22
Gambar 9. Produksi biogas kombinasi 70
LC
:30
LA
pada digester tahap I dan digester tahap II Pada berbagai perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif terlihat bahwa digester tahap
II menghasilkan gas lebih tinggi dibandingkan pada digester tahap I dan menunjukkan tren peningkatan setiap harinya. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi pada digester tahap II
mempunyai korelasi positif terhadap produksi gas dan dapat dijelaskan melalui garis regresi. Sedangkan pada digester tahap I garis regresi hanya dapat diterima pada perlakuan kombinasi
90
LC
:10
LA
. Produksi gas harian dari seluruh perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal ini diakibatkan pada digester tahap II reaksi yang terjadi adalah metanogenesis,
sebagaimana dinyatakan oleh Demirel dan Yenigun 2002 bahwa pada sistem reaktor dua-tahap, tahap singkat asidogenesis terjadi pada digester pertama dan diikuti oleh tahap panjang metanogenesis
pada digester kedua. Reaksi metanogenesis ini adalah tahapan dimana bakteri metanogen memproduksi biogas dari asam asetat, hidrogen, dan karbondioksida yang dihasilkan dari tahapan
reaksi sebelumnya.
4.2.3 Produksi Gas pada Digester Tahap I dan Digester Tahap II
Penelitian ini menggunakan dua digester yang dirangkai sehingga masing-masing digester dapat dilihat kemampuannya dalam memproduksi gas. Pada digester tahap I, terlihat bahwa perlakuan
yang mengalami tren peningkatan produksi gas hanya pada kombinasi 90
LC
:10
LA,
sedangkan perlakuan lainnya tidak bisa ditentukan tren produksi gas seperti terlihat pada Gambar 10a.
Selanjutnya pada digester tahap II, terlihat bahwa ketiga perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif mengalami tren peningkatan produksi gas. Namun, produksi gas yang mengalami tren
peningkatan lebih tinggi adalah kombinasi 90
LC
:10
LA
seperti terlihat pada Gambar 10b.
a b
Gambar 10. Produksi biogas pada : a digester tahap I kombinasi 90
LC
:10
LA
, 80
LC
:20
LA
dan 70
LC
:30
LA
b digester tahap II kombinasi 90
LC
:10
LA
, 80
LC
:20
LA
dan 70
LC
:30
LA
23
Peningkatan atau penurunan produksi gas tidak menunjukkan banyaknya kandungan metan CH
4
pada suatu biogas. Biogas yang dapat menimbulkan nyala api adalah yang mengandung metan CH
4
lebih dari 55. Pengujian nyala api ini dilakukan dengan melewatkan gas pada nyala api lilin. Biogas dikatakan menimbulkan nyala api, apabila api lilin berubah menjadi api biru dan membesar
saat dilewatkan sejumlah gas. Sedangkan, biogas dikatakan tidak menimbulkan nyala api, bila api lilin menjadi padam saat dilewatkan sejumlah gas.
Pada digester tahap I, keseluruhan perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif menghasilkan biogas yang tidak menimbulkan nyala api, karena sekitar 75 proses yang terjadi
adalah proses hidrolisis dan pembentukan asam yang menghasilkan karbondioksida CO
2
. Sedangkan pada digester tahap II, setiap perlakuan kombinasi limbah cair dan lumpur aktif
menghasilkan biogas dengan nyala api pada hari yang berbeda-beda. Pada kombinasi 90
LC
:10
LA
, biogas menimbulkan nyala api pada hari ke 35, 36, 37, 38, dan 39, sedangkan pada kombinasi
80
LC
:20
LA
timbul nyala api pada hari ke 34, 35, dan 40. Berbeda pula pada kombinasi 70
LC
:30
LA
yang menimbulkan nyala api pada hari ke 33, 35, 38, dan 39. Pengujian terhadap nyala api ini
membuktikan bahwa pada digester tahap II reaksi dominan yang terjadi adalah reaksi metanogenesis yang menghasilkan gas dominan berupa metana. Nyala api ini juga membuktikan kualitas biogas
pada kombinasi 90
LC
:10
LA
lebih baik karena nyala api terjadi sebanyak lima hari, diikuti kombinasi 70
LC
:30
LA
dan 80
LC
:20
LA
sebanyak empat dan lima hari. Hasil pengujian terhadap nyala api dapat dilihat pada Lampiran 10.
Jika dilihat pada kedua digester, kombinasi 90
LC
:10
LA
menghasilkan gas lebih tinggi dibandingkan kombinasi lainnya dan menunjukkan tren peningkatan pada digester tahap I dan digester
tahap II. Kombinasi 90
LC
:10
LA
menghasilkan gas lebih tinggi, karena mampunyai imbangan CN paling optimum sebesar 22,26 sebagaimana yang dinyatakan oleh Simamora et al. 2006, bahwa
imbangan CN yang optimum bagi mikroorganisme perombak adalah 20-25. CN yang tidak optimum dapat mengganggu proses pembentukan biogas, karena substrat yang mengandung CN terlalu rendah
akan meningkatkan produksi ammonia dan menghambat produksi metana sedangkan CN yang terlalu tinggi mengindikasikan terlalu sedikit unsur nitrogen yang berakibat buruk bagi pertumbuhan
mikroorganisme dan sintesis sel baru bagi mikroorganisme, karena sebanyak 16 sel bakteri terdiri dari unsur N Deublein, 2008.
Faktor lain yang mengakibatkan tingginya produksi gas pada kombinasi 90
LC
:10
LA
adalah rendahnya nilai TVS, yang menandakan jumlah bahan organik dalam bahan. Jumlah TVS dalam
substrat harus sesuai dengan kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi TVS menjadi VFA dan kemampuan dalam mengkonsumsi VFA hingga menjadi biogas. Apabila kemampuan
mikroorganisme tidak seimbang, akan terjadi penumpukan VFA yang menyebabkan penurunan pH secara drastis dan menghambat aktivitas bakteri pembentuk metana Gerardi, 2003. Fenomena ini
terjadi pada perlakuan 80
LC
:20
LA
, yang akan dibahas lebih rinci pada sub sub-bab 4.3.2.
4.3 NILAI pH DAN SUHU