31 dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan
target dimana kinerja nantinya akan di ukur. Menurut Dunn 2003 dalam evaluasi suatu kebijakan atau program,
apakah program yang dilaksanakan dapat memberikan dampak yang positif bagi suatu daerah dan masyarakat dimana program tersebut dilasanakan, suatu
evaluasi harus memuat kriteria-kriteria sebagai berikut: 1 efektifitas, berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil akibat yang diharapkan, atau
mencapai tujuan dari diadakan suatu tindakan dari program, 2 efisiensi, berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat
efektivitas tertentu, 3 kecukupan, berkenaan dengan seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan dalam memecahkan suatu masalah. Kriteria kecukupan
menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif suatu program dan hasil yang diharapkan, 4 perataan, berhubungan erat dengan rasionalitas dan
menunjukkan pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, 5 rensponsivitas, berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan
atau program dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai dari kelompok masyarakat sasaran, serta 6 ketepatan, secara erat berhubungan dengan
rasionalitas subtantif, ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan pogram dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan dari program.
Wirayan, et al
. 2001 menyatakan didalam implementasinya evaluasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1 evaluasi dampak, 2 evaluasi dalam
pengelolaan program, 3 evaluasi proses, serta 4 evaluasi desain. Tujuan dilakukan evaluasi, antara lain untuk: 1 mengetahui kegiatan-kegiatan dari
program yang telah dilaksanakan, 2 mengidentifikasi permasalahan- permasalahan yang dihadapi oleh msyarakat, 3 mengetahui usaha-usaha yang
telah dilaksanakan dalam mengatasi masalah yang ada. Pada tingkat proyek evaluasi dapat memberikan informasi terhadap pelaksanaan suatu proyek.
Berdasarkan informasi tersebut maka pihak pengelola dapat menentukan kebijakan yang diperlukan agar proyek dapat lebih optimal dalam pencapaian
tujuan.
2.5 Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Pesisir
32
Pemahaman akan kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir merupakan hal penting untuk menyusun sebuah strategi pembangunan perikanan. Dengan memahami kondisi karakteristik tersebut segala aspek yang berhubungan dengan
penyusunan serta implementasi dari pembangunan dapat dilakukan dengan baik. Menurut Dahuri 2000 masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di wilayah pesisir dan sumber kehidupan dan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada sumberdaya laut dan pesisir. Selanjutnya berdasarkan mata pencahariannya. Mata pencaharian utama atau sifat bermukim masyarakat pesisir dapat dikategorikan kedalam beberapa
kelompok antara lain: 1 masyarakat nelayan, 2 masyarakat petani nelayan, 3 masyarakat petani, 4 masyarakat pengumpul, 5 masyarakat kota pantai dan perindustrian, dan 6 masyarakat tidak menetap.
Berkaitan dengan pengklasifikasian di atas, Rahardjo 1996 menyatakan masyarakat pesisir memiliki sifat-sifat atau karakteristik tertentu. Sifat ini sangat
erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Karena usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Kemudian
Dahuri 2000 juga menyatakan hal yang sama bahwa sifat dan karakteristik masyarakat pesisir sangat dipengaruhi oleh jenis kegiatan mereka, seperti usaha
perikanan tangkap, perikanan tambak, dan usaha pengelolaan hasil perikanan yang memamg dominan dilakukan mereka. Kondisi ini mempunyai implikasi
besar pula terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat peisir secara umum adalah sebagai nelayan.
Dalam memanfaatkan sumberdaya alam khususnya sumberdaya perikanan, masyarakat pesisir dalam pengelolaan lingkungan dilakukan secara
tradisional dan masih sederhana. Menurut Dahuri 2000 dalam menghadapi masalah pengelolaan sumberdaya perikanan, masyarakat nelayan tradisional
biasanya menetapkan aturan-aturan atau kebijakan tertentu yang dirumus serta dikukuhkan secara bersama oleh masyarakat sebagai undang-undang atau
hukum yang lebih dikenal dengan sebutan “Hukum Adat”. Dalam penerapannya aturan-aturan tersebut juga langsung diaplikasikan oleh masyarakat dan
masyarakat juga yang akan melakukan pengawasan dan evaluasinya. Sistem pengelolaan seperti ini dapat berjalan dengan baik di dalam struktur masyarakat
yang masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar. Hal ini dikarenakan baik budaya, tatanan hidup masyarakat yang relatif homogen dan
setiap individu merasa mempunyai kepentingan dan tanggung jawab yang sama dalam melaksanakan dan mengawasi hukum yang sudah disepakati secara
bersama.
33 Demikian juga menurut Dahuri 2000 bahwa pada umumnya masyarakat
pesisir lebih merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah dan relatif sederhana. Pendidikan formal yang diterima masyarakat
pesisir secara umum jauh lebih rendah dari pendidikan masyarakat non pantai lainnya. Berkaitan dengan tingkat sosial-ekonomi masyarakat Rahardjo 1996
menyatakan bahwa masyarakat pesisir dapat dibedakan secara jelas dengan masyarakat desa dan kota, perbedaan utamanya karena keadaan sosial-ekonomi
mereka yang umumnya terbelakang. Seperti terlihat dari beberapa indikator, misalnya pendapatan yang relatif rendah, kurangnya kelembagaan penunjang,
lemahnya infrastruktur sosial, fisik, ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan.
Beberapa temuan dalam penelitian telah memperkuat pernyataan bahwa kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir adalah kondisi dimana
masyarakat mengalami berbagai kendala untuk bisa hidup layak. Hal ini menyangkut beberapa hal antara lain tidak cukupnya konsumsi, kerentanan dan
kurangnya peluang berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik sebagai sesama Kusnadi 2002. Tingkat sosial-ekonomi yang rendah merupakan ciri-ciri
umum kehidupan masyarakat nelayan. Tingkat kehidupan mereka sedikit diatas migran atau setaraf dengan petani kecil. Bahkan jika dilihat secara seksama
dengan kelompok masyarakat di sektor pertanian, nelayan khususnya nelayan buruh dan nelayan kecil atau nelayan tradisional dapat digolongkan sebagai
lapisan sosial paling miskin. Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan 2004, jumlah penduduk
miskin saat ini mencapai 24 persen atau 47 juta jiwa, dan 60 persen diantaranya merupakan masyarakat pesisir. Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi-
dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan serta
infrastruktur. Disamping itu juga disebabkan kurangnya kesempatan dalam berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya
dan gaya hidup yang cenderung boros, masalah ini menyebabkan posisi tawar masyarakat pesisir menjadi semakin lemah. Pada saat yang sama, permasalahan
kemiskinan yang dihadapi masyarakat pesisir juga dikarenakan oleh kebijakan
34 pemerintah yang selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai
salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir. Berdasarkan hal di atas, Dahuri 2000 menyatakan keadaan sosial
masyarakat pesisir belum menunjang keterlibatan dan keikutsertaan mereka dalam pembangunan, terutama pembangunan yang dilakukan dalam bentuk
padat modal dan mempergunakan teknologi tinggi. Ketrampilan yang rendah menyebabkan jumlah penduduk yang ada lebih merupakan beban dalam
pelaksanaan pembangunan ketimbang sebagai penyedia tenaga kerja yang produktif.
Wilayah pesisir memiliki potensi yang memungkinkan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka memanfaatkan sumberdaya
alam pesisir dan lautan yang mencerminkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dalam situasi krisis ekonomi, krisis pekerjaan dan penghasilan seperti
yang terjadi saat ini, maka diperlukan berbagai kebijakan pengelolaan yang lebih efektif dan efisien. Melalui kebijaksanaan pengelolaan terpadu antara Local
Marine Resources Based, Community Based and Market Based, dimana
diharapkan masyarakat pesisir atau nelayan mempunyai kemampuan dan peluang untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan, sekaligus
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. maka tekanan dan pengrusakan terhadap sumberdaya alam laut dan pantai dapat dikurangi seminimal mungkin
Dahuri 2000. Aspek-aspek pengelolaan sumberdaya perikanan sangat erat kaitannya
dengan upaya pembinaan dalam bentuk teknik produksi, budidaya, pengelolaan proses produksi serta sumber-sumber pemeliharaannya. Sehingga diperlukan
suatu studi yang mendalam guna mengidentifikasi keperluan usaha ekonomi dan strategi alternatif guna memperbaiki kondisi sosial-ekonomi dari masyarakat
nelayan. Berdasarkan hal tersebut, Dahuri 2000 meyatakan program-program pengelolaan sumberdaya perikanan yang tujuannya diharapkan dapat
meningkatkan keadaan sosial-ekonomi masyarakat nelayan penting untuk dilaksanakan, dalam rangka meningkatkan kesadaran agar masyarakat nelayan
dapat mengerti serta memahami bagaimana merubah nasib mereka menjadi lebih
35 baik serta mampu berpartisipasi aktif dalam meningkatkan peran sektor perikanan
untuk mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
2.6 Kelembagaan Lokal dan Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan