2.1.3.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan
Menurut Kusmana et al. 2005 dalam Haikal 2008, secara garis besar ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat dilakukan
oleh penduduk: Tambak
terbagi dalam dua jenis, yaitu: 1 Tambak Tumpangsari, tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang di dalamnya mengkombinasikan
bagian lahan untuk pemeliharaan kepitingikan dan bagian lahan untuk penanaman mangrove; 2 Model Tambak Terbuka, model tambak yang dimaksud merupakan
kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya kolam tanpa tanaman mangrove. Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman
mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun disepanjang pantai.
Hutan Rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat
dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu chips.
Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu. Bentuk
pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan hasil hutan bukan kayu, misalnya madu, tannin, pakan ternak, dan lain-lain.
Bentuk kombinasi pemenfaatan mangrove secara simultan untuk
mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikankepiting, madu, dan kayu bakararang.
2.1.4. Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah orang atau sekelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir dan atau memiliki mata pencaharian yang berasal dari sumberdaya
alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan. Dibedakan berdasarkan basis tempat tinggal yaitu setiap orang yang tinggal di wilayah pesisir. Basis mata
pencaharian, yaitu nelayan, petani ikan budidaya air payau dan laut pemilikpekerja industri pariwisata, pemilikpekerja perusahaan perhubungan laut, pemilikpekerja
pertambangan energi, pemilikpekerja industri maritim Maskendari, 2006.
Menurut Sunoto 1997 dalam Harahap 2001 masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan
penangkap ikan dan nelayan aquakulturpetambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya adalah di sektor perikanan laut dan
mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas, sedangkan petambak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut
lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai. Masyarakat petambak memiliki aksesibilitas terhadap sumberdaya alam
relatif lebih baik dibanding nelayan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Keadaan tersebut
memberikan alternatif yang lebih banyak bagi pengembangan ekonomi mereka. Petambak memiliki akses terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber
penghasilan. Kondisi akan lebih diperkaya apabila daerah sepanjang pantai berupa kawasan hutan mangrove. Selain menjadi habitat ikan, hutan mangrove merupakan
wilayah yang mengandung kekayaan yang bermanfaat bagi petambak. Petambak juga mempunyai peluang untuk meningkatkan perekonomian mereka secara lebih
sistematis karena dapat mengembangkan basis produksi yang lebih relatif stabil, dimana masa panen dapat lebih diatur tergantung dari permintaan pasar. Di sisi lain,
petambak mempunyai kesempatan lebih luas untuk bersosialisasi dengan keluarga dan tetangganya seperti masyarakat lain yang berorientasi pada kehidupan darat
Sunoto, 1997 dalam Harahap, 2001. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat
ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan yang merupakan mata pencaharian utama. Karena usaha perikanan sangat dipengatuhi oleh faktor
lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut Kusumastanto, 2002 dalam Maskendari
2006. Satria et al. 2002 dalam Maskendari 2006 menjelaskan bahwa masyarakat
pesisir pada dasarnya adalah masyarakat nelayan karena sebagian besar mata pencahariannya sebagai nelayan. Nelayan menghadapi mengahadapi sumberdaya
alam yang bersifat open access, sehingga karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan nelayan berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal dengan
demikian resiko dan ketidakpastian menjadi tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko ini menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka.
Ketergantungan kepada musim merupakan karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada muusim penangkapan para
nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga bangak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini
mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir secara umum dan kaum nelayan khususnya.
Berbeda dari petani padi, para nelayan dan petambak sangat bergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang mereka hasilkan harus segera
dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika petani padi yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya menjual sedikit
saja, maka nelayan dan pettambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak membusuk. Kondisi ini menyebabkan nelayan dan petambak sangat
peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi mereka.
Masyarakat pesisir dapat dikelompokkan menurut jenis kegiatan utamanya, namun pada umumnya hubungan sosial ekonomi mereka hampir sama. Dalam
hubungan sosial ekonomi tersebut terdapat pola hubungan tertentu yang sangat umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani petambak, yakni pola hubungan
yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak seringkali terpaksa
meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari kepada juragan atau para pedagang pengumpul. Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terkait
dengan pihak juragan atau pedagang, yaitu berupa keharusan menjual produknya. Pola hubungan yang tidak simetris ini akan sangat berubah menjadi alat dominasi
dan eksploitasi Satria, 2002 dalam Maskendari, 2006. Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan
petambak adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat nelayan, umumnya terdapat tiga strata kelompok Maskendari, 2006,
yaitu:
Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal
motor lengkap dengan alat tangkapnya. Biasanya dikenal sebagai nelayan besar atau modern, tidak ikut melaut dan operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain.
Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa mencapai dua atau tiga puluhan.
Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor temple.
Biasanya pemilik ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh yang ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.
Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi banyak juga buruh yang tidak memiliki sarana produksi apa-apa, hanya tenaga mereka sendiri.
Terdapat tiga strata sosial yang dominan dalam masyarakat petambak, yaitu: 1 Strata atas adalah mereka yang menguasai tambak yang luas; 2 Strata menengah
adalah mereka yang memiliki luas tambak sedangkecil; 3 Strata paling bawah adalah para pengelolaburuh.
Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun biasanya ada pedagang pengumpul yang bukan nelayan sehingga pedagang
ini merupakan strata sendiri.
2.1.5. Konsep Persepsi