11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI
Pada bab ini dipaparkan mengenai tinjauan pustaka yang membahas beberapa penelitian peneliti sebelumnya. Selanjutnya terdapat konsep yang menjelaskan
pengertian dari istilah-istilah yang terdapat pada penelitian ini, serta terdapat landasan teori yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini.
2.1. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs, laboratory
manuals, dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal. Penulis menemukan beberapa buku, skripsi yang isinya relevan dengan judul
penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu : Zhou 2010dalam bukunya yang berjudul“nánxìng
ǒuxiàng de quēxí—— shì lùn ji
ǎ fǔ jiàoyù quēshī duì jiǎ bǎoyù xìnggé xíngchéng de yǐngxiǎng”. Dalam buku ini penulis menceritakan hubungan Jia Baoyu dengan lingkungannya dan
kesedihan batin yang mendalam tokoh Jia Baoyu. Dengan membaca buku ini penulis mengetahuibahwa Jia Baoyu mempunyai hubungan dengan banyak
perempuan di lingkungannya dan perjodohannya dengan Xue Baochai. Chengmin 2008dalam bukunya yang berjudul “hónglóumèng” de s
ǐwáng
12 miáoxiě yǔ jiǎ bǎoyù xìnggé de fǎ zhǎn” zhōng jiěshì shuō” . Dalam buku ini
penulis menceritakanperbandingan kehidupan Jia bayou penjelmaan batu giok dengankehidupan batu giok. Dengan membaca buku ini penulis mengetahui
bahwa pada kehidupan batu lebih monoton dibandingkan kehidupan Jia Baoyu. Pada kehidupan Jia Baoyu, Baoyu merasa sedih ketika kematian membawa makna
yang lebih berat,tetapi jugamerasakanhidup dan kendala kehidupansemakinserius, seumur hidup, masa depan mereka,caraberpikirdi kehidupan itu sendirisecara
bertahap dibanding di kehidupan si batu giok sebelumnya. Fanyunxin 2006 dalam bukunya yang berjudul “shì x
ī jiǎ bǎoyù pànnì xìnggé de g
ēnyuán” . Dalam bukunya penulis menjelaskantentang pemberontakan Jia Baoyu. Dengan membaca buku ini penulis mengetahui bahwa Jia Baoyu
menolak ketenaran dan kekayaan, melawan sistem feodaldan etikafeodal, mengejar kebebasan dan kesetaraan,
membutuhkan pembebasan individu.menghormati perempuan, menumbuhkan semangat kemanusiaan.
2.2 Konsep 2.2.1 Novel
Dalam kesusastraan kita mengenal istilah novel dan roman. “Istilah noveldiartikan sebagai karya yang mengungkapkan persitiwa kehidupan manusia
pada suatu saat secara mendalam. Sedangkan romanadalah karya yang menggambarkan kehidupan manusia secara luas dari kecil sampai dewasa dan
13 meninggal” Semi, 1988:32. Pada dasarnya istilah novel sama dengan istilah
roman, sebagaimana yang dikemukakan oleh Semi 1988:32 bahwa dalam istilah novel tercangkup pengertian roman, sebab roman hanyalah istilah novel untuk
zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia wakktu itu pada
umumnya berorientasi kenegeri Belanda, yang lazim dinamakan ini dengan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta dikenal di Indonesia
setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada
bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.
Dewasa ini, istilah yang umum dipakai di Indonesia untuk karya sastra berbentuk prosa yang panjang ini adalah istilah novel. Novel sebagai karya sastra
fiksi merupakan hasil renungan, pemikiran dan pengalaman panjang terhadap peristiwa kehidupan manusia yang disampaikan dengan bahasa yang berkesan.
Novel adalah sebuah karya sastra berbentuk fiksi yang telah dirangkai dengan fakta kehidupan dan dibumbui dengan khayalan pengarang terlebih dahulu,
sehingga menjadi bacaan yang mempunyai tujuan dan misi untuk mempengaruhi
masyarakat penikmat sastra. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas atau suatu kemenyeluruhan yang
bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur- unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menggantungkan. Nurgiyantoro 1995:23 mengemukakan “unsur-unsur
14 pembangun sebuah novel itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik”. Selanjutnya Nurgiyantoro 1995:23 mengemukakan bahwa unsur intrinsik adalah “unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri”. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita, unsur yang dimaksud yaitu peristiwa,
cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Di pihak lain, unsur ekstrinsik adalah “unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem
organisme karya sastra” Nurgiyantoro, 1995:23. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang
dimaksud antara lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi karya yang ditulisnya.
2.2.2 Pengertian Tokoh Aminuddin 2004:79 mengemukakan bahwa “ tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita”. Sejalan dengan itu, menurut Ibrahim dan Saksomo 1987:77”tokoh
adalah orang-orang yang ditampilkan untuk mendukung cerita”. Tokoh cerita adalah orang yang mengambil bagian dari peristiwa-peritiwa yang digambarkan
15 dalam plot. Dari beberapa pengertian tokoh tersebut, dapat dinyatakan bahwa
tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam cerita mengemban peristiwa- peristiwa yang membentuk sebuah cerita.
Menurut Sumardjo dan Saini 1997:145 “Tokoh-tokoh cerita, terutama tokoh pentingnya, memiliki watak masing-masing yang digambarkan dengan
seksama oleh pengarang-pengarang yang terampil. Tokoh-tokoh itu dapat memiliki berbagai watak sesuai dengan kemungkinan watak yang ada pada
manusia”. Watak para tokoh itu bukan saja merupakan pendorong untuk terjadinya peristiwa, akan tetapi juga merupakan unsur yang menyebabkan
gawatnya masalah-masalah yang timbul dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Tokoh oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan atau yang dilakukan dalam tindakan. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu
dilakukan berdasarkan kata-kata verbal dan tingkah laku lain. Perbedaan antara tokoh satu dengan yang lain lebih ditentukan dengan kualitas pribadi daripada
dilihat secara fisik. Menurut Sumardjo dan Saini 1997 : 145 “ tingkah laku dan perbuatan tokoh-tokoh cerita akan membangkitkan perhatian pembaca dalam
memahami, menghayati dan menyimpulkan buah pikiran pengarang”. Oleh sebab itu, pembaca dalam memahami watak para tokoh lebih ditentukan oleh ucapan
dan perbuatan tokoh daripada dilihat secara fisik. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
16 pesan, amanat moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca. Tidak jarang tokoh cerita dipaksakan diperalat sebagai pembawa pesan sehingga sebagai tokoh cerita dan sebagai pribadi kurang berkembang. Tokoh
cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian dan keinginan-keinginan pengarang.
2.2.3 Jenis-jenis Tokoh Secara garis besar dalam sebuah karya fiksi dijumpai dua macam tokoh
yang masing-masing tokoh memiliki peranan yang berbeda–beda, yakni tokoh inti atau tokoh utama dan tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Aminuddin
2004:79-80 mengemukakan bahwa “tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita, sedangkan tokoh tambahan atau tokoh
pembantu adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama”.
Dalam hal penampilan seorang tokoh, sebuah cerita tidak mungkin hanya menampilkan tokoh utama saja. Oleh karena itu, perlu dibedakan mana tokoh
utama dan mana tokoh tambahan. Esten 1987:87 mengemukakan “tentang langkah untuk menentukan tokoh utama yaitu, pertama, dilihat
masalahnya tema. Kedua, dilihat mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya. Ketiga, tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu
penceritaan”. Sejalan dengan itu, menurut Esten 1987:88 bahwa di dalam sebuah
17 karya sastra mungkin banyak persoalan-persoalan yang muncul, tetapi tentulah
tidak semua. Persoalan itu bisa dianggap sebagai tema, untuk menentukan persoalan yang merupakan tema, pertama tentulah dilihat persoalan mana yang
paling menonjol. Selanjutnya secara kuantitatif, persoalan mana yang paling banyak menimbulkan konflik. Konflik yang melahirkan peristiwa. Kemudian
menentukan waktu penceritaan, yaitu waktu yang diperlukan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa ataupun tokoh-tokoh didalam cerita sebuah sastra.
Aminuddin 2004:80 mengemukakan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan mana tokoh utama dan mana tokoh tambahan yaitu : “1
melihat keseringan pemunculan dalam cerita, 2 petunjuk yang diberikan pengarang”. Keseringan pemunculan yang dimaksud adalah bahwa tokoh utama
terlibat pada sebagian besar peristiwa dalam cerita. Kemudian petunjuk yang diberikan pengarang mengacu pada ciri-ciri khusus kepada tokoh satu yang
membedakan dengan tokoh yang lain. Kemunculan tokoh utama secara bersama- sama membangun cerita dengan tokoh tambahan.
Tokoh yang ditampilkan pengarang dalam sebuah cerita memiliki watak- watak tertentu. Sehubungan dengan itu, dalam sebuah cerita ada yang disebut
dengan tokoh yang protagonis dan tokoh yang antagonis. Aminuddin 2004:80 mengemukakan bahwa tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang
baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca. Selanjutnya menurut Sumardjo
18 dan Saini 1997:144 mengemukakan bahwa tokoh protagonis berperan sebagai
penggerak cerita. Karena perannya itu, protagonis adalah tokoh yang pertama- tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesukaran-kesukaran. Sedangkan
antagonis berperan sebagai penghalang dan masalah protagonis. Berdasarkan perwatakannya, “tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh
sederhana simple atau flat character dan tokoh kompleks atau tokoh bulat complex atau round character”Foster dalam Nurgiyantoro, 1995:181.
Pengkatagorian seorang tokoh ke dalam tokoh sederhana dan bulat harus dilalui dengan analisis perwatakan. Menurut Nurgiyantoro 1995:181 “Tokoh sederhana
dalam bentuk asli adalah tokoh yang hanya memiliki suatu kualitas pribadi atau sifat watak yang tertentu saja. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku seseorang
tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu”. Watak yang telah pasti itulah yang mendapat penekanan dan terus
menerus terlihat dalam fiksi yang bersangkutan. Tokoh bulat atau tokoh kompleks, berbeda halnya dengan tokoh
sederhana, menurut Nurgiyantoro 1995:183 tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadiannya, dan jati dirinya. Ia dapat memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku
bermacam-macam bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan
19 manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan
sikap dan tindakan ia juga sering memberikan kejutan. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidak, perwatakan tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah novel dapat dibedakan ke dalam tokoh statis statis character dan tokoh berkembang developing character. “Tokoh statis adalah
tokoh yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi”. Altenberg
dan Luwis dalam Nurgiyantoro, 1995:188. Tokoh berkembang adalah “tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan dan perubahan peristiwa plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berintereaksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun orang
lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, sifat dan tingkah lakunya”. Nurgiyantoro, 1995:188.
Dalam memahami watak-watak setiap tokoh, tentunya tidak mudah, yang hanya dengan membaca keseluruhan cerita saja. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memahami watak setiap tokoh. Aminuddin 2004:80-81 mengemukakan untuk memahami watak
setiap pelaku tokoh dapat ditelusuri lewat : 1.
tuturan pengarang terhadap karakteristik pelaku 2.
gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaian
20 3.
menunjukkan bagaimana prilakunya 4.
melihat bagaimana ia berbicara tentang dirinya sendiri 5.
memahami bagaimana jalan pikirannya 6.
melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya 7.
melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan raksi terhadapnya
8. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
Selanjutnya, menurut Sumardjo dan Saini 1997:65 bahwa ada beberapa jalan untuk mengenali karakter watak dalam sebuah cerita, yaitu :
1. melalui apa yang diperbuatnya
2. melalui ucapan-ucapannya
3. melalui penggambaran fisik tokoh
4. melalui pikiran-pikirannya
5. melalui penerangan langsung
2.1.2.5 Pengertian Karakter
Dalam sebuah karya fiksi sering dipergunakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perawatakan atau karakter dan karakterisasi secara
bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. istilah tokoh menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita, sebagai jawaban terhadap pertanyaan
siapakah tokoh cerita itu? Ada berapa jumlah pelaku novel? Dan siapa tokoh
21 antagonis dan tokoh protagonis novel itu? dan sebagainya. Watak, perwatakan dan
karakter menunjuk pada sikap dan sifat para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca yang lebih menuju pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan
menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu. Seperti yang dikemukakan Jones dalam Nurgiyantoro, 1995 : 156 penokohan
adalah “pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”.
Menurut Sudjiman 1991:23 karakter ialah “ kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain”. Selanjutnya Hardaniwati dkk
2003:303 mengemukakan karakter adalah “ sifat-sifat khas yang membedakan seseorang dengan orang laing” . Tokoh-tokoh yang ditampilkan pengarang dalam
sebuah karya fiksi merupakan tokoh rekaan, hanya pengarangnyalah yang mengenalnya. Untuk itu tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat
serta sikap batinnya agar karakternya juga dikenal oleh pembaca. Menurut Semi 1984:29 “untuk mengungkapkan sebuah karakter dapat
dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui percakapan, melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pertanyaan atau perbuatan tokoh lain dan melalui
tanggapan atau sindiran”. Karakter tokoh menentukan bagaimana ucapan dan tindakan tokoh dalam cerita. Untuk membuat cerita itu menarik dan dapat
membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lain, maka seorang tokoh harus mengemban suatu karakter yaitu suatu sifat-sifat khas yang membedakan antara
22 tokoh satu dengan tokoh lain . Karakter tokoh dapat dilihat dan dianalisis melalui
setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang tokoh, melalui dialog dan perbuatan serta tingkah laku yang dilakukan oleh seorang tokoh.
Menurut Lagos Egri dalam Sukada, 1987:64 “karakter seorang tokoh memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yaitu fisiologis, sosiologis, dan
psikologis”. Ketiga dimensi tersebut adalah tiga unsur yang membangun karakter dalam sebuah karya sastra. Masalahnya terletak pada pertanyaan seberapa jauh
unsur-unsur tersebut dilukisan pengarang dalam karya sastra. Hutagalung dalam Murniati, 1997:15 mengemukakan “dimensi
fisiologis dan aspeknya adalah keadaan fisik tokoh, seperti jenis kelamin, tampang, dan keberadaan tokoh apakah cacat atau tidak”. Dalam menentukan
karakter tokoh, keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika ia memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif. Di
samping itu, ia juga dibutuhkan untuk mengefektifkan dan mengkongkretkan ciri- ciri kedirian tokoh yang dilukiskan dengan teknik lain. Sebagaimana menurut
Nurgiyantoro 1995:210 “pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi untuk lebih mengintensifkan sifak kedirian tokoh”.
Selanjutnya menurut Hutangalung dalam Murniati, 1997:15 “yang tercangkup dalam dimensi sosiologis, yakni masalah sosial tokoh seperti
lingkungannya, pangkat, dan kebangsaan”. Masalah sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial tokoh di suatu tempat yang
23 diceritakan dalam karya fiksi. “Kehidupan sosial tokoh mencangkup berbagai
masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan
lain-lain”Nurgiyantoro, 1995:233. Menurut Hutagalung dalam Murniati, 1997:15 “dimensi psikologis dan
aspeknya adalah masalah kejiwaan tokoh cerita tersebut, seperti cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen atau watak kejiwaannya secara individu”.
Sejalan dengan itu, Nurgiyantoro 1995:210 menyatakan bahwa keadaan fisik tokoh sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak pengarang
sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tak
mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal
itu berkaitan dengan pandangan budaya masyarakat yang bersangkutan.
2.2.4 Teknik Penampilan Karakter Tokoh
Menurut Semi 1988 :39-40 ada dua cara yang digunakan untuk menampilkan watak tokoh dalam suatu cerita, yaitu :
1. Secara analitik. Secara analitik yaitu pengarang langsung
memaparkan watak atau karakter tokoh. Pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras kepala, penyayang dan sebagainya.
24 2.
Secara dramatik. Secara dramatik yaitu penggambaran secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui: 1 pilihan nama tokoh,
misalnya nama semacam sarinem untuk babu, mince untuk gadis rada genit, bonar untuk nama tokoh garang dan gesit dan seterusnya; 2
melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakain, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya;
3 melalui dialog baik dialog tokoh-tokoh yang bersangkutan dalam intereaksinya dengan tokoh-tokoh lainya.
Selanjutnya, menurut M. Saleh Saad dalam Sukada, 1987:64 teknik penampilan keadaan dan watak tokoh-tokoh dapat melalui dua jalan yaitu :
1. Cara analitik. Pengarang akan menjelaskan secara langsung keadaan dan
watak tokoh-tokohnya. 2.
Cara dramatik. Menggambarkan apa dan siapanya tokoh itu tidak secara langsung, tetapi melalui hal-hal lain :
2.1 Menggambarkan tempat atau lingkungan sang tokoh .
2.2 Cakapan percakapan antara tokoh dengan tokoh lain, atau percakaan
tokoh-tokoh lain tentang dia 2.3
Pikiran sang tokoh atau pendapat tokoh-tokoh lain tentang dia. 2.4
Perbuatan sang tokoh Sedangkan menurut Muchtar Lubis dalam Sukada, 1993:64 ada beberapa
cara teknik dalam menampilkan karakter tokoh, yaitu :
25 1.
Melukiskan bentuk lahir dari tokoh 2.
melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa yang melintas dalam pikirannya 3.
bagaimana reaksi tokoh itu terhadap kejadian 4.
pengarang dengan langusung menganalisis watak tokoh 5.
melukiskan keadaan sekitar tokoh 6.
bagaimana pandangan tokoh lain terhadap tokoh utama
Dari keterangan diatas, maka cara menyampaikan karakter tokoh dapat
juga melalui pikiran tindakannya dan lain-lain. Sejalan dengan itu, Hutagalung dalam Murniati, 1997:15 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan dimensi
fisiologis dan aspeknya adalah keadaan fisik tokoh, seperti jenis kelamin, tampang, dan keberadaan tokoh apakah cacat atau tidak. Yang dimaksud dan
tercangkup dalam dimensi sosiologis, yakni masalah sosial tokoh seperti lingkungannya, pangkat, dan kebangsaan. Sedangkan yang dimaksud dengan
dimensi psikologis dan aspeknya adalah masalah kejiwaan tokoh cerita tersebut, seperti cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen atau watak
kejiwaannya secara individu. Ketiga dimensi tersebut adalah tiga unsur yang membangun karakter dalam
sebuah karya sastra. Masalahnya terletak pada pertanyaan seberapa jauh unsur- unsur tersebut dilukisan pengarang dalam karya sastra.
26
2.3 Landasan Teori
Landasan teori merupakan dasar penulis untuk berpijak dalam sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
structural untuk menganalisis unsur-unsur pembangun dalam sebuah sastra. Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan,
menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan member arah didalam penelitian. Adapun teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Struktural.
2.3.1 Teori Struktural Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang
otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarang, maupun pembaca. Wellek dan Warren dalam Wiyatmi 2006:87 menyebutkan pendekatan
ini sebagai pendekatan intrinsic karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi dan kebenaran sendiri.
Dalam meneliti sebuah karya sastra diperlukan pendekatan, dalam penulisan ini digunakan pendekatan structural. Jika peneliti sastra ingin mengetahui makna
dalam sebuah karya sastra, peneliti harus menganalisis aspek yang membangun karya sastra tersebut dan menghubungkan dengan aspek lain. Sehingga makna
yang terkandung dalam sebuah karya sastra mampu dipahami dengan baik. Pendekatan struktural melihat karya sastra sebagai satu kesatuan makna secara
27 keseluruhan.
Menurut Teeuw 1984:135, pendekatan structural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan
struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan struktur membongkar seluruh isi unsur-unsur intrinsic di dalam novel dan
menghubungkan relevasinya antara unsur-unsur didalamnya. Teori struktural sastra merupakan sebuah teori untuk mendekati teks-teks
sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Struktural sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, seperti
halnya disiplin-disiplin ilmu lainnya. Teeuw mengungkapkan, asumsi dasar struktural adalah teks sastra merupakan keseluruhan, kesatuan yang bulat dan
mempunyai koherensi batiniah 2011:46. Struktural secara khusus mengacu pada praktik kritik sastra yang model analisisnya didasarkan pada teori linguistic
modern, yang pendekatannya selalu pada unsur intrinsic struktur kesusastraan dan menganggap teks sastra adalah yang otonom.
Analisis struktur bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetail, dan sedalam mungkin tentang keterkaitan dan hubungan semua
unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktur merupakan satu langkah, satu sarana atau alat dalam
proses pemberian makna dan dalam usaha ilmiah untuk memahami proses dengan cara sesempurna mungkin.
28
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan terutama pada pengumpulan, klasifuikasi data laporan. Data
yang dideskripsikan berupa data verbal yang mengungkapkan karakter tokoh. Data verbal tersebut berupa kalimat-kalimat, dialog maupun monolog dan
karakterisasi langsung dari pengarang dengan karakter tokoh dalam novel Hong Lou Meng “Impian Di Bilik Merah”.
Metode kualitatif bersifat deskriptif. “Penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
tentang orang-orang atau prilaku yang diamati” Bogdan dan Taylor dalam Aminuddin, 1990 : 14 . Prosedur penelitian dipilih dan ditentukan si peneliti
sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi.
3.2 Pendekatan Penelitian