Fenomena Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan

35 baik serta mampu berpartisipasi aktif dalam meningkatkan peran sektor perikanan untuk mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

2.6 Kelembagaan Lokal dan Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan

Tekanan utama untuk memahami kelembagaan sosial yang membedakannya dengan konsep lain seperti grup, asosiasi dan organisasi adalah berfungsi memenuhi kebutuhan pokok manusia. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, kelembagaan sosial mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut: 1 sebagai pedoman berperilaku bagi masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, 2 untuk menjaga keutuhan masyarakat, serta 3 memberikan pegangan pada masyarakat untuk melakukan kontrol sosial seperti sistem pengawasan terhadap tingkah laku anggotanya Soekanto 1987. Bagi masyarakat pesisir, pemanfaatan sumberdaya laut diatur melalui institusi atau kelembagaan lokal yang dinamakan dengan Hak ulayat laut HUL. Secara khusus hak ulayat laut dimaknai sebagai seperangkat aturan mengenai pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya, yang terkait dengan siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumberdaya apa yang boleh ditangkap dan bagaimana teknik pemanfaatannya untuk menghindari eksploitasi secara berlebihan Wahyono, et al. 2000. Hak ulayat laut sebagai pranata lokal sebenarnya memuat kearifan tradisional yang merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat istiadat yang menuntun perilaku manusia dalam komunitas ekologis yang eksistensi dihayati, disosialisasikan, dipraktikkan dan diwariskan secara turun temurun. Dengan kata lain, kearifan tradisional mencakup pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat mengenai konstruksi relasi yang baik diantara komunitas ekologis manusia dan alam. Jadi kearifan tradisional adalah milik komunitas, bersifat praktis dan holistik merupakan aktivitas moral dan bersifat lokal Keraf 2002. Predikat hak ulayat laut sebagai sebuah sistem norma identik dengan kesadaran kolektif yang mempunyai dua sifat utama yaitu pertama berupa kesadaran kolektif yang selalu diwariskan atau disosialisasikan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Kedua kesadaran kolektif mengandung kekuatan psikis memaksa setiap individu sebagai anggota kelompok untuk menyesuaikan diri Wahyono, et al. 2000. Banyak bentuk kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut. Pada komunitas nelayan di Kabupaten Bengkalis dikenal praktek merawai sebagai suatu kelembagaan yang mengatur cara-cara pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Setiap anggota komunitas sangat patuh terhadap pranata tersebut karena sifatnya mengikat dan disertai sanksi. Secara aktual kelembagaan tersebut mengatur penggunaan jenis alat tangkap dan jumlah jam kerja. Nelayan hanya menggunakan alat tangkap rawai sejenis pancing dan bekerja menangkap ikan dalam jumlah jam kerja yang terbatas. Terdapat pula hari-hari terlarang bagi nelayan untuk melakukan aktivitas melaut. Selain itu hal- hal yang berkenaan dengan upacara laut menjadi suatu yang diagungkan dan dilaksanakan secara rutin. Pemahaman tentang kearifal lokal penting dipelajari, menurut Wahyono, et al. 2000 hal ini sangat terkait dengan masalah konflik yang terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Konflik yang terjadi diyakini merubah hak ulayat laut, mulai dari isi prakteknya sampai kepada perubahan yang menyangkut semakin melemahnya pelaksanaan hak ulayat laut tersebut. Sumber konflik yang utama adalah peningkatan intensitas eksploitasi, yang terjadi karena perubahan tingkat komersialisasi, perubahan teknologi, kondisi ekologis sumberdaya dan pertambahan penduduk. Aspek lain yang juga berkaitan dengan konflik adalah lingkungan fisik hak ulayat laut, lingkungan politik legal serta alternatif lapangan kerja atau mata pencaharian lain.

2.7 Fenomena Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan

Sumberdaya perikanan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya itu sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara atau pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, jika pemanfaatan itu dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumberdaya itu akan mengalami tekanan secara ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya. Pengelolaan, penataan, atau dalam terminologi yang lebih umum, manajemen sumberdaya perikanan perlu dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dengan baik dan tujuan pembangunan dapat dicapai Nikijuluw 2002 Konflik antar nelayan di Indonesia telah terjadi sejak lama dan makin marak akhir-akhir ini, terutama setelah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur bahwa pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan pemerintah kabupatenkota berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 36 4 mil. Ketentuan itu mencerminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan termasuk perikanan dari pola sentralistik ke desentralistik. Menurut Nikijuluw 2002, konflik antar nelayan yang terjadi karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perizinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya. Sementara itu, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan property rights maupun pemanfaatan economic rights. Kondisi di atas apabila berlangsung terus menerus maka tujuan pembangunan perikanan tangkap sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan serta lingkungannya akan semakin sulit dicapai. 1. Jenis dan Faktor Penyebab Konflik Menurut Sularso, et al. 2002 jenis-jenis konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara umum, konflik antar nelayan dapat dikelompokkan atas 4 empat jenis sebagai berikut: 1 konflik kelas, 2 konflik orientasi, 3 konflik agraria, dan 4 konflik primordial. Konflik Kelas yaitu konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap effort, yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat 37 merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumberdaya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar. Konflik Orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam prakteknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumberdaya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Konflik Agraria yaitu konflik perebutan penangkapan fishing ground, biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak eforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria. Selain jenis dan faktor di atas, Nikijuluw 2002 menyatakan penyebab terjadinya konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan disebabkan beberapa faktor sebagai berikut: 1. Potensi Sumberdaya Ikan vs Jumlah Nelayan Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan SDI pada tahun 1997, yang kemudian dikukuhkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 995KptsIK.210999, Tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan JTB, potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia adalah sebesar 6,3 juta ton per tahun, dengan rincian 4,4 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,8 juta ton per tahun dari perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI. Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azas kehatian-hatian precautionary approach, maka JTB ditetapkan sebesar 80 persen dari potensi tersebut atau sebesar 5 juta ton per tahun, dengan rincian 3,5 38 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,5 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. Berdasarkan hasil pengkajian stok stock assessment yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2001, potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dengan rincian 5,1 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,3 juta ton per tahun berasal dari ZEEI. Data ini masih bersifat sementara karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam peraturan perundang- undangan. Sementara itu, berdasarkan proyeksi Ditjen Perikanan Tangkap, nelayan di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang. Dengan berasumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,1 juta ton per tahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,3 ton perorang per tahun atau ekivalen 6,6 kg per orang per hari lama melaut 200 hari dalam 1 tahun. Rendahnya produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumberdaya ikan bersifat terbuka open access. Persaingan itu akan bertambah ketat manakala pengawasan terhadap pencurian ikan oleh kapal-kapal asing belum dapat dilakukan secara efektif. Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih rendah. 2. Tangkapan Berlebih Over Fishing Berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4 juta ton. Dengan demikian, tingkat pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,5 persen dari potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun atau 79,3 persen dari JTB sebesar 5,1 39 juta juta ton per tahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap wilayah pengelolaan perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka 176,3 persen, Laut Jawa dan Selat Sunda 171,7 persen, serta Laut Banda 102,7 persen. Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makasar sebesar 88,1 persen, Samudera Hindia 72,4 persen, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,8 persen, Laut Natuna dan Cina Selatan 45 persen, Laut Arafura 42,6 persen dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 42 persen. Terjadinya over fishing di beberapa wilayah pengelolaan perikanan seperti disebut di atas telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan fishing ground lain yang masih potensial, misalnya dari Laut Jawa ke Laut Flores dan Selat Malaka atau Laut Banda. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal. 3. Perilaku dan Motivasi Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal local wisdom , pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat. Dampak dari padanya, prinsip-prinsip karnibalisme sering terjadi di laut dan konflik antar nelayan tidak dapat dihindari. Untuk itu ke depan, pembangunan perikanan harus mampu merubah orientasi nelayan kearah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik. 4. Sosial-Ekonomi Sampai saat ini kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang kurang layak dan sebagainya. Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung. 40 Masyarakat dengan kondisi sosial-ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi. Permasalahan kecil yang timbul di antara mereka dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik Dahuri 2002. 2. Konsep Solusi Konflik Konsep tentang bagaimana solusi konflik antar nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain: 1. Pelarangan Alat Tangkap Ikan Salah satu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah pelarangan alat tangkap ikan. Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu. Nikijuluw 2002 menyatakan bahwa kebijakan pelarangan alat tangkap ikan dilakukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang dilarang. Paling penting adalah kebijakan ini dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak efisien. Jenis alat tangkap ikan yang umum dilarang diberbagai negara termasuk Indonesia baik secara tetap dilokasi tertentu adalah trawl atau jaring batu. Meskipun trawl dinilai sebagai alat tangkap ikan kontemporer yang efisien, namun karena salah penggunaan dan salah pengelolaan sehingga berakibat sangat fatal bagi kelangsungan sumberdaya ikan dan juga tak kalah pentingnya sering terjadinya konflik antar nelayan yang menggunakan alat tangkap sederhana tradisional dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap trawl tersebut. Trawl dilarang di Indonesia sejak 1 Juli tahun 1980. Alasan dilarangnya penggunaan trawl di Indonesia bukan semata-mata karena aspek teknis dan ekobiologi, tetapi pelarangan itu juga merupakan suatu kulminasi dari serangkaian usaha untuk memecahkan persoalan konflik antar nelayan tradisional dengan nelayan pemilik trawl Nikijuluw 2002. Konflik antara kedua kelompok nelayan ini pecah dan berkembang begitu cepat yang disertai dengan tindakan-tindakan seperti pembakaran kapal trawl dan fasilitas umum yang ada di pelabuhan pendaratan ikan. Atas dasar alasan-alasan sosial politik ini, akhirnya pemakaian trawl dilarang. Tujuan penghapusan trawl menurut Nikijuluw 2002 adalah sebagai berikut: 1 mencapai suatu status pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih baik. 2 mencegah konflik dan friksi sosial serta tindak kekerasan diantara nelayan. 3 menstimulasi perkembangan perikanan skala kecil. 2. Pemberdayaan Nelayan Seperti diuraikan di atas, bahwa salah satu pemicu timbulnya konflik antar nelayan adalah kondisi sosial-ekonomi dan motivasi atau perilaku yang ada pada masyarakat nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan motivasi atau perilaku kearah yang lebih positif Sularso, et al. 2002. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan empowerment. Kegiatan itu telah dilakukan sejak lama, namun hasilnya belum optimal karena skala kegiatan sangat terbatas sehubungan dengan keterbatasan dana modal. Untuk itu, sejak dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan kegiatan pemberdayaan nelayan dilakukan secara lebih intensif dan berkesinambungan maka konflik antar nelayan dapat dihindari. 3. Relokasi 41 Menurut Sularso, et al. 2002 berdasarkan data statistik, sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing . Dampak dari padanya di perairan tersebut sering terjadi konflik antar nelayan karena perebutan daerah penangkapan fishing ground. Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan relokasi armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya, misalnya daerah di Kawasan Timur Indonesia KTI. Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan dapat dihindari. 4. Manajemen Perikanan yang Berkelanjutan Seperti diketahui bahwa sumberdaya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih renewable resources. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang peduli terhadap kelestarian sumberdaya perikanan. Sehubungan dengan masalah di atas, Nikijuluw 2002 menyatakan perlu penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Penglibatan masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sejak perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi dimaksudkan agar seluruh pemangku kepentingan stakeholders merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya perikanan. 5. Kemitraan Usaha 42 Kemitraan usaha adalah salah satu solusi untuk menghindari terjadinya konflik vertikal, yaitu antara nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil. Dengan terjalinnya kemitraan maka masing-masing pihak saling tergantung dan saling memperoleh manfaat dari kegiatan usaha yang dilaksanakan. Kemitraan yang umum diterapkan pada usaha perikanan adalah dalam bentuk inti-plasma, dimana perusahaan perikanan bertindak sebagai inti dan nelayan bertindak sebagai plasma Sularso, et al. 2002. 6. Pengembangan Usaha Alternatif Menurut Nikijuluw 2002 upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antar nelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dan lain-lain. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan. 7. Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan Selama ini dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah volume hasil tangkapan, dibanding nilai value hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi pemborosan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan ke margin pendapatan. 8. Pengawasan dan Penegakan Hukum Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607 Tahun 1975 dan Nomor 392 Tahun 1999 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antar nelayan terutama konflik vertikal dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 tiga Jalur Penangkapan, yaitu: Jalur Penangkapan Ikan I meliputi perairan 43 pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 enam mil laut ke arah laut, Jalur Penangkapan Ikan II meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut dan Jalur Penangkapan Ikan III meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI. Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 Gross Tonage GT, Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT Sularso, et al. 2002. Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar konflik antar nelayan dapat dihindari. Konsep solusi yang diuraikan di atas merupakan bahan pemikiran yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembagunan perikanan. 2.8 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Strategi pada hakekatnya adalah merupakan perencanaan dan manajemen dengan tujuan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Strategi tidak hanya sekedar sebagai peta yang hanya menunjukkan arahnya saja, tetapi sangat penting bagaimana strategi yang dirumuskan mampu memaparkan secara rinci tentang bagaimana melaksanakannya. Strategi sering dikatakan sebagai perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang. Langkah pertama dalam melakukan strategis adalah menentukan misi, yaitu suatu gambaran terhadap maksud atau alasan bagi keberadaan suatu perusahaan atau lembaga. Misi ini penting karena berfungsi sebagai arah bagi suatu perusahaan atau lembaga pemerintah dalam merencanakan kegiatan usahanya Soesilowati 1997. Dalam proses pengelolaan dan pemberdayaan masyarakat, beberapa bentuk strategi yang dapat dilaksanakan sebagai berikut: 1. Strategi Persuasif, merupakan suatu langkah yang diambil dalam hal bagaimana membawa langkah suatu perubahan melalui kebiasaan dalam berperilaku, dimana pesan disusun secara terstruktur dan dipresentasikan. Strategi persuasif lebih sering digunakan bila sasaran tidak sadar terhadap perubahan atau mempunyai komitmen yang rendah terhadap perubahan. 44 2. Strategi Fasilitasi, yaitu strategi yang dipergunakan bila kelompok atau sistem yang dijadikan target mengetahui adanya suatu masalah dan membutuhkan perubahan serta adanya sikap keterbukaan terhadap bantuan dari luar dan keinginan pribadi yang kuat untuk terlibat. Melalui strategi ini diharapkan perubahan dapat bertindak sebagai fasilitator. Strategi ini dikenal sebagai kooperatif, yaitu agen perubahan bersama-sama dengan sasaran mencari penyelesaian melalui kerjasama yang bisa bersifat implementatif. Dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, Dahuri 2000 menyatakan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya adalah untuk memperbaiki sistem pengelolaan yang ada dengan maksud dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan sehingga dapat berpotensi memberikan devisa bagi daerah dan negara secara nasional. Strategi pengelolaan sumberdaya perikanan pada hakekatnya adalah perencanaan dan manajemen untuk mencapai suatu tujuan di bidang perikanan. Strategi tidak berfungsi sebagai peta yang hanya menunjukkan arahnya saja, melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana melaksanakannya. Berkaitan dengan hal di atas, Dahuri 2000 menyatakan kebijakan dan strategi pembangunan perikanan di Indonesia paling tidak harus mencakup empat komponen pokok antara lain: 1 bagaimana meningkatkan perolehan devisa dari sektor perikanan sehingga mampu membantu pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi, 2 bagaimana pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia mampu menjaga kelestarian sumberdaya perikanan sehingga pembangunan di sektor perikanan tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan, dan 3 mengendalikan sumber ekspansi penghambat pertumbuhan pembangunan perikanan, dan 4 bagaimana pemerintah mampu menciptakan iklim dan kebijakan yang kondusif khususnya dalam bidang politik, ekonomi dan moneter sehingga daya tarik pada sektor perikanan semakin meningkat terutama dari sudut pandang pelaku ekonomi baik ditingkat nasional maupun global. Kebijakan dan strategi ini dalam implementasinya perlu didukung oleh data dan sistem informasi yang baik, guna menghasilkan perencanaan pembangunan yang terarah. 45 Berhubungan dengan bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, menurut Kusumastanto 2002 langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Pembangunan desa pantai dan pemberian insentif kepada masyarakat nelayan untuk meningkatkan produktifitasnya, insentif yang diberikan meliputi kemudahan terhadap pengembangan usaha seperti perizinan, subsidi, pinjaman, menjaga kestabilan harga produksi perikanan dan sebagainya. 2. Peningkatan aktivitas sekunder seperti budidaya tambak, budidaya rumput laut dan industri pengolahan. Kegiatan ini juga harus disertai dengan kemudahan dalam pemberian perizinan, subsidi dan bantuan dana kemitraan dengan pihak swasta serta pemasaran. 3. Pembentukan kelembagaan nelayan sesuai dengan karakteristik usaha, dan peningkatan kegiatan usaha perikanan, khususnya untuk pengembangan perikanan dan aktivitas-aktivitas sekunder yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. 4. Penataan wilayah perairan dan laut secara lokal untuk menentukan daerah penangkapan antara usaha perikanan kecil dan usaha perikanan skala besar dengan menetapkan zonasi operasional untuk setiap usaha perikanan berdasarkan kemampuan operasi. Dalam mendukung pembangunan perikanan perlu disusun suatu konsep tata ruang wilayah pesisir dan laut dan konsep pembangunan perikanan yang mampu berusaha secara terpadu. Pembangunan perikanan dapat dilakukan melalui pelaksanaan tujuan dasar pembangunan perikanan sebagai berikut: 1 mendorong pembangunan perikanan yang berorientasi pasar demand driven, 2 mendorong pemanfaatan sumberdaya pantai secara optimal, 3 mendorong pembangunan perikanan secara berkelanjutan, serta 4 mendorong berkembangnya manajemen perikanan berorientasi industri Anwar 2002. Dalam strategi pembangunan perikanan di Indonesia, menurut Dahuri 2000 ada 2 aspek penting untuk dilakukan suatu langkah reformasi agar 46 sumberdaya perikanan dapat meningkatkan kinerjanya dan mampu memberikan kontribusi bagi penguatan perekonomian nasional adalah sebagai berikut: 1. Reformasi aspek teknis pembangunan perikanan. Jika sektor perikanan diharapkan menjadi sektor unggulan, maka pengembangan perikanan harus dilakukan melalui pendekatan agribisnis secara komprehensif dan terpadu. Untuk mewujudkan hal ini beberapa program yang harus dilakukan meliputi: pemanfaatan sumberdaya perikanan berwawasan lingkungan, pemberdayaan masyarakat nelayan dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan usaha perikanan, pengembangan teknologi pascapanen, pengembangan sumberdaya manusia dan iptek, pengembangan prasarana dan sarana keamanan laut, serta pola insentif bagi daerah-daerah terpencil. 2. Reformasi kebijakan pembangunan perikanan. Reformasi yang dilakukan meliputi empat aspek antara lain: reformasi hukum, reformasi kelembagaan, reformasi ekonomi, serta reformasi politik. Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu langkah yang strategis bagaimana suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan secara efektif dan efisien sehingga benar-benar dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya serta bagaimana sumberdaya perikanan tersebut dapat meningkatkan perekonomian baik daerah maupun nasional. 2.9 Penelitian Terdahulu Dalam mendukung tentang penelitian yang dilaksanakan, Herman 2003 dalam hasil penelitian tentang pendapatan dan taraf hidup nelayan di Kabupaten Bengkalis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan nelayan mayoritas berpendidikan rendah yaitu tidak tamat sekolah dasar dan atau hanya tamat sekolah dasar sebanyak 86,3 persen. Jumlah tanggungan keluarga nelayan yang kurang dari 4 orang anggota keluarga sebanyak 46,3 persen, dan tanggungan keluarga lebih dari 4 sampai 7 anggota keluarga sebanyak 46,9 persen sedangkan tanggungan anggota keluarga lebih dari 7 orang sebanyak 6,9 persen, hal ini menunjukkan jumlah tanggungan anggota keluarga nelayan tergolong sedang. 47 Perekonomian masyarakat nelayan relatif sulit, hal ini terlihat masih sulitnya akses dalam memasarkan produk perikanan dan terbatasnya sarana pendukung untuk melakukan berbagai kegiatan serta masih belum adanya bantuan pengembangan usaha nelayan baik individu maupun kelompok. Pendapatan nelayan relatif sangat rendah yang berkisar di bawah 1 juta rupiah. Sementara Mustamin 2003 menyatakan bahwa indikator yang menggambarkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Kecamatan Pulau- Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, dilihat dari kondisi rumah dan luas lantai rumah tiap rumah tangga yang mana terdapat 53 buah konstruksi batu dengan luas bangunan 5x10 m sampai 7x12 m, rumah panggung sebanyak 1027 buah dan rumah gubuk sekitar 323 buah, dengan mayoritas menggunakan atap seng. Penggunaan air untuk mandi dan cuci adalah air sumur sedangkan kebutuhan air untuk minum adalah air Prusahaan air minum PAM yang dibeli dari Lappa. Pendapatan rumah tangga nelayan tergolong rendah yaitu dengan rata- rata berkisar 500 ribu rupiah hingga 600 ribu rupiah per bulan. Sarana ekonomipun masih rendah karena tidak terdapatnya pasar maupun lembaga perbankan, namun telah terdapat toko barang kelontong, sembako dan peralatan kapal perahu. Misradi 2003 menyatakan bahwa indikator yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Kawasan Muara Angke Jakarta Utara adalah: 1 tingkat pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita nelayan yang memanfaatkan fasilitas perikanan terdistribusi pada tingkat pendapatan lebih besar dari 351 ribu rupiah dan yang tidak memanfaatkan fasilitas terdistribusi pada tingkat pendapatan lebih besar dari 251 ribu rupiah, 2 tingkat pengeluaran rumah tangga, nelayan yang memanfaatkan fasilitas memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar 350 ribu rupiah sedangkan nelayan yang tidak memanfaatkan fasilitas memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan sebesar 253 ribu rupiah, 3 tingkat pendidikan, nelayan yang memanfaatkan fasilitas dan yang tidak memanfatkan fasilitas memiliki tingkat pendidikan yang tamat SD lebih besar dari 60 persen, 4 tingkat kesehatan yang menunjukkan kondisi kesehatan anggota keluarga adalah baik, 5 kondisi perumahan nelayan yang memanfaatkan fasilitas didominasi oleh kondisi perumahan yang permanen 48 sebesar 54 persen, sedangkan kondisi perumahan nelayan yang tidak memanfaatkan fasilitas didominasi oleh kondisi perumahan yang semi permanen sebesar 74 persen, 6 fasilitas perumahan, nelayan yang memanfaatkan fasilitas maupun tidak memanfaatkan fasilitas tergolong pada semi lengkap untuk fasilitas rumah tangganya. Riswan 2004 berdasarkan hasil evaluasi kegiatan program pengelolaan masyarakat nelayan Desa Loli Tasiburi antara lain : 1 kegiatan program yang dilaksanakan selama ini tanpa melibatkan masyarakat setempat nelayan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat nelayan karena program yang demikian jarang sesuai dengan kebutuhan masyarakat nelayan, 2 dalam kegiatan pembentukan kelompok sasaran program dilakukan oleh pihak pemerintah dan elit politik tanpa melibatkan masyarakat nelayan sehingga kelompok yang dibentuk tidak berfungsi secara optimal, 3 program yang dilaksanakan baik dari pemerintah maupun swasta pada hakekatnya bertujuan baik, namun yang perlu diperhatikan adalah sistem dalam pelaksanaannya harus mengarah kepada pemberdayaan masyarakat yang berbasis kepada komunitas yang dilaksanakan secara partisipatif bersama- sama masyarakat lokal, 4 pelaksanaan program pengembangan usaha mayarakat nelayan banyak mengalami hambatan terutama kurangnya kemampuan masyarakat nelayan untuk meningkatkan usahanya baik dari segi manajemen usaha, permodalan, teknologi sarana dan prasarana, serta akses terhadap pasar relatif masih sangat terbatas. Arianto 2003 menyatakan bahwa program di bidang perikanan yang dilaksanakan pemerintah Kabupaten Bengkalis masih meliputi aspek fisik yaitu bantuan yang berupa materi sedangkan aspek non materi seperti kesiapan para nelayan serta kemampuannya dalam menerima program dan kegiatan sangat minim diadakan dan diperhatikan oleh pemerintah setempat. Selain itu terlihat bahwa program kegiatan tersebut dilaksanakan secara terpisah dari waktu ke waktu. Program yang disusun belum mengarah pada rencana dan kegiatan yang berkelanjutan. Program pengembangan masyarakat untuk masa yang akan datang perlu dilakukan pendekatan partisipatif, yaitu dengan melibatkan masyarakat 49 secara aktif, sehingga program yang dilaksanakan benar-benar merupakan solusi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. Penelitian-penelitian terdahulu di atas berupaya memaparkan tentang bagaimana keadaan sosial-ekonomi masyarakat nelayan baik yang meliputi faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan serta bagaimana pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat nelayan yang terjadi selama ini yang kurang melibatkan masyarakat nelayan itu sendiri. Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan dalam merancang pola pengelolaan sumberdaya perikanan yang benar-benar terarah dan efektif bagi kelangsungan sumberdaya perikanan itu sendiri serta memberikan kontribusi bagi peningkatan keadaan sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Penelitian yang dilakukan ini berbanding dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian ini difokuskan untuk melihat pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat nelayan, serta bagaimana menyusun suatu arah pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dalam upaya peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan. III KERANGKA PEMIKIRAN Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari pesisir dan laut. Kondisi wilayah tersebut secara langsung mempengaruhi sebagian besar dari masyarakat yang ada, yaitu tingginya ketergantungan dari sektor kelautan dan perikanan. Permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan di kabupaten Bengkalis selama ini ditunjukkan dengan kondisi sosial-ekonomi yang masih tergolong rendah. Disamping itu masalah yang terus berlarut-larut sejak tahun 1985 sampai sekarang adalah konflik antar nelayan. Kedua permasalahan tersebut terjadi dikarenakan belum optimalnya dari pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan selama ini. Sehingga sumberdaya perikanan dan kelautan dengan potensi yang besar yang ada tidak memberikan manfaat yang positif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Konflik di atas terjadi dipicu karena berbedanya prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Dimana nelayan tradisional mengedepankan kearifan lokal disatu pihak yang lain mengedepankan teknologi yang lebih maju dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelompok ini lebih dikenal dengan komunitas nelayan pengguna jaring batu bottom gill net . Penggunaan alat tangkap tersebut telah mengancam tingkat pendapatan nelayan karena diyakini telah mengancam mata pencaharian nelayan tradisional, sementara sampai saat ini belum ada upaya yang tegas dari pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang ada. Dalam mencari jalan keluar tentang permasalahan sosial-ekonomi yang dihadapi masyarakat nelayan, pada tahun 1998-2005 di Kabupaten Bengkalis telah dilaksanakan proyek pengelolaan sumberdaya perikanan atau yang lebih dikenal dengan Co-Fish Project, dalam pelaksanaannya mengedepankan mata pencaharian alternatif dengan pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal. Dengan tujuan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat nelayan dari sektor perikanan tangkap. Mengingat begitu pentingnya mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan, maka proyek ini perlu dikaji kinerjanya. Pengkajian dilakukan dengan melihat sejauh mana konsep dan 53 program yang ditawarkan, apakah menitikberatkan pada permasalahan yang dihadapai masyarakat nelayan. Bagaimana dari proses pengelolaannya apakah melibatkan masyarakat, dan sejauh mana keterlibatan masyarakat sasaran. Selanjutnya perlu dilihat bagaimana output dari Co-Fish Project ini apakah mampu meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan sesuai dengan yang diharapkan. Disamping itu, perlu diperhatikan apakah budaya ketergantungan yang tinggi terhadap sektor perikanan tangkap dan konflik yang terjadi sebelum adanya proyek berkurang akibat dari pelaksanaan Co-Fish Project . Dari permasalahan-permasalahan di atas, dalam upaya pencapaian pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis agar dapat meningkatkan peran sektor perikanan dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan, maka pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis ke depan harus dikelola secara baik dan komperehensif pada segala sektor. Baik itu menyangkut input dari sektor sumberdaya perikanan, proses pengelolaan atau manajemennya, dan autput atau manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri. Untuk itu, penting disusun suatu arah kebijakan ke depan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan yang bersinergi dari segala elemen yang ada. Adapun kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. 54 Co-Fish Project Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kabupaten Bengkalis - Ketergantungan Terhadap Sektor Perikanan Tangkap - Konflik antar Nelayan - Sosek Rendah Arah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kabupaten Bengkalis ke Depan - Konsep Proyek - Program Input Evaluasi Analisa Dampak Proses Output Dampak AHP Konsep dan Program - Perencanaan - Pelaksanaan - Evaluasi - Keberlanjutan Program Sosek Sasaran Co-Fish +- Sebelum Setelah Analisis Deskriptif - PartisipatifTidak - KonsepTidak - BerlanjutTidak Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian. Pendapatan Non Co-Fish Analisis Uji t IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di delapan desa yang berada pada dua kecamatan di Pulau Bengkalis Kecamatan Bengkalis dan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar Lampiran 1. Desa lokasi penelitian merupakan seluruh desa sasaran Co-Fish Project. Dilaksanakan selama lima bulan yaitu terhitung dari bulan Mei sampai September 2006.

4.2 Metode Pengumpulan Data