B. Perbandingan Horizontal
1. Perbandingan Aturan Hukum antara Negara Indonesia, Turki,
dan Maroko a.
Indonesia
Ketentuan batas minimal kawin di Indonesia selama beberapa dekade ini tidak banyak mengalami perubahan. Bahkan hal tersebut
dianggap tidak membawa kemajuan terhadap standar umur pernikahan semenjak ditetapkannya UU No 1 Tahun 1974.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa di dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan:
21
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 enam b elas tahun.”
Hal ini juga pernah dipersoalkan dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 18 Juni 2015 dengan
Nomor 30-74PUU-XII2014, yang menolak petitum para pemohon dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22
21
Lihat Pasal 7 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
22
Adapun sebagian isi dari petitum yang diajukan para pemohon adalah: “Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sepanjang mengenai frasa „16 enam belas tahun‟ harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat conditionally unconstitutional. Sehingga Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sep anjang mengenai frasa „16 enam belas tahun‟ itu
Putusan MK itu menegaskan bahwa ketentuan usia minimal kawin di negara kita sedang jalan di tempat. Standar yang
ditetapkan selama lebih dari 42 tahun yang lalu itu masih saja stagnan tanpa adanya perubahan. Padahal di sisi yang lain, zaman
telah berubah, kondisi sosial-budaya, ekonomi dan kehidupan masyarakat pada umumnya sangatlah berbeda dengan konteks era
70-an, era di mana UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan.
Bagaimanapun, perubahan sosial akan mempengaruhi dan membawa perubahan pada hukum. Sebab ketika terjadi perubahan
sosial, maka kebutuhan masyarakat juga akan berubah baik secara kuantitatif dan kualitatif. Hanya saja proses penyesuaian hukum
pada perubahan sosial itu biasanya berlangsung lambat. Di sisi yang lain, secara konstitusional isi Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan
tahun 1974 tidak selaras dengan undang-undang yang lahir
kemudian, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak
bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai „18 delapan belas tahun‟; Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sepanjang men genai frasa ‟16 enam belas tahun‟ harus dimaknai secara
inkonstitusional bersyarat conditionally unconstitutional. Sehingga Pasal 7 ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa „16 enam belas
tahun‟ itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai „18 delapan belas tahun‟; Mengubah materi muatan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sehingga bunyi Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perk
awinan menjadi: „Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 18 delapan belas tahun‟.” Lihat
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74PUU-XII2014, 21.
menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
23
Adapun yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
24
Dengan menikahkan anak yang masih berusia 16 tahun, berarti sama halnya merenggut hak-hak anak agar dapat
hidup dan tumbuh serta berkembang secara optimal hingga ia berusia 18 tahun. Sehingga, usia 16 tahun bagi pihak wanita yang
ditetapkan oleh Pasal 7 ayat 1 jelas-jelas tidak selaras dengan apa yang dicita-citakan dalam UU RI Nomor 35 Tahun 2004.
Bagaimana mungkin dua undang-undang bisa saling bertabrakan? Padahal anak yang sedang menjalani masa-masa pertumbuhan
sangat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar UUD 1945, sebagaimana tertera dalam Pasal 28A;
25
Pasal 28Bayat 1 dan 2;
26
Pasal 28C ayat 1;
27
Pasal 28D ayat 1;
28
Pasal 28G ayat
23
Pasal 1 angka 1: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Lihat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
24
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
25
Pasal 28A UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
26
Pasal 28B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “1 Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah; 2 Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
1;
29
Pasal 28H ayat 1, dan 2;
30
serta Pasal 28I ayat 1 dan 2.
31
Wacana perlunya revisi Pasal 7 tentang batas usia menikah dalam UU Perkawinan menjadi sorotan serius setidaknya terkait
empat hal: Pertama, untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini, yang membawa dampak lanjutan pada terjadinya ibu hamil
dan melahirkan pada usia muda, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan ibu hamil dan melahirkan;
32
serta pernikahan dini dalam konteks kesiapan mental psikologis pasangan yang menikah
dikuatirkan berisiko tinggi terhadap angka perceraian. Kedua,
27
Pasal 28C ayat 1 UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
28
Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 menyatakan: “1 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.”
29
Pasal 28G ayat 1 UUD 1945 menyatakan: “1 Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
30
Pasal 28H ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “1 Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; 2 Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.”
31
Pasal 28I ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “1 Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun; 2 Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.”
32
Dalam Tajuk Rencana harian Kompas 21042015, disebutkan bahwa angka kematian ibu AKI masih terlampau tinggi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mencatat AKI
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka itu jauh dari target Sasaran Pembangunan Milenium, yaitu 102 pada tahun ini. Adapun salah satu penyebab tingginya AKI adalah masih
terjadinya praktik pernikahan dini pada anak perempuan. Lihat Tajuk Rencana “Relevansi Peringatan Hari Kartini”, di poskan Kompas, 21 April 2015. Diakses pada tanggal 8 Agustsus
2016, 09.15. Wib
untuk melindungi hak dan kepentingan anak, mengingat bahwa menurut UU No. 23 Tahun 2002 sebagai implementasi Konvensi
Hak Anak, ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah sampai dengan usia 18 tahun.
33
Ketiga, mempertimbangkan kesiapan para pasangan secara sosiologis untuk menjadi keluarga
yang otonom
di tengah-tengah
masyarakat. Keempat,
memperhatikan kesiapan
ekonomidalam kaitannya
dengan kompleksitas kebutuhan rumahtangga di masa sekarang yang
semakin membutuhkan perencanaan matang. Bukan tidak mungkin bahwa hasil kajian dari penelitian ini
menuntut agar ketentuan usia 19 dan 16 itu diubah, karena perubahan hukum merupakan sebuahkeniscayaan seiring dengan
dinamika zaman waktu: “Tidak diingkari perubahan hukum-hukum dikarenakan
berubahnya zaman waktu.”
34
Zaman yang senantiasa mengalami perubahan kemudian menjadi alasan tersendiri mengapa sebuah produk hukum juga
33
Antonius Wiwan Koban, “Revisi Undang-Undang Perkawinan”, Vol. IV No.
10Jakarta: The Indonesian Institute, 2010, h. 3.
34
Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-kaidah Fikih Jakarta: CV Artha Rivera, 2008, halaman.
79. Asjmuni A. Rahman, Qa‟idah-qa‟idah FikihQowā‟idul Fiqhiyyah, Jakarta: Bulan Bintang,
1976, h. 107.
berubah.
35
Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.
36
Lahirnya UU Perkawinan di tahun 1974 tentunya tidak lepas dari dinamika sejarah di mana ia dibuat. Konfigurasi politik dan
dinamika sosial memegang peranan penting sebagai faktor yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Begitu pun dengan
penetapan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan sebagai persyaratan batas minimal usia untuk
melangsungkan perkawinan tidak lepas dari dorongan-dorongan yang muncul baik di lingkungan pemerintah sendiri, lembaga
legislatif, dan juga masyarakat. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Lawrence M.
Friedman, bahwasanya hukum sebagai suatu sistem terdiri dari unsur struktur, substansi dan kultur. Ketiga unsur itu saling
memengaruhi dalam bekerjanya hukum di tengah kehidupan masyarakat.
37
Begitu pula yang berlaku dalam penetapan standar minimal usia kawin yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 1
UU Perkawinan tahun 1974. Secara keseluruhan, penetapan undang-undang itu juga memiliki latar belakang yang panjang.
Unsur-unsur seperti struktur hukum, substansi hukum dan kultur
35
Umi Sumbulah, “Ketentuan Perkawinan dalam KHI dan Implikasinya bagi Fiqh
Mu‟asyarah: Sebuah Analisis Gender”, h. 95.
36
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009, h. 6.
37
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosical Science Perspective, New York:
Russel Soge Foundation, 1969, halaman. 225.
hukum yang ada di dalamnya tentunya bekerja secara koheren. Sehingga, kita tidak bisa hanya melihat dari sebagian sisi saja.
Ketentuan hukum tentang usia minimal kawin itu setidaknya dilatarbelakangi oleh unsur tuntutan sosial, politik, budaya,
ekonomi dan juga agama, sebagaimana bagan di bawah ini:
38
Maka dari itu, penulis hendak mencoba memetakan konteks terkait penetapan batas minimal usia kawin sebagaimana yang
tertera pada bagan di atas. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman dan penafsiran yang dilakukan terhadap Pasal 7 ayat 1 UU
Perkawinan tidak bias.
b. Turki
Turki merupakan negara yang berdiri di atas reruntuhan Imperium Turki Utsmani yang berkuasa hampir enam abad
lamanya 1342-1924 Masehi. Terbentuknya Negara Turki Sekuler 1934M di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal At-Thatturk
38
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia Bandung: Penerbit Marja, 2014, h.50.
Sosial Politik
Ekonomi AgamaMoral
Hukum Budaya
secara resmi menghapuskan dinasti kekhalifaan Utsmani pada tahun 1922.
39
Sejak tahun 1876 Turki Utsmani telah menetapkan Undang- undang Sipil Islam
Majallat al-Ahkam al-Adliya yang diadopsi dari hukum berbagai Madzhab dan sebagian diambil dari materi
hukum Barat. Namun Undang-undang itu kurang lengkap karena tidak mencantumkan hukum keluarga.
40
Seluruh materi hukum yang ada pada
Majallat al –Ahkam al-Adliya ini belum sempat
direformasi dan belum diundangkan sampai abad ke-20. Ketika itu untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum
keluarga dan hukum waris, diatur resmi oleh pemerintah dengan mengadopsi penuh dari Madzhab Hanafi, namun hal tersebut
rupanya terdapat sifat penjajahan terhadap hak-hak perempuan terutama dalam masalah perceraian.
Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-undang Hukum Keluarga
yang diambil dari berbagai madzhab dengan
menggunakan prinsip tahayyur eclectic choice.
41
Undang-undang tersebut diberi nama
The Ottoman Law Of Family Right atau Qanun Qarar al-Haquq al-
„Ailah al-Usmaniyyah. Undang-undang Ottoman ini terdiri dari 156 pasal minus pasal mengenai waris.
42
39
The World Book Encyclopedia, Vol 19, USA: World Book Inc, 1987, h. 414.
40
JND Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Alih BahasaYogyakarta: Tiara
Wacana, 1994, h.272
41
Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h.82.
42
Cyrill Glasse, Encyclopedi Islam¸
Alih Bahasa: Ghufron A. Mas‟adi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, h.214.
Disebutkan dalam The Ottoman Law Of Family Right 1917
terkait Undang-undang batas usia perkawinan dalam buku Dedi Supriadi adalah:
“Bagi laki-laki, batas usia perkawinan, minimal 18 tahun, dan bagi perempuan 17
tahun.”Adapun syarat bagi
perkawinan tidak normal dispensasi dalam beberapa kasus pengadilan tetap menetapkan batasan usia perkawinan bagi kedua
calon mempelai yakni 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Secara lengkap pasal yang berkenaan dengan batasan
usia perkawinan, sebagaimana Ottoman Law of Family Right 1917,
berikut ini:
CAPACITY TO MARRY 4.
It is a condition for competemce to marry that the man must have completed eighteen years and the woman seventeen years of age.
5. Where an adolescent boy who has not completed his eighteen year
claims puberty, the Court may permit him to marry if he is adequately mature.
6. Where an adolescent girl who has not completed her seventeen year
claims puberty, the Court may permit him to marry if he is adequately mature and her guardian in marrige has given consent.
7. Nobody is permitted to contract into merriage minor boy who has
not completed the age of twelve years or aminor girl who is below the age of nine years.
8. Where a girl who has completed seventeen year of her of her age
desires to marry a person, the Court shall communicate her desire to her guardian and if the guardian does not object, Or if his objection
appears to be unreasonable, the Court shall give her permission to marry that person.
Dalam butir 7 di jelaskan bahwa tidak diijinkan pernikahan bagi laki-laki yang umurnya kurang dari 12 tahun dan anak gadis
yang dibawah 9 tahun. Artinya ketika itu ketentuan minimal usia kawin telah di tetapkan sebagaimana butir 7 dalam Undang-undang
Ottoman Law Of Family Right 1917.
Seiring berjalannya zaman, pergolakan politik yang terjadi di Turki pada saat itu sangat mempengaruhi stabilitas Perundang-
undangan.
43
Terutama ketika isu Turki Modern mulai mengemuka, imbasnya Undang-undang ini sempat dibekukan pada tahun 1919,
dengan harapan akan dapat diganti dengan Undang-undang yang lebih komprehensif. Akan tetapi, karena ketidak berhasilan para
ahli yang telah diberi tugas dalam mencapai tujuan yang dimaksud, akhirnya Turki mengadopsi Undang-undang Sipil Swiss atau lebih
dikenal dengan istilah The Swiss Civil Code tahun 1912.
44
Hasil adopsi tersebut melahirkan Undang-undang Sipil Turki yang baru sebagai pengganti
The Ottoman Law Of Family Right 1917 yaitu The Turkish Civil Code 1926, dengan sedikit perubahan
sesuai dengan tuntutan kondisi Turki.
45
Namun Undang-undang baru Turki ini tidak sepenuhnya mengadopsi Undang-undang Sipil
Swiss, bagaimanapun tetap disesuaikan dengan tradisi dan kondisi Islam di Turki. UU pembaharuan ini keseriusannya terlihat ketika
telah diamandemen sebanyak 6 kali dari tahun 1933-1956 demi terciptanya keselarasan antara UU Sipil dengan konsep-konsep
Islam.
46
43
Ajid Tohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar
Sejarah, Budaya, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, h.181.
44
Http:Alfiyatuss.Blogspot.Co.Id201112Westernisasi-Dunia-Islam-Kasus-Turki.Html .
diakses pada 15 Agustus 2016, 14.00. Wib
45
Khoiruddin Nasutin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malysia, Jakarta, INIS, 2002, h. 92.
46
Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h.83.
Begitupun dampak perubahannya terhadap Pasal yang mengatur penetapan batas usia perkawinan. Setelah dilakukan
amandemen tentang batas-batas umur perkawinan, maka yang tertera dalam UU Sipil Turki 1926 adalah :
Seorang laki-laki dan perempuan tidak dapat menikah sebelum berumur 17 tahun.
Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan mengijinkan terjadinya pernikahan umur 16 tahun bagi laki-laki dan
perempuan, setelah adanya konsultasiijin wali atau orang tuanya. Adapun secara lengkap penjelasanya dalam Undang-undang
The Turkish Civil Code 1926 adalah sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG SIPIL TURKI 1926 PERKAWINAN DAN DISKRIMINASI
47
A. Ketentuan Lisensi I. Usia
Pasal 124-
Laki-laki atau perempuan dapat menikah sebelum usia tujuh belas tahun. Namun, dalam kasus luar biasa, sehingga hakim
dapat memungkinkan alasan utama enam belas tahun untuk pria atau wanita untuk menikah. Bila mungkin keputusan sebelum
orang tua atau wali didengar. II. Kekuatan Diskriminasi
Pasal 125- Ia tidak memiliki kapasitas untuk bertindak dan tidak
bisa menikah.
47
Undang-Undang Sipil Turki 1926, Terjemah
“TÜRK MEDENî KANUNU”
III. Persetujuan dari Perwakilan Hukum 1. Tentang Anak di bawah Umur
Pasal 126- Anak kecil, tidak bisa menikah tanpa persetujuan dari
perwakilan hukum mereka. 2. Tentang Lumpuh
Pasal 127- Terbatas, dia tidak bisa menikah tanpa persetujuan dari
perwakilan hukum mereka. 3. Ke Pengadilan
Pasal 128- Hakim, setelah mendengarkan perwakilan hukum
dibenarkan tidak mengijinkan pernikahan tidak bisa membiarkan masalah ini untuk kelayakan kecil atau terbatas untuk menikah.
TABEL. 2.1 PERBANDINGAN UU LAMA Tahun 1917 DAN BARU
Tahun 1926 DI TURKI
No Negara
Usia Perkawinan Syarat
pengurangan perkawinan
menurut pengadilan
Ottoman Law of Family Right
1917 The Turkish
Civil Code 1926
Pria Thn
Wanita Thn
Pria Thn
Wanita Thn
1 Turki
18 17
17 17
Alasan Baik Dispensasi
Nikah 15
14 16
16 Alasan Baik
Dari tabel perbandingan di atas jelas terlihat secara signifikan terhadap perubahan batas usia pernikahan. Bukan tanpa sebab Turki
merubah isi dalam Undang-undang tersebut, banyaknya tuntutan
kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki turut serta mempengaruhi terhadap perubahan batas usia perkawinan.
48
Terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi sebagaimana umur perkawinan dalam Undang-undang, Turki sama halnya dengan
Indonesia dan Maroko. Memberikan keringanan atau lebih dikenal dengan istilah
dispensasi kepada para calon mempelai. Sekalipun wali nikah tidak menjadi syarat mutlak dalam pernikahan di Turki
khususnya terhadap mempelai wanita Madzhab Hanafi, akan tetapi berbeda dengan masalah usia pernikahan.
49
Orang tuawali bertanggungjawab penuh terhadap pernikahan tidak normal sebelum masuk pertmbangan dewan hakim. Dijelaskan
bahwa dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan dapat memberikan izin pernikahan kepada calon mempelai yang berusia 16 tahun. Yang
menarik, sekalipun memberikan dispensasi, tetapi turki tetap memberlakukan batas minimum kawin sebagai mana prinsip
minimal baligh Imam Hanafi yang terkenal tegas.
c. Maroko
Di dunia Arab, Maroko adalah negara kedua setelah Tunisia yang memperbaharui hukum keluarga yang memberi porsi lebih
besar kepada pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam kehidupan keluarga.
50
Setelah merdeka dari Prancis pada tahun
48
Ilyas Hasan, Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993, h. 128.
49
Ilyas Hasan, Dinasti-dinasti Islam, h. 131.
50
Fatima Sadiqi, “Facing Challenges and Ploneering Feminists and Gender Studies: Women
in Post
Colonial and
Today‟s Maghrib”,
468.
1956, Maroko awalnya mengadopsi kebijakan sosial konservatif a
socially conservative policy terhadap hukum keluarga dengan menyusun kitab Hukum Keluarga.
Kitab Hukum Keluarga yang diberi nama Mudawwanah al-
Ahwâl al-Shakshiyâh pada dasarnya merupakan pengulangan daru hukum keluarga Madzhab Maliki yang diberlakukan di Maroko
selama masa penjajahan Prancis. Ia dirumuskan sebagai seperangkat keputusan kerajaan Maroko yang dirilis antara tahun 1957 dan 1958.
Tujuan penyusunannya adalah untuk mempersatukan seluruh kelompok masyarakat di Maroko dalam satu perangkat Hukum
Keluarga.
51
Selain dari pada Turki, Maroko merupakan negara yang lebih keras dalam memperjuangkan kesetaraan antara hak-hak perempuan
dengan laki-laki. Hal tersebut tertuang dalam Sebelas Reformasi
Utama Eleven Main Reform, dimana pada tanggal 10 Oktober 2003 Raja Mohammad VI berpidato didepan para anggota Parlemen untuk
mengusulkan sebelas reformasi mendasar dalam Hukum Keluarga di Maroko. Dalam muatan materi ketiga membahas tentang
pembaharuan batas
usia perkawinan
dari Undang-undang
sebelumnya.
http:iknowpolitics.orgsitesdefaultfilesnew20article20by20sadiqi . Pdf, diakses pada tanggal 19
Agustus 2016, 19.45. Wib
51
Fatima Sadiqi, “Facing Challenges and Ploneering Feminists and Gender Studies: Women in Post Colonial and Today‟s Maghrib”, h. 469.
Pada Pebruari 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga
Mudawwanah al-Usrah yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang
ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad.
52
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan selain terhadap kasus perceraian juga dipastikan berdampak terhadap perubahan
penetapan batas usia minimum untuk menikah pada barometer 18 tahun bagi kedua calon mempelai. Hakim dapat, bagaimanapun,
menurunkan usia untuk menikah dalam kasus-kasus tertentu. Juga kesetaraan dipastikan antara anak laki-laki dan perempuan
ditempatkan, dengan memungkinkan mereka untuk memilih pasangan mereka pada usia 15 tahun. Dalam kode lama, usia
minimum untuk menikah adalah 15 tahun untuk anak perempuan dan 18 anak laki-laki.
53
Adapun Undang-undang Maroko Moudawana, 2004 yang
menyangkut persoalan batas usia perkawinan penulis kutip secara original adalah sebagai berikut:
52
Mudawwanah al-Ahwâl al-Shakshiyâh yang berubah menjadi Mudawwanah al-Usrah. Lihat Nur Rofi‟ah, “Maroko untuk Wujudkan Keadilan melalui Hukum Keluarga”,
http:kuliahhukumkeluargaIslam12.blogspot.com201203maroko-untuk-wujudkan- keadilanmelalui.html
. diakses pada tanggal 19 agustus 2016, 20.15.Wib
53
Moha ENNAJI, The New Muslim Personal Status Law in Marocco: Context,
Proponents, Adversaries, and Argunents, Rutgers University University of Fès, 2003, h.3.
THE MOROCCAN FAMILY CODE MOUDAWANA
54
of February 5, 2004 BOOK ONE: OF MARRIAGE
Title One: Of Engagement and Marriage Title Two: Of Capacity, Tutelage and the Dowry
Chapter I: Of Capacity and Tutelage in Marriage Article 19