Brine Shrimp Lethality Test BSLT

dilakukan dengan menggunakan pelarut polar, begitu pula dengan ekstrak non- polar dapat diekstrak dengan pelarut non-polar Lewin Goldstein 1991. Menurut Achmadi 1990, jenis zat ekstraktif yang terekstrak pada pelarut n-heksana turunan benzena adalah jenis golongan utama terpena, fenol, hidrokarbon melalui penyulingan uap, sedangkan zat ekstraktif yang terlarut dalam fraksi metanol alkohol adalah flobafen, tanin, stilbena dan jenis zat warna yaitu flavonoid, antosianin. Kemudian Hillis 1987 menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa yang menyebabkan kayu teras berwarna merah, seperti pada sampel kayu Suren yang digunakan. Sjostrom 1981 menjelaskan bahwa fenolik yang terdapat pada kayu teras, kulit, dan sedikit di dalam xilem berfungsi sebagai fungisida dan juga meningkatkan warna kayu. Zat ekstraktif terdapat di dalam rongga sel namun bukan merupakan bagian dari struktur dinding sel kayu Tsoumis 1991. Zat ekstraktif memiliki arti yang penting dalam kayu. Beberapa tanaman diketahui dapat menghasilkan zat ekstraktif sebagai senyawa bioaktif, termasuk antikanker, yang pada umumnya berupa senyawa-senyawa flavonoid, glikosida, steroid alkaloid dan terpenoid Kurz Constabel 1998. Berdasarkan penelitian sebelumnya, Suren memiliki kandungan bahan Surenon, Surenin dan Surenolakton yang berperan sebagai penghambat pertumbuhan insektisida dan antifeedant menghambat daya makan terhadap larva serangga uji ulat sutera. Bahan-bahan tersebut juga terbukti merupakan pengusir atau penolak repellant serangga, termasuk nyamuk Sunarto 1998. Aktivitas biologis terhadap A.salina juga ditemukan pada ekstrak n-heksana Yuhernita Juniarti 2009. Senyawa non-polar yang terkandung dalam Suren didominasi oleh senyawa fitol yang berfungsi sebagai senyawa antidiabetes dan juga sebagai senyawa obat hepatitis Hsieh et al. 2011 dan Yu et al. 2012.

2.4 Brine Shrimp Lethality Test BSLT

Metode uji toksisitas larva udang Brine Shrimp Lethality TestBSLT terhadap A. salina merupakan metode bioassay konvensional yang umum digunakan untuk menguji komponen aktif tumbuhan. Metode ini juga dianggap memiliki korelasi dengan daya sitotoksik senyawa-senyawa antikanker, sehingga sering digunakan untuk skrinning awal pencarian senyawa antikanker. Penggunaan BSLT sebagai uji bioaktivitas memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah, cepat, murah, sederhana tidak memerlukan keterampilan dan peralatan khusus, dan hasilnya dapat dipercaya Meyer et al. 1982. Larva udang A. salina merupakan kelompok udang-udangan dari phylum arthropoda. Keunggulan penggunaan larva udang untuk uji BSLT adalah sifatnya yang peka terhadap bahan uji, waktu siklus hidup yang lebih cepat, mudah dibiakkan, dan harganya yang murah. Kepekaan yang dimiliki oleh larva udang ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan membran kulitnya yang sangat tipis sehingga memungkinkan terjadinya difusi zat dari lingkungan yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuhnya Sofyan 2008. A. salina ditemukan hampir di semua perairan di bumi yang memiliki kisaran salinitas sebesar 10-220 gL, hal inilah yang menyebabkannya mudah dibiakkan. Penggunaannya dalam uji BSLT yaitu dengan menetaskan terlebih dahulu telur udang tersebut. Udang akan menetas dalam waktu 24 jam dan yang baik digunakan yaitu larva udang dengan umur 48 jam karena jika melebihi 48 jam dikhawatirkan nilai mortalitas bukan dipengaruhi oleh toksisitas bahan uji melainkan karena keterbatasan persediaan makanannya Meyer et al. 1982. Dalam uji ini diamati tingkat mortalitas larva udang A. salina yang disebabkan oleh ekstrak tumbuhan dengan konsentrasi tertentu. Senyawa tumbuhan yang aktif akan menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi. Data besarnya mortalitas yang diperoleh akan diolah untuk mendapatkan LC 50 Lethal Concentration 50 pada tingkat kepercayaan 95 dengan menggunakan Probit Analysis Method sebagai perbandingan potensi signifikan secara statistik. LC 50 merupakan besarnya konsentrasi µgmL ekstrak yang diuji untuk dapat mematikan 50 dari hewan uji. Hasil uji BSLT dapat dikategorikan aktif secara biologis dan potensial untuk diteliti lebh lanjut apabila hasil tersebut menunjukkan nilai LC 50 dibawah dari 250 µgmL Rieser et al. 1998 dalam Pissutthanan et al. 2004.

III. METODOLOGI