30
1. Rata-rata tidak memiliki basis yang kuat dalam penulisan. Baik penulisan
berita  biasa  news  maupun  artikel  khas  features,  analisis,  dan semacamnya.  Selanjutnya,  bentuk  tulisan  kurang  memenuhi  unsur-unsur
berita. 2.
Umumnya  kurang  atau  tidak  menguasai  hal-hal  yang  berkaitan  dengan aturan etika profesi kewartawanan dan hukum.
3. Umumnya  memahami  persoalan,  tidak  menguasai  masalah,  dan  tidak
menguasai teknik wawancara yang baik. 4.
Bekal  pemahaman  atas  jurnalistik  secara  komperhensif  masih  kurang, sehingga yang muncul sekarang cenderung wartawan instan.
1.5.3.2. Sembilan Elemen Jurnalisme
Bill  Kovach  dan  Tom  Rosenstiel  menjabarkan  tentang  sembilan  elemen jurnalisme  tersebut  dalam  bukunya  The  Elements  of  Journalism.  Di  Indonesia,
penjelasan  sembilan  elemen  jurnalis  tersebut  dijelaskan  kembali  oleh  Andreas Harsono 2010:15-31 yang mengemasnya dalam buku yang berjudul Agama Saya
Adalah Jurnalisme. Sembilan elemen jurnalis tersebut diantaranya:
7
1. Elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran
Sejatinya,  elemen  kebenaran  ini  adalah  hal  yang  paling  membingungkan. Hal tersebut karena banyaknya perbedaan sudut pandang tentang kebenaran
bagi berbagai pihak. Persepsi tentang kebenaran dapat berbeda jika dilihat dari berbedanya latarbelakang seseorang seperti tingkat pendidikan, strata
7 Andreas Harsono, Agama Saya Adalah Jurnalisme, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm 15-31
31
sosial,  pekerjaan,  kelompok  etnik,  agama  dan  lain-lain.  Kovach  dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna
mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. 2.
Loyalitas Dalam hal ini, loyalitas seorang jurnalis juga masih dipertanyakan, kepada
siapakah  mereka  memiliki  rasa  loyalitas?  Apakah  kepada  pemilik  media, perusahaan, pembaca, atau masyarakat? Pertanyaan itu penting karena sejak
tahun 1980-an banyak jurnalis Amerika yang berubah menjadi pebisnis. Ini memprihatinkan  karena  jurnalis  memiliki  tanggungjawab  sosial  yang  tak
jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan dimana mereka bekerja. 3.
Disiplin dalam melakukan verifikasi Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan
yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda,
fiksi atau seni. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:
a. Jangan menambah atau mengarang apa pun
b. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar
c. Bersikaplah  setransparan  dan  sejujur  mungkin  tentang  metode  dan
motivasi dalam melakukan reportase d.
Bersandarlah  terutama  pada  reportase  anda  sendiri  dan  bersikaplah rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan  metode  yang  kongkrit  dalam  melakukan  verifikasi  itu.
32
Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan,
banyak gugatan. Kedua, memeriksa akurasi. Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu
saja. Jurnalis harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David  Protess  dari  Northwestern  University  memiliki  satu  metode.  Dia
memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data- data  sekunder  terutama  kliping  media  lain.  Lingkaran  yang  lebih  kecil
adalah  dokumen-dokumen  misalnya  laporan  pengadilan,  laporan  polisi, laporan keuangan dan sebagainya.  Lingkaran terdalam adalah saksi  mata.
Metode  keempat,  pengecekan  fakta  ala  Tom  French  yang  disebut  Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis
narasi  panjang  nonfiksi  dari  suratkabar  St.  Petersburg  Times,  Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya,
baris per baris, kalimat per kalimat 4.
Independensi Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan
yang  dimaksud  dengan  objektifitas.  Prinsipnya,  jurnalis  harus  bersikap independen  terhadap  orang-orang  yang  mereka  liput.  Jadi,  semangat  dan
pikiran  untuk  bersikap  independen  ini  lebih  penting  ketimbang  netralitas. Namun jurnalis yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi  dari data-
datanya.  Mereka  harus  tetap  melakukan  verifikasi,  mengabdi  pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus
ditaati seorang jurnalis.
33
5. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas
Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting, sebuah  jenis  reportase  dimana  jurnalis  berhasil  menunjukkan  siapa  yang
salah,  siapa  yang  melakukan  pelanggaran  hukum,  yang  seharusnya  jadi terdakwa,  dalam  suatu  kejahatan  publik  yang  sebelumnya  dirahasiakan.
Salah  satu  konsekuensi  dari  investigasi  adalah  kecenderungan  media bersangkutan  mengambil  sikap  terhadap  isu  di  mana  mereka  melakukan
investigasi. 6.
Jurnalisme sebagai forum publik Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang
menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik dimana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Sekarang
teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung  televisi  maupun  chat  room  di  internet.  Namun,  kecepatan  yang
menyertai  teknologi  baru  ini  juga  meningkatkan  kemampuan  terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat
secara  artifisial  dengan  tujuan  menghibur  atau  melakukan  provokasi. Munculnya  jurnalisme  semu  itu  terjadi  karena  debatnya  tak  dibuat
berdasarkan fakta-fakta secara memadai. 7.
Jurnalisme harus memikat sekaligus relevan Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap
dua hal  yang bertolakbelakang. Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa
34
masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi.  Kovach  dan  Rosenstiel  mengatakan  wartawan  macam  itu  pada
dasarnya  malas,  bodoh,  bias,  dan  tak  tahu  bagaimana  harus  menyajikan jurnalisme yang bermutu. Menulis narasi  yang dalam, sekaligus memikat,
butuh  waktu  lama. Banyak contoh  bagaimana laporan panjang dikerjakan selama  berbulan-bulan  terkadang  malah  bertahun-tahun.  Padahal  waktu
adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media. 8.
Kewajiban jurnalis menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif Proporsional  serta  komprehensif  dalam  jurnalisme  memang  tak  seilmiah
pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan  berita  utama,  penilaiannya  bisa  berbeda  antara  jurnalis  dan
pembaca.  Pemilihan  berita  juga  sangat  subjektif.  Kovach  dan  Rosenstiel menyebutkan, justru karena subjektif inilah jurnalis harus senantiasa ingat
agar proporsional dalam menyajikan berita. 9.
Etika dan tanggung jawab sosial Setiap  jurnalis  harus  mendengarkan  hati  nuraninya  sendiri.  Dari  ruang
redaksi  hingga  ruang  direksi,  semua  jurnalis  seyogyanya  punya pertimbangan  pribadi  tentang  etika  dan  tanggungjawab  sosial.  Setiap
individu  reporter  harus  menetapkan  kode  etiknya,  standarnya  sendiri  dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya.
Membolehkan tiap individu jurnalis menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat  urusan  manajemen  jadi  lebih  kompleks.  Namun,  tugas  setiap
redaktur  untuk  memahami  persoalan  ini.  Mereka  memang  mengambil keputusan akhir, tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang
35
yang  hendak  memberi  kritik  atau  komentar  bisa  datang  langsung  pada mereka.
1.5.4. Narasumber dan Sumber Berita