Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tahir Mahmood membagi penerapan hukum keluarga pada negara- negara berpenduduk Muslim menjadi tiga bentuk: pertama negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional yang banyak terdapat di teritorial jazirah Arab dan beberapa negara Afrika yaitu Saudi Arabia, Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia dan lain-lain. Kedua yaitu negara yang menerapkan hukum sekularis, dalam kategori ini seperti halnya negara Turki, Albania, Tanzania, minoritas Muslim Philipina dan Uni Soviet. Negara ini berpenduduk mayoritas Muslim, tetapi mengganti hukum keluarga dengan hukum yang bersumber dari Eropa Turki dan Swiss, atau negara dengan penduduk minoritas Muslim tapi harus tunduk pada aturan hukum negaranya. Ketiga adalah negara yang menerapkan hukum keluarga yang di perbaharui seperti Indonesia, Jordania, Malaysia, Brunei, Singapore, dan lain-lain. 1 Turki dan Indonesia merupakan dua negara yang secara geografis terletak di benua yang sama. Namun Muslim Turki bermadzhab Hanafi, sedangkan Muslim Indonesia bermadzha b Syafi’i. Turki berada di benua Asia bagian Barat sedangkan Indonesia berada di benua Asia Tenggara. Berbeda halnya dengan Turki dan Indonesia yang terletak di benua yang 1 Tahir Mahmood, Family Law Reform In the Muslim World, New Delhi: The Indian Law Institute, 1972, h. 20. sama, Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian barat-laut Afrika. Penduduk asli Maroko adalah Berber, yaitu masyarakat kulit putih dari Afrika Utara. Mereka penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Bahasa yang di miliki dan yang menjadi bahasa kebudayaan mereka yaitu bahasa Arab. 1 Berdasarkan data sensus pertengahan tahun 1991, jumlah penduduk Maroko adalah sekitar 27 juta jiwa dan lebih dari 99 adalah Muslim Sunni. Penganut agama Yahudi hanya kira-kira berjumlah kurang dari 8000 orang yang sebagian besar bertempat di Casablanca dan kota- kota di pesisir. 2 Adapun Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim yang menganut madzhab Syafi’i. Dalam konstitusi demikian menarik untuk di kaji adalah dalam pembentukan UU atau hukum keluarga islam ketiga negara tersebut, khususnya dalam mengatur batasan usia perkawinan dan implikasinya terhadap masalah dispensasi nikah. Tahir Mahmood menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak melangsungkan pernikahan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. 3 Dalam kasus tertentu pengadilan dapat mengijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun bagi perempuan. Hal ini menjadi unik karena patokan umur tetap menjadi hal utama, berbeda dengan negara Islam atau 1 Cammak, Mark. ”Hukum Islam dalam Politik Hukum Orde Baru” dalam Sudirman Tebba editor, Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung: Mizan, 1993, h. 27-54. 2 M. Atho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern dan Kitab-Kitab Fikih, Jakarta: Ciputat Press, 2003, h.97. 3 Tahir Mahmood, Family Law Reform In the Muslim World, h.22. mayoritas Muslim lainnya dimana dengan putusan pengadilan dapat memberikan dispensasi nikah dengan syarat keutamaan telah memasuki masa baligh bagi kedua calon mempelai sebagaimana dalam fikih. 1 Indonesia termasuk negara yang cukup menoleransi perkawinan muda. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan negara-negara lain dalam pembatasan usia nikah. Negara yang menerapkan usia 21 bagi laki-laki adalah Aljazair dan Bangladesh, serta 18 tahun bagi perempuan. Sementara Tunisia sama dengan Indonesia 19 tahun bagi laki-laki, hanya saja Tunisia membatasi 17 tahun untuk perempuan. Yang cukup banyak adalah usia 18 tahun bagi laki-laki, yaitu Mesir, Irak, Lebanon, libya, Maroko, Pakistan, Somalia, Yaman Selatan dan Suriah. Sisanya adalah di bawah 18 tahun, yakni Turki yang mematok umur 17 tahun untuk laki- laki, Yordania 17 tahun, dan yang paling rendah adalah Yaman Utara 15 tahun bagi perempuan. 2 Islam sejatinya tidak pernah melarang perkawinan antara orang tua dengan anak-anak. Hanya saja, perkawinan dalam Islam sendiri dimaksudkan agar tercipta ketenangan jiwa dan kebahagiaan, hal mana sepenuhnya diserahkan kepada orang tua mereka terkait dengan perempuan yang belum dewasa. Pertimbangan orang tualah yang akan menentukan arah masa depan sang anak, namun demikian, menurut al- Siba’i, al-Qulyubi pernah berpendapat bahwa boleh saja orang tua 1 Dedi, Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, Bandung: Pustaka setia, 2011, h. 57. 2 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987, h.270. menikahkan anaknya dengan orang tua atau orang buta, tetapi hukumnya haram. 1

B. Identifikasi Masalah