IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALIS PASAL TUJUH (7) TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP IDENTITAS SUMBER BERITA (Analisis Isi pada Berita Patroli Indosiar Bulan Februari - Maret 2015)

(1)

i SKRIPSI

IMPLEMENTASI KODE ETIK JURNALIS PASAL TUJUH (7) TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP IDENTITAS SUMBER BERITA

(Analisis Isi pada Berita Patroli Indosiar Bulan Februari - Maret 2015)

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Ilmu Komunikasi

Mochamad Triadi 201110040311141

DOSEN PEMBIMBING: 1. Widiya Yutanti, MA

2. Nurudin, M.Si

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


(2)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Mochamad Triadi Nim : 201110040311141 Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : Implementasi Kode Etik Jurnalis Pasal Tujuh (7) Tentang Perlindungan Terhadap Identitas Sumber Berita (Analisis Isi pada Berita Patroli Indosiar Bulan Februari - Maret 2015)

Disetujui

Mengetahui Dosen Pembimbing I

Widiya Yutanti, MA

Dosen Pembimbing II

Nurudin, M.Si

Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi


(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Mochamad Triadi Nim : 201110040311141 Jurusan : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Judul Skripsi : Implementasi Kode Etik Jurnalis Pasal Tujuh (7) Tentang Perlindungan Terhadap Identitas Sumber Berita (Analisis Isi pada Berita Patroli Indosiar Bulan Februari - Maret 2015)

Telah dipertahankan dan dinyatakan LULUS

dihadapan Dewan Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang

Pada hari : Selasa Tanggal : 25 Agustus 2015 Tempat : Ruang Sidang (6.11)

Mengesahkan

Dewan Penguji :

1) Dr. Muslimin Machmud, M.Si Penguji I ( ) 2) Novin Farid Setyo Wibowo, M.Si Penguji II ( ) 3) Widiya Yutanti, MA Penguji III ( ) 4) Nurudin, M.Si Penguji IV ( )

Dekan FISIP UMM


(4)

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS Yang bertandatangan dibawah ini:

Nama : Mochamad Triadi

Tempat, tanggal lahir : Balikpapan, 26 Januari 1992 Nomor Induk Mahasiswa : 201110040311141

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Komunikasi

Menyatakan bahwa karyailmiah (skripsi) dengan judul:

Implementasi Kode Etik Jurnalis Pasal Tujuh (7) Tentang Perlindungan Terhadap Identitas Sumber Berita (Analisis Isi pada Berita Patroli Indosiar Bulan Februari - Maret 2015) Adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya dengan benar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 14 Agustus 2015

Yang Menyatakan


(5)

v

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI

1. Nama : Mochamad Triadi 2. NIM : 201110040311141

3. Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 4. Jurusan : Ilmu Komunikasi

5. Konsentrasi : Jurnalistik

6. Judul Skripsi : Implementasi Kode Etik Jurnalis Pasal Tujuh (7) Tentang Perlindungan Terhadap Identitas Sumber Berita (Analisis Isi pada Berita Patroli Indosiar Bulan Februari - Maret 2015)

7. Pembimbing : 1. Widiya Yutanti, MA 2. Nurudin, M.Si 8. Kronologi Bimbingan

Tanggal Paraf Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II Keterangan

20 Januari 2015 Acc. Judul

1 Februari 2015 Acc. BAB I

10 Februari 2015 Acc. BAB II

17 Februari 2015 Acc. BAB III

11 Maret 2015 Acc. Proposal

23 Maret 2015 Seminar Proposal

27 Juli 2015 Acc. BAB IV

5 Agustus 2015 Acc. BAB V

12 Agustus 2015 Acc. Seluruh Naskah

Malang, 14 Agustus 2015 Disetujui

Dosen Pembimbing I

Widiya Yutanti, MA

Dosen Pembimbing II


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, serta salawat dan salam dihaturkan kepada sumber tauladan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan kasih sayang Allah, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan terhadap identitas sumber berita, pada program Patroli Indosiar Bulan Februari – Maret 2015).

Dalam proses penyelesaian skripsi, terdapat keluarga, saudara, dan sahabat-sahabat yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun motivasi. Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua peneliti. Ibu Sulistiani yang tidak pernah lelah menyebut nama saya dalam doanya. Berbagai kemudahan yang saya dapat selama mengerjakan skripsi, semata-mata karena ridho ibu. Selain itu, “The Goodfather”, bapak saya, Soeroto, yang banyak sekali mengajarkan tentang esensi dari kehidupan yang sebenarmya, serta menjadi motivator ulung hingga saya selesai menunaikan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.

2. Suharno alias Sugeng alias Eno, kakak kedua saya yang tak henti-hentinya memberi nasihat dan petuah yang sangat berguna bagi saya, dan Slamet Riyanto, kakak pertama saya yang dengan kerendahannya merangkul saya untuk selalu ingat dengan Tuhan. 3. Dosen Pembimbing I Ibu Widiya Yutanti, MA, serta pembimbing II yaitu Pak Nurudin,

M.Si. Peneliti mengucapkan terima kasih atas segala bimbingannya, waktunya, serta ilmu yang dibagikan. Semoga ilmunya bisa terus bermanfaat

bagi saya ke depannya sehingga terus menjadi amal yang tak terputus untuk ibu dan bapak.


(7)

vii

4. Terimakasih juga peneliti haturkan kepada Dewan Penguji I dan II, Bapak Dr. Muslimin Machmud, M.Si dan Bapak Novin Farid Setyo Wibowo, M.Si atas segala koreksi dan masukan yang berharga saat pelaksanaan dan arahan pasca peneliti melakukan sidang skripsi.

5. Peneliti juga mengucapkan terima kasih pada Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UMM, Bapak Sugeng Winarno, MA hingga seluruh Direktori Dosen Ilmu Komunikasi UMM. 6. Kepada Keluarga besar Bestari UMM, saya sangat bangga bisa turut menjadi bagian

dalam berproses menuju lebih baik, dari segi tulisan maupun dari segi pengembangan diri. Insha Allah, slogan Bestari akan sampai kapan pun menjadi motivasi dalam hidup saya : Raih asamu dengan semangat mentari!

7. Seluruh sahabat-sahabat saya yang tidak bisa disebut satu persatu. Terkhusus pada serdadu Roemah Rakjat, Aris Khoironi, Ifam Al, Walid Owob, Hanif Adila, Ardiansyah Sandy, Feri Supriyanto yang telah menjadi bagian penting dalam perantauan saya di Malang.

8. Dua orang sahabat yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penelitian ini sebagai coder. Fajriannor, S.Ikom dan Revina Violet, S.Ikom.

9. Ultras Buma Geologi Pertambangan SMKN 1 Balikpapan yang tanpa sadar kalian pun turut memotivasi saya untuk segera menyelesaikan skripsi.

Terakhir, tidak ada gading yang tak retak. Skripsi ini tentunya tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, peneliti menerima siapa saja yang ingin memberikan kritik maupun saran yang membangun.

Akhir kata, peneliti memohon maaf jika ada pernyataan yang kurang berkenan, baik selama berkomunikasi secara langsung dengan teman-teman, maupun pada kata-kata yang


(8)

viii tertulis dalam kata pengantar ini.

Malang, 14 Agustus 2015 Peneliti


(9)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... ...ii

LEMBAR PENGESAHAN ... ...iii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... ...iv

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ... ...v

ABSTRAK ... ...vi

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR ... ...x

DAFTAR ISI... ...xiii

DAFTAR GAMBAR ... ...xv

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR DIAGRAM...xvii

BAB I PENDAHULUAN ... ...1

1.1 Latar Belakang ... ...1

1.2 Rumusan Masalah ... ...11

1.3 Tujuan Penelitian ... ...11

1.4 Manfaat Penelitian ... ...12

1.4.1 Manfaat Akademis ... ...12

1.4.2 Manfaat Praktis ... ...12

1.5 Tinjauan Pustaka ... ...12

1.5.1. Kode Etik Jurnalis dan Etika Profesi ... ...12

1.5.2. Landasan Hak Tolak ... ...15

1.5.3. Pengertian Kompetensi Jurnalis ... ...17

1.5.3.1. Pendidikan dan Latihan Jurnalis ... ...27

1.5.3.2. Sembilan Elemen Jurnalisme ... ...30

1.5.4. Narasumber dan Sumber Berita ... ...35

1.5.4.1. Tiga Bentuk Sumber Berita ... ...36

1.5.4.2. Sumber Berita Anonim ... ...38

1.5.5. Format Berita Televisi ... ...40

1.5.6. Landasan Teori... ...41

BAB II METODE PENELITIAN... ...43


(10)

x

2.2. Ruang Lingkup Penelitian... ...44

2.3. Unit Analisis ... ...44

2.4. Satuan Ukur ... ...45

2.5. Struktur Kategori ... ...45

2.6. Teknik Pengumpulan Data ... ...49

2.7. Teknik Analisis Data ... ...50

2.8 Uji Reliabilitas Kategori ... ...51

BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ... ...53

3.1. Program Berita Patroli ... ...53

3.1.1. Visi dan Misi Program Patroli ... ...55

3.1.2. Konsep Program Patroli ... ...56

3.1.3. Susunan Redaksi Program Patroli ... ...56

3.1.4. Logo Patroli ... ...57

3.1.5. Bagan Susunan Redaksi Patroli ... ...59

3.2. PT. Indosiar Visual Mandiri ... ...60

3.2.1. Sejarah Singkat Perusahaan ... ...60

3.2.2. Logo Perusahaan ... ...60

3.2.3. Visi dan misi Perusahaan ... ...61

3.2.4. Manajemen ... ...61

BAB IV SAJIAN DAN ANALISIS DATA ... ...63

4.1. Analisis Data Berita Patroli Indosiar ... ...63

4.1.1. Hasil Kemunculan Kategori ... ...63

4.1.1.1. Pelaku ... ...66

4.1.1.2. Saksi ... ...81

4.1.1.3. Korban... ...83

4.1.1.4. Pihak Terkait ... ...95

4.2. Berita Non Available Categories ... ...98

4.3. Pembahasan Hasil Temuan Data...102

4.4. Uji Reliabilitas Data...104

4.4.1. Uji Reliabilitas Kategori Pelaku...106

4.4.2. Uji Reliabilitas Kategori Saksi...109


(11)

xi

4.4.4. Uji Reliabilitas Kategori Pihak Terkait...111

BAB V PENUTUP... ...115

5.1 Kesimpulan ... ...115

5.2 Saran ... ...116

5.2.1 Saran Akademis ... ...116

5.2.2 Saran Praktis ... ...116 DAFTAR PUSTAKA


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Piramida Kompetensi... 22

Gambar 2 Logo Patroli Lama... 57

Gambar 3 Logo Patroli Baru... 58

Gambar 4 Susunan Redaksi Patroli Indosiar... 59

Gambar 5 Logo Indosiar Visual Mandiri... 60

Gambar 6 Sekelompok Pelajar Saat Dihukum Pihak Kepolisian... 68

Gambar 7 Pelaku dari Tindak Asusila... 69

Gambar 8 Aksi Pelaku yang Tertangkap Kamera CCTV... 70

Gambar 9 Proses Penangkapan Pria Cabul... 71

Gambar 10 Pelaku Digotong Oleh Petugas dan Warga... 72

Gambar 11 Penjambret Nyaris Tewas... 73

Gambar 12 Salah Satu Pelaku Pengedar Sabu... 74

Gambar 13 Pria Cabuli Anak Tiri... 75

Gambar 14 Perampok Sekarat Dihakimi Massa... 76

Gambar 15 Bagian Tubuh Korban yang Diblurkan akibat Penganiayaan Pelaku... 85

Gambar 16 Korban Terbaring Di Rumah Sakit... 86

Gambar 17 Pembluran Gambar Korban yang Telah Meninggal... 87

Gambar 18 Korban Tampak Saat Diintrogasi Petugas... 88

Gambar 19 Wanita yang Menjadi Korban Pembegalan... 89

Gambar 20 Korban Beserta Orang Tuanya Saat Ke Kantor Polisi... 90

Gambar 21 Kerabat Korban Saat Dimintai Keterangan Oleh Jurnalis... 97


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Program Pendidikan dan Latihan Jurnalis... 28 Tabel 1.2. Lembar Coding... 49 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Kategori Sumber Berita... 65 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Pelaku

Dalam Berita “Patroli Indosiar”... 67 Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Saksi

Dalam Berita “Patroli Indosiar”... 82 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Korban

Dalam Berita “Patroli Indosiar”... 84 Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Pihak Terkait

Dalam Berita “Patroli Indosiar”... 96 Tabel 5.6. Hasil Pengkodingan... 105 Tabel 5.7. Nilai Expected Agreement Sumber Berita... 106


(14)

xiv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1. Modus Kategori Sumber Berita Sebagai Pelaku... 67 Diagram 2. Modus Kategori Sumber Berita Sebagai Korban... 84

Diagram 3. Modus Kategori Sumber Berita sebagai


(15)

xv

DAFTAR PUSTAKA

Barus, Sedia W. 2010. Jurnalistik, Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Kuanlitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Eriyanto. 2011. ANALISIS ISI : Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu

Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Gumilang, A. 1993. Kriminalistik: Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik Penyidikan.

Bandung : Angkasa

Harsono, Andreas. 2010. Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta : Kanisius Klaus Krippendorff. 1991. Analisisi Isi : Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta

: CV Rajawali

Kurnia, Septiawan S. 2005. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2009. Jurnalistik, Teori & Praktik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Machmud, Zaenuddin H. 2011. The Journalist. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Mondry. 2008. Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor : Ghalia Indonesia.

Mufid, Muhamad. 2009. ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.


(16)

xvi

Nurudin. 2009. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Purwanto, Yadi. 2007. ETIKA PROFESI : PSIKOLOGI PROFETIK Perspektif

Psikologi Islami. Bandung. PT RefikaAditama.

Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Riswandi. 2009. Dasar-dasar Penyiaran. Jakarta Barat : Graha Ilmu.

Siregar, Ashadi. 2008. ETIKA KOMUNIKASI. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Strentz, Herbert. 1993. REPORTER DAN SUMBER BERITA : Persekongkolan

dalam Mengemas dan Menyesatkan Berita. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sudibyo, Agus. 2013. 50 Tanya Jawab Tentang Pers. Jakarta : PT. Gramedia

Suyatna, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternative Pendekatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Turmudi dan Sri Harini. 2008. Metode Statistika: Pendekatan Teoritis dan Aplikatif. Malang : UIN-Malang Press

Refrensi Artikel, Jurnal, Skripsi, dan lain-lain

Aror, Ronald. September 2014. "Penerapan Hak Tolak Oleh Pers dan Akibat

Hukumnya Ditinjau dari Hukum Pidana Indonesia ". Lex et Societatis. Volume 2, No. 8. http://download.portalgaruda.org/article. 15 Februari 2015 jam 22.10.

Zazaki, Arfian. (2014). "Opini Masyarakat Tentang Tayangan Berita Kriminalitas

pada Tayangan Patroli di Indosiar ". Skripsi Strata-1 pada jurusan Ilmu Komunikasi UPN Surabaya:tidak diterbitkan

Refrensi Non Buku

http://www.dewanpers.or.id/page/kebijakan/pedoman/?id=492 (diakses pada 28 Januari 2015 jam 09.27


(17)

xvii

http//:lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/05/05/17381026.wartawan.transtv.buat.surat.hak .tolak.panggilan.polisi (diakses pada 30 Januari 2015 jam 20.05)

http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/32618-teguran-tertulis-program-siaranjurnalistik- patroli (diakses pada 10 April 2015 jam 10.50)

https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/dari-kode-etik-wartawan-ke-dewanpers.pdf (diakses pada 12 Maret jam 05.25)


(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi jurnalis secara global terbagi menjadi delapan sesuai dengan porsi dan perbedaan tujuannya. Kedelapan fungsi tersebut seperti tertuang dalam buku Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel diantaranya yakni konsumen, dalam hal ini audience memerlukan jurnalis yang bisa memeriksa keautentikan informasi, jurnalis menerangkan informasi tersebut masuk akal atau tidak, jurnalis terus mengawasi dan membongkar kejahatan, meneliti dan memantau kembali kejadian tertentu dan dapat bekerja sama dengan masyarakat sebagai reporter warga, melakukan pemberdayaan antara jurnalis dan warga untuk berdialog secara berkesinambungan, jurnalis cerdas harus berbagi informasi dari sumber berita, menjadi poros warga agar dapat memantau berbagai informasi, dan jurnalis tidak hanya dikenal melalui karya dan bagaimana menghasilkannya, namun juga tingkah laku jurnalis masuk ke dalam ranah publik yang wajib dicontoh.1

Namun bukan hanya fungsi, tanggung jawab jurnalis juga memiliki peran penting dalam hal keberlangsungan informasi sampai ke masyarakat. Seorang jurnalis, dalam praktek jurnalistiknya, dipayungi oleh sebuah regulasi yakni Undang-Undang (UU) Pers No. 40 Tahun 1999. Tidak hanya itu, Dewan Pers selaku lembaga independen yang berfungsi melindungi kehidupan pers dari campur

1

http://www.solopos.com/2012/12/27/ini-dia-8-tugas-wajib-wartawan-362455 (diakses pada 11 Maret 2015 jam 11.40)


(19)

2

tangan pihak lain serta melakukan pengkajian untuk perkembangan kehidupan pers juga membentuk acuan serta batasan dalam kegiatan jurnalistik dalam bentuk Kode Etik Jurnalistik.2 Salah satu praktek UU Pers yang juga dibahas dalam KEJ adalah

tentang perlindungan identitas sumber berita dalam bentuk hak tolak jurnalis. Penerapan kode etik jurnalistik tentang hak tolak seorang jurnalis berupa penerapan perlindungan identitas sumber berita, menjelaskan salah satu fungsi jurnalistik. Fungsi yang dimaksud yakni fungsi pengawalan hak-hak warga negara (Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2009:28). Maksudnya, seorang jurnalis berfungsi mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Dalam suatu pemberitaan, seorang jurnalis memiliki maksud untuk tidak mencantumkan atau menuliskan identitas sumber berita secara lengkap ataupun menyebutkan identitas lainnya guna menghindari efek negatif setelah berita tersebut ditayangkan juga upaya menjaga nama baik sumber berita.

Untuk mempraktekan hak tolaknya dalam suatu kasus tertentu, seorang jurnalis juga harus paham tentang asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini, menghormati asas praduga tak bersalah berarti bahwa wartawan wajib melindungi tersangka/tertuduh/terdakwa pelaku suatu tindak pidana dengan tidak menyebutkan nama dan identitasnya dengan jelas. Ini harus dilakukan sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan pelaku dan keputusan itu sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Lazimnya yang digunakan media adalah menyebut nama pelaku hanya dengan inisalnya atau memuat fotonya dengan

2 https://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/dari-kode-etik-wartawan-ke-dewan-pers.pdf


(20)

3

ditutup matanya atau hanya memperlihatkan foto bagian belakang pelaku saja (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2009:118).

Di beberapa media di Indonesia, pelaksanaan kode etik jurnalistik untuk melindungi identitas sumber berita dalam bentuk hak tolak kerap dilakukan. Lebih khusus, pada penayangan program berita di media elektronik. Namun, pada penayangan program berita yang ada di Indonesia seperti Seputar Indonesia (RCTI), Liputan 6 (SCTV), Topik (ANTV), Fokus (Indosiar), Kabar (TVOne), hingga Metro TV, sebagai televisi berita di Indonesia dinilai kurang sebagai wadah untuk jurnalis dalam mempraktekan hak tolaknya tersebut. Hal tersebut dikarenakan program berita yang disebutkan diatas, content beritanya masih bersifat umum, seperti ekonomi, sosial, hukum, politik dan budaya.

Pada program acara berita di televisi, jurnalis lebih menggunakan hak tolaknya pada berita dengan kejadian atau kasus-kasus tertentu. Meliputi tindakan kriminalistas seperti pembunuhan, penculikan, peredaran narkotika, pelecehan seksual, hingga segala bentuk tindakan kejahatan. Dalam penggolongan berita kejahatan, termasuk segala kejadian yang melanggar peraturan dan Undang-Undang negara. Jadi, dapatlah disebutkan bahwa yang termasuk dalam berita kriminal yakni berita mengenai segala peristiwa kejadian dan perbuatan yang melanggar hukum seperti pembunuhan perampokan, pencurian, penodongan, pemerkosaan, penipuan, korupsi, penyelewengan, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat (Barus, 2010:45).

Tidak hanya diterapkan pada program acara berita di televisi, hak tolak seorang jurnalis juga dapat diterapkan pada media lainnya. Sebagai contoh menarik


(21)

4

mengenai penggunaan hak tolak ini adalah pada kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Kipandjikusmin yang dimuat dalam majalah Sastra Edisi Agustus 1968 silam. Penulisnya sendiri bukanlah nama asli, melainkan nama samaran. Cerpen tersebut ternyata mengundang reaksi keras dari umat islam dan pemuka agama. Bahkan, Menteri Agama menuntut agar pemimpin redaksi majalah tersebut yakni kritikus sastra, HB Jassin, diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tulisan atau cerpen itu, Dalam kasus tersebut, diputuskan bahwa HB Jassin divonis satu tahun penjara dengan masa pecobaan dua tahun.

Hal menarik dalam kasus ini adalah sikap HB Jassin yang kukuh melindungi sumbernya (Kipandjikusmin) melalui hak tolak. HB Jassin sesungguhnya tidak mengenal siapa sesungguhnya Kipandjikusmin, ia hanya mengenalnya melalui kegiatan surat menyurat dan belum sekalipun bertatap muka. Berbagai upaya tetap dilakukan pihak pengadilan agar HB Jassin mengungkapkan identitas Kipandjikusmin, namun tetap ditolak (Machmud, 2011:188-189).

Dalam contoh tersebut, penerapan hak tolak jurnalis yang dilakukan media massa cetak lebih melindungi identitas dari sumbernya melalui hak milik kepenulisan cerpen. Dalam suatu kebijakan redaksional media cetak, terdapat sebuah peraturan di perusahaan tersebut bahwa setiap karya yang masuk baik berupa tulisan maupun foto akan menjadi hak milik perusahaan tersebut. Namun, adapula perusahaan yang tetap menaruh hak kepemilikan sebuah karya yang sudah dimuat di media tetap hak kepemilikan dari masyarakat atau orang yang membuat karya tersebut. Dalam kasus ini, kebijakan majalah Sastra lebih menerapkan kebijakan yang pertama. Hal tersebut dibuktikan dengan sikap dari pimpinan


(22)

5

redaksinya yang tetap mempertahankan efek negatif dari pemuatan cerpen atas nama pribadi dan perusahaan.

Contoh lainnya saat terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura, Papua. Pada kejadian tersebut, seorang jurnalis dari Trans TV, Chanry Andrew Suripati dipanggil oleh Kepala Satuan Resort Kriminal (Kasatreskrim) Polresta Jayapura Ajun Komisaris Y. Takamully pada 3 Mei 2008 sebagai saksi untuk memberikan keterangan tentang identitas pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora. Namun, Chanry membuat surat yang berisikan Hak Tolak sebagai pertanggung jawaban profesi yang didasarkan pada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Disamping itu, penyidik tidak bisa memanggil jurnalis tersebut secara individu karena profesi jurnalis atau instansi yang melekat pada individu tersebut.3

Hal yang berbeda dalam kondisi di media elektronik yang menuntut menayangkan berita atau peristiwa dalam bentuk audio dan visual. Dalam sebuah penayangan berita di media elektronik, belum cukup jika hanya tidak menyebutkan nama atau identitas lain sumber berita. Namun, perlu juga untuk menyamarkan wajah dan suara dari sumber berita tersebut. Dengan catatan, hal tersebut dilakukan saat sumber berita tersebut statusnya adalah pelaku sebuah tindak pidana atau narasumber tersebut sebagai orang yang memiliki posisi yang memenuhi delik dalam suatu tindak pidana. Dalam satu penayangan berita di program berita televisi, tidak menutup kemungkinan sumber berita yang menjadi subjek hak tolak jurnalis adalah saksi, korban, hingga pihak-pihak yang terkait lainnya.

3http//:lipsus.kompas.com/edukasi/read/2008/05/05/17381026.wartawan.transtv.buat.surat.hak.tola


(23)

6

Melindungi sumber berita dengan tidak menyebutkan nama atau identitas lainnya secara lengkap merupakan bentuk aplikasi dari hak tolak jurnalis memiliki maksud yakni menghindarkan efek-efek negatif yang berpotensi timbul pasca pemberitaan dan upaya dari jurnalis untuk tetap menjaga nama baik narasumber atau sumber berita. Hal tersebut berlaku pada narasumber sebagai pelaku, saksi, korban, dan pihak terkait lainnya.

Penelitian Hak Tolak Oleh Pers sudah pernah dilakukan oleh Ronald Aror, Mahasiswa Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado dengan judul “Penerapan Hak Tolak Oleh Pers dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Hukum Pidana Indonesia.” Namun, penelitian tersebut mengkaji dari segi ketidakselarasan antara penerapan hak tolak jurnalis dengan hukum pidana di Indonesia. Secara khusus penelitian tersebut membahas dari sisi hukum, yakni munculnya kontroversi dan celah hukum antara pelaksanaan hak tolak yang didasari oleh UU Pers dan KEJ dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 221 Ayat 1. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) melalui penelaahan buku, perundang-undangan, dan berbagai dokumen tertulis lainnya dengan pendekatan Yuridis Formatif. 4

Penelitian lain yang juga pernah dilakukan oleh Arfian Zazaki. Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Surabaya tersebut membahas mengenai opini masyarakat tentang berita kriminalitas pada tayangan patroli di indosiar. Namun, pada penelitian ini tidak membahas tentang

4 Aror, Ronald. September 2014. "Penerapan Hak Tolak Oleh Pers dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Hukum Pidana Indonesia". Lex et Societatis. Volume 2, No. 8


(24)

7

penerapan hak tolak, melainkan hanya kesamaan pengambilan objek penelitian, yakni program berita Patroli Indosiar.

Penelitian kali ini, peneliti ingin mengkaji tentang “Implementasi Kode Etik Jurnalistik terhadap Perlindungan Identitas Sumber Berita, pada berita Patroli Indosiar Bulan Februari 2015 hingga Maret 2015”. Nantinya, penelitian ini hanya menitik beratkan pada implementasi kode etik jurnalis dalam bentuk hak tolak yang dilakukan pada program acara berita Patroli Indosiar.

Untuk pemilihan periodisasi waktu yang dipilih antara bulan Februari 2015 hingga Maret 2015 karena dalam setiap hari penayangan program berita, tidak keseluruhan berita yang ditayangkan adalah berita yang mengandung unsur kode etik jurnalis dalam bentuk hak tolak dan tidak semua berita yang ditayangkan adalah berita kriminal. Peneliti beranggapan, dengan menghitung frekuensi kemunculan implementasi hak tolak tersebut, maka akan memberikan informasi tertentu tentang seberapa besar implementasi hak tolak diterapkan dalam satu penayangan program berita Patroli Indosiar.

Peneliti memilih kode etik jurnalis lebih khusus pada pembahasan hak tolak jurnalis untuk dijadikan sebagai penelitian. Hal ini dikarenakan, penelitian tersebut masih jarang dilakukan, bahkan di lingkup UMM sekalipun. Selain itu, belum banyak yang mengetahui tentang hak tolak jurnalis di masyarakat, dan seperti apa penerapannya. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui penerapan hak tolak jurnalis saat menghimpun berita di lapangan.

Selain itu, penerapan hak tolak jurnalis juga berpeluang disalahgunakan oleh beberapa oknum jurnalis dan media yang tidak bertanggung jawab. Memanfaatkan hak tolak yang dimilikinya untuk tidak menyebutkan identitas


(25)

8

narasumber secara lengkap, oknum tersebut mengkonstruksi berita fiktif, dalam artian tidak ada keterangan valid dari narasumber. Tulisan yang mencantumkan “menurut sumber yang dapat dipercaya” adalah sebenarnya tulisan dari oknum itu sendiri. Dalam hal penayangan hak tolak di media televisi, pada program investigasi contohnya, kerap menayangkan pernyataan narasumber yang menyebutkan nama samaran atau inisial, serta menyamarkan wajah dan suara. Dikhawatirkan hal tersebut juga rekayasa awak media yang tidak mendapat narasumber beserta keterangan yang diinginkan terhadap suatu kasus tertentu.

Hal ini merupakan masalah yang cukup pelik. Persyaratan jurnalisme ialah fakta-fakta yang siap diverifikasi, terbuka untuk ditelusuri data-datanya, mudah dikenali berbagai narasumber yang memberikan informasinya, dan berbagai pertanggungjawaban lainnya. Maka dari itu, jika ada kejadian yang narasumber tidak mau disebutkan identitasnya, akan mengurangi kredibilitas media tersebut. Pada momen tertentu malah mengakibatkan persoalan hukum. Penuntutan terhadap validitas laporan yang telah mencemarkan nama atau pihak tertentu (Kurnia, 2005:214).

Penelitian terdahulu dengan penelitian ini jelaslah berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada fokus penelitian dan objek yang akan diteliti. Fokus penelitian ini adalah implementasi kode etik jurnalis terhadap perlindungan identitas sumber berita, dan objek penelitian yang dipilih adalah program berita Patroli Indosiar. Sedangkan pada penelitian terdahulu, lebih membahas pada ranah hukum dari penerapan hak tolak pers yang ditinjau dari hukum pidana di Indonesia. Kemudian, untuk penelitian terdahulu yang kedua, secara jelas terdapat perbedaan


(26)

9

pembahasan, hanya terdapat kesamaan dalam mengangkat berita Patroli Indosiar sebagai subyek penelitian.

Program berita Patroli dipilih untuk dijadikan objek penelitian, karena program berita Patroli merupakan program berita kriminal yang pertama hadir di televisi Indonesia pada tahun 1999. Memiliki durasi tayang selama 30 menit setiap harinya, ditayangkan setiap pukul 11.30 WIB dan 01.00 WIB. Pada awal kemunculannya di televisi, program Patroli Indosiar mendapat respon positif dari masyarakat. Sehingga memicu hadirnya tayangan program berita kriminal serupa di beberapa stasiun televisi lainnya.

Di sisi lain, penayangan program berita Patroli Indosiar juga memunculkan pendapat kontra serta mengarah pada dilema tersendiri di masyarakat, terlebih pada sebagian pihak yang terkait dalam salah satu penayangan beritanya. Hal tersebut dikarenakan program ini mengangkat tema kriminalitas, yang mana keberadaan narasumber di dalamnya sangat rentan terhadap berbagai faktor lainnya setelah pemberitaan. Contoh, narasumber atau sumber berita pada salah satu penayangan kasus diposisikan sebagai pelaku. Hal tersebut berdampak saat masyarakat atau warga yang mengenalinya menonton tayangan tersebut. Terlebih pihak keluarga bahkan anak dari pelaku sebuah tindak kejahatan. Mengingat penayangan program acara Patroli Indosiar ini adalah pukul 11.30 WIB. Waktu dimana mayoritas anak usia sekolah dasar khususnya, pulang dari sekolah. Juga waktu dimana satu keluarga istirahat siang dari rutinitas kesehariannya.

Selain itu, program Patroli Indosiar juga tidak lepas dari pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012. Seperti surat yang diturunkan KPI bernomor 297/K/KPI/03/15 pertanggal 26


(27)

10

Maret 2015, Patroli melakukan pelanggaran berupa penayangkan secara close up polisi yang dipukul massa dan adegan polisi yang menendang dan memukul seorang pria. Tidak hanya itu, KPI juga menemukan pelanggaran pada tanggal 15 Maret 2015 pada pukul 11.42 WIB berupa tayangan aksi demo mahasiswa yang diiringi aksi pukul oleh seorang pria. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas prinsip-prinsip jurnalistik, muatan kekerasan dan kejahatan serta kewajiban penyamaran.5

Seperti dikutip dari penelitian Arfian Zazaki, disebutkan bahwa kemunculan program Buser (SCTV), Sergap (RCTI), Sidik (TPI), Kriminal (TransTV), TKP (Trans 7), dan Brutal (TVOne) adalah terinspirasi dari kesuksesan penayangan program berita Patroli Indosiar. Sebelumnya, peneliti telah membandingkan dengan program berita kriminal serupa yang ada di stasiun televisi lainnya. Namun, hanya berita Patroli Indosiar yang sejak awal secara konsisten dan dapat bertahan dengan konsep acaranya, yakni pemberitaan berita kriminalitas di masyarakat.6

Namun dalam perkembangannya, pada awal kemunculan program Patroli menayangkan berita bertema kriminalitas secara penuh atau keseluruhan dalam satu kali tayang dalam sehari. Saat ini, didorong oleh faktor kebutuhan informasi di luar

5

http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/32618-teguran-tertulis-program-siaran-jurnalistik-patroli (diakses pada 10 April 2015 jam 10.50)

6

Zazaki, Arfian. (2014). "Opini Masyarakat Tentang Tayangan Berita Kriminalitas pada Tayangan Patroli di Indosiar". Skripsi Strata-1 pada jurusan Ilmu Komunikasi UPN Surabaya.


(28)

11

lingkup berita kriminal, program Patroli Indosiar juga menayangkan beberapa berita dan peristiwa yang lebih bersifat umum, seperti banjir, kecelakaan, tanah longsor, hingga kebakaran. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana dan seberapa besar frekuensi kemunculan dari implementasi kode etik jurnalistik dalam bentuk hak tolak. Melihat perubahan content berita Patroli Indosiar yang sekarang kerap menyisipkan berita diluar berita kriminalitas.

Hal penunjang lainnya juga dapat dilihat dari website resmi Indosiar, selain menayangkan program Patroli setiap harinya, pada halaman website Patroli juga secara update menayangkan berita beserta naskah yang ditayangkan dalam satu hari penayangan berita Patroli.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah “Seberapa besar frekuensi kemunculan implementasi kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan terhadap identitas sumber berita, pada program Patroli Indosiar Bulan Februari – Maret 2015?”

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk menghitung frekuensi kemunculan implementasi kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan terhadap identitas sumber berita, pada program Patroli Indosiar Bulan Februari – Maret 2015.”


(29)

12 1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi berupa kajian ilmiah pada studi Ilmu Komunikasi, terutama bagi mahasiswa yang khususnya tertarik dengan kajian tentang Kode Etik Jurnalis lebih khusus yang membahas mengenai penerapan Hak Tolak Jurnalis pada praktik pemberitaan berita kriminalitas di media massa.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat, bahwa penerapan kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan terhadap identitas sumber berita menjamin kerahasiaan identitas masyarakat yang menjadi sumber berita. Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk perusahaan media mengenai pengimplementasian kode etik jurnalis pasal tujuh (7) tentang perlindungan terhadap identitas sumber berita agar terus dilaksanakan dan tetap mengacu pada peraturan yang ada dalam UU Pers dan KEJ.

1.5. TINJAUAN PUSTAKA

1.5.1. Kode Etik Jurnalis dan Etika Profesi

Menurut Ashadi Siregar, dalam bukunya yang berjudul “Etika Komunikasi” (2008:182-183), etika suatu profesi mengandung orientasi sosial. Pentingnya etika profesi tidak hanya untuk pergaulan sosial antar perorangan. Namun menyangkut landasan bagi kehadiran suatu institusi sosial di tengah masyarakat. Etika profesi


(30)

13

sama pentingnya bagi institusi pers, kesehatan, institusi yudisial, birokrasi, atau institusi lain yang memiliki peran sosial. Pekerja profesi masing-masing memiliki etika yang berbeda, tapi semuanya menuju pada muara yang sama, yaitu memiliki orientasi sosial dalam menghadirkan profesinya agar punya marwah (vigour) dan martabat (dignity) di tengah masyarakat.

Ashadi Siregar (2008:188) juga menjelaskan mengenai kode etik. Menurutnya, kode etik selalu ada dalam setiap profesi, yaitu norma yang berasal dari suatu komunitas profesional, sebagai acuan nilai bagi pelaku profesi. Nilai ini diperlukan dalam memelihara keberadaan profesi di tengah masyarakat. Di satu pihak menjadikan pelaku profesi tetap memiliki orientasi sosial, dan lebih jauh akan membentuk citra sosial atas komunitas profesionalnya. Seorang pelaku profesi dapat dibedakan dari pekerja lainnya. Ciri yang terpenting adalah sifat otonomi dari seorang profesional dan kepercayaan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya.

Sejalan dengan itu, Sumaryono dalam Yadi Purwanto (2007:48) menjelaskan bahwa kode etik adalah hasil usaha pengarahan kesadaran moral para anggota profesi tentang persoalan-persoalan khusus yang dihadapinya. Kode etik ini mengkristalisasikan pandangan moral dan memberi ketegasan perilaku yang sesuai dengan lapangan khusus.

Terdapat sifat dasar etika menurut Darji Darmodihardjo, dalam Muhammad Mufid melalui bukunya ”Etika dan Filsafat Komunikasi” (2009:173-174). Menurutnya, sifat dasar etika adalah bersifat kritis, karenanya etika bertugas:

1. Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidikinya apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu terhadap norma yang dapat berlaku.


(31)

14

2. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan sendirinya akan kehilangan haknya.

3. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orang tua, sekolah, Negara, dan gama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati.

4. Etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap yang rasional terhadap semua norma

5. Etika menjadi alat pemikir yang rasional dan bertanggung jawab bagi seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-ambingkan oleh norma-norma yang ada

Sedangkan pengertian menurut Yadi Purwanto (2007:49), kode etik merupakan pernyataan cita-cita dan peraturan pelaksanaan pekerjaan, yang merupakan panduan yang dilaksanakan oleh anggota kelompok. Kode etik yang hidup dapat dikatakan sebagai ciri utama keberadaan sebuah profesi. Sifat dan orientasi kode etik hendaknya singkat, sederhana, jelas dan konsisten, masuk akal, dapat diterima, praktis, dan dapat dilaksanakan, komprehensif dan lengkap, serta positif dalam formulasinya. Kode etik diciptakan untuk manfaat masyarakat dan untuk menghindari adanya sifat ketamakan penghasilan, kekuasaan dan status.

Sementara itu, apabila pembahasan kode etik dikerucutkan kepada profesi jurnalis, Agus Sudibyo dalam bukunya 50 Tanya Jawab Tentang Pers (2013:3-4) menjelaskan, kode etik jurnalis secara umum mengatur dua hal, yaitu produk jurnalistik dan perilaku jurnalistik. Produk jurnalistik mencakup berita dalam berbagai bentuknya, antara lain surat pembaca, tajuk rencana, artikel opini, analisis


(32)

15

pakar, resensi buku, dan resensi dalam bentuk lain. Kemudian, perilaku jurnalistik mencakup sikap dan tindakan jurnalis ketika menjalankan kerja jurnalistik, saat berhubungan dengan sumber atau subjek berita.

Di sisi lain, jurnalis Indonesia menetapkan dan menaati kode etik jurnalistik berdasarkan untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar. Jurnalis juga memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakan integritas serta profesionalisme. (Sudibyo, 2013:177).

Kode etik jurnalistik sendiri terdiri atas 11 pasal seperti yang ditetapkan dewan pers. Dari 11 pasal tersebut, juga dijelaskan berbagai hak yang dimiliki seorang jurnalis dalam menghimpun suatu berita. Salah satunya pada pasal yang pembahasannya tentang upaya perlindungan dari jurnalis untuk tidak menyebutkan identitas sumber berita dalam pemberitaan tertentu dalam bentuk hak tolak jurnalis. 1.5.2. Landasan Hak Tolak Jurnalis

Dalam kode etik jurnalis pasal 7 tertulis, jurnalis Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Hak tolak ini ada juga yang menyebutnya sebagai hak ingkar. Mengenai hak tolak ini dijamin oleh KEJ-PWI, dalam pasal 13 dinyatakan, “Jurnalis harus menyebutkan sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebutkan nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini. Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.” (Machmud, : 2011:187).


(33)

16

Disamping itu, hak tolak jurnalis juga diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia, seperti pada UU Pers pasal 1 Ayat 10, ditegaskan bahwa,”Hak tolak merupakan hak jurnalis karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya”. Selain itu, hak tolak jurnalis juga dirumuskan dalam UU Pers Pasal 4. Yakni, “Dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak”.

Lebih lanjut, dalam pasal tersebut diuraikan,”Tujuan utama hak tolak adalah agar jurnalis dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika jurnalis dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan (Machmud, 2011:187-188).

Selain diatur dalam peraturan khusus, yakni UU Pers, pelaksanaan hak tolak jurnalis juga dijamin dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 170 Ayat 1, tertulis bahwa, “Jurnalis yang karena pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang pengadilan,” Tidak hanya itu, diluar sidang pengadilan sesuai pasal 120 KUHAP juga dinyatakan, “Jurnalis termasuk ahli atau memiliki keahlian khusus sehingga karena pekerjaannya diwajibkan menyimpan rahasia, karena itu dapat menolak memberikan keterangan yang diminta oleh penyidik.” (Machmud, 2011:188).


(34)

17 1.5.3. Pengertian dan Kompetensi Jurnalis

Jurnalis yakni individu-individu yang bekerja, mencari, mengolah, mengedit, dan menyiarkan informasi. Jurnalis sama dengan wartawan atau orang yang bertugas melakukan kegiatan jurnalisme. Misalnya bagaimana melakukan investigasi ke lapangan, proses mengendus berita, dan lain-lain. Bentuk dari pekerjaan jurnalis bisa tulisan, kata ujaran yang diucapkan seperti seorang penyiar. Tulisan jurnalisme di antaranya adalah segala bentuk penulisan yang ditulis jurnalis yang ada dalam media massa, misalnya straight news, depth reporting, features, dan lain-lain (Nurudin, 2009:9-10).

Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat dalam bukunya “Jurnalistik, Teori dan Praktik” (2009:115) mengutarakan bahwa profesi jurnalis adalah profesional. Dalam utarannya kata profesional memiliki tiga arti, pertama, profesional adalah kebalikan dari amatir, kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus, ketiga, norma-norma yang mengatur perilakunya dititikberatkan pada kepentingan khalayak pembaca. Selanjutnya, terdapat dua norma yang dapat diidentifikasikan, yaitu: pertama, norma teknis (keharusan menghimpun berita dengan cepat, keterampilan menulis dan menyunting, dan sebagainya), dan kedua, norma etis (kewajiban kepada pembaca serta nilai-nilai seperti tanggungjawab, sikap tidak memihak, sikap peduli, sikap adil, objektif dan lain-lain yang semuanya harus tercermin dalam produk penulisannya).

Sementara itu, dalam buku The Journalist karya Zaenuddin H. Machmud (2011:74) menyebutkan jurnalis merupakan ujung tombak redaksi dalam mencari dan mendapatkan berita. Para jurnalis itulah yang terjun ke lapangan meliput semua peristiwa yang terjadi untuk dikemas menjadi berita. Dalam tugasnya sehari-hari,


(35)

18

selain berhubungan dengan koordinator liputan, para reporter juga berhubungan dan bertanggung jawab pada redaktur.

Berbeda halnya dengan apa yang ditulis Mondry dalam bukunya “Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik” (2008:18) memandang jurnalis atau wartawan berarti dapat dipastikan mereka bekerja di lembaga pers, tetapi itu dengan pekerjaan yang spesifik, terkait dengan proses penggalian, penulisan, dan seluruh proses berita termasuk fotografer atau pengambil gambar (camera person). Artinya, hanya pimpinan redaksi dan jajarannya yang boleh mengaku wartawan dan berhak mendapat identitas keanggotaan dari organisasi kewartawanan, sedangkan orang pers yang bekerja diluar bidang pemberitaan, baik di media cetak atau elektronik tidak boleh mengaku sebagai jurnalis atau wartawan.

Tugas jurnalis memiliki spesifikasi secara khusus. Robin Jones (dalam brook et.al) reporter The Half Moon Bay Review, koran mingguan di sebuah kota kecil selatan San Fransisco sebagaimana dikutip dalam buku Jurnalisme Kontemporer karya Septiawan Santana Kurnia, antara lain menyebutkan:

Most people instinctively want to teach others what they know. And

journalist are no exception. It is our job, after all, to share with our readers,

viewers, and listeners what we discover in the course of our reporting. But

many of us also have an impulse to try to convince others to agree with our

opinions about with we know, and this is the poin at which journalists are

taught to suppress this desire. Just as it is our job to share our finding, it is

also our job to remain neutral in our telling. It was this cluster of ideas that i


(36)

19

teaching assistant for an entry-level journalism class at the University of

Missouri.

Pada sisi inilah, jurnalisme kemudian mematok kompetensi tertentu kepada profesi jurnalis. Terdapat beberapa persyaratan kemampuan profesional yang perlu dikuasai seorang jurnalis. Yancheff, dalam Septiawan Santana Kurnia (2005:207) menilik ukuran profesionalisme jurnalis di era milenium. Menurutnya pada fase milenium, profesionalisme jurnalis membutuhkan multi-kompetensi. Karakteristik performanya menekankan kekuatan penulisan dan kemampuan oral, ketekunan kerja, dan pemilikan dasar pengetahuan yang mengkombinasikan aplikasi lintas disiplin (penugasan berbagai format media cetak, siaran, interaktif, dan multimedia) yang dibutuhkan dalam kerja memasok informasi di dunia profesional industri. Untuk itu, ia mengajukan sepuluh kemampuan jurnalis profesional yang terdiri dari:

1. Writing competencies

Kapasitas untuk melaporkan secara akurat, jelas, kredibel, dan reliabel. Kemampuan menulis yang mudah dipahami pembaca. Juga terkait dengan penguasaan dalam memakai tata bahasa, kata-kata, tanda baca, serta pemahaman terhadap kosa kata (vocabulary).

2. Oral Performance Competencies

Kemampuan menyampaikan pengertian, respon yang baik, percaya diri dan bertanggung jawab. Kemampuan mewawancara memerlukan berbagai teknik dan metode ketika mewawancara anak-anak, kelompok etnik, korban kekerasan, dan sebagainya. Selain itu, kemampuan mengenali nuansa dari wacana publik.


(37)

20

Kemampuan menyiapkan berbagai bahan, pengembangan, akurasi kisah, atau mengidentifikasi topik-topik potensial, melalui sumber kepustakaan, refrensi virtual online, dan catatan-catatan publik.

4. Broad-Based Knowledge Competencies

Kemampuan memiliki pengetahuan dasar seperti ekonomi, statistik, matematika, sejarah, sains, perawatan kesehatan, bisnis, dan struktur pemerintahan. Dunia kewartawanan mensyaratkan proses belajar seumur hidup dan keluasan lintas disiplin.

5. Web-based Competencies

Kemampuan menguasai internet, e-mail, mailing list, newsgroup, dan pemberitaan dalam format on the web. Khususnya pemberitaan yang bersifat breaking news and information, yang memiliki nilai otentisitas, akurasi, dan reliabilitas informasi on the web.

6. Audio-Visual Competencies

Kemampuan menggunakan peralatan seperti kamera 35mm, kamera video, men-scan foto ke dalam komputer, serta audio tape recorder.

7. Skill-Based Computer Aplication Competencies

Kemampuan mengaplikasikan komputer dalam kegiatan melaporkan pemberitaan, seperti word processing, pengembangan database (terutama bagi investigative reporting), dan aplikasi multimedia, termasuk pagemaker, Quark Xpress, Printshop, dan sebagainya bagi kerja kewartawanan.

8. Ethics Competencies

Kemampuan memahami tanggung jawab profesi, seperti kode etik, pertimbangan nilai-nilai etika, pelanggaran, dan plagiarisme.


(38)

21

9. Legal Competencies

Kemampuan memahami ihwal Undang-undang, kebebasan berpendapat, seperti yang tercantum dalam the Freedom of Information Act (FOIA), the First Amandement, hak cipta, dan sebagainya. Serta kaitannya dengan tugas-tugas profesi kewartawanan dan dampaknya terhadap masyarakat.

10.Career Competencies

Kemampuan memahami dunia karir profesional di dalam jurnalisme. Kemampuan bekerja di dalam manajemen pers, dan bersikap positif di dalam kerja peliputan. Termasuk aspek-aspek dari komponen manajerial pasar, analisis khalayak, dan producing and editing the news. Serta keterlibatan dalam berbagai asosiasi dan jaringan profesional dari dunia jurnalisme.

Sementara itu, berdasarkan rumusan Dewan Pers (Luswanto dan Gayatri, 2006 dalam Nurudin 2009) ada setidaknya tiga kategori kompetensi yang harus dipunyai seorang jurnalis, antara lain:

1. Kesadaran (awarness); mecakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir. 2. Pengetahuan (knowledge); mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan

khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.

3. Keterampilan (skills); mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti komputer, kamera, mesin scanned, faksimili dan sebagainya.

Selanjutnya, berdasar pada hal yang pernah dikemukakan oleh The Poynter Institute (Lembaga kajian media di Amerika) disadur dalam Nurudin pada bukunya


(39)

22

yang berjudul Jurnalisme Masa Kini halaman 163, kompetensi jurnalis bisa digambarkan dalam sebuah bagan dengan nama “piramida kompetensi” sebagai berikut.

Gambar 1. Piramida Kompetensi

Etika Kesadaran

Hukum Karir

Pengeta- Teori & prinsip Pengeta-

huan umum jurnalistik huan khusus Pengetahuan

Reportase Riset/investi- Penggunaan Teknologi

gasi alat informasi Keterampilan

a. Etika

Etika dan kesadaran etika diharapkan setiap perilaku jurnalis akan mengacu pada kode perilaku yang berlaku. Sehingga setiap tindakan akan dipertimbangkan secara matang. Misal, dalam mengangkat isu-isu sensitif. Jurnalis perlu mempertimbangkan (sebelum melakukan peliputan) apakah isu sensitif itu tidak bertolak belakang dengan etika. Tanpa kemampuan menerapkan kesadaran etika, seorang jurnalis rentan terhadap kesalahan. Akibatnya, kerja jurnalistik tidak akurat, bias kepentingan, melanggar privasi, tidak menghargai narasumber berita, dan lainnya.


(40)

23

Untuk menghindari hal demikian, maka jurnalis wajib memiliki integritas, tegas dalam berprinsip, kuat dalam suatu nilai-nilai, melayani kepentingan publik, memantau pihak yang berkuasa agar tetap bertanggung jawab, menyuarakan mereka yang tidak bersuara, berani dalam keyakinan dan bersikap independen mempertanyakan otoritas, serta menghargai perbedaan.

b. Hukum

Seorang jurnalis wajib memiliki kesadaran hukum. Hukum tersebut adalah UU Pers (nomor 40/1999). Dengan UU tersebut, jurnalis tidak hanya memahami namun juga melaksanakan, menjaga kehormatan, dan melindungi hak-haknya. Sekadar menyebut contoh, jurnalis perlu tahu hal-hal mengenai penghinaan, trial by the press (mengadili atau menuduh bersalah seseorang sebelum pengadilan memutuskan bersalah), privasi, ketentuan dengan narasumber (off the record, confidental sourches). Kompetensi hukum ini menuntut jurnalis menjunjung tinggi hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk memenuhi kepentingan publik dan tujuan negara demokrasi.

c. Karir

Kerja menjadi jurnalis juga memiliki jenjang karir di dalamnya. Artinya, jurnalis harus sadar bahwa dia harus merintis karir dari reporter terlebih dahulu untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi seperti redaktur. Kesadaran karir ini juga menuntut kerja jurnalis sebuah profesi yang menjanjikan kepastian kerja dan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya. Semakin tinggi jabatan jurnalis, akan semakin tinggi fasilitas yang didapatkannya. Otomatis, kesejahteraan juga meningkat sejalan dengan peningkatan tanggungjawabnya.


(41)

24 d. Pengetahuan Umum

Kompetensi pengetahuan umum mencakup pengetahuan umum dasar, seperti ilmu budaya, politik, sejarah, sosial, atau ekonomi. Seorang jurnalis dituntut untuk terus belajar dan menambah pengetahuannya agar mampu mengikuti perkembangan perubahan sosial dan mampu menyajikan informasi yang layak kepada pembaca dan audiensnya. Bagi jurnalis, wajib untuk memiliki referensi dan memperbaharui pengetahuannyadengan menggali pengetahuan dari ensiklopedia, buku-buku referensi terbitan terbaru, serta jurnal ilmiah, populer, dan penerbitan berkala.

e. Teori dan Praktik Jurnalistik

Seseorang yang menjadi jurnalis tidak selamanya dan belum tentu berasal dari lulusan ilmu komunikasi atau ilmu jurnalistik. Namun, mayoritas mereka paham tentang teori jurnalisme (dalam praktik) dan komunikasi. Sebab, ilmu jurnalistik tidak sekadar mencari berita dsn informasi, di dalamnya juga mencakup etika.

f. Pengetahuan Khusus

Kompetensi pengetahuan khusus diperlukan bagi jurnalis yang memilih atau ditugaskan pada liputan isu-isu spesifik. Jurnalis peliput masalah ekonomi mikro, masalah keuangan, statistik, dan sejenisnya. Jurnalis yang bekera di media yang bergerak di bidang politik, tak jauh berbeda harus menguasai permasalahan politik. Contoh, jurnalis yang meliput di parlemen harus mengetahui seluk-beluk parlemen dan kedudukannya secara politik.


(42)

25 g. Keterampilan Reportase

Kompetensi reportase ini mencakup kemampuan menulis, wawancara, dan melaporkan informasi secara akurat, jelas, bisa dipertanggungjawabkan, dan layak. Format dan gaya reportase terkait dengan medium dan audiensnya. Untuk kompetensi menulis, menyangkut penggunaan tata bahasa, pilihan kata, dan tanda baca, memiliki pembendaharaan kata yang cukup, serta menyebutkan sumber informasi secara jelas.

Kompetensi wawancara juga penting dimiliki seorang jurnalis. Hal tersebut untuk memberikan kesan kepada narasumber bahwa seorang jurnalis benar-benar memiliki kemampuan merespon dengan baik dan meyakinkan. Kemampuan wawancara perlu dikembangkan untuk mengeksplorasi teknis dan metode yag layak digunakan ketika mewawancarai anak-anak, kelompok etnis tertentu, korban traumatik, dan sebagainya. Dengan demikian, jurnalis diharapkan mampu berkomunikasi secara efektif menggunakan bahasa yang baik dan benar, mampu menerapkan teknis dasar wawancara terhadap berbagai anggota masyarakat yang memiliki perbedaan latarbelakang.

h. Keterampilan Riset dan Investigasi

Kemampuan melakukan riset tentu harus dimiliki jurnalis. Riset yang baik juga belum tentu lengkap tanpa didukung oleh kemampuan investigasi yang mumpuni. Bagaimana mengendus pemberitaan, mencari narasumber yang sulit dilacak, melakukan wawancara secara mendalam, mencari data relevan untuk mendukung laporan, dan lain-lain. Semua hal tersebut membutuhkan kemampuan investigasi yang mumpuni. Tak terkecuali, untuk mendukung investigasi jurnalis juga harus mengetahui dan mampu menggunakan sumber-sumber referensi dan


(43)

26

data yang tersedia di perpustakaan dan sumber lainnya. Bahkan, saat ini jurnalis dituntut untuk mampu memanfaatkan referensi dari internet, dan mampu melacak data dan informasi dari berbagai sumber yang penting bagi publik.

i. Keterampilan Menggunakan Alat

Keterampilan lain yang tidak kalah penting yakni pengoprasian alat. Kompetensi mengoprasikan komputer penting dalam proses penyusunan laporan. Kemampuan itu bukan hanya sekadar mengetik tulisan, melainkan juga menyusun database (berguna untuk laporan investigasi), dan aplikasi multimedia, termasuk pagemaker (untuk layout), printshop, photoshop, dan lain-lain.

j. Kemampuan Teknologi Informasi

Diantaranya adalah kemampuan akses internet seperti mengoprasikan email, mailing list, atau newsgroup. Di samping itu, kemampuan menyusun laporan dalam format internet juga perlu dimiliki jurnalis. Kemudian, jurnalis juga perlu memiliki kemampuan menilai otentisitas informasi melalui internet seperti akurasi dan kesahihan informasi.

Di sisi lain Philip Mayer, dikutip dalam Nurudin (2009:139) mengatakan prinsip kerja jurnalis dapat di klasifikasikan ke dalam kategori ilmuan. Beberapa hal yang memperkuat pernyataan tersebut yakni:

1. Sikap skeptis, maksudnya dalam proses kerjanya sifat keragu-raguan seorang jurnalis menuntutnya untuk terus mencari kebenaran dalam suatu hal. Sebab, kebenaran adalah sesuatu yang bersifat sementara dan mempunyai peluang untuk penajaman dan penyempurnaan.

2. Terbuka, yakni terbuka terhadap kebenaran investigasi yang dilakukannya, juga bisa dilakukan orang lain pula atau terbuka terhadap informasi lain dan


(44)

27

tidak meyakini informasinya sendiri yang salah. Dapat juga, dalam hal ini jurnalis tidak boleh kebal terhadap kritik.

3. Punya insting untuk praktik, jurnalis dan seorang ilmuan juga tak luput dari proses check and recheck. Proses tersebut bertujuan untuk secara berkesinambungan memperoleh data yang valid.

4. Keyakinan kebenaran bersifat sementara, seorang jurnalis jelas punya tugas untuk memperjelas sesuatu yang samar dan bukan menyamarkan sesuatu yang sudah jelas.

5. Hemat, maksudnya ketika diberi pilihan, manusia umumnya memilih yang lebih simpel. Tugas ilmuan karenanya membuat sesuatu lebih sederhana dan mudah dipahami, termasuk juga kerja seorang jurnalis.

1.5.3.1. Pendidikan dan Latihan Jurnalis

Zulkarimen Nasution dalam Nurudin (2009:145) menjelaskan secara sederhana pendidikan berbasis kompetensi adalah program pendidikan di mana kinerja yang dituntut telah dispesifikasikan dan disepakati secara mendetail sebelum pengajaran berlangsung, kemudian kompetensi bukan hanya pengetahuan, tetapi juga skill dan attitude yang dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu performance.

Sementara itu, berikut penyajian tabel tentang materi yang biasanya ada dalam program pendidikan dan latihan jurnalis.


(45)

28

Tabel 1.1 Program pendidikan dan latihan jurnalis Materi Pelatihan Tingkat Dasar Tingkat

Menengah

Tingkat Lanjut

1. Berita Pengertian Spot/hard news

Feature indepth

reporting

Investigasi

analisis berita fakta layak berita 2. Wawancara /

meliput

Jenis wawancara, teknik wawancara Menyiapkan bahan wawancara Pembagian liputan, menyusun TOR

3. Menulis Teknis menulis, transkrip laporan

Menulis opini, menulis feature

Menulis editorial, editing naskah 4. Manajemen

pers

Pengenalan mengelola pers, proses kerja

Pembagian fungsi dan peran pengelolaan

Manajemen redaksi, perencanaan 5. Kode etik Pengenalan Simulasi kasus Penilaian,

pengambilan keputusan, etik 6. Teori pers Sejarah dan peran

pers

Hukum pers Filosofi

komunikasi massa 7. Artistik Pengenalan visual

media dan proses

Rancang grafis, ilustrasi, foto,dan sebagainya

Filosofi desain visual media


(46)

29

Pada proses kerjanya, maksud dari pendidikan dan pelatihan kepada para jurnalis yakni untuk meminimalir kekurangan mereka serta untuk menjawab kebutuhan tenaga jurnalis terampil di media. Setidaknya, terdapat beberapa persoalan yang menunjukan kekurangan jurnalis di Indonesia. Berdasarkan pengamatan Marah Sakti Siregar (2006) dalam Nurudin (2009:143) mengidentifikasikan kelemahan umum yang dimiliki jurnalis, diantaranya:

1. Pengetahuan rata-rata umum kurang. Ini mungkin merepresentasikan kekurangan mereka dalam membaca atau menyerap informasi yang bersifat umum yang biasanya bisa diperoleh dari surat kabar atau media informasi lainnya.

2. Spesifik dan tanggung. Anehnya, dalam hal spesifik, misalnya dalam hal pengetahuan ekonomi atau olahraga, yang menjadi latar belakang pendidikannya, jurnalis tetap saja kurang mendalam.

3. Kelemahan dalam bahasa dan tata bahasa, baik bahasa asing hingga bahasa indonesia. Termasuk ketidakakuratan dalam menuliskan nama, gelar, jabatan, dan sebagainya.

4. Bekerja secara pas-pasan, kurang gigih, cukup puas jika sudah memenuhi suatu target penugasan.

5. Kurang ide dan kurang inisiatif.

6. Cepat mapan dan enggan melakukan eksplorasi seperti investigasi dan membuat laporan pendalaman lainnya (in depth reporting).


(47)

30

1. Rata-rata tidak memiliki basis yang kuat dalam penulisan. Baik penulisan berita biasa (news) maupun artikel khas (features, analisis, dan semacamnya). Selanjutnya, bentuk tulisan kurang memenuhi unsur-unsur berita.

2. Umumnya kurang atau tidak menguasai hal-hal yang berkaitan dengan aturan etika profesi kewartawanan dan hukum.

3. Umumnya memahami persoalan, tidak menguasai masalah, dan tidak menguasai teknik wawancara yang baik.

4. Bekal pemahaman atas jurnalistik secara komperhensif masih kurang, sehingga yang muncul sekarang cenderung wartawan instan.

1.5.3.2. Sembilan Elemen Jurnalisme

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menjabarkan tentang sembilan elemen jurnalisme tersebut dalam bukunya The Elements of Journalism. Di Indonesia, penjelasan sembilan elemen jurnalis tersebut dijelaskan kembali oleh Andreas Harsono (2010:15-31) yang mengemasnya dalam buku yang berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme. Sembilan elemen jurnalis tersebut diantaranya:7

1. Elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran

Sejatinya, elemen kebenaran ini adalah hal yang paling membingungkan. Hal tersebut karena banyaknya perbedaan sudut pandang tentang kebenaran bagi berbagai pihak. Persepsi tentang kebenaran dapat berbeda jika dilihat dari berbedanya latarbelakang seseorang seperti tingkat pendidikan, strata


(48)

31

sosial, pekerjaan, kelompok etnik, agama dan lain-lain. Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional.

2. Loyalitas

Dalam hal ini, loyalitas seorang jurnalis juga masih dipertanyakan, kepada siapakah mereka memiliki rasa loyalitas? Apakah kepada pemilik media, perusahaan, pembaca, atau masyarakat? Pertanyaan itu penting karena sejak tahun 1980-an banyak jurnalis Amerika yang berubah menjadi pebisnis. Ini memprihatinkan karena jurnalis memiliki tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan dimana mereka bekerja. 3. Disiplin dalam melakukan verifikasi

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi: a. Jangan menambah atau mengarang apa pun

b. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar c. Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan

motivasi dalam melakukan reportase

d. Bersandarlah terutama pada reportase anda sendiri dan bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu.


(49)

32

Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan. Kedua, memeriksa akurasi.

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Jurnalis harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata. Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat

4. Independensi

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, jurnalis harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun jurnalis yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang jurnalis.


(50)

33

5. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting, sebuah jenis reportase dimana jurnalis berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan. Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi.

6. Jurnalisme sebagai forum publik

Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik dimana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Namun, kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi. Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai.

7. Jurnalisme harus memikat sekaligus relevan

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa


(51)

34

masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu. Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

8. Kewajiban jurnalis menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara jurnalis dan pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel menyebutkan, justru karena subjektif inilah jurnalis harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

9. Etika dan tanggung jawab sosial

Setiap jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua jurnalis seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya.

Membolehkan tiap individu jurnalis menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Namun, tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan akhir, tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang


(52)

35

yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

1.5.4. Narasumber dan Sumber Berita

Narasumber dalam hal ini memegang peranan penting dalam mendistribusikan informasi atau bisa juga disebut komunikator utama dalam sebuah peristiwa. Narasumber menurut Bagong suyatna adalah peranan informan dalam mengambil data yang akan digali dari orang-orang tertentu yang dinilai menguasai persoalan yang hendak diteliti, mempunyai keahlian dan berwawasan cukup (Suyatna, 2005:72).

Menurut Strentz dalam Kurnia (2005:213) membagi menjadi dua jenis sumber berita, yakni sumber berita konvensional dan non konvensioal. Sumber berita konvensional yakni tempat-tempat dimana biasa wartawan mencari dan memperoleh berita. Tempat-tempat yang dimaksud seperti kantor pemerintahan, humas atau sumber promosi, berbagai peristiwa yang bernilai berita dan catatan publik. Kemudian, sumber berita non konvensional biasanya ditemukan dari cara pengumpulan berita baru atau kurang sering dipergunakan, seperti teknik precicion journalism, peliputan ke kelompok minoritas (AIDS, misalnya) dan terorisme.

Terdapat sedikit perbedaan dalam pemaknaan antara sumber berita dengan narasumber. Sumber berita dalam hal ini yakni siapa saja yang dinilai mempunyai posisi mengetahui atau berkompeten terhadap suatu fakta, peristiwa atau kejadian, gagasan, serta data atau informasi yang bernilai berita (Kurnia, 2005:53-54). Sebaliknya, narasumber lebih tepatnya merujuk pada seseorang yang mana memiliki kecakapan khusus, baik berupa wawasannya atau terlibat di salah satu kejadian tertentu untuk dimintai keterangan dan data lainnya.


(53)

36

Lain halnya dengan penjelasan Zaenuddin H. Machmud (2009:99) dalam bukunya The Journalist menjelaskan sedikitnya ada empat sumber berita yang lazim digunakan wartawan. Pertama, peristiwa atau kejadian. Wartawan melakukan observasi langsung terhadap fakta-fakta yang ada di lapangan, dengan melihat, mendengar, dan merasakan apa yang terjadi, kemudian mencatatnya. Kedua, proses wawancara. Guna mendapatkan informasi sebagai berita, wartawan melakukan wawancara. Ia menanyai narasumber, yakni orang-orang yang terkait atau relevan dengan informasinya.

Ketiga, pencarian atau penelitian dokumen. Sebuah berita juga bisa digali dari dokumen – dokumen yang dianggap menyimpan informasi penting. Banyak peristiwa yang tidak dapat diungkap berdasarkan fakta-fakta terbuka dan pernyataan narasumber. Keempat, partisipasi dalam peristiwa. Meskipun bertindak sebagai mediator, adakalanya jurnalis juga terlibat dalam penciptaan berita. Jurnalis juga menjadi sumber berita, saat konfrensi pers misalnya. Saat jurnalis lain mengajukan pertanyaan dan pertanyaan tersebut mengandung sebuah informasi yang layak dijadikan informasi baru kepada jurnalis lainnya.

1.5.4.1. Tiga Bentuk Sumber Berita

Sumber-sumber berita harus dikelompokan menurut jenis beritanya. Jenis berita politik tentu berbeda dengan sumber berita jenis kejahatan atau hukum dan peradilan. Sumber berita pada masing-masing kelompok tersebut haruslah terdiri atas mereka yang benar-benar berada dalam posisi mengetahui atau berkompeten untuk berbicara mengenai fakta atau kejadian yang hendak dilaporkan oleh jurnalis. Jurnalis biasanya selalu menyebut identitas sumbernya dengan jelas. Kecuali bila sumbernya itu menyatakan tidak ingin disebutkan identitasnya, sesuai


(54)

37

dengan kode etik jurnalistik, permintaan itu harus dipenuhi. Untuk jurnalis yang bersangkutan, bila tetap ingin melaporkan informasi dari sumber demikian, harus bertanggung jawab sendiri karena dalam posisi mengetahui.

Sedia Wiling Barus dalam bukunya Jurnalistik, Petunjuk Teknis Menulis Berita (2010:56-57) menjelaskan masing-masing jenis atau bidang pemberitaan selalu mencakup sumber-sumber sebagai berikut.

1. Sumber berita atas nama pribadi.

Mencakup orang-orang biasa (ordinary man) yang juga biasa disebut dengan man in the street (seperti pengunjung pameran, preman terminal,orang-orang berlalu lalang di pasar, petugas parkir, pengantar surat, dan lain-lain). Pakar di bidang keahlian masing-masing (seperti pakar hukum, olahraga, ilmu politik, ekonom, ahli forensik, kriminolog, musisi, sutradara, sastrawan/budayawan, dan narasumber lainnya) atau berdasarkan profesi seperti polisi, petugas administrasi kesehatan, pegawai kantor pengadilan, sopir, dan lain sebagainya. 2. Sumber berita pribadi atas nama kelompok atau golongan

Mencakup tokoh masyarakat (opinion leader), pimpinan organisasi bisnis, pimpinan teras partai (the party machinery), anggota parlemen, pemuka agama, kepala suku dan para pimpinan yang mewakili komunitas tertentu (suku, bangsa, pemuda, anak remaja, kaum ibu, dan lain-lain).

3. Sumber berita organisasi /lembaga/instansi

Mencakup partai politik, pejabat pemerintahan atau lembaga publik (pejabat humas-PR), anggota parlemen, lembaga swasta, lembaga swadaya masyarakat (organisasi non pemerintah), asosiasi dagang, asosiasi industri, dinas penerangan polisi, dan militer.


(55)

38 1.5.4.2. Sumber Anonim

Peliputan jurnalistik kerap menemukan narasumber yang tak disebutkan jati dirinya. Sementara dari kesaksian, keterlibatan, keterangan yang dimilikinya, nafas pemberitaan itu bergantung. Oleh karenanya, apabila terdapat suatu kejadian yang narasumber yang tidak mau disebutkan identitasnya, atau disebut sumber anonim, hal ini akan mengurangi kredibilitas media.

Melihat pernyataan Andreas Harsono dalam mailing list majalah Pantau pada 27 Agustus 2003 seperti dikutip dalam Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalis Kontemporer halaman 214 menjelaskan, pada dasarnya, sumber berita yang anonim tidak memberi kesempatan kepada audience (pemirsa, pembaca, pendengar) untuk menentukan seberapa besar derajat kepercayaan mereka pada sumber bersangkutan. Lanjutnya, jurnalis harus memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menentukan sendiri seberapa besar tingkat kepercayaan terhadap suatu keterangan. Seorang sumber anonim juga memiliki kecendrungan untuk lebih kurang bertanggungjawab dari sumber yang sama tapi identitasnya disajikan secara lengkap. Sumber anonim cenderung lebih sering “bernyanyi, kedengarannya merdu, dan sensasional.

Menurut majalah Pantauberdasar pada Warp Speed (1999) dalam bab “The Rise of Anonymous Sourcing” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Nurudin (2009:205) mencoba membahas pemakaian sumber anonim pada kasus Monica Lewinsky. Seseorang bisa diberi status anonim bila memenuhi ketujuh syarat sebagai berikut.


(56)

39

1. Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama “peristiwa berita” yang dilaporkan. Artinya, sumber tersebut menyaksikan sendiri, atau terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Sumber ini bisa masuk dalam kategori pelaku, korban, atau saksi mata, namun dirinya bukanlah orang yang mendengar dari orang lain.

2. Keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya dibuka. Dalam hal ini dikatakan terancam apabila nyawa anggota keluarga juga dirinya terancam. Bukan terancam dalam hal retaknya keberlangsungan hubungan sosial atau juga kelangsungan pekerjaan.

3. Motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. Seorang jurnalis wajib mengukur motivasi sumber dalam memberikan informasi. Terdapat kasus dimana sumber memberikan informasi dan minta status anonim untuk menyerang lawan atau orang yang tidak disukainya. 4. Integritas sumber harus diperhatikan. Dalam hal ini narasumber yang

terindikasi mengarang cerita, dihindari untuk menganonimkan identitasnya. Biasanya, semakin tinggi jabaran seseorang, semakin sulit mempertahankan integritasnya.

5. Harus seizin atasan. Pemberian sumber anonim harus dilakukan dengan sepengetahuan dan seizin atasan. Hal tersebut untuk menghindari munculnya masalah apabila pemberitaan yang mencantumkan sumber anonim digugat oleh berbagai pihak tertentu.

6. Sumber anonim minimal dua orang. Hal tersebut sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan Ben Bradlee, redaktur eksekutif harian The Washigton Post


(1)

37

dengan kode etik jurnalistik, permintaan itu harus dipenuhi. Untuk jurnalis yang bersangkutan, bila tetap ingin melaporkan informasi dari sumber demikian, harus bertanggung jawab sendiri karena dalam posisi mengetahui.

Sedia Wiling Barus dalam bukunya Jurnalistik, Petunjuk Teknis Menulis Berita (2010:56-57) menjelaskan masing-masing jenis atau bidang pemberitaan selalu mencakup sumber-sumber sebagai berikut.

1. Sumber berita atas nama pribadi.

Mencakup orang-orang biasa (ordinary man) yang juga biasa disebut dengan man in the street (seperti pengunjung pameran, preman terminal,orang-orang berlalu lalang di pasar, petugas parkir, pengantar surat, dan lain-lain). Pakar di bidang keahlian masing-masing (seperti pakar hukum, olahraga, ilmu politik, ekonom, ahli forensik, kriminolog, musisi, sutradara, sastrawan/budayawan, dan narasumber lainnya) atau berdasarkan profesi seperti polisi, petugas administrasi kesehatan, pegawai kantor pengadilan, sopir, dan lain sebagainya. 2. Sumber berita pribadi atas nama kelompok atau golongan

Mencakup tokoh masyarakat (opinion leader), pimpinan organisasi bisnis, pimpinan teras partai (the party machinery), anggota parlemen, pemuka agama, kepala suku dan para pimpinan yang mewakili komunitas tertentu (suku, bangsa, pemuda, anak remaja, kaum ibu, dan lain-lain).

3. Sumber berita organisasi /lembaga/instansi

Mencakup partai politik, pejabat pemerintahan atau lembaga publik (pejabat humas-PR), anggota parlemen, lembaga swasta, lembaga swadaya masyarakat (organisasi non pemerintah), asosiasi dagang, asosiasi industri, dinas penerangan polisi, dan militer.


(2)

38 1.5.4.2. Sumber Anonim

Peliputan jurnalistik kerap menemukan narasumber yang tak disebutkan jati dirinya. Sementara dari kesaksian, keterlibatan, keterangan yang dimilikinya, nafas pemberitaan itu bergantung. Oleh karenanya, apabila terdapat suatu kejadian yang narasumber yang tidak mau disebutkan identitasnya, atau disebut sumber anonim, hal ini akan mengurangi kredibilitas media.

Melihat pernyataan Andreas Harsono dalam mailing list majalah Pantau pada 27 Agustus 2003 seperti dikutip dalam Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalis Kontemporer halaman 214 menjelaskan, pada dasarnya, sumber berita yang anonim tidak memberi kesempatan kepada audience (pemirsa, pembaca, pendengar) untuk menentukan seberapa besar derajat kepercayaan mereka pada sumber bersangkutan. Lanjutnya, jurnalis harus memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menentukan sendiri seberapa besar tingkat kepercayaan terhadap suatu keterangan. Seorang sumber anonim juga memiliki kecendrungan untuk lebih kurang bertanggungjawab dari sumber yang sama tapi identitasnya disajikan secara lengkap. Sumber anonim cenderung lebih sering “bernyanyi, kedengarannya merdu, dan sensasional.

Menurut majalah Pantau berdasar pada Warp Speed (1999) dalam bab “The Rise of Anonymous Sourcing” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Nurudin (2009:205) mencoba membahas pemakaian sumber anonim pada kasus Monica Lewinsky. Seseorang bisa diberi status anonim bila memenuhi ketujuh syarat sebagai berikut.


(3)

39

1. Sumber tersebut berada pada lingkaran pertama “peristiwa berita” yang dilaporkan. Artinya, sumber tersebut menyaksikan sendiri, atau terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Sumber ini bisa masuk dalam kategori pelaku, korban, atau saksi mata, namun dirinya bukanlah orang yang mendengar dari orang lain.

2. Keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya dibuka. Dalam hal ini dikatakan terancam apabila nyawa anggota keluarga juga dirinya terancam. Bukan terancam dalam hal retaknya keberlangsungan hubungan sosial atau juga kelangsungan pekerjaan.

3. Motivasi sumber anonim memberikan informasi murni untuk kepentingan publik. Seorang jurnalis wajib mengukur motivasi sumber dalam memberikan informasi. Terdapat kasus dimana sumber memberikan informasi dan minta status anonim untuk menyerang lawan atau orang yang tidak disukainya. 4. Integritas sumber harus diperhatikan. Dalam hal ini narasumber yang

terindikasi mengarang cerita, dihindari untuk menganonimkan identitasnya. Biasanya, semakin tinggi jabaran seseorang, semakin sulit mempertahankan integritasnya.

5. Harus seizin atasan. Pemberian sumber anonim harus dilakukan dengan sepengetahuan dan seizin atasan. Hal tersebut untuk menghindari munculnya masalah apabila pemberitaan yang mencantumkan sumber anonim digugat oleh berbagai pihak tertentu.

6. Sumber anonim minimal dua orang. Hal tersebut sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan Ben Bradlee, redaktur eksekutif harian The Washigton Post


(4)

40

pada zaman skandal Watergate. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang sama.

7. Perjanjian dan kejelasan antara jurnalis dengan calon sumber anonim. Bahwa keanoniman identitas akan batal dan nama narasumber akan dibuka ke hadapan publik apabila terbukti berbohong atau sengaja menyesatkan dengan informasinya.

1.5.5. Format Berita Televisi

Dalam dunia televisi, dikenal istilah yang terkait dengan format yang digunakan dalam menyajikan suatu berita. Kekuatan televisi dibandingkan dengan media lainnya adalah kemampuannya untuk membawa penonton ke lokasi kejadian dengan menggunakan gambar. Gambar yang dikombinasikan dengan suara alami adalah faktor yang membuat televisi memberikan pengaruh atau dampak yang kuat kepada penonton. Menurut Riswandi dalam bukunya “Dasar – Dasar Penyiaran” tahun 2009 terdapat beberapa format berita televisi, yakni sebagai berikut ;

1. Reader. Format ini adalah cara paling dasar untuk menyajikan sebuah berita. Presenter di studio hanya membaca isi berita tanpa ada gambar pendukung. Format seperti ini biasa digunakan jika sebuah berita penting terjadi pada saat program berita masih On Air.

2. Grafis. Format berita grafis biasanya digunakan jika sebuah berita penting baru saja terjadi dan stasiun televisi belum mendapatkan akses untuk mengambil gambar dan merekamnya.

3. Voice Over. Video atau gambar pendek yang diiringi dengan kata-kata penyiar. Format berita ini biasanya digunakan untuk menceritakan sebuah topik dalam waktu singkat.


(5)

41

4. Laporan langsung (Live). Dalam format seperti ini, presenter akan langsung berbicara dengan reporter yang berada di lokasi yang sedang meliput suatu peristiwa.

5. Live Studio. Dalam suatu berita besar, stasiun televisi mungkin akan memutuskan mengundang narasumber datang ke studio untuk wawancara secara langsung.

6. Klip. Petikan langsung pernyataan seseorang yang ditampilkan secara berdiri sendiri pada suatu program berita yang didahului dengan intro yang dibacakan presenter.

7. Soundbite on Tape (SOT). Suara dari narasumber atau cuplikan dari wawancara panjang.

8. Stand Up. Reporter berbicara dengan mengarahkan diri menghadap kamera dari tempat lokasi pemberitaan.

9. In House Package. Paket yang ditulis oleh penulis berita dan kemudian diedit oleh redaktur.

10.Promo. Pemberitahuan mengenai rencana penayangan acara lain.

11. Paket. Paket adalah laporan berita lengkap yang diawali dengan Reader ketika membuka dan menjelaskan program berita. Lalu, dilanjutkan dengan Voice Over yang narasinya dibacakan oleh pengisi suara (dubber), dan terakhir SOT, suara dari narasumber atau cuplikan dari wawancara panjang. Kebanyakan berita televisi dihadirkan dalam format paket ini.

1.5.6. Landasan Teori

Teori yng dapat dijadikan konsep juga acuan penelitian ini adalah teori kredibilitas sumber (source credibility theory). Teori ini dikembangkan oleh


(6)

42

Hovland, Janis, dan Kelly tahun 1953. Teori yang telah lama tercetus ini menjelaskan bahwa seseorang memungkinkan lebih mudah untuk dibujuk jika sumber yang memersuasinya memiliki kredibilitas yang cukup. Sebagai contoh, pada penelitian ini, terdapat beberapa sumber dalam berita selaku penyampai pesan. Mulai dari masyarakat, tokoh masyarakat, hingga seseorang yang memiliki jabatan dalam struktur organisasi, baik berupa kementrian, dinas, hingga rumah sakit. Untuk memahami teori ini akan lebih mudah jika dibahas dalam sebuah contoh kasus. Audience cenderung percaya dan menerima dengan baik pesan-pesan yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki kredibilitas di bidangnya.

Setidaknya terdapat tiga model guna mempersempit ruang lingkup teori kredibilitas ini, dan juga sebagai cara dalam memfokuskan studi komunikasi, yakni:

a. Model faktor

Membantu menetapkan sejauh mana pihak penerima atau komunikan menilai suatu kredibilitas sumber.

b. Model Fungsi

Memandang kredibilitas sebagai tingkat dimana suatu sumber mampu memuaskan kebutuhan berupa pesan individu penerima.

c. Model konstruktivis

Menganalisis apa yang dilakukan penerima atau komunikan dengan adanya usulan dan pernyataan sumber.


Dokumen yang terkait

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM BERITA KEJAHATAN SUSILA PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM BERITA KEJAHATAN SUSILA (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Kode Etik Jurnalistik Dalam Berita Kejahatan Susila di Harian Umum Koran Merapi Periode Januari

0 3 21

CAMPUR KODE PADA JUDUL BERITA DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS EDISI 22 FEBRUARI-22 MARET 2013 Campur Kode Pada Judul Berita Dalam Surat Kabar Harian Kompas Edisi 22 Februari-22 Maret 2013.

0 2 13

PENGGUNAAN DEIKSIS DALAM BERITA UTAMA HARIAN KOMPASBULAN FEBRUARI-MARET 2013 Penggunaan Deiksis Dalam Berita Utama Harian KOMPAS Bulan Februari-Maret 2013.

0 1 13

OPINI MASYARAKAT TENTANG TAYANGAN BERITA KRIMINALITAS PADA TAYANGAN “PATROLI” DI INDOSIAR (Studi Deskriptif Opini Masyarakat Di Surabaya Tentang Berita Kriminalitas Pada Tayangan Patroli di Indosiar).

0 1 81

OBYEKTIVITAS BERITA TENTANG AHMADIYAH (Analisis Isi Tentang Obyektivitas Berita Ahmadiyah di halaman Depan, Jawa Pos dan Kompas, Periode 7 Februari - 28 Februari 2011).

0 0 84

kode etik jurnalis id. docx

0 0 1

STRATEGI PRODUSER NET CITIZEN JOURNALIST DALAM MENYAJIKAN BERITA PADA WEBSITE WWW.NETCJ.CO.ID

0 4 103

OBYEKTIVITAS BERITA TENTANG AHMADIYAH (Analisis Isi Tentang Obyektivitas Berita Ahmadiyah di halaman Depan, Jawa Pos dan Kompas, Periode 7 Februari - 28 Februari 2011)

0 0 10

OPINI MASYARAKAT TENTANG TAYANGAN BERITA KRIMINALITAS PADA TAYANGAN “PATROLI” DI INDOSIAR (Studi Deskriptif Opini Masyarakat Di Surabaya Tentang Berita Kriminalitas Pada Tayangan Patroli di Indosiar) SKRIPSI

0 0 18

Pengaruh Seringnya Menonton Acara Berita Kriminalitas “Patroli” Di Indosiar Terhadap Agresivitas Penontonnya

0 0 114