dari air dan kemampuan bahan organik padat untuk melarut dalam air Chantigny, 2003.
Dissolved Organic Carbon DOC atau karbon organik terlarut merupakan
fraksi senyawa karbon dari SOLA. DOC berperan dalam menentukan aktivitas mikroorganisme melalui suplai karbonnya Neff dan Asner, 2006 dalam
Undurraga et al., 2009 dan distribusi karbon ke seluruh horizon tanah Fujii et al
., 2009. Ketersediaan DOC dipengaruhi kadar bahan organik tanah, pH, curah hujan dan tipe penggunaan lahan. Kadar DOC lebih tinggi pada ekosistem hutan
dibandingkan pada lahan pertanian Chantigny, 2003. DOC banyak bersumber dari horizon O di dalam tanah pada ekosistem yang masih alami seperti hutan
tropis Michel et al., 2006, meskipun ketersediaan DOC yang sebenarnya pada tanah tropis tetap rendah karena terdapat pengaruh pencucian oleh air hujan Zech
et al ., 1997. Pencucian oleh air hujan merupakan proses penting sebagai
transportasi DOC dari horizon O menuju horizon mineral di bawahnya Fujii et al
., 2009.
2.3 Karakteristik Tanah Gambut di Indonesia dan Gambut Rawa Pening
Tanah gambut merupakan tanah yang bahan penyusunnya didominasi oleh bahan organik, yaitu sebesar 85 Wijaya Adhi, 1988 dalam Barchia, 2006 dan
terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman, baik yang telah mengalami pelapukan, maupun yang belum Agus dan Subiksa, 2008. Dominasi bahan organik sebagai
penyusun pada tanah gambut terlihat dari kadar C-organik dan N-total yang tinggi. Menurut Barchia 2006 kadar C-organik pada tanah gambut Indonesia
sebesar 57,23 , sedangkan kadar N-total sebesar 1,2 hingga 1,8 . Gambut di Indonesia pada umumnya tersusun dari bahan yang berasal dari
tanaman kayu-kayuan yang memiliki kadar lignin tinggi. Lignin merupakan bahan yang resisten terhadap pelapukan, sehingga bahan ini lambat terdekomposisi.
Keberadaan bahan yang mengandung lignin tinggi menyebabkan gambut Indonesia memiliki karakteristik pH yang sangat masam. Sifat masam ini berasal
dari asam-asam organik hasil dari aktivitas dekomposisi. Menurut Agus dan Subiksa 2008 pH tanah gambut di Indonesia secara umum berkisar antara 3-5.
Pada tanah gambut oligotrofik yang terdapat di Kalimantan, nilai pH dapat
berkisar antara 3,25 hingga 3,60 Halim, 1987 dalam Barchia, 2006, sedangkan tanah gambut Sumatera memiliki pH yang sedikit lebih tinggi yaitu sekitar 4,1-
4,3 Agus dan Subiksa, 2006. Tanah gambut memiliki kapasitas tukar kation KTK yang tinggi.
Menurut Kussow 1971 dalam Barchia, 2006 KTK tanah gambut dapat berkisar antara 100 hingga 300 me100 gram. Kandungan hara pada tanah gambut
umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah Tabel 1 sehingga dapat menyebabkan gejala defisiensi pada tanaman.
Tabel 1. Kandungan Unsur Hara Pada Tanah Gambut Ca Mg K Na Cu Zn Mn Fe
-------------------me 100 g
-1
------------ -------------------ppm-------------------- 2,5 0,53 0,2 1,88 0,5 1,6 1,4 8,9
Sumber : Sabiham dan Ismangun 1977 dalam Barchia, 2006
Keberadaan gugus fenolat -OH dan karboksil -COOH menyebabkan sifat hidrofilik pada tanah gambut. Kedua gugus tersebut berperan dalam
peningkatan penyerapan air karena sifatnya yang polar, sehingga bereaksi kuat dengan air. Menurunnya kapasitas tanah gambut dalam menyerap air berkaitan
dengan penurunan kualitas kedua gugus fungsi tersebut akibat pengeringan Dikas, 2010.
Gambut Rawa Pening merupakan gambut yang berkembang di kawasan Rawa Pening, Jawa Tengah bagian utara. Rawa Pening daerah tempat
berkembangnya gambut ini merupakan daerah rawa dengan ekosistem phytoplankton
yang tinggi hingga mencapai 103 spesies Goltenboth dan Timothius, 1992. Permukaan rawa ditutupi oleh vegetasi pakis dan eceng
gondok, sedangkan bagian bawah rawa ditumbuhi Hydrilla verticilata Hastuti, 1999. Karakteristik gambut Rawa Pening adalah bahan gambutnya yang berasal
dari tanaman non-kayu, sehingga memiliki pH yang tidak terlalu masam. Menurut Kristijono 2010 pH tanah gambut Rawa Pening sebesar 5 hingga 5,5, sedangkan
menurut Nuryani et al. 1999 pH gambut ini senilai 4,89. Gambut ini mengandung sedikit abu volkan karena sebelum terbentuk daerah rawa tempat ini
merupakan hutan lebat yang mendapat timbunan abu volkan gunung berapi Hastuti, 1999.
2.4 Karakteristik Serasah Pinus Gunung Walat