II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Mi Instan
Mi dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok, yaitu mi basah boiled noodle, mi kering steam and fried noodle, mi mentah raw chinese
noodle serta mi instan instant noodle. Mi instan tersedia dalam kemasan polictilen dan kemasan polysteren yang lebih dikenal sebagai Styrofoam
bentuk cangkir maupun mangkok. Makanan mi instan didefinisikan sebagai produk makanan yang
terbuat dari tepung terigu yang ditambah dengan bumbu-bumbu pembentuk citarasa flavouring. Dalam penyajiannya, mi instan biasa dimakan mentah
ataupun dimasak terlebih dahulu CIC, 2002. Sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia SNI No. 01-3551-2000 yang dikeluarkan oleh Pusat
Standarisasi Departemen Industri Indonesia, mi instan adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu berbentuk khas mi dan siap
dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama empat menit.
Kelompok mi instan dapat dibagi menjadi mi yang telah diperkaya atau dicampur dengan bumbu penyedap yang terpisah kemasannya dan mi
dalam kemasan styrofoam yang dilengkapi dengan bumbu, sayuran, udang atau daging kering yang terpisah. Dengan semakin berkembangnya
teknologi, maka pembuatan mi tidak lagi terbatas hanya dari bahan baku utama tepung terigu saja. Pada saat ini, mi dapat dibuat dari tepung beras
yang disebut bihun, dari pati kacang hijau yang disebut so’un, serta yang
terbuat dari tepung terigu dan beras disebut shomein. Mi instan terdiri dari tiga bahan utama, yaitu tepung terigu, minyak
sayur dan bumbu penyedap seasoning. Secara garis besar, proses produksi mi instan terdiri dari lima tahapan, yaitu pembuatan adonan, penguntaian,
pengukusan, pemotongan dan penggorengan. Untuk menjaga standar mutu mi instan yang diperdagangkan, ditetapkan syarat minimal mutu mi instan
yang harus dipenuhi oleh setiap produsen. Standar yang dibuat tersebut selain untuk melindungi konsumen dari segi kesehatan dan keselamatan,
juga dimaksudkan untuk melindungi produsen, mendukung perkembangan industri dan menunjang ekspor non migas.
Selain syarat mutu, produsen juga harus memenuhi syarat penandaan label dan syarat pengemasan. Dimana mi instan harus dikemas dalam wadah
tertutup rapat, tidak mempengaruhi atau dipengaruhi isi, aman selama penyimpanan dan pengangkutan. Syarat mutu mi instan dapat dilihat pada
Tabel 3. Tabel 3. Syarat mutu mi instan
No. Uraian Satuan
Persyaratan 1
Keadaan rasa, bau dan warna - Normal
2 Benda-benda asing
- Tidak boleh ada
3 Uji kematangan
Menit Maksimal 4
4 Air
Persen Maksimal 8
5 Protein
persen Minimal 8
6 Derajat keasaman
ml N NaOH 100 gr contoh
Maksimal 3 7
Bahan tambahan makanan Sesuai SNI 0222-
M dan peraturan Menkes
No. 722.1998
8 Cemaran logam
Timbale Pb Tembaga Cu
Raksa Hg Seng Zn
mgkg mgkg
mgkg mgkg
Maksimal 1,0 Maksimal 10,0
Maksimal 0,05 Maksimal 40,0
9 Arsen
mgkg Maksimal 1
10 Cemaran mikroba
a. Angka Lempeng Total
b. E.coli
c. Kapang
kolonigr APMgrk
kolonigr Maksimal 1,0 x
10
6
3 Maksimal 1,0 x
10
4
Sumber : CIC, 2002
2.2 Gambaran Umum Industri Mi Instan
Industri mi instan di Indonesia dimulai dengan berdirinya PT. Lima Satu Sankyu pada bulan April tahun 1968, yang merupakan perusahaan
patungan joint venture antara perusahaan domestik dengan Sankyu Shakushin Kabushiki, Jepang, yang pada akhirnya menjadi PT. Supermi
Indonesia, dengan produk mi instan merek Supermi. Dengan demikian,
keberadaan industri mi instan Indonesia diawali oleh munculnya PT. Supermi Indonesia, sebagai perintis industri mi kering di Indonesia. Supermi
telah menjadi merek umum untuk mi instan bagi masyarakat Indonesia sampai dengan akhir tahun 80-an.
Pada tahun 1970, pasar mi instan diawali dengan berdirinya PT. Sanmaru Food Manufacturing, yang memproduksi mi instan merek Indomie.
Kemudian dilanjutkan dengan pembangunan PT. Sarimi Asli Jaya pada tahun 1982 yang memproduksi mi instan dengan merek Sarimi. Selanjutnya
industri ini mengalami perkembangan yang pesat dengan didirikannya PT. Sampurna Pangan Indonesia tahun 1972, PT Khong Ghuan Biskuit tahun
1976, PT Pandu Sari tahun 1977, PT. Asia Megah Food Manufacturing tahun 1980, PT. Supmi Sakti serta beberapa produsen pendatang baru
lainnya. Sejak saat itu pasar mi instan ditandai dengan kondisi persaingan yang
ketat, terutama setelah Salim Grup bersama Jangkar Jati Grup pada tahun 1984 mendirikan PT. Indofood Interna Corporation, yang merupakan cikal
bakal dari Indofood Grup yang beroperasi di bawah bendera PT. Indofood Sukses Makmur. Sejak itu, Indofood dengan merek Indomie, Supermie, dan
Sarimie semakin menguasai pasar mi instan di Indonesia CIC, 2002. Struktur industri mi instan di Indonesia adalah struktur pasar
oligopoli, yaitu terdiri dari beberapa produsen yang sangat peka terhadap kompetitor dan hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan. Hal
ini disebabkan oleh kendala penyediaan bahan baku yang tergantung pada impor gandum dan pabrik pengolah gandum yang kapasitasnya masih
kurang mencukupi. Adanya deregulasi di sektor terigu, sebagai bahan baku utama mi
instan menjadi salah satu pemicu mengapa bisnis mi instan ini sangat diminati oleh para produsen. Sejak kran impor tepung terigu dibolehkan
masuk ke Indonesia, otomatis terigu-terigu murah dari mancanegara dapat beredar di tanah air. Jika sebelumnya terigu hanya dapat dibeli dari PT.
Bogasari Fluor Mills, tapi kini dapat diperoleh di pasar bebas. Saat ini, di pasar domestik beredar lebih dari l00 merek mi instan.
Persaingan diantara perusahaan menjadi sengit lantaran setiap perusahaan umumnya memproduksi lebih dari dua merek. Saat ini PT.
Indofood Sukses Makmur ISM masih menguasai 88 persen market share mi instan dan semakin berhasil meraih brand equity dan menjadi household
brand yang memudahkan Indofood meluncurkan produk baru maupun menguasai pasar. Dengan mengeluarkan Indomie, Supermie, Sarimie,
Sakura; Pop mie, Super cup, Top mie, Chatz Mie, serta mie Selera Nusantara, Indofood menguasai industri ini dari hulu ke hilir.
Sebagai pelopor munculnya industri mi instan nasional, Indofood memiliki sistem distribusi yang sangat baik. Perusahaan ini mampu untuk
mendistribusikan semua produknya secara merata karena sebelumnya Indofood telah memiliki jalur dan jaringan distribusi yang kuat di seluruh
tanah air. Selain itu, Indofood juga memiliki sistem promosi serta tim riset dan pengembangan yang sangat kuat. Dengan 88 persen market share
dikuasai Indofood, maka sisanya diperebutkan oleh merek-merek mi instan lainnya.
Dengan peluang pasar yang masih sangat lebar, apalagi ada segmen yang belum tergarap seperti pasar menengah ke atas, maka banyak
perusahaan-perusahaan pesaing Indofood baik pemain lama maupun pemain baru dalam industri mi instan, bergerak agresif dan saling melancarkan
strategi meluncurkan produk baru atau mendiferensiasikan produk yang sudah ada. Selain disesaki berbagai merek, produsen juga kreatif membuat
aneka kemasan yang intinya tetap menyajikan kecepatan dan kemudahan dalam penyajian.
Misalnya PT. Delifood Sentosa meluncurkan mi gelas dan Indofood meluncurkan Top Mie dan Pop Mie. Ciri dari kemasan itu, mi cukup
diberikan dengan air panas, langsung dapat disantap tanpa perlu lagi dimasak. Grup Wings membuat kejutan pada paruh tahun 2003, sebelumnya
perusahaan consumer goods yang terkenal sebagai produsen toiletries, deterjen kini mulai masuk ke industri mi instan. Dengan meluncurkan mi
Sedaap, perusahaan ini langsung menantang Indofood. Betapa serius dan
beraninya Grup Wings ini terlihat dengan iklannya di layar kaca yang begitu gencar ditayangkan hampir di semua stasiun televisi swasta.
Sebagai ilustrasi, berdasarkan hasil riset CIC 2000 menunjukkan bahwa peringkat pertama sepuluh besar pemain pasar mi instan nasional
masih dipegang oleh merek Indomie yang menjual 3,972 miliar bungkus atau menguasai pasar sebesar 34,0 persen. Disusul oleh Supermie 2,979
miliar bungkus 25,2 persen, Sarimie 2,880 miliar bungkus 24,7 persen, ABC 301 juta bungkus 2,6 persen, Gaga 300 juta bungkus 2,6 persen,
Salam Mie berada diposisi keenam dengan 279 juta bungkus 2,4 persen, Maggi 220 juta bungkus 1,9 persen, Nissin 180 juta 1,5 persen, President
123 juta bungkus 1,1 persen dan Sakura di posisi kesepuluh dengan penjualan sebesar 99 juta bungkus atau mencapai 0,9 persen.
Pada awal tahun 2003, grup wingsfood meluncurkan produk mi instan dengan merek dagang mi sedaap dan tanggapan masyarakat terhadap merek
mi instan yang masih baru ini sangat baik.
Menurut data yang dikeluarkan majalah SWA 2004, pangsa pasar Indomie di tahun 2002 masih sebesar 90,
namun sejak hadirnya Mi Sedaap di pasar mie instan pangsa pasar Indomie terus merosot hingga 78.
Bagi Indofood kehadiran para pemain baru tidak menyurutkan langkah untuk terus melakukan ekspansi. Untuk mereduksi biaya
transportasi, Indofood membuat l7 pabrik di setiap kota yang pasarnya gemuk seperti Jakarta, Surabaya dan Medan. Hal ini dilakukan sekaligus
menahan langkah lawan, Indofood juga tak lupa melakukan diversifikasi produk yang inovatif dalam bentuk kemasan dan brand baru seperti Top Mie
dan pop Mie dalam kemasan styrofoam. Selain itu, juga meluncurkan merek pasto, My Noodles, pop Bihun,
hingga Chatz Mie, Sakura dan Nissin Mas. Bahkan dua merek terakhir dijual dengan harga Rp 400 per bungkus ketika diluncurkan. Suatu langkah untuk
mengganjal pesaingnya yang menjual dengan harga miring. Konsep produk yang juga cukup laris juga Selera Nusantara, dimana rasa yang dibuat
disesuaikan dengan masakan khas propinsi setempat. Setelah sisi produk dibenahi, Indofood juga mempertajam jalur distribusi. Caranya dengan
mendirikan outlet khusus yang menjual 100 persen produk Indofood dengan konsep Warung Barokah dan Tokcer.
Sebagai ilustrasi pada tahun 1998-2000, pasar mi instan di Indonesia masih berorientasi pada pasar domestik dan tercatat sebanyak sembilan
produsen telah mengeksplorasi pasar luar negeri dengan mengekspor ke berbagai negara, perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Indofood, PT
Supmi Sakti 100 untuk orientasi ekspor, kemudian PT Jakaranatama Food Industri, PT ABC President Enterprise, PT Nissin Mas, PT Radiance
Food Indonesia, PT Saritama Tunggal, PT Sentrafood Indonusa Corporation dan PT Olagafood.
2.3 Tinjauan Teoritis