Perbandingan Vertikal ANALISIS PERBANDINGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL BATAS

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL BATAS

USIA MINIMAL KAWIN DI INDONESIA, TURKI, DAN MAROKO

A. Perbandingan Vertikal

1. Aturan Hukum di Negara Indonesia, Turki, dan Maroko dengan

Kitab Fikih a. Indonesia Syariat merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah SWT melalui Rasul-Nya yang wajib di ikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungannya dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia dan benda, dasar-dasar hukum ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya, syari‟at terdapat di dalam Al- Qur‟an dan Al-Hadits. 1 Jika diperhatikan sejarah dinamika hukum Islam di Indonesia terdapat beberapa catatan; pertama, karakteristik hukum Islam Indonesia dominan diwarnai oleh keperibadian Arab Arab Oriented dan lebih dekat kepada tradisi Madzhab Syafi‟i. Hal ini 1 Daud Ali, M. Hukum Islam PIH dan THI Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h.42. dapat dilihat dari kitab-kitab rujukan yang dipakai oleh para ulama yang kebanyakan menggunakan kitab-kitab fikih Sya fi‟iyyah. 2 Kondisi seperti ini terlihat pula pada rumusan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia yang kental dengan warna Syafi‟inya. Selain itu, secara metodologis pun para ulama kebanyakan menggunakan kitab-kitab usul fikih karangan ulama-u lama Madzhab Syafi‟i. Sebagaimana dimaklumi bahwa usul fikih terutama yang diajarkan di kebanyakan pesantren, sebagian besar pembahasannya baru sampai masalah qiyas, walaupun ada yang lebih luas dari itu. 3 Kedua, dilihat dari aspek materi substansi ruang lingkup hukum Islam yang dikembangkan di Indonesia, tampaknya lebih dititik beratkan pada hukum privat atau hukum keluarga Ahwal al- Syakhsiyyah, seperti: perkawinan, kewarisan, perwakafan, seperti yang tercakup dalam KHI. Lembaga Peradilan Agama pun hingga saat ini hanya berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan perkara terbatas kendati telah ada penambahan kewenangan dalam bidang ekonomi Syari‟ah, namun secara praktik belum dapat ditangani PA. Memang ada informasi yang menggembirakan, yakni kehadiran bank- bank Syari‟ah dan BMT- 2 Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi‟i di Asia Tenggara, Fikih dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, Semarang: PT Pustaka Jaya Abadi, 2008, h. 88. 3 Abdul Hadi Muthohar, Pengaruh Madzhab Syafi‟i di Asia Tenggara, Fikih dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan di Indonesia, Brunei, dan Malaysia, h. 91- 92. BMT, serta lembaga- lembaga keuangan Syari‟ah di Indonesia dewasa ini yang merupakan fenomena eksistensi hukum Islam dalam bidang mu‟alah. Ketiga, dilihat dari aspek pemberlakuan, tampaknya ada kecenderungan kuat bahwa hukum Islam diharapkan menjadi bagian dari hukum positif negara, sebagai bentuk akomodasi pemerintah terhadap umat Islam. 4 Jika kecenderungan itu dikaitkan dengan masalah efektivitas hukum, tampaknya ada harapan bahwa dengan diangkat menjadi hukum negara, hukum Islam akan memiliki daya ikat yang kuat untuk ditaati oleh masyarakat yang beragama Islam. Logika hukum seperti itu untuk sementara dapat diterima, kendatipun pada kenyataannya tidak selalu terjadi demikian. Ada kekhawatiran bahwa pemerintah akan memanfaatkan kondisi seperti ini untuk ikut serta menentukan formulasi hukum Islam yang mana dan seperti apa yang sebaiknya diimplementasikan di Indonesia. 5 Sumbangsi hasil ijtihad Imam Syafi‟i yang dijadikan landasan dalam menetukan batas usia kawin di Indonesia bukanlah tanpa pertimbangan, kendati demikian kentalnya kitab-kitab fikih Syafi‟iyyah dalam pembentukan hukum keluarga dirasa telah cukup memenuhi kebutuhan bagi umat Islam di Indonesia. Konsep 4 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, h.269. 5 Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 271. umur dalam pernikahan sebenarnya dalam pemikiran Para Imam Madzhab ialah lebih ditekankan pada tingkat kedewasaan seseorang, sekalipun dalam menetukan kedewasaan tersebut setiap ulama Madzhab memiliki pandangan dan cara masing-masing. 6 Seperti halnya Imam Syafi‟i, sedikit membahas yang sebelumnya tertulis di dalam pembahasan BAB II, dijelaskan bahwa usia kedewasaan menurut-nya adalah 15 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Sekalipun hal itu tidak serupa dengan barometer yang ditetapkan dalam UU Perkawinan di Indonesia No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 yang berbunyi: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. Akan tetapi, jelas hal tersebut sesuai dengan prinsip yang dikemukakan Imam Syafi‟i apabila melihat ke dalam ayat selanjutnya, yakni Ayat 2 Pasal 7 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. 7 Beliau menjelaskan bahwa, pada dasarnya kedewasaan tiap orang berbeda dan cenderung sukar di ukur dengan batasan usia. 6 Muhammad Jawad Mughniyah, FIKIH LIMA MAZHAB, h. 96. 7 Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 2 Hal yang paling utama baginya, seseorang yang ingin melangsungkan perkawinan hendaknya telah mampu memahami khitab asy- syar‟i tuntutan syarak. Implikasinya dari syarat ini, berarti adalah bukan anak kecil, orang gila, orang hilang ingatan, orang tidur, dan orang yang dalam keadaan hajat bersalah, maka baginya tidak berlaku hukum taklif. 8 Kedua, seseorang yang dianggap dewasa berarti sudah cakap dalam bertindak hukum, yang dalam usul fikih disebut al-ahliyah. Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh perbuatan yang dilakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. 9 Itulah barometer kedewasaan bagi Imam Syafi‟i disamping bukti kebalighan pada umumnya seperti tumbuh bulu-bulu ketiak, mimpi basah keluar sperma dan pecah suara bagi laki-laki, serta haidh atau siap hamil bagi perempuan. Korelasi dengan UU tentang batasan usia perkawinan dalam Pasal 7 Ayat 2 dapat ditafsirkan; sekalipun seseorang yang belum mencukupi umur sebagaimana ketetapan, akan tetapi apabila telah memenuhi syarat mutlak dalam Syari‟at Islam dan telah mendapatkan izin wali pihak perempuan, maka pernikahan tersebut tetap dapat dilangsungkan. ` 8 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an dan As Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo, Cet-III, 2003, h.5. 9 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al Qur‟an dan As Sunnah, h. 6-7. Adapun terhadap penyimpangan Pasal 6 ayat 2 hal tersebut dianggap sebagai penguat dalam sebuah perkawinan dengan kejelasan adanya izin wali, hal tersebut diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV Pasal 15 ayat 1 dan 2 yang tak lain adalah buah hasil dari kontribusi kitab-kitab fikih Madzhab Syafi‟iyyah. Buah ijtihad dari pemikiran- pemikiran Imam Syafi‟i dianggap sangat pas dengan keadaan dan kebutuhan umat Islam di Indonesia, oleh sebab itu ketika pedagang Mesir datang ke Indonesia untuk berdagang dan sekaligus menyebarkan Syiar Islam dengan mudah masyarakat menerima Islam sebagai agama yang hakiki.

b. Turki

Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim pada abad 20 adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga perkawinan, perceraian, dan waris di negara-negara mayoritas Muslim. Terutama Turki misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1917. 10 Sebelum masuk kepada pembaharuan hukum keluarga, Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di Asia Barat. Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada Madzhab Hanafi, namun kemudian juga menampung madzhab- madzhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiya 11 yang 10 Prof. Dr. Abu Su‟ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 101. 11 Fadil Sj, Pasang Surut Peradaban Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008, h.258. telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum keluarga. Madzhab Hanafi mulanya tumbuh di Kufah sesuai dengan tanah kelahirannya Imam Abu Hanifah, kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Hingga akhirnya Madzhab Hanafi merupakan Madzhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Dan Madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok. 12 Bila melihat sejarah pengaruh kitab-kitab fikih Hanafiah dalam pembentukan hukum keluarga di Turki pada mulanya, hal tersebut nampaknya tidak terlepas dari sosok Muhammad ibn Hasan al-Syaibani 132-189 H. Beliau adalah murid Imam Abu Hanifah kedua yang langsung berguru kepada-nya setelah Abu Yusuf Ya‟kub ibn Ibrahim al-Anshari 113-182 H. Sepeninggal Imam Abu Hanifah, Muhammad ibn Hasan berguru kepada murid utamanya yaitu Abu Yusuf. Bahkan sempat dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa, semasa hidupnya Muhammad ibn Hasan juga sempat berguru kepada Al-Imam Malik bin Anas di Madinah. 13 Kedudukan Muhammad juga sudah sampai ke derajat mujtahid mutlak, tetapi tidak mustaqil karena beliau tetap masih merujuk kepada Madzhab gurunya. Beliau adalah salah seorang 12 http:beritaIslamimasakini.comsejarah-dan-tokoh-4-mazhab-Islam.htm diakses pada 25 Juli 2016, 15.15.Wib 13 Prof. Dr. Abu Su‟ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, h. 100. murid yang paling banyak menyusun buah pikir Abu Hanifah, dari karya-karyanya terkenal dengan istilah al-Kutub al-Sittah enam kitab, yaitu:  Kitab al-Mabsuth  Kitab al-Ziyadat  Kitab al-Jami‟ al-Shagir  Kitab al-Jami‟ al-Kabir  Kitab al-Sair al-Shagir  Kitab al-Sair al-Kabir Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan Madzhabnya berpengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya tersebar di berbagai negara, seperti di Turki. Madzhab Hanafi pada masa Khilafah Bani Abbasiyah merupakan Madzhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Utsmani, sehingga Madzhab ini dideklarasikan sebagai Madzhab resmi negara. 14 Selain itu Madzhab Al-Hanafiyah juga menjadi madzhab resmi khilafah Bani Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Dan selama masa kekuasaan Turki, madzhab Al-Hanafiyah sempat dijadikan qanun atau Undang-undang, lengkap dengan bab, pasal dan ayat. Undang-undang ini kemudian diberlakukan di hampir semua wilayah Islam, baik di barat maupun di timur. 14 Karsidi Diningrat R, Sejarah Modern Turki, h. 244. Dalam menetapkan usia seseorang dianggap baligh Ulama Hanafiyyah menyebutkan; “Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan”. 15 Dari ketegasan pemikiran Abu Hanifah dalam hal Syari‟at tersebut nampaknya benar-benar diadopsi langsung oleh Perundang- undangan di Turki, Sekalipun Undang-undang tersebut telah mengalami pembaharuan hukum dari ketentuan sebelumnya, akan tetapi peraturan yang dijalankan Turki tersebut sama persis dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang tetap memberikan ketentuan batasan usia dewasa usia minimal kawin saat ini di Turki yaitu 12 tahun minimal usia dewasa bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan, sedangkan Turki menerapkan dalam pengecualian Undang-undangnya yakni 15 tahun dalam sebuah kasus di pengadilan. 16

c. Maroko

Penduduk asli negara ini adalah Berber, konon merupakan suku kulit putih Afrika Utara yang mempunyai garis keturunan langsung dengan Rasulullah SAW merupakan penganut agama Islam bermadzhab Maliki. Selama proses invasi Perancis dan Spanyol, kedua negara tersebut banyak mempengaruhi hukum lokal, namun dalam w ilayah personal, Syari‟ah Islam tetap 15 Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki, Jakarta: Djambatan, 1994, h.102. 16 Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki, h. 105. menunjukan supermasinya. 17 Sebagai negara yang mayoritas penduduknya bermadzhab Maliki, Maroko menerapkan prinsip- prinsip hukum Madzhab tersebut dalam pengadilan Syari‟ah. Di samping hukum Syari‟ah di beberapa wilayah Maroko juga diterapkan hukum adat ta‟amul dan diatur oleh pengadilan daerah yang dalam beberapa aspek ternyata saling bertentangan dengan Syari‟ah Islam. 18 Para ahli hukum Maroko merasa tidak senang dengan pengaruh keduanya yakni hukum Perancis dan adat lokal. Mereka menginginkan Syari‟ah Islam digunakan sebagai satu-satunya dalam hukum personal. Kodifikasi hukum Syari‟ah dalam garis modern merupakan jawaban dari keinginan tersebut dan mereka memulai pekerjaannya dengan tujuan ini. Kesadaran akan pentingnya pembaharuan hukum menemukan momentumnya setelah Maroko meredeka dari penjajahan Perancis tahun 1956. Pembaharuan hukum di Maroko antara lain tercermin dalam rancangan draft Undang-undang Hukum Keluarga, Mudawwanah al ahwal al Syakhshiyyah pada tahun 1957-1958. 19 Melalui Komisi Tinggi yang dibentuk pemerintah Maroko pada 19 Agustus 1957, parah ahli hukum Maroko melakukan finalisasi draft Hukum Keluarga Sumber-sumber yang dijadikan rujukan rancangan adalah: a Prinsip-prinsip berbagai Madzhab 17 Abdul Sani, Lintas Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, h.46. 18 Tahir Mahmood, Family Law Reform In The Muslim World, h.79. 19 Hamka, Sejarah Umat Islam, h. 302-305. Fikih, khususnya Madzhab Maliki. b Doktrin Maliki tentang Mashlahah Mursalah. c Legalisasi yang diterapkan di negeri- negeri Muslim. Namun yang menarik dalam permasalahan batas usia perkawinan di Maroko, negara tersebut cenderung tidak mengikuti prinsip Madzhab Malikiyah. Dalam sebuah penjelasan disebutkan: “Batas minimal usia boleh kawin di Maroko bagi laki-laki 18 tahun, sedangkan bagi wanita 15 tahun. Namun demikian diisyaratkan ijin wali jika perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas umur kedewasaan”. Sebagai ulasan, Imam Malik sendiri menetapkan batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah 17 tahun, sedangkan Imam Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal menetapkan batas usia 15 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Berbeda dengan yang lainnya, Imam Hanafi membedakan batasan usia keduanya. Sehingga dalam hal ini berdasarkan beberapa referensi Maroko cenderung mengikuti ketentuan umur yang ditetapkan oleh Imam Syafi‟i dan Ahmad Bin Hambal. 20 20 Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, h.95.

B. Perbandingan Horizontal