Peraturan-Peraturan dalam Penyelesaian Konflik antar Nelayan

162 Bukti lain yang memperkuat tentang adanya keterlibatan oknum aparat keamanan dengan tertangkapnya salah seorang oknum aparat keamanan berinisial W oleh nelayan rawai pada tanggal 29 April 2006 sedang melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring batu di wilayah perairan 0-4 mil Gambar 36. Berita acara penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 3. Untuk penyelesaian lebih lanjut oknum aparat keamanan tersebut diserahkan pihak nelayan rawai kepihak Kepolisian Sektor Bantan dan pihak Koramil Bengkalis. Namun aparat terkait sampai sekarang tidak pernah diproses secara hukum. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak percaya lagi dengan pihak pemerintah karena tidak jelas penegakan hukum yang ada. Gambar 36 Kondisi pembakaran kapal jaring batu oleh nelayan tradisional a, aparat keamanan ikut serta menggunakan jaring batu dan ditangkap nelayan tradisional b dan c.

6.4.5 Peraturan-Peraturan dalam Penyelesaian Konflik antar Nelayan

Pembahasan ini menjelaskan tentang apa saja produk hukum yang telah diterbitkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah menyangkut tentang pengaturan jalur-jalur penangkapan ikan yang secara langsung berhubungan dengan penanganan konflik, serta bagaimana realisasi di lapangan. 1. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 392KptsIK.12041999 Tentang Pengaturan Wilayah Tangkap a b c 163 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 329 Tahun 1999 menjelaskan adanya perbedaan wilayah penangkapan ikan. Wilayah perikanan Republik Indonesia di bagi menjadi tiga jalur penangkapan ikan yaitu: a. Jalur penangkapan ikan I, diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 mil ke arah laut diperuntukkan bagi alat tangkap ikan yang sifatnya menetap dengan armada bermotor tempel dengan panjang tidak lebih dari 10 meter. b. Jalur penangkapan ikan II meliputi perairan di luar jalur penangkapan I sampai 12 mil ke arah laut ditujukan bagi kapal perikanan bermotor berukuran maksimal 60 GT, dengan alat tangkap jaring insang hanyut drift gill net berukuran panjang maksimal 2500 m. c. Jalur penangkapan ikan III, meliputi perairan sampai dengan batas terluar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia ZEEI. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 329 Tahun 1999 di atas, menunjukkan pengaturan secara jelas tentang wilayah penangkapan ikan antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring batu bottom gill net. Jaring batu pada awalnya merupakan jaring insang hanyut drift gill net namun telah dimodifikasi. Disamping itu, panjang jaring yang dioperasikan lebih dari 1000 m, armada yang digunakan dengan panjang rata-rata 7-15 m dan mesin bermotor 7-15 GT. Sesuai peraturan yang telah ditetapkan, alat tangkap jaring batu hanya diperbolehkan beroperasi pada Jalur II. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, kapal jaring batu beroperasi pada Jalur I yang diperuntukkan sebagai wilayah penangkapan ikan nelayan tradisional. Akibatnya, pelanggaran peraturan ini menjadi penyebab timbulnya konflik antara kedua kelompok nelayan tersebut. Rekap kejadian konflik kelompok nelayan tradisional rawai dengan kelompok nelayan jaring batu bottom gill net sejak 1985 sampai 2006 dapat dilihat pada Tabel Lampiran 5. 2. Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Nomor 523.41KLSK-27 Tahun 2003 Tentang Penertiban dan Pengawasan Jaring Batu Bottom Gill Net di Wilayah Perairan Provinsi Riau Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau Nomor 523 tahun 2003 diterbitkan merupakan salah satu upaya pemerintah daerah dalam 164 penanganan konflik antara nelayan tradisional dan nelayan jaring batu. Dalam Surat Keputusan tersebut, menjelaskan jaring batu bottom gill net yang selama ini digunakan dengan ukuran mata jaring lebih besar dari 6 enam inchi dan panjang jaring maksimal 2500 m hanya diperbolehkan beroperasi pada Jalur II. Namun penerbitan keputusan ini tidak diikuti penerapan yang jelas di tingkat lapangan, hal ini ditunjukkan masih tetapnya kapal jaring batu melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan pada Jalur I, sehingga mengakibatkan konflik. Keputusan Kepala Dinas dapat dilihat pada Lampiran 5. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kabupaten Bengkalis Pengaturan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan juga diterbitkan melaui Peraturan Daerah Kabupaten Bengkalis Nomor 20 Tahun 2000 yang didalamnya juga menunjukkan adanya suatu pengaturan yang jelas tentang pembagian wilayah penangkapan ikan. Pada perairan Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi di perairan Kabupaten Bengkalis diperuntukkan bagi nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap rawai dan alat tangkap yang mempunyai sifat menetap lainnya. Sedangkan alat tangkap tangkap selain rawai dan alat tangkap yang sifatnya tidak menetap hanya boleh dioperasikan di luar wilayah dari Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi. Namun di lapangan, jaring batu yang tidak diperbolehkan melakukan penangkapan pada wilayah perairan Tanjung Jati sampai dengan Tanjung Sekodi secara leluasa tetap melakukan operasi, sehingga konflik tetap tidak dapat terselesaikan serta dan tetap saja berlanjut. Kondisi ini dapat dikatakan lemahnya penerapan Peraturan Daerah tersebut di tingkat lapangan. Peraturan Daerah dapat dilihat pada Lampiran 6. 4. Keputusan Bupati Bengkalis Nomor 52 Tahun 2003 Tentang Pelarangan Pengoperasian Jaring BatuJaring Kurau Bottom Gill Net di Wilayah Perairan 0-4 Mil Kabupaten Bengkalis Selain peraturan-peraturan yang sudah ada, khusus dalam penanganan konflik antar nelayan tradisional dan nelayan jaring batu di Kabupaten Bengkalis, juga diterbitkan Surat Keputusan Bupati Bengkalis tentang pelarangan pengoperasian jaring batu bottom gill net di wilayah perairan 0-4 mil Kabupaten 165 Bengkalis. Penerbitan Keputusan Bupati tersebut semakin menambah banyaknya produk hukum yang ada tanpa diikuti dengan meredamnya konflik yang terjadi. Meskipun telah diterbitkan beberapa peraturan, nelayan jaring batu tetap melakukan penangkapan ikan pada wilayah 0-4 mil laut. Surat Keputusan Bupati dapat dilihat pada Lampiran 7. Dari permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terselesaikannya konflik antara nelayan tradisional rawai dengan nelayan jaring batu bottom gill net dikarenakan lemahnya penerapan peraturan-peraturan yang ada. Pengaturan wilayah operasional penangkapan ikan antara nelayan tradisional dengan nelayan yang usahanya berskala besar sudah diatur dengan terbitnya berbagai produk hukum, namun peraturan-peraturan tersebut tidak diikuti dengan penerapan yang tegas. Disamping permasalahan tersebut permasalahan lain yang timbul karena keterlibatan oknum-oknum tertentu, adanya sistem memakai kekuatan bekengan dan KKN, hal-hal ini merupakan suatu rangkaian penyebab lambatnya proses penyelesaian konflik ada. Disamping kondisi seperti yang dipaparkan tersebut, konflik yang terjadi karena adanya benturan pandangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Nelayan tradisional yang mengedepankan kearifan lokal tanpa diikuti dengan dukungan pihak lain yang sekaligus tidak memahami betapa efektifnya kearifan lokal yang ada dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan.

6.5 Tidak Berbekasnya Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis