Nilai pH pada Digester Tahap I dan Digester Tahap II Suhu

26 dibandingkan nilai pH pada digester tahap I yang berada diantara rentang 5,00-6,67. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi pada digester tahap II mempunyai korelasi positif terhadap nilai pH dan dapat dijelaskan melalui garis regresi. Sedangkan garis regresi tidak dapat diterima pada seluruh kombinasi pada digester tahap I. Nilai pH harian dapat dilihat pada Lampiran 17. Pada awal reaksi fermentasi anaerobik, nilai pH akan menurun seiring produksi VFA. Setelah itu, bakteri pembentuk methan akan mengkonsumsi VFA dan alkalinitas diproduksi, pH akan meningkat dan mencapai kestabilan Gerardi, 2003. Pembentukan VFA banyak terjadi pada digester tahap I dan konsumsi VFA oleh bakteri pembentuk metana banyak terjadi pada digester tahap II.

4.3.2 Nilai pH pada Digester Tahap I dan Digester Tahap II

Pada digester tahap I nilai pH pada seluruh kombinasi tidak bisa ditentukan trennya, seperti terlihat pada Gambar 14a. Sedangkan pada digester tahap II, nilai pH ketiga kombinasi limbah cair dan lumpur aktif mengalami tren peningkatan dan tidak berbeda signifikan satu sama lain, seperti terlihat pada Gambar 14b. Namun, nilai pH tertinggi pada kombinasi 70 LC :30 LA dan nilai pH terendah pada kombinasi 80 LC :20 LA . a b Gambar 14. Nilai pH pada : a digester tahap I kombinasi 90 LC :10 LA , 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA b digester tahap II kombinasi 90 LC :10 LA , 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA Nilai pH berbagai kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada kedua digester terlihat tidak berbeda secara signifikan. Rentang nilai pH berturut-turut pada kombinasi 90 LC :10 LA; 80 LC :20 LA dan 70 LC :30 LA adalah 5,00-7,33; 5,00-7,67; dan 5,00-8,67. Nilai pH setiap harinya berfluktuasi karena pada masing-masing digester terdapat aktivitas produksi VFA oleh bakteri pembentuk asam dan konsumsi VFA oleh bakteri pembentuk metana, jumlah VFA ini yang menentukan nilai pH setiap harinya. Nilai pH kombinasi 80 LC :20 LA berada pada rentang terendah dibandingkan dengan nilai pH kombinasi lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap rendahnya produksi biogas pada kombinasi 80 LC :20 LA . Fenomena ini telah disebutkan sebelumnya, bahwa tingginya TVS pada substrat menyebabkan tingginya VFA yang terbentuk. Apabila terjadi ketidakseimbangan dalam produksi VFA dan konsumsi VFA, nilai pH akan semakin menurun dan menghambat produksi biogas.

4.3.3 Suhu

Selain pH, faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap produksi gas adalah suhu. Rentang suhu pada kombinasi 90 LC :10 LA pada digester tahap I; 90 LC :10 LA pada digester tahap II; 80 LC :20 LA pada digester tahap I; 80 LC :20 LA pada digester tahap II; 70 LC :30 LA pada digester tahap I; dan 70 LC :30 LA pada digester tahap II berturut-turut adalah 25,8-27,8°C; 25,7-27,3°C; 26,0-27,5°C; 26,2- 27 27,8°C; 26,0-27,5°C; dan 26,2-27,5°C. Nilai suhu harian dapat dilihat pada Lampiran 18. Suhu dalam penelitian ini adalah kondisi mesofilik, yaitu berkisar antara 25,7-27,8°C, seperti terlihat pada Gambar 15. Gambar 15. Suhu digester Nilai suhu yang digunakan pada penelitian ini mengalami fluktuasi mengikuti perubahan suhu lingkungan dan lebih tinggi ± 2°C dari suhu lingkungan. Pada proses fermentasi anaerobik, reaksi yang terjadi selama degradasi bahan organik tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan suhu digester, karena energi yang dihasilkan oleh fermentasi anaerobik sangat kecil. Saat substrat didegradasi di dalam sel bakteri, sejumlah energi dihasilkan dari elektron yang dilepaskan dari pemutusan ikatan kimia pada substrat. Elektron ini akan melalui sejumlah molekul pembawa elektron-sistem transpor elektron, menuju akseptor elektron akhir. Akseptor elektron akhir yang digunakan tiap bakteri berbeda-beda dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen di lingkungan dan kemampuran molekul dalam menangkap dan melepaskan elektron, yang disebut oksidasi-reduksi potensial ORP. Akseptor elektron yang digunakan dapat berupa O 2 , NO 2 - , SO 4 2 -, CH 2 O, atau CO 2 Gerardi, 2003. Pada fermentasi anaerobik, oksigen tidak tersedia untuk digunakan sebagai akseptor elektron akhir dan mikroorganisme tidak mempunyai kemampuan dalam menggunakan senyawa inorganik seperti NO 2 - , SO 4 2 -. Mikroorganisme hanya menggunakan CO 2 dan intermediate organic CH 2 O sebagai akseptor elektron, sehingga energi yang dihasilkan hanya 2 ATPmol glukosa. Menurut Gerardi 2003, yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan perolehan energi yang terjadi dalam fermentasi glukosa sebagai berikut :  Glikolisis : Glukosa +2ADP + 2 NAD + 2 Piruvat + 2 ATP + 2 NADH  Fermentasi : 2 Piruvat 2 Asetaldehid + 2 CO2 2 Asetaldehid + 2 NADH 2 Etanol + 2 NAD +

4.4 TOTAL VOLATILE SOLID TVS