahwa, penekanan
proyeksi tutupan lahan adalah perlakuan drainase pada
hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder. Dari 33 persamaan regresi logistik yang
dihasilan, nilai odds ratio untuk variabel bebas kedalaman drainase relatif kecil. Sebagai
contoh, persamaan regresi logistik dari hutan rawa sekunder ke
hutan rawa primer menghasilkan nilai odds ratio untuk variabel
kedalaman drainase sebesar 0.771 sedangkan pada persamaan yang sama, variabel bebas
persentase lahan hutan untuk industri kayu, menghasilkan nilai odds ratio sebesar 3.883.
hal ini menunjukan bahwa, pengaruh perlakuan kedalaman drainase memberikan pengaruh
yang kecil untuk setiap kenaikan 1 satuan kedalaman drainase.
Pada proyeksi tahun 2020 skenario A, dihasilkan bahwa, dengan dipertahankannya
persentase areal hutan untuk HTI di bawah 5, tidak akan mengkonversi areal hutan rawa
sekunder secara signifikan tetapi pertumbuhan hutan rawa primer semakin menurun karena
tetap didrainasenya kawasan hutan. Selain itu dengan frekuensi kebakaran yang menurun dan
pertumbuhan populasi mencapai 19 jiwakm2, akan mengkonversi hampir keseluruhan rawa
dan semak belukar menjadi pertanian lahan kering. Sedangkan untuk proyeksi tahun 2020
skenario B, tampaknya pertumbuhan kepadatan populasi manusia yang mencapai 19 jiwakm2
34
mengakibatkan luasan hutan rawa sekunder berkurang
hampir mencapai
50 jika
dibandingkan data observasi tutupan lahan tahun 2006, begitu juga untuk luasan hutan
rawa primer. Pertumbuhan populasi dan berkurangnya
frekuensi kebakaran
pada skenario B tahun 2020 akan mengakibatkan
pertumbuhan areal permukiman yang signifikan dan mengakibatkan areal semak belukar dan
rawa dikonversi menjadi pertanian lahan kering. Dari dua skenario yang dijalankan
untuk memproyeksikan tutupan lahan tahun 2020. Hasil proyeksi tutupan lahan dapat dilihat
pada Gambar 24.
a
b
c
Gambar 24. Proyeksi Tutupan Lahan tahun 2020 Skenario A a. Proyeksi Tutupan Lahan tahun 2020 Skenario B b. Legenda Peta A dan B c
35
Dari hasil proyeksi untuk tahun 2020 terdapat kecenderungan bahwa jika ijin areal
hutan yang dijadikan untuk areal HTI meningkat, bertambahnya jumlah penduduk,
dan berkurangnya frekuensi kebakaran pada vegetasi non hutan, maka terjadi peningkatan
areal sawah, sementara dengan perlakuan yang sama, tetapi ijin HTI dipertahankan tetap
dibawah 5, maka kecenderungan semak belukar dan rawa dikonversi menjadi pertanian
lahan kering. Dari dua kecenderungan tersebut memang tidak bisa dijelaskan secara pasti oleh
perubahan variabel perijinan hutan untuk HTI, pertambahan penduduk, serta berkurangnya
frekuensi kebakaran, sehingga diperlukan tambahan variabel penjelas untuk penelitian
lebih lanjut. Tetapi secara garis besar dapat ditarik
kesimpulan bahwa
pertambahan kepadatan
penduduk serta
berkurangnya frekuensi kebakaran pada vegetasi non hutan
rawa dan
semak belukar,
sangat memungkinkan untuk terjadinya penambahan
lahan pertanian. 4.4 Emisi CO
2
Berdasarkan Kedalaman Drainase Untuk Berbagai Jenis Tutupan
Lahan
Perhitungan emisi pada penelitian ini didasarkan pada nilai emisi CO
2
Jauhiainen et al .
2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen
et al.
2005 dan
sebagai pembanding peneliti menggunakan nilai emisi
CO
2
berdasarkan kedalaman drainase yang digunakan Hooijer et al. 2006 Tabel 9.
Untuk perhitungan
emisi CO
2
, peneliti
menggunakan rumus dari Hooijer et al. 2010. Dalam hal ini, Hooijer et al. 2010
menggunakan emisi CO
2
sebesar 91 tonha setiap kedalaman drainase 1 meter.
Dalam penelitiannya, Hooijer et al. 2006 hanya mempublikasikan kedalaman
drainase untuk jenis lahan pertanian dan semak belukar yang terpengaruh kebakaran sedangkan
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
lebih spesifik mempublikasikan kedalaman drainase
beserta emisi CO
2
yang dihasilkan, yang cukup untuk mewakili jenis tutupan lahan pada daerah
kajian dalam penelitian ini. Sehingga dalam penelitian ini nilai kedalaman drainase dan
emisi CO
2
yang dijadikan acuan dalam skenario A dan B berdasarkan data dari Jauhiainen et al
. 2001, Jauhiainen et al. 2004. dan
Jauhiainen et al. 2005 Jika dibandingkan antara data kedalaman
drainase Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al.
2004. dan Jauhiainen et al. 2005 ketetapan
emisi berdasarkan
kedalaman drainase
dalam Hooijer et al. 2006 lebih tinggi daripada data kedalaman drainase
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
.
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa nilai emisi CO
2
yang dipublikasikan oleh Hooijer et al. 2006 merupakan hasil dari
persamaan regresi sehingga muncul nilai emisi sebesar CO
2
91 tonhatahun setiap kedalaman 1 meter, sedangkan nilai emisi CO
2
Jauhiainen et al .
2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
merupakan hasil dari perhitungan langsung di lapangan sehingga
nilai emisi CO
2
yang dihasilkan hanya spesifik pada jenis lahan tertentu dengan kedalaman
drainase tertentu. Dengan kata lain, nilai emisi CO
2
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
tidak berbanding lurus terhadap kedalaman drainase.
Perhitungan emisi CO
2
pada penelitian ini didasarkan pada rumus Hooijer et al. 2010
yang telah disebutkan sebelumnya. Tetapi pada penerapannya, emisi CO
2
yang digunakan berdasarkan Jauhiainen et al .2001,
Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
sedangkan sebagai pembanding, peneliti menggunakan nilai emisi CO
2
Hooijer et al. 2006. Jenis lahan yang dihitung emisinya
meliputi hutan rawa primer, hutan rawa sekunder serta semak belukar dan rawa yang
telah terbakar dan didrainase.
Dalam penelitian ini, drainage area luasan area yang didrainase diasumsikan
100 atau dengan kata lain untuk setiap jenis tutupan lahan yang didrainase dianggap
didrainase seluruhnya. Nilai emisi CO
2
dari lahan yang di drainase akan berbanding lurus
dengan luasan tiap jenis tutupan lahan. Semakin luas tutupan lahan akan semakin besar nilai
emisi CO
2
yang dihasilkan. Hal ini berbanding terbalik dengan
emisi CO
2
dari jumlah karbon yang hilang akibat konversi lahan, terutama hutan alami
primer yang memliki cadangan karbon yang sangat tinggi berkisar 354 tonha Murdiyarso
et al. 2002b, 210 tonha European Union
2010, 300 tonha palm et al 1999 dalam Litbang Deptan 2009, 254 tonha Hairiah et
al. 2001, dan 350 ton d.m.ha IPCC 2003
dalam IPCC 2006 Akibatnya, emisi CO
2
dari kehilangan karbon akibat konversi lahan
terutama hutan akan lebih tinggi dari emisi CO
2
dari lahan yang didrainase.
36
Tabel 9. Kedalaman Drainase Dan Emisi CO
2
Dari Beberapa Literatur
Jenis Lahan Kedalaman drainase cm
Emisi CO
2
tonhatahun Jauhiainen et al .2001,
Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
Hooijer et
al. 2010
berdasarkan kedalaman
drainase Jauhiainen et al
.
2001, Jauhiainen et al.
2004. dan
Jauhiainen et al. 2005
Hooijer et al.
2006 Hooijer et
al. 2006
rata-rata Jauhiainen et al
. 2001,
Jauhiainen et al. 2004.
dan Jauhiainen et al.
2005 didrainase
tidak didrainase
Hutan rawa primer terdrainase
- -40
52 -
36.4 -
tidak di drainase -
- 38.9
- -
Hutan rawa sekunder Bekas tebang pilih nilai
emisi diambil dari rata- rata nilai lahan bekas
tebang pilih dekat dengan pohon dan diantara
pohon -
-21 75
- 19.11
- Dalam masa pemulihan
reforestasi -
- 34
- -
Lahan pertanian sawah, perkebunan, pertanian lahan
kering -95
-29 19
- 26.39
86 Semak dan rawa yang mengalami
kebakaran -33
-10 25.5
- 9.1
15
36
37
Berdasarkan proyeksi lahan yang telah
disajikan sebelumnya, kawasan hutan akan berkurang karena peningkatan ijin HTI yang
dikeluarkan pemerintah daerah. Tentu saja hal ini mempunyai dua dampak yaitu berkurangnya
emisi CO
2
dari lahan yang didrainase dan bertambahnya emisi CO
2
dari kehilangan karbon. Oleh karena itu dalam hal ini peneliti
menekankan bahwa, besarnya pengurangan emisi CO
2
pada lahan yang didrainase hasil proyeksi, tidak mewakili emisi CO
2
secara keseluruhan dari daerah kajian mengingat
dalam penelitian ini perhitungan emisi CO
2
hanya ditekankan dari lahan gambut yang didrainase. Jika emisi CO
2
akibat dari kehilangan karbon dimasukan ke dalam
perhitungan, maka emisi CO
2
yang dihasilkan akan menjadi sangat besar.Hasil perhitungan
emisi CO
2
secara keseluruhan dan emisi CO
2
dari tiap jenis tutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 10. Dari Tabel 10 dapat terlihat variasi
nilai emisi CO
2
dari berbagai jenis tutupan lahan yang bersumber dari beberapa literatur.
Dari dua skenario yang diterapkan, yaitu skenario A lahan tetap didrainase dan
skenario B lahan tidak didrainase berdasarkan emisi total CO
2
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al.
2005 terlihat potensi pengurangan emisi CO
2
. Jika dibandingkan dengan emisi CO
2
Hooijer et al.
2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al.
2004. dan Jauhiainen et al. 2005 akan
diperoleh hasil emisi total CO
2
yang lebih rendah dari emisi CO
2
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al.
2005
.
Selain itu dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa, kecenderungan dari trend emisi CO
2
Hooijer et al. 2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et
al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
akan meningkat untuk tahun proyeksi 2010 dan
2020. Hal ini disebakan karena kedalaman drainase pada hutan rawa sekunder lebih rendah
dari drainase lahan pertanian berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al .2001,
Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005, maka berdasarkan nilai emisi CO
2
Hooijer et al. 2010, besarnya emisi CO
2
dari hutan rawa sekunder akan lebih rendah jika
dibandingkan dengan emisi CO
2
dari lahan pertanian. Perbandingan grafik emisi total CO
2
antara Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al.
2004. dan Jauhiainen et al. 2005 skenario A dan B serta emisi total CO
2
Hooijer et al. 2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et
al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005
dapat dilihat pada gambar 25.
Gambar 25. Perbandingan Hasil Perhitungan Emisi Total CO
2
Dari Beberapa Literatur 5
10 15
20 25
30 35
40
2003 2006
2020
E m
is i
CO
2
t o
n h
a ta
h u
n
tahun
Jauhiainen et al. 2001, 2004. 2005 akenario A
Jauhiainen et al. 2001, 2004. 2005 skenario B
Hooijer et al. 2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen
et al. 2001, 2004. 2005
38
Tabel 10.Hasil Perhitungan Nilai Emsisi CO
2
Dari Lahan Gambut Berdasarkan Skenario A Dan B
Data Tahun
Hasil Perhitungan Emisi total CO
2
Sumber literatur juta tontahun
skenario A Skenario B
Observasi 2003
305.512 208.919
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005 110.162
- Hooijer et al. 2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen
et al. 2005
- -
Hooijer et al. 2006 2006
352.879 210.243
Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005 113.042
- Hooijer et al. 2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al. 2001, 2004. 2005
- -
Hooijer et al. 2006 Prediksi
2020 287.957
151.447 Jauhiainen et al. 2001, 2004. 2005
176.539 -
Hooijer et al. 2010 berdasarkan kedalaman drainase Jauhiainen et al. 2001, 2004. 2005 -
- Hooijer et al. 2006
Keterangan : untuk nilai emisi CO
2
dari jenis tutupan lahan pertanian dan semak belukar serta rawa yang terpengaruh kebakaran untuk skenario A dan skenario B adalah sama karena untuk data emisi CO
2
tahun 2003 dan 2006 memakai data observasi yang luasannya sama dan nilai emisi CO
2
yang sama
38
39
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis statistik untuk uji-F uji pengaruh variabel bebas
terhadap variabel respon secara keseluruhan, dari 33 variasi perubahan lahan dari data peta
observasi tutupan lahan antara Tahun 2003 dan 2006 berdasarkan tabulasi silang pada Tabel 6,
semua variabel bebas secara siginifikan mempengaruhi variabel tak bebas pada taraf
nyata 5. Dari 33 variasi perubahan lahan yang terjadi, sebanyak 20 variasi perbahan lahan
mempunyai R
2
lebih besar dari 50, sedangkan 13 variasi perubahan lainnya menghasilkan R
2
di bawah 50. Uji kesesuain hasil prediksi menghasilkan rata-rata kesesuaian keseluruhan
lahan terhadap data observasi mencapai 72.03.
Hasil proyeksi
tahun 2020
menunjukan terjadinya peningkatan luasan lahan pertanian terutama pertanian lahan kering
untuk proyeksi tahun 2020 akibat penurunan frekuensi kebakaran dan peningkatan kepadatan
populasi. Peningkatan ijin kawasan hutan yang dijadikan HTI, secara signifikan mengurangi
luasan hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder untuk skenario A hutan didrainase
pada tahun 2020, sedangkan untuk skenario B hutan tidak di drainase untuk tahun 2020
terjadi peningkatan luasan kawan hutan rawa primer. Hasil perhitungan nilai emisi CO
2
dari dua skenario A dan B, berdasarkan kedalaman
drainase dan nilai emisi CO
2
, menunjukan bahwa terdapat potensi pengurangan emisi CO
2
jika skenario B diterapkan. Sebagai catatan bahwa skenario yang dijalankan pada penelitian
ini dapat menjadi gambaran dari banyak skenario
yang memungkinkan
terjadi berdasarkan
kebijakan yang
diambil pemerintah.
5.2 Saran