Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Terdrainase

10 Situasi semacam ini telah menyebabkan “gambut kering tidak balik” irreversible drying , sehingga pada saat musim hujan gambut menjadi terkelupas, terjadi banjir di dataran-dataran rendah dan terbentuknya genangan-genangan air di lantai hutan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kebakaran gambut dan kekurangan air, baik bagi pertumbuhan tanaman, kehidupan fauna air maupun bagi keperluan irigasi, air minum dan transportasi air karena debit sungai menjadi kecil. Badan Planologi Departemen kehutanan 2007; Ritzema dan Wosten 2002 Salah satu komponen penting dalam pengaturan tata air lahan gambut adalah bangunan pengendali berupa pintu air di setiap saluran. Pintu air berfungsi untuk mengatur muka air tanah supaya tidak terlalu dangkal dan tidak terlalu dalam Agus dan Subiksa 2008 Gambar 11. Gambar 11. Bangunan dam pada kanal Kalampangan dan kanal Taruna Eks PLG blok C. Sumber: Limin 2006

2.2 Emisi Karbon Pada Lahan Gambut Terdrainase

Dalam keadaan alami, hutan rawa gambut memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dari atmosfir selama fotosintesis, serta mempertahankan karbon dalam biomassa tanaman dan sebagian disimpan pada lahan gambut Rieley et al. 2008 karbon hilang khususnya dalam bentuk CO 2 dikarenakan oksidasi pada lahan gambut yang lebih dalam yang disebabkan turunnya permukaan tinggi muka air Rieley et al. 2008 Emisi dan penambatan karbon pada lahan gambut berlangsung secara simultan, namun besaran masing-masingnya tergantung keadaan alam dan campur tangan manusia. Dalam keadaan hutan alam yang pada umumnya jenuh air suasana anaerob, penambatan sekuestrasi karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi. Agus dan Subiksa 2008. Proses emisi pada lahan gambut tidak berhenti sesudah pembukaan hutan. Selama masa budidaya tanaman pertanian, emisi dalam jumlah tinggi tetap terjadi disebabkan dekomposisi gambut oleh mikroorganisme. Agus dan Subiksa 2008. Proses emisi diatur berdasarkan proses biofisik yang kompleks, seperti dekomposisi dan pemadatan gambut, ketersediaan nutrisi. Kadar air tanah, tinggi muka air yang keseluruhannya telah terpengaruh oleh pengelolaan air. Murdiyarso et al. 2010 Tingkat dekomposisi gambut sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase; semakin dalam drainase, semakin cepat terjadinya dekomposisi gambut. Agus dan Subiksa 2008 Di Asia Tenggara, hampir keseluruhan gambut dataran rendah berasal dari vegetasi hutan dan memiliki kandungan kayu yang tinggi, namun demikian tingkat dekomposisi berbeda antar satu lahan gambut dengan lahan gambut lainnya dan di dalam lahan gambut itu sendiri. Hooijer et al. 2006 Pada saat ini, simpanan karbon sedang mengalami pelepasan ke atmosfer melalui dua mekanisme menurut Hooijer et al. 2006: 1. Pengeringan lahan gambut yang mengarah kepada aerasi bahan gambut dan kemudian menyebabkan terjadinya oksidasi 11 disebut juga dekomposisi aerobik. Oksidasi material gambut ini yang tersusun atas 10 sisa tumbuhan dan 90 air menghasilkan emisi gas CO 2 . Bahan gambut kering ini sebagian besar adalah Karbon 50 - 60 di Asia Tenggara, tergantung kepada tipe gambutnya. 2. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut terdegradasi menghasilkan emisi CO 2 ; kebakaran sangat jarang sekali terjadi di kawasan gambut yang tidak terdegradasi atau yang tidak dikeringkan. Emisi CO 2 Permukaan gambut memberikan kontribusi signifikan terhadap total respirasi ekosistem, dan sangat dipengaruhi oleh kedalaman permukaan air. Stabilitas hidrologi, microtopografi lantai hutan dan struktur vegetasi merupakan faktor lain yang mempengaruhi dinamika CO 2 gambut di lahan gambut tidak di rainase. Sebaliknya, dinamika CO 2 di lahan gambut dikeringkan ditentukan oleh waktu dari drainase awal, tipe vegetasi, dan kedalaman drainase. Rieley et al. 2008 Hooijer et al. 2006 menjelaskan proses emisi dari lahan gambut yang di drainase sabagai berikut: permukaan air pada permukaan gambut memungkinkan akumulasi bahan organik penyerap karbon. Drainase menurunkan muka air dan mengeringkan permukaan gambut sehingga menyebabkan emisi CO 2 melalui dekomposisi oksidasi dan kebakaran sehingga menyebabkan penurunan permukaan gambut secara progresif subsiden Subsidensi Gambut dan emisi CO 2 hanya berhenti ketika gambut dalam kondisi kembali jenuh. Tanpa pembasahan gambut akan menghilang. Proses emisi gambut yang dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12 Ilustrasi Proses Emisi karbon Dari Lahan Gambut Yang di Drainase Sumber Hooijer et al. 2006 Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghitung emisi karbon yang disebabkan adanya drainase pada lahan gambut. Hooijer et al. 2006 menduga nilai emisi CO 2 dari lahan gambut yang didrainase dengan menggunakan nilai emisi CO 2 dari Henk Wosten Alterra yaitu setiap 1 meter kedalaman drainase pada lahan gambut akan mengemisikan CO 2 sebesar 91 tonhatahun. Demikian juga dengan korelasi antara kedalaman air tanah dengan laju emisi karbon, dimana semakin dalam permukaan air tanah akan semakin tinggi laju emisi karbon. Hubungan antara kedalaman drainase dan kedalaman air tanah dengan laju emisi CO 2 dapat dilihat pada Gambar 13. 12 Gambar 13. Hubungan antara kedalaman drainase dengan emisi karbon. Sumber: Hooijer et al. 2006 Untuk mengestimasi kedalaman drainase di Asia Tenggara pada berbagai jenis vegetasi, Hooijer et al. 2006 mengumpulkan dari beberapa literature yang telah dipublikasikan sebelumnya untuk rentang kedalaman drainase 0.5 meter sampai 1 meter walaupun sebenarnya banyak ditemui daerah dengan kedalaman drainase jauh di atas 3 meter seperti pada perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman Acacia dan juga di lahan- lahan tidur misalnya di kawasan ex. PLG Kalimantan Tengah Tabel 3. Tabel 3. Nilai Kedalaman Drainase dan Emisi CO 2 Untuk vegetasi Semak belukar dan Sawah Land Use Unit minimum likely maximum Step A: Drained area Lahan pertanian besar termasuk perkebunan Large croplands, including plantations 100 100 100 Lahan pertanian tercampur mixed cropland semak shrubland:pertanian berskala kecil small-scale agriculture 75 88 100 Semak shrubland; baru saja dibersihkan recently cleared area terbakar burnt areas 25 50 75 Step B: Drainage depth Lahan pertanian besar termasuk perkebunan Large croplands, including plantations meter 0.8 0.95 1.1 Lahan pertanian tercampur mixed cropland semak shrubland:pertanian berskala kecil small-scale agriculture meter 0.4 0.6 0.8 13 Semak shrubland; baru saja dibersihkan recently cleared area terbakar burnt areas meter 0.25 0.33 0.4 Step C: A relation of 0.91 thay CO 2 emission per cm drainage depth in peatland was used in calculation Step D: CO 2 emissions Lahan pertanian besar termasuk perkebunan Large croplands, including plantations tonhatahun 73 86 100 Lahan pertanian tercampur mixed cropland semak shrubland:pertanian berskala kecil small-scale agriculture tonhatahun 27 48 73 Semak shrubland; baru saja dibersihkan recently cleared area terbakar burnt areas tonhatahun 6 15 27 Sumber : Hooijer et al. 2006 Untuk vegetasi hutan tidak dimasukan oleh Hooijer et al. 2006 ke dalam perhitungan emisi CO 2 dari lahan gambut yang terdrainase, meskipun sebenarnya telah diketahui bahwa banyak hutan telah dipengaruhi oleh pengeringan: oleh perkebunan dan pertanian disekitarnya, jalan, saluran-saluran yang dibangun untuk mengeluarkan kayu ilegal dan kebakaran hutan yang menciptakan cekungan yang turut andil dalam mengeringkan sistem hidrologi lahan gambut hutan Sebagai acuan perhitungan emisi CO 2 dari lahan gambut yang dikeringkan, peneliti menggunakan data emisi CO 2 dari berbagai vegetasi dengan variasi kedalaman drainase yang berbeda yang dipublikasikan oleh Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005 Tabel 4. Tabel 4. Nilai Kedalaman Drainase dan Emisi CO 2 Untuk Berbagai Jenis Vegetasi Lahan Kedalaman Drainase cm Emisi CO 2 tonhatahun Lokasi Referensi 1. Hutan rawa gambut peat swamp forest 17 35 Daerah Aliran Sungai Sebangau Sebangau river catchment , Kalimantan Indonesia Jauhiainen et al. 2005 2. Tebang pilih selectively logged dekat pohon near tree 21 76 Daerah Aliran Sungai Sebangau Sebangau river catchment , Kalimantan Indonesia Jauhiainen et al. 2004 3. area yang dibersihkan dan terbakar cleared burned area permukaan tinggihigh surface 19 23 Kalimantan, Indonesia Jauhiainen et al. 2004 4. area yang dibersihkan dan terbakar cleared burned area depresi depression 1 28 Kalimantan, Indonesia Jauhiainen et al. 2004 5. Lahan pertanian farm field 29 19 Kalimantan, Indonesia Jauhiainen et al. 2004 6. Hutan rawa gambut 38,9 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 14 Data emisi CO 2 yang dipublikasikan oleh Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005mencakup lahan gambut kalimantan Tengah yang mengalami berbagai gangguan seperti drainase, kebakaran, dan penebangan hutan sementara dalam Jauhiainen et al. 2004 juga disertakan nilai emisi CO 2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah yang tidak dikeringkan dan dalam proses penanaman kembali. Dalam penghitungan emisi CO 2 dari lahan gambut yang didrainase, Jauhiainen et al .2001, Jauhiainen et al. 2004. dan Jauhiainen et al. 2005 menggunakan bilik penjerap gas CO 2 yaitu EGM-4 infra red gas analyzer Jauhiaienen et al. 2008 pada Gambar 14. Gambar 14. Alat Pengukur Emisi CO 2 EGM- 4 infra red gas analyzer Sumber: Jauhianen et al 2008 tidak terdrainase Undrained peat swamp forest 2004 7. Hutan rawa gambut yang dipengaruhi pengeringan Drained affected peat swamp fores 40,0 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2004 8. Hutan rawa gambut yang sedang mengalami proses pemulihan setelah ditebang habis Clear felled recovering peat swamp forest 34,0 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2004 9. Lahan pertanian tidak diolah dan terdrainase Drained uncultivated agricultural land 19,28 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2004 10. Gambut terdrainase dan cekungan gambut Drained peat and Hollow 17 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2001 11. Gambut terdrainase Drained peat 50 26 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2001 12. Gundukan gambut Hummock 50 43 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2001 13. Cekungan gambut Hollow 40 52 Kalimantan Tengah Jauhiainen et al. 2001 15 Sebagai gambaran bahwa emisi CO 2 dari kehilangan karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan akan lebih besar. Kandungan karbon adalah 50 dari biomassa tanaman Murdiyarso dan Adinigsih 2007 Murdiyarso et al. 2002b melakukan penelitian pada 10 tipe lahan di pulau Sumatera dan untuk berbagai tipe vegetasi yang memiliki rentang kepadatan biomassa dari 39 tonhektar sampai 254 tonhektar. Untuk tipe vegetasi dengan kepadatan karbon yang paling tinggi mewakili tipe vegetasi hutan alami yang belum tergangggu oleh kegiatan manusia sementara nilai kepadatan karbon yang kecil mewakili tipe vegetasi tanaman pertanian maupun semak belukar. Untuk mengubah ke dalam bentuk CO 2 , nilai kepadatan karbon tersebut akan dikalikan dengan faktor konversi yang merupakan perbandingan berat molekul antara CO 2 dengan C yaitu 3.7 Murdiyarso dan Adiningsih 2007 atau 3.67 World Bank 2011 Berbagai faktor seperti kadar air tanah, pemupukan, dan suhu tanah, sangat mempengaruhi jumlah emisi selain kedalaman muka air tanah gambut Agus dan Subiksa 2008 Kecepatan subsiden tergantung pada banyak faktor, antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, kedalaman drainase, iklim, serta penggunaan lahan Stewart 1991; Salmah et al. 1994; Wösten et al. 1997 dalam Agus dan Subiksa 2008.

2.3 Perubahan Penggunaan Lahan