Konversi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove (Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

(1)

KONVERSI LAHAN HUTAN MANGROVE

SERTA UPAYA PENDUDUK LOKAL DALAM MEREHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

(Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

Oleh

KONNY RUSDIANTI I34070081

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

ABSTRACT

KONNY RUSDIANTI. The Conversion Of Mangrove Forest Land And The

Local Residents Effort To Rehabilitate Mangrove Ecosystems (case Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). (Supervised by SATYAWAN SUNITO)

Mangrove ecosystem has many benefits both ecological and economic terms because of the mangrove ecosystem is one that has an important role in efforts to make use of sustainable coastal and marine resources. Various alternatives can be made to the management of mangrove forests in accordance with the necessities of life, their ability and their views or perceptions of mangrove forests. But there are still errors in the use of mangrove ecosystems, such as exploiting the mangrove forest and convert it into ponds, residential, agricultural land, and so forth. Various activities are causing widespread decline in mangrove forests and also resulted in decreased function and mangrove benefits for residents and the surrounding environment. To restore function of damaged mangrove and benefits, it is necessary to the management efforts through the rehabilitation and conservation of mangroves. This study aims: (1) Reviewing the chronology of mangrove conversion into ponds that occur in the Village Karangsong, Indramayu District, Indramayu District, (2) Knowing the actors and their respective roles in the conversion process and the actors in the rehabilitation and conservation of mangroves, (3) Analyze perceptions of local residents towards the rehabilitation and conservation of mangroves and to know the perspective of rehabilitation and conservation activities in the conversion of existing conditions, (4) Knowing the shape and development of resident participation in mangrove rehabilitation efforts.

The results showed that the conversion of mangrove was originally introduced by settlers from the Losari District, Cirebon. Over time, indirectly

Karangsong Village residents to observe and study the fish farming in ponds, and also facilitates the Village Government Karangsong arise in the mangrove area of land to be used by residents as fishponds. The continued development of aquaculture fish and shrimp in the pond, the conversion of mangrove area also do so causes a decrease in mangrove forest area and also resulted in decreased function and mangrove benefits for residents and the surrounding environment. Growing mangrove destruction, making some local residents are aware and take the initiative to form a group that deal with rehabilitation of mangrove on the basis of consciousness that is one of the mangrove ecosystem plays an important role in the ongoing effort to make use of coastal resources, the sea and the surrounding residents. Most of the perceptions of respondents in the category of "Medium" is the perception by the number of scores obtained from scoring high in doubt of the existence of mangrove rehabilitation in conversion of the existing conditions in the Karangsong Village. It can affect their initiative to participate in rehabilitation activities. Village regulations regarding the management of mangrove protection areas are not so clearly known to the respondent. Of the 34 respondents interviewed, nearly all do not know what the Village Regulations. Keywords: mangrove ecosystems, conversion and rehabilitations


(3)

RINGKASAN

KONNY RUSDIANTI. KONVERSI LAHAN HUTAN MANGROVE SERTA UPAYA PENDUDUK LOKAL DALAM MEREHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE (Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). (Dibawah Bimbingan SATYAWAN SUNITO)

Ekosistem mangrove memiliki berbagai manfaat baik segi ekologi maupun ekonomi karena mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut. Berbagai alternatif pengelolaan dapat dilakukan terhadap hutan mangrove sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan pandangan mereka atau persepsi tentang hutan mangrove. Namun masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove, seperti mengeksploitasi lahan hutan mangrove dan mengkonversinya menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian, dan sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat juga pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan fungsi dan manfaat mangrove yang rusak tersebut, maka diperlukan adanya upaya pengelolaan melalui rehabilitasi dan konservasi mangrove. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengkaji kronologi konversi mangrove menjadi tambak yang terjadi di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu; 2) Mengetahui aktor dan peran masing-masing dalam proses konversi maupun aktor dalam proses rehabilitasi dan konservasi mangrove; (3) Menganalisis persepsi penduduk lokal terhadap program rehabilitasi dan konservasi mangrove serta mengetahui perspektif kegiatan rehabilitasi dan konservasi dalam kondisi konversi yang ada sekarang; (4) Mengetahui bentuk dan perkembangan partisipasi penduduk dalam usaha rehabilitasi mangrove.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi mangrove pada awalnya diperkenalkan oleh penduduk pendatang dari Kecamatan Losari, Cirebon. Seiring berjalannya waktu, secara tidak langsung penduduk Desa Karangsong mengamati dan mempelajari budidaya ikan pada tambak, kemudian Pemerintah Desa Karangsong pun memfasilitasi kawasan tanah timbul pada mangrove untuk dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan tambak. Semakin berkembangnya


(4)

budidaya ikan dan udang pada tambak, semakin luas pula konversi lahan mangrove dilakukan sehingga menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat juga pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Kerusakan mangrove yang semakin besar, membuat beberapa penduduk lokal yang dipelopori oleh seorang Kepala Desa pada masa itu menyadari kerusakan tersebut dan berinisiatif membentuk sebuah kelompok yang menangani rehabilitasi mangrove atas dasar kesadaran bahwa mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir, laut dan penduduk sekitarnya. Sebagian besar persepsi responden berada pada kategori “Sedang” yaitu persepsi dengan jumlah skor yang diperoleh dari skor ragu-ragu yang tinggi terhadap adanya kegiatan rehabilitasi mangrove dalam kondisi konversi yang ada sekarang di Desa Karangsong. Hal tersebut dapat mempengaruhi inisiatif mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi. Oleh karena itu, hanya 5-10% diluar aktor rehabilitasi saja yang mau berpartisi secara sukarela dalam merehabilitasi ekosistem mangrove, dan selebihnya berpartisipasi dengan tujuan mendapatkan upah. Peraturan Desa mengenai pengelolaan daerah perlindungan mangrove yang ada juga tidak begitu jelas diketahui responden. Dari 34 responden yang diwawancarai, hampir seluruhnya tidak mengetahui apa saja Peraturan Desa tersebut.


(5)

KONVERSI LAHAN HUTAN MANGROVE

SERTA UPAYA PENDUDUK LOKAL DALAM MEREHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE

(Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

Oleh

KONNY RUSDIANTI I34070081

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(6)

DEPARTEMEN

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Konny Rusdianti

Nomor Pokok : I34070081

Judul : Konversi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove (Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan Sunito NIP. 19520326 199103 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KONVERSI LAHAN HUTAN MANGROVE SERTA UPAYA PENDUDUK LOKAL DALAM MEREHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE (KASUS DESA KARANGSONG, KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.

Bogor, Januari 2012

Konny Rusdianti I34070081


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 1 Desember 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Dadang Ruskandar dan Ibu Muslikha. Semenjak TK sampai kelas 6 SD penulis menetap di Majalengka kemudian pindah ke Indramayu, Jawa Barat. Penulis menamatkan pendidikan di TK Sumber Jati tahun 1995, SDN Sumber Kulon 1 tahun 2001, SMP Negeri 1 Kedokan Bunder tahun 2004, dan SMA Negeri 1 Krangkeng tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 penulis diterima menjadi mahasiswa dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama di kampus, Penulis aktif sebagai staf Divisi Jurnalistik HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) masa kepengurusan 2009-2010 di bawah Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul Konversi Lahan Hutan Mangrove serta Upaya Penduduk Lokal dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove (Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejarah lokal mengenai konversi yang terjadi, menganalisis aktor dan peran masing-masing dalam proses konversi maupun maupun aktor dalam proses konservasi dan rehabilitasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengetahui sejarah lokal terjadinya konversi mangrove, aktor yang terlibat dalam konversi, menganalisis persepsi penduduk lokal terhadap proses konversi maupun program konservasi dan rehabilitasi mangrove, serta mengetahui perspektif lokal mengenai konservasi di dalam kondisi konversi yang ada di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.

Peneliti mengetahui bahwa karya ini belum sempurna. Akhir kata semoga penelitian ini dapat menghasilkan laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Januari 2012


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi, serta berbagai pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini. Antara lain:

1. Dr. Satyawan Sunito selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas kesabaran serta bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis melangkah di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

3. Kedua orang tua tersayang yang telah memberikan segalanya yang tidak terhingga pada penulis baik lahir maupun batin. Terima kasih Mah, Pah. Juga kedua adik penulis, Khaerun Nur Zaman dan Nur Wahyudi.

4. Seluruh Keluarga Besar Mimi Sinih, Mama Udik, Mama De dan Mimi De. 5. Ismail yang telah memberikan perhatian, kesabaran, motivasi, serta kasih

sayang disetiap waktu kepada penulis.

6. Sahabat-sahabat saat SMA, UNGGAS, KOMIPA1 (Komunitas IPA 1), dan GAPURA (Gabungan Purna Paskibra) SMAN 1 Krangkeng yang juga telah memberi semangat dan menghibur penulis.

7. Andra Dwiana N, Ahmad Aulia A serta Putri Rahmayati selaku teman satu bimbingan yang telah saling memotivasi dalam menyelesaikan penulisan Skripsi.

8. Syifa Maharani, Intan Yuliastry, Dewi Agustina, Wiwit Asih Nurahmi, RR Utami Annastasia, Nur Irvany Putri, Nyimas Nadya Izana dan Zuhaida Khoirun Nizwah yang selalu menemani langkah disetiap susah ataupun senang dalam menjalani hari-hari di kampus.

9. Seluruh teman-teman KPM 44, yang selama empat tahun bersama dan berjuang menyelesaikan Studi Sarjana ini.


(11)

10. Teman-teman di Wisma Madura, Lia Heliana, Puty Fitria, Devita Ayu Dewi, dan Nenden Meitasari yang setia menghibur dan mengingatkan penulis agar tidak malas menyelesaikan penulisan ini.

11. Penduduk Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, terimakasih atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian di desa ini. 12. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Kegunaan Penelitian ... 4

II. PENDEKATAN TEORITIS ... 6

2.1. Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1. Ekosistem Hutan Mangrove ... 6

2.1.2. Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove ... 7

2.1.3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 15

2.1.4. Karakteristik Masyarakat Pesisir ... 17

2.1.5. Konsep Persepsi ... 20

2.2. Kerangka Pemikiran ... 22

2.3. Hipotesis Penelitian ... 25

2.4. Definisi Konseptual ... 26

2.5. Definisi Operasional ... 26

III. PENDEKATAN LAPANG ... 29

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

3.2. Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.3. Penentuan Responden dan Informan ... 30

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 33

4.1. Profil Desa Karangsong ... 33

4.2. Aksesibilitas ... 34


(13)

V. KONVERSI MANGROVE DAN USAHA PERTAMBAKAN DI

DESA KARANGSONG ... 38

5.1. Kronologi Konversi Mangrove ... 38

5.2. Proses Konversi dan Peran Berbagai Aktor ... 41

5.3. Karakteristik Pelaku Tambak Desa Karangsong ... 43

5.3.1. Umur dan Pendidikan ... 43

5.3.2. Jenis Pekerjaan Utama ... 45

5.3.3. Luas lahan Tambak ... 45

5.3.4. Status Penguasaan Lahan ... 46

VI. DAMPAK KONVERSI MANGROVE DAN UPAYA REHABILITASINYA ... 48

6.1. Dampak Konversi Mangrove ... 48

6.2. Proses dan Aktor Rehabilitasi Mangrove ... 51

6.3. Program Kelompok Rehabilitasi dan Kendala yang Dihadapi... 56

VII. PERSEPSI PENDUDUK DAN PROSPEK MANGROVE ... 60

7.1. Karakteristik Responden ... 60

7.1.1. Umur ... 60

7.1.2. Pendidikan ... 61

7.1.3. Jenis Pekerjaan ... 62

7.2. Persepsi Responden Terhadap Rehabilitasi Mangrove ... 63

7.3. Perspektif Responden Terhadap Rehabilitasi Mangrove ... 66

VIII. PENUTUP ... 69


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

Tabel 2. Data Penduduk menurut Usia Sekolah pada Bulan Maret 2011 ... 33 

Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk Desa Karangsong ... 36 

Tabel 4. Sejarah Lokal Konversi Mangrove Menurut Berbagai Sumber Berdasarkan Urutan Tahun Kejadian ... 40 

Tabel 5. Karakteristik Pelaku Tambak Berdasarkan Umur ... 44 

Tabel 6. Karakteristik Pelaku Tambak Berdasarkan Pendidikan ... 44 

Tabel 7. Karakteristik Pelaku Tambak Berdasarkan Jenis Pekerjaan Utama ... 45 

Tabel 8. Karakteristik Pelaku Tambak Berdasarkan Luas Lahan Tambak . 46  Tabel 9. Karakteristik Pelaku Tambak Berdasarkan Status Penguasaan Lahan ... 46 

Tabel 10. Karakteristik Penduduk Aktor Rehabilitasi Mangrove Berdasarkan Umur ... 53 

Tabel 11. Karakteristik Penduduk Aktor Rehabilitasi Mangrove Berdasarkan Pendidikan ... 54 

Tabel 12. Karakteristik Penduduk Aktor Rehabilitasi Mangrove Berdasarkan Jenis Pekerjaan Utama ... 55 

Tabel 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 60 

Tabel 14. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 61 

Tabel 15. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Utama ... 62 


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

Gambar 1. Kerangka Analisis Konversi dan Rehabilitasi Ekosistem

Mangrove ... 24 

Gambar 2. Kegiatan Nelayan dalam Membuat Perahu ... 35 

Gambar 3. Keadaan Tambak Tanpa Mangrove ... 42 

Gambar 4. Ilustrasi Penyebaran Fauna di Habitat Ekosistem Mangrove ... 51 

Gambar 5. Kegiatan Penanaman dan Penyulaman Mangrove Baru oleh Kelompok Pantai Lestari ... 57 


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. ... 75  Lampiran 2. Kerangka Sampling Petani Tambak Berdasarkan Data Nama

Petani Tambak Penerima Ganti Rugi Akibat Kebocoran Floating Hose SBM 150.000 DWT PT. PERTAMINA (persero) RU VI Balongan 2010 ... 77  Lampiran 3. Tabel Penghitungan Skor Persepsi ... 78  Lampiran 4. Dokumentasi ... 79 


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer. Wilayah pantai (pesisir) ini banyak ditumbuhi hutan mangrove. Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4.251.011,03 hektar dengan penyebaran: 15,46 persen di Sumatera, 2,35 persen di Sulawesi, 2,35 persen di Maluku, 9,02 persen di Kalimantan, 1,03 persen di Jawa, 0,18 Bali dan Nusa Tenggara, dan 69,43 persen di Irian Jaya (FAO/UNDP, 1990 dalam Hainim, 1996).

Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, yang memiliki fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai. Di samping itu juga merupakan penyangga kehidupan sumberdaya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009).

Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk menentukan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Di dalam aktivitas-aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada ekosistem dan sumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan, maka makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alam dan makin besar perubahan-perubahan yang akan terjadi pada lingkuangan hidup (Bengen, 2001a dalam Lalo, 2003).

Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, agriwisata dan lain-lain), maka tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir dan laut semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem darat dan laut, baik secara langsung


(18)

(misalnya kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen, 2001a dalam Lalo, 2003).

Berbagai alternatif pengelolaan dapat dilakukan terhadap hutan mangrove yang ada. Masyarakat lokal misalnya, mereka mengkonversi dan memanfaatkan lahan mangrove sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan pandangan mereka atau persepsi tentang hutan mangrove. Dengan berbagai bentuk pemanfaatan yang ada, menyebabkan terjadinya perbedaan dalam perolehan pendapatan dari usaha mengelola hutan mangrove tersebut.

Pola pemanfaatan yang dilakukan dalam usaha mencukupi kebutuhan hidup sesuai kemampuan yang masyarakat miliki belum tentu benar dengan apa yang seharusnya dilakukan. Hal tersebut dikarenakan masih terdapat aktor-aktor yang melakukan kesalahan-kesalahan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove, seperti mengeksploitasi lahan hutan mangrove dan mengkonversinya menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian, lahan perkebunan, industri dan/atau lainnya dalam skala besar tanpa memikirkan keberlanjutan ekosistem pesisir itu serdiri.

Berbagai aktivitas manusia tersebut menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat juga pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan fungsi dan manfaat mangrove yang rusak tersebut, maka diperlukan adanya upaya pengelolaan melalui rehabilitasi dan konservasi mangrove.

Kegiatan rehabilitasi dan konservasi mangrove membutuhkan pengawasan dan pemeliharaan secara berkelanjutan. Kemungkinan keberhasilan rehabilitasi sangat kecil tanpa adanya pengawasan. Keberhasilan rehabilitasi dan konservasi mangrove juga ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah peran serta atau pertisipasi penduduk kawasan itu sendiri (penduduk lokal), karena penduduk lokal merupakan penduduk yang mempunyai kepentingan langsung, baik sebagai sumberdaya maupun sebagai ekosistem dengan fungsi-fungsi ekologisnya dengan wilayah rehabilitasi dan konservasi.

1.2. Rumusan Masalah

Beberapa tahun terakhir luas hutan mangrove di Indramayu berkurang disebabkan antara lain oleh adanya konversi sebagian besar hutan mangrove


(19)

menjadi tambak/empang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Indramayu (2011) menyebutkan bahwa panjang garis pantai Kabupaten Indramayu mencapai 114.1 km, lebih dari 2.153 hektar wilayah pesisir hilang terkena abrasi dan intrusi air laut yaitu mencapai lebih dari 17 km dari pantai. Dampak dari berkurangnya kuantitas mangrove akan berpengaruh juga pada penurunan kualitas mangrove tersebut, dintaranya adalah fungsi dan manfaat mangrove dari segi sosial ekonomi maupun ekologinya.

Bagi penduduk wilayah pantai yang bermukim dan hidup tergantung pada hutan mangrove, konversi hutan mangrove dapat meningkatkan pendapatan mereka, di lain pihak penduduk pun menyadari bila pengelolaan mangrove tidak dilaksanakan dengan baik, dapat mengancam keberlangsungan hidup penduduk hingga ke generasi berikutnya.

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana kronologi konversi mangrove menjadi tambak yang terjadi di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu?

2. Siapa saja aktor dan apa peran masing-masing dalam proses konversi maupun aktor dalam proses rehabilitasi dan konservasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu?

3. Bagaimana persepsi penduduk lokal terhadap kegiatan rehabilitasi dan konservasi mangrove serta mengetahui perspektif kegiatan rehabilitasi dan konservasi dalam kondisi konversi yang ada sekarang?

4. Apa saja bentuk partisipasi penduduk lokal di dalam usaha rehabilitasi mangrove?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji kronologi konversi mangrove menjadi tambak yang terjadi di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.


(20)

2. Mengetahui aktor dan peran masing-masing dalam proses konversi maupun aktor dalam proses rehabilitasi dan konservasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.

3. Menganalisis persepsi penduduk lokal terhadap program rehabilitasi dan konservasi mangrove serta mengetahui perspektif kegiatan rehabilitasi dan konservasi dalam kondisi konversi yang ada sekarang di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.

4. Mengetahui bentuk dan perkembangan partisipasi penduduk dalam usaha rehabilitasi mangrove.

1.4. Kegunaan Penelitian

Mengacu pada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi kegunaan bagi beberapa pihak yang terkait, diantaranya: 1. Masyarakat

Melalui penelitian ini masyarakat dapat menambah wawasan mengenai apa saja manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove beserta pengelolaannya secara berkelanjutan, terutama bagi masyarakat pesisir dan juga mengetahui bagaimana sejarah lokal mengenai konversi yang terjadi di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperlihatkan bagaimana peran penduduk lokal Desa Karangsong, Indramayu serta pengaruhnya terhadap lingkungan terkait peran dan kepentingan penduduk lokal tersebut sebagai aktor.

2. Pemerintah

Penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi pemerintah dalam melakukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove. Jika dalam penelitian ini dapat menjawab bagaimana peran dan kepentingan aktor yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove, maka pemerintah perlu memperhatikan kebijakan yang tepat dan penguatan hukum mengenai pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove tersebut.


(21)

3. Akademis

Penelitian ini dapat berguna sebagai tambahan literatur bagi penelitian lain yang berkaitan dengan analisis konversi dan rehabilitasi ekosistem mangrove.


(22)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Ekosistem Hutan Mangrove

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas yaitu komunitas atau penduduk tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas (pasang surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies (Magne, 1968; Supriharyono, 2000 dalam Yuniarti, 2004). Magne kemudian menggunakan istilah mangal apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan. Mangrove sering diterjemahkan sebagai komunitas hutan bakau, sedangkan tumbuhan bakau merupakan salah satu jenis dari tumbuhan yang hidup di hutan pasang surut tersebut. Jenis-jenis pohon mangrovenya seperti Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, dan Ceriops sp. Jenis ini hampir sama dengan jenis-jenis mangrove yang ada di Philiphina yaitu Rhizophora, Avicennia, Bruguiera, dan Sonneratia (King et al, 2000 dalam Yuniarti, 2004).

Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat dimana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik, baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai dimana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.1

Mangrove (bakau) merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini pada       


(23)

umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supertidal yang mendapat aliran air yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan kawasan-kawasan pantai yang terlindung (Dahuri et al, 2001 dalam Yuniarti, 2004).

Pohon-pohon mangrove adalah halofit, artinya bahwa mangrove ini tahan akan tanah yang mengandung garam dan genangan air laut. Ada juga mangrove tumbuh di tempat yang lebih tinggi, sehingga akan mengalami masa tanpa di genangan air laut yang agak panjang. Namun beberapa pohon mangrove dapat dijumpai di tepi sungai sekitar 100 km dari laut, walaupun dipermukaan air dimana pohon itu tumbuh adalah air tawar, tetapi pada dasar sungai terdapat seiris air asin (Anwar et al, 1984 dalam Irwan, 2003).

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991 dalam Azis, 2006).

2.1.2. Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove mempunyai manfaat penting dalam mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri et al. (1996)

dalam Azis (2006) menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi. 2.1.2.1. Fungsi Ekologis Hutan Mangrove

Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut, yang memiliki fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai. Disamping itu juga merupakan penyangga kehidupan sumberdaya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground)


(24)

dan daerah mencari makan (feeding ground) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2009).

Ujung Kulon Conservation Society (2010) menyebutkan beberapa fungsi hutan mangrove secara ekologis, diantaranya fungsi fisik dan fungsi biologis. Fungsi fisik, menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi (abrasi) dan intrusi air laut, peredam gelombang dan badai, penahan lumpur, penangkap sedimen, pengendali banjir, mengolah bahan limbah, penghasil detritus, memelihara kualitas air, penyerap CO2 dan penghasil O2 serta mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami.

Irawan (2005) dalam Ujung Kulon Conservation Society (2010) melaporkan bahwa keberadaan hutan mangrove dapat memperkecil resiko akibat dampak tsunami di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam. Daerah-daerah yang memiliki front zonasi mangrove kerusakannya tidak terlalu parah jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki front hutan mangrove. Adanya perubahan lingkungan ekosistem wilayah pesisir laut secara tidak langsung akan mempengaruhi sistem komunitas yang berada di dalamnya, termasuk terhadap keanekaragaman jenis dan struktur komunitas yang berada dalam ekosistem tersebut. Penjelasan dari fungsi biologis hampir sama dengan penjelasan yang diuraikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (2009), bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai habitat tempat tinggal, tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), daerah untuk mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi organisme berbagai biota laut yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Mangrove juga merupakan tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, sumber plasma nutfah (hewan, tumbuhan dan mikroorganisme) dan pengontrol penyakit malaria.

Fungsi ekologis mangrove menurut Dahuri et al. 1996) dalam Azis (2006) adalah sebagi berikut:

a. Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.


(25)

b. Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove memiliki kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan topan.

c. Sebagai pengendali banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir.

d. Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik.

e. Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang jatuh dan gugur ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.

f. Merupakan daerah asuhan (nursery ground) hewan-hewan muda (juvenile stage)

yang akan bertumbuh kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.

Mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi pertama sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah menjadikannya sumber energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove sebagai pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya.

2.1.2.2. Fungsi Sosial dan Ekonomi Hutan Mangrove

Manfaat sosial ekositem mangrove adalah dapat digunakan sebagai pemukiman penduduk dan peruntukan kemaslahatan manusia lainnya. Ujung Kulon


(26)

Conservation Society (2010) menyebutkan beberapa fungsi sosial ekonomi hutan mangrove, diantaranya:

Sumber mata pencarian, produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan dan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam dan areal perkebunan. Kulit batang pohonnya dipakai untuk bahan pengawet dan obat-obatan. Macam-macam obat dapat dihasilkan dari tanaman mangrove. Campuran kulit batang beberapa spesies mangrove tertentu dapat dijadikan obat penyakit gatal atau peradangan pada kulit. Secara tradisional tanaman mangrove dipakai sebagai obat penawar gigitan ular, rematik, gangguan alat pencernaan dan lain - lain. Getah sejenis pohon yang berasosiasi dengan mangrove (blind-your-eye mangrove) atau Excoecaria agallocha dapat menyebabkan kebutaan sementara bila kena mata, akan tetapi cairan getah ini mengandung cairan kimia yang dapat berguna untuk mengobati sakit akibat sengatan hewan laut.

Air buah dan kulit akar mangrove muda dapat dipakai mengusir nyamuk. Air buah tancang dapat dipakai sebagai pembersih mata. Kulit pohon tancang digunakan secara tradisional sebagai obat sakit perut dan menurunkan panas. Di Kambodia bahan ini dipakai sebagai penawar racun ikan, buah tancang dapat membersihkan mata, obat sakit kulit dan di India dipakai menghentikan pendarahan. Daun mangrove bila di masukkan dalam air bisa dipakai dalam penangkapan ikan sebagai bahan pembius yang memabukkan ikan (stupefied).

Mangrove bukan sekedar pencegah abrasi. Ia bisa disulap menjadi beragam-ragam makanan. Salah satunya getuk goreng. Mangrove juga dapat dibuat menjadi jenis produk yang lainnya seperti dodol dan tape. Apalagi sebelumnya, para petambak Blanakan telah berhasil mengembangkan produk minuman dari buah salah satu jenis mangrove, yakni Sonerratia caseolaris. Orang-orang menamainya jus pidada. Diimbuhi gula dengan takaran yang pas, rasa minuman itu asam-manis yang menyegarkan.

Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai


(27)

penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut.

Anwar dan Gunawan (2007) menjelaskan bahwa keberadaan hutan mangrove juga penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove. Bunga dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam yang dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang mati.

Selain untuk pertanian, hutan mangrove juga dapat dijadikan sebagai kawasan wisata alam. Kegiatan wisata ini disamping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian penduduk di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

2.1.2.3. Konversi Lahan Mangrove

2.1.2.3.1. Faktor Penyebab Konversi Lahan Mangrove

Tambak dalam skala kecil tidak terlalu banyak mempengaruhi ekosistem mangrove, tapi lain halnya bila dalam skala besar. Konversi mangrove yang luas menjadi tambak dapat mengakibatkan penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya. Pertambakan ini juga diduga dapat memengaruhi produktivitas perairan estuari dan laut di sekitarnya. Seperti contoh menurunnya produksi udang laut sebagai akibat menciutnya luas hutan mangrove (Saparinto, 2007 dalam Setiawan, 2010)2.

Setiawan (2010) menjelaskan bahwa faktor utama yang menjadi permasalahan dan penyebab terjadinya konversi mangrove antara lain:

a. Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan       

2 http://firmans08.wordpress.com/category/eksplorasi/konservasi/ diakses tanggal 12


(28)

kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka lebih paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi tambak dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan padahal kalau ditinjau secara keuntungan jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat.

b. Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari sini kita mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang akan datang. Kemudian rendahnya kesadaran penduduk tentang konversi dan fungsi ekosistem mangrove.

c. Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternatif. Reklamasi seperti itu telah memusnahkan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek-efek yang negatif terhadap perikanan di perairan pantai sekitarnya. Selain itu kehadiran saluran-saluran drainase mengubah sistem hidrologi air tawar di daerah mangrove yang masih utuh yang terletak kearah laut dan hal ini mengakibatkan dampak negatif.

Kondisi sosial ekonomi penduduk yang bermukim di daerah pesisir secara umum akan mempengaruhi ekosistem mangrove. Konversi hutan mangrove menjadi areal tambak merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan mangrove. Berdasarkan kriteria penilaian sosial ekonomi sebagai penyebab kerusakan hutan mangrove, faktor-faktor yang dilihat adalah (1) mata pencaharian utama (mp), (2) lokasi lahan usaha (llu), (3) pemanfaatan kayu bakar (pkb), dan (4) persepsi terhadap mangrove (Departemen Kehutanan, 2006).

Hainim (1996) menjelaskan nelayan di Kabupaten Bengkalis melakukan konversi mangrove untuk digunakan pada berbagai kegiatan pertanian (perkebunan). Untuk beberapa keadaan sosial ekonomi nelayan terlihat perbedaan antara nelayan yang mengkonversi dan yang tidak. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor


(29)

yang mempengaruhi kehidupan rumahtangga nelayan. Nelayan yang mengkonversi memiliki karakteristik usia lebih tua dari yang tidak mengkonversi dan sudah menjadi nelayan selama lebih dari 19 tahun. Modal usaha, harga kapal dan harga alat tangkap yang dimiliki nelayan yang mengkonversi lebih tinggi daripada nelayan yang tidak mengkonversi. Sedangkan pekerjaan sampingan nelayan yang tidak mengkonversi lebih banyak (buruh, tukang becak dan tukang perahu) dibandingkan dengan nelayan yang mengkonversi yang hanya bekerja sebagai petani.

Nelayan yang mempunyai pendapatan lebih besar atau sama dengan rata-rata pendapatan nelayan secara keseluruhan, cenderung untuk mengkonversi lahan mangrove. Lahan yang dikonversi nelayan-nelayan ini diusahakan untuk kegiatan pertanian (perkebunan). Sebaliknya bagi nelayan yang berpendapatan lebih kecil dari rata-rata pendapatan nelayan secara keseluruhan, tidak mampu untuk mengkonversi lahan mangrove.

2.1.2.3.2. Dampak Konversi Terhadap Fungsi Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove

Terdapat dua jenis dampak konversi dan pemanfaatan hutan mangrove, yaitu: (1) dampak terhadap lingkungan fisik dan biologis; dan (2) dampak terhadap lingkungan sosial ekonomi. Dampak fisik dan biologis yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan aspek amunitas dan ketersediaan sumber penghasilan dari keberadaan hutan mangrove di kawasan sekitar tempat tinggal penduduk. Dampak ini pula berupa penurunan keragaman, stabilitas, dan produktifitas biologis (Jakaria, 2000)

Dampak sosial ekonomi, konversi/penebangan hutan haruslah dikaitkan dengan keuntungan dan kerugian dan bentuk nilai uang, perubahan keindahan alam, tingkah laku, keamanan dan kesehatan penduduk (Soerianegara, 1982 dalam Jakaria, 2000). Disamping itu pula sangat berpengaruh kepada lapangan kerja dan pendapatan daerah. Jadi aspek yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan dampak sosial ekonomi adalah faktor kesempatan kerja, pola kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam, tingkat pendapatan penduduk, tingkat sarana dan prasarana perekonomian dan pola pemanfaatan sumberdaya alam (Hadi, 1995 dalam Jakaria, 2000).


(30)

Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya (Setiawan, 2010).

Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan Juwana, 1999 dalam Setiawan, 2010).

Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan organik (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993 dalam

Setiawan, 2010). Setyawan dkk (2002) dalam Setiawan (2010) menyatakan nutrien di dalam ekosistem mangrove dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) dalam Setiawan (2010) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata. Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang dimangsa akan berpindah ke lahan yang belum mengalami kerusakan. Contohnya saja spesies monyet dan bangau mungkin tidak akan ada lagi karena spesies ikan yang ada akan berkurang dan habitat mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia dari pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung akan mengubah siklus biogeokimianya karena unsur-unsur yang ada akan berubah dan berkurang.

Setiawan (2010) juga menjelaskan bahwa secara global juga akan berdampak pada pemanasan global karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi akan mengurangi dan merusak ekosistem hutan mangrove tersebut. Penyerapan karbon pun akan berkurang sehingga membuat CO2 di bumi menumpuk


(31)

dan adanya efek rumah kaca sehingga mengakibatkan pola perubahan iklim dunia yang akan merugikan kita semua.

2.1.3. Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan sumberdaya alam adalah upaya manusia dalam mengubah sumberdaya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengutamakan kontinuitas produksi (Soerianegara, 1977 dalam Harahap 2001). Davis (1960) dalam

Harahap (2001) menyatakan bahwa tujuan utama pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivitas mempunyai dua arti, yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen.

Menurut Hutchings dan Saenger (1987) dalam Harahap (2001) pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konservasi, sebagai langkah awal adalah mencegah semakin rusaknya ekosistem mangrove yang ada. Namun yang lebih penting pengelolaan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang hidup didalamnya.

Saenger et al. (1983) dalam Haikal (2008), menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan pesisir. Aspek sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan penduduk lokal tempat sumberdaya alam itu berbeda. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh mengucilkan mpenduduk setempat, namun harus membukakan akses kepada penduduk lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat penduduk menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.

Menurut Bengen (2001) dalam Haikal (2008), menyebutkan bahwa pelestarian hutan mangrove merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif


(32)

terhadap pihak-pihak terkait baik yang berbeda di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian mangrove pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan penduduk sebagai komponen penggerak pelestarian hutan mangrove.

Dahuri et al. (1996) dalam Haikal (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawakan jangkauan kegiatan yang beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi penduduk lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove. Selanjutnya menurut Sumardji (2001)

dalam Haikal (2008), keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan penduduk pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.

2.1.3.1. Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekositem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman dan level ekosistem. Selain itu untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies). Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibendingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al., 2002 dalam Haikal, 2008).


(33)

2.1.3.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan

Menurut Kusmana et al. (2005) dalam Haikal (2008), secara garis besar ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh penduduk:

Tambak terbagi dalam dua jenis, yaitu: (1) Tambak Tumpangsari, tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang di dalamnya mengkombinasikan bagian lahan untuk pemeliharaan kepiting/ikan dan bagian lahan untuk penanaman mangrove; (2) Model Tambak Terbuka, model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun disepanjang pantai.

Hutan Rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu (chips).

Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu. Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tannin, pakan ternak, dan lain-lain.

Bentuk kombinasi pemenfaatan mangrove secara simultan untuk mendapatkan berbagai jenis produk sekaligus, misalnya untuk memperoleh pakan ternak, ikan/kepiting, madu, dan kayu bakar/arang.

2.1.4. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah orang atau sekelompok orang yang bermukim di wilayah pesisir dan atau memiliki mata pencaharian yang berasal dari sumberdaya alam atau jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan. Dibedakan berdasarkan basis tempat tinggal yaitu setiap orang yang tinggal di wilayah pesisir. Basis mata pencaharian, yaitu nelayan, petani ikan (budidaya air payau dan laut) pemilik/pekerja industri pariwisata, pemilik/pekerja perusahaan perhubungan laut, pemilik/pekerja pertambangan energi, pemilik/pekerja industri maritim (Maskendari, 2006).


(34)

Menurut Sunoto (1997) dalam Harahap (2001) masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi dua kelompok menurut jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan penangkap ikan dan nelayan aquakultur/petambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya adalah di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas, sedangkan petambak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.

Masyarakat petambak memiliki aksesibilitas terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik dibanding nelayan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Keadaan tersebut memberikan alternatif yang lebih banyak bagi pengembangan ekonomi mereka. Petambak memiliki akses terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber penghasilan. Kondisi akan lebih diperkaya apabila daerah sepanjang pantai berupa kawasan hutan mangrove. Selain menjadi habitat ikan, hutan mangrove merupakan wilayah yang mengandung kekayaan yang bermanfaat bagi petambak. Petambak juga mempunyai peluang untuk meningkatkan perekonomian mereka secara lebih sistematis karena dapat mengembangkan basis produksi yang lebih relatif stabil, dimana masa panen dapat lebih diatur tergantung dari permintaan pasar. Di sisi lain, petambak mempunyai kesempatan lebih luas untuk bersosialisasi dengan keluarga dan tetangganya seperti masyarakat lain yang berorientasi pada kehidupan darat (Sunoto, 1997 dalam Harahap, 2001).

Masyarakat pesisir memiliki karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan yang merupakan mata pencaharian utama. Karena usaha perikanan sangat dipengatuhi oleh faktor lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Kusumastanto, 2002 dalam Maskendari 2006).

Satria et al. (2002) dalam Maskendari (2006) menjelaskan bahwa masyarakat pesisir pada dasarnya adalah masyarakat nelayan karena sebagian besar mata pencahariannya sebagai nelayan. Nelayan menghadapi mengahadapi sumberdaya alam yang bersifat open access, sehingga karakteristik sumberdaya seperti ini menyebabkan nelayan berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal dengan


(35)

demikian resiko dan ketidakpastian menjadi tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko ini menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka.

Ketergantungan kepada musim merupakan karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi nelayan kecil. Pada muusim penangkapan para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga bangak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir secara umum dan kaum nelayan khususnya.

Berbeda dari petani padi, para nelayan dan petambak sangat bergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika petani padi yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya menjual sedikit saja, maka nelayan dan pettambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak membusuk. Kondisi ini menyebabkan nelayan dan petambak sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonomi mereka.

Masyarakat pesisir dapat dikelompokkan menurut jenis kegiatan utamanya, namun pada umumnya hubungan sosial ekonomi mereka hampir sama. Dalam hubungan sosial ekonomi tersebut terdapat pola hubungan tertentu yang sangat umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani petambak, yakni pola hubungan yang bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil, buruh nelayan, petani tambak kecil dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari kepada juragan atau para pedagang pengumpul. Konsekuensinya, para peminjam tersebut menjadi terkait dengan pihak juragan atau pedagang, yaitu berupa keharusan menjual produknya. Pola hubungan yang tidak simetris ini akan sangat berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi (Satria, 2002 dalam Maskendari, 2006).

Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petambak adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat nelayan, umumnya terdapat tiga strata kelompok (Maskendari, 2006), yaitu:


(36)

Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor lengkap dengan alat tangkapnya. Biasanya dikenal sebagai nelayan besar atau modern, tidak ikut melaut dan operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa mencapai dua atau tiga puluhan.

Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor temple. Biasanya pemilik ikut melaut memimpin kegiatan penangkapan. Buruh yang ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.

Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga merangkap menjadi buruh, tetapi banyak juga buruh yang tidak memiliki sarana produksi apa-apa, hanya tenaga mereka sendiri.

Terdapat tiga strata sosial yang dominan dalam masyarakat petambak, yaitu: (1) Strata atas adalah mereka yang menguasai tambak yang luas; (2) Strata menengah adalah mereka yang memiliki luas tambak sedang/kecil; (3) Strata paling bawah adalah para pengelola/buruh.

Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun biasanya ada pedagang pengumpul yang bukan nelayan sehingga pedagang ini merupakan strata sendiri.

2.1.5. Konsep Persepsi

Persepsi adalah pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi seseorang terhadap obyek. Persepsi dibentuk melalui serangkaian proses (kognisi) yang diawali dengan menerima rangsangan atau stimulus dari obyek oleh indera (mata, hidung, telinga, kulit dan mulut) dan dipahami dengan interpretasi atau penafsiran tentang obyek yang dimaksud. Bakat minat, kemauan, perasaan, fantasi, kebutuhan, motivasi, jenis kelamin, umur, kepribadian, kebiasaan dan lain-lain serta sifat lain yang khas yang dimiliki oleh seseorang. Persepsi dipengaruhi oleh faktor budaya dan sosial ekonomi seperti pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan suku bangsa (Harihanto, 2001).

Rakhmat (2007) menjelaskan bahwa persepsi dapat berupa kesan, penafsiran atau penilaian berdasarkan pengalaman yang diperoleh dan suatu proses pengambilan keputusan tentang pemahaman seseorang kaitannya dengan suatu obyek, stimuli atau


(37)

individu yang lain. Kesan stimuli tersebut dapat dipandang sebagai pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), persepsi memiliki tiga dimensi yang menandai konsep dirinya, yaitu:

1. Pengetahuan merupakan apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi lain-wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan motif dan sebagainya. 2. Penghargaan merupakan gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau

melakukan apa yang dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia menjadi apa dan melakukan apa.

3. Evaluasi merupakan kesimpulan kita tenteng seseorang didasarkan pada bagaimana seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi pengharapan kita tentang dia.

Sadli (1976) dalam Susiatik (1988) juga menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu:

1. Faktor Obyek rangsangan.

Ciri khas dari faktor ini terdiri dari:

a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari rangsangan seperti nilai bagi subyek yang mempengaruhi secara rangsangan tersebut dipersepsi.

b. Arti emosional, yaitu sampai seberapa jauh rangsangan tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi individu yang bersangkutan.

c. Familiaritas, yaitu pengenalan seberapa jauh rangsangan yang mengakibatkan rangsangan tersebut dipersepsi lebih akurat.

d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai rangsangan tersebut.

2. Faktor pribadi

Faktor pribadi yang dapat memberikan persepsi yang berbeda seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain.

3. Faktor pengaruh kelompok

Dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberikan arah terhadap tingkah laku seseorang.


(38)

4. Faktor latar belakang kultural

Orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek karena latar belakang kultural yang berbeda.

Susiastik (1998) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya tingkat persepsi seseorang atau kelompok akan mendasari atau mempengaruhi tingkat peran serta dalam kegiatan. Tingkat persepsi yang tinggi merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, begitu pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah atau kurang dapat merupakan penghambat bagi seseorang atau kelompok orang untuk berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan.

2.2. Kerangka Pemikiran

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin, 1991 dalam Azis, 2006). Menurut Departemen Kelautan Dan Perikanan (2009), mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya peisir dan laut, yang memiliki fungsi penting sebagai penyambung ekologi darat dan laut, serta gejala alam yang ditimbulkan oleh perairan, seperti abrasi, gelombang dan badai. Disamping itu juga merupakan penyangga kehidupan sumber daya ikan, karena ekosistem mangrove merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah mencari makan (feeding ground).

Manfaat sosial ekositem mangrove adalah dapat digunakan sebagai pemukiman penduduk dan peruntukan kemaslahatan manusia lainnya. Ujung Kulon Conservation Society (2010) menyebutkan beberapa fungsi sosial ekonomi hutan mangrove sebagai sumber mata pencarian, diantaranya produksi berbagai hasil hutan (kayu, arang, obat dan makanan), sumber bahan bangunan dan kerajinan, tempat wisata alam, objek pendidikan dan penelitian, areal pertambakan, tempat pembuatan garam dan areal perkebunan.


(39)

Kondisi hutan mangrove yang bersifat open access tersebut membuat masyarakat dapat memanfaatkan SDA secara terbuka, baik secara ekologis maupun ekonomis. Namun perbandingan antara kedua pemanfaatan di atas, manfaat ekonomis lebih cenderung diutamakan oleh penduduk lokal karena memberikan keuntungan yang dirasakan dalam jangka pendek (seperti pemanfaatan dengan cara mengkonversi lahan mangrove), dibandingkan dengan manfaat ekologis yang memberikan keuntungan dalam jangka panjang. Menurut Setiawan (2010), faktor utama yang menjadi permasalahan dan penyebab terjadinya konversi mangrove antara lain adalah tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih mementingkan kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak bertanggung jawab juga dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove tapi setelah dikonversi lahan tersebut mereka tidak menindak lanjutinya.

Kerusakan ekosistem tersebut memerlukan adanya upaya rehabilitasi yaitu kegiatan/upaya termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil (Macintosh et al., 2002 dalam

Haikal, 2008).

Upaya rehabilitasi yang dilakukan memerlukan partisipasi aktif dari penduduk lokal, diantaranya adalah aktor atau pelaku konversi. Namun peran serta penduduk lokal itu sendiri juga dipengaruhi oleh persepsi atau pandangan, penilaian, interpretasi, harapan, atau aspirasi seseorang terhadap obyek (Harihanto, 2001). Seperti yang dijelaskan oleh Susiastik (1998) bahwa tinggi rendahnya tingkat persepsi seseorang atau kelompok akan mendasari atau mempengaruhi tingkat peran serta dalam kegiatan. Tingkat persepsi yang tinggi merupakan dasar dukungan dan motivasi positif untuk berperan serta, begitu pula sebaliknya tingkat persepsi yang rendah atau kurang dapat merupakan penghambat bagi seseorang atau kelompok orang untuk berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan.

Penelitian mengenai Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya Penduduk Lokal Dalam Rehabilitasi Ekosistem Mangrove ini dapat dirangkum dalam Gambar 1.


(40)

Gambar 1. Kerangka Analisis Konversi dan Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Keterangan gambar:

: Bertentangan/berlawanan : Saling mempengaruhi

: Mencakup : Pengaruh langsung

: Pengaruh tidak langsung

Berdasarkan Gambar 1, terdapat beberapa aktor yang dapat berperan serta dalam konversi maupun rehabilitasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, diantaranya adalah penduduk lokal yang secara langsung maupun tidak langsung mendapatkan dampak positif dan negatif dengan

PERSEPSI:

• Umur

• Pendidikan • Jenis Pekerjaan

MANGROVE

KONVERSI MENJADI TAMBAK:

• Kronologi konversi

• Proses dan peran aktor

konversi

• Karakteristik aktor

REHABILITASI DAN

KONSERVASI: • Proses dan aktor •Karakteristik aktor • Program

rehabilitasi   AKTOR DALAM DESA LUAR DESA KELEMBAGAAN EKSTERNAL     KEUNTUNGAN LANGSUNG (JANGKA PENDEK) KEUNTUNGAN TIDAK LANGSUNG (JANGKA PANJANG)


(41)

adanya konversi dan pengelolaan mangrove di kawasan tersebut serta aktor lain selain penduduk lokal yaitu diantaranya adalah kelembagaan eksternal (LSM, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dan lainnya) serta aktor dari luar desa atau luar penduduk lokal, sedangkan beberapa aktor tersebut tadi memiliki hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Aktor dalam desa maupun aktor luar desa masing-masing memiliki persepsi mengenai ekosistem mangrove. Persepsi tersebut dapat mempenguruhi keputusan aktor dalam menentukan bentuk pemanfaatan dalam mengelola ekosistem mangrove, baik pengelolaan dalam bentuk konversi maupun rehabilitasi atau konservasi mangrove.

Dampak dari konversi dan rehabilitasi mangrove dapat berupa keuntungan/kerugian secara langsung maupun tidak langsung. Seperti dengan memanfaatakan mangrove melalui konversi, keuntungan langsung atau dalam jangka pendek dapat diperoleh oleh aktor terutama penduduk lokal. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk lokal lebih mementingkan kepentingan ekonomi mereka yaitu dengan mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak dalam skala luas. Berbeda dengan upaya rehabilitasi dan konservasi ekosistem mangrove yang bertujuan untuk melestarikan mangrove memang tidak memberikan keuntungan dalam jangka pendek melainkan keuntungan yang dapat dirasakan oleh penduduk dalam jangka panjang sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang memiliki minat untuk terlibat dalam kegiatan tersebut.

2.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Diduga pengambilan keputusan dalam menentukan pola pengelolaan mangrove dipengaruhi oleh persepsi masing-masing individu terhadap mangrove.

2. Diduga kegiatan konversi mangrove lebih memberikan keuntungan jangka pendek bagi sebagian besar dari penduduk lokal.

3. Diduga adanya kegiatan rehabilitasi mangrove merugikan sebagian besar aktor konversi/petambak.


(42)

4. Diduga program rehabilitasi dan konservasi didukung oleh sebagian penduduk yang bukan pelaku tambak.

2.4. Definisi Konseptual

1. Aktor merupakan subjek atau pelaku yang terlibat dalam suatu proses kegiatan. 2. Penduduk lokal merupakan sekumpulan individu/orang yang tinggal/bermukim

di suatu tempat tertentu (desa, kota, negeri, pulau) dan memiliki peraturan berdasarkan kesepakatan bersama.

3. Aktor lain adalah pelaku lain selain pelaku utama yang terlibat dalam suatu proses kegiatan.

4. Konversi mangrove adalah merubah fungsi, bentuk/rupa dari suatu lahan mangrove menjadi berbagai bentuk peruntukan seperti tambak, pertanian, perkebunan, industri dan pemukiman.

5. Konservasi adalah suatu upaya/penjagaan dalam pelestarian suatu/beberapa spesies dari suatu ekosistem.

6. Rehabilitasi adalah upaya memperbaiki kembali sesuatu yang telah rusak.

7. Keuntungan langsung adalah keuntungan yang didapatkan atau dirasakan dalam jangka waktu yang pendek.

8. Keuntungan tidak langsung adalah keuntungan yang didapatkan atau dirasakan dalam jangka waktu yang panjang/lama.

9. Persepsi positif adalah sudut pandang positif induvidu dalam mengartikan suatu hal.

10. Persepsi negatif adalah sudut pandang negatif induvidu dalam mengartikan suatu hal.

2.5. Definisi Operasional

1. Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan dengan tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Umur responden terbagi dalam tiga rentang usia, yaitu • Sangat Produktif ( 25 < x ≤ 45 )

• Produktif ( 45 < x ≤ 65 ) • Tidak Produktif ( 25 > x > 65 )


(43)

2. Pendidikan Terakhir adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani responden hingga mendapat predikat lulus. Tingkat pendidikan diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden.

3. Jenis pekerjaan utama adalah profesi yang paling utama yang dijalankan responden untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Jenis pekerjaan utama diukur dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada responden.

4. Luas lahan tambak adalah besarnya lahan garapan yang dikuasai responden petani tambak, dan dinyatakan dengan satuan hektar (ha). Dalam penelitian ini luas lahan tambak diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan data di lapangan, yaitu:

• α≤ 5 ha • α > 5 ha

5. Status penguasaan lahan tambak adalah bentuk-bentuk penguasaan warga terhadap lahan secara efektif, meliputi:

• Pemilik • Penyewa • Penggarap

6. Persepsi penduduk adalah kecenderungan individu untuk menanggapi suatu objek, kaitannya dalam penelitian ini yaitu persepsi yang mencakup keberadaan mangrove, konversi mangrove menjadi tambak atau mengenai keberadaan tambak dan adanya program rehabilitasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu.

Setiap responden diberikan 9 pernyataan yang mencakup keberadaan mangrove, konversi mangrove menjadi tambak atau mengenai keberadaan tambak dan adanya program rehabilitasi mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, kemudian masing-masing pernyataan tersebut diberi skor berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden, yaitu:

• Setuju : kode 2 • Netral/ragu-ragu : kode 1 • Tidak setuju : kode 0


(44)

Penjumlahan dari kode setiap pernyataan dari masing-masing pernyataan disebut sebagai skor (x). Maka total skor minimum seluruh pernyataan = 0, Sedangkan total skor maksimum pernyataan = 18. Berikut adalah skor interval persepsi dari total skor maksimum:

• Persepsi kategori “Tinggi”, dengan skor berada pada interval: 13 ≤ x ≤ 18 • Persepsi kategori “Sedang”, dengan skor berada pada interval: 7 ≤ x ≤ 12 • Persepsi kategori “Rendah”, dengan skor berada pada interval: 0 ≤ x ≤ 6


(45)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Karangsong merupakan desa yang memiliki hutan mangrove berkriteria bukan hutan lindung dan terdapat banyak kegiatan konversi menjadi tambak yang dipertahankan, namun di sisi lain kegiatan rehabilitasi dan konservasi yang bertentangan dengan kegiatan konversi juga aktif dilaksanakan pada mangrove tersebut. Peta daerah penelitian terdapat pada Lampiran 1. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April – Juli tahun 2011.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk mengetahui sejarah konversi mangrove serta rehabilitasinya, dampak yang dirasakan penduduk akibat konversi dan juga aktor-aktor yang terlibat dalam konversi maupun rehabilitasi mangrove. Data kuantitatif dimanfaatkan untuk mengidentifiksai persepsi penduduk lokal responden petambak dan non petambak. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Data sekunder, meliputi hasil dokumentasi yang dimiliki Desa Karangsong, Kabupaten Indramayu, studi literatur dan hasil penelitian sebelumnya (jurnal, tesis, disertasi, makalah dan informasi dari internet). 2. Data primer, diperoleh dari wawancara menggunakan daftar pertanyaan

berupa kuesioner dengan responden dan informan untuk mendapatkan data kualitatif maupun data kuantitatif.


(46)

3.3. Penentuan Responden dan Informan

Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Sampel dalam penelitian ini yaitu penduduk kawasan mangrove yang ada di desa tersebut.

Terdapat dua subjek yang dapat membantu memberikan data primer dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan. Responden adalah individu yang memberikan data atau keterangan mengenai dirinya sendiri mencakup karakteristik dan persepsi, sedangkan informan adalah individu yang dapat memberikan data atau keterangan mengenai dirinya sendiri, orang lain (individu maupun kelompok), dan lingkungannya.

Jumlah responden yang diambil yaitu sebanyak 34 orang. Jumlah responden yang didapatkan dipengaruhhi oleh keterbatasan waktu, biaya dan kemudahan dalam mendapatkan responden. Pembagian jumlah responden ke dalam dua kategori adalah:

1. Non petambak dipilih sebanyak 11 orang yang dipilih secara purposive atau secara sengaja dan dihitung berdasarkan tiap jenis pekerjaan di luar tambak berdasarkan data sekunder yang ada di Kantor Desa Karangsong.

2. Petambak dipilih sebanyak 23 orang karena petambak merupakan aktor yang berhubungan langsung atau dipengaruhi dan mempengaruhi langsung keberadaan mangrove oleh karena itu jumlah sampel yang diambil lebih banyak dibandingkan jumlah sampel non petambak. Karena sifat populasi yang homogen, maka sampel ditentukan dengan menggunakan teknik simple random sampling, yaitu sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elemter dari popolasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi 1989). Kerangka Sampling dapat dilihat pada Lampiran 2. Kemudian responden petambak dibagi dalam dua variabel berdasarkan luas lahan tambak (α) dalam satuan hektar (ha) yang dimiiki, yaitu:

a. α≤ 5 ha b. α > 5 ha


(47)

Penentuan informan dilakukan berdasarkan teknik snowball sampling.

Informan yang dituju dalam penelitian tidak dibatasi, misalnya informan dari Dinas Kehutanan, Perangkat Desa (termasuk ketua RW dan Ketua RT), kelompok nelayan/kelompok petani tambak, kelompok perlindungan kawasan mangrove, serta penduduk diluar perangkat desa yang memiliki pengaruh kuat terhadap desa tersebut (pemangku adat).

Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data di Lapangan No. Pertanyaan

pokok

Operasionalisasi pertanyaan pokok

Metoda

pengumpulan data Sumber data

1. kronologi konversi mangrove menjadi tambak Kapan, siapa, bagaimana, konflik, pola ekspansi, Interview/wawancara mendalam dan data sekunder Informan kunci; warga senior; tokoh masyarakat. 2. Aktor konversi mangrove (petambak) Umur, pendidikan, jenis pekerjaan utama, luas tambak dan status penguasaan tambak

Survey: karakteristik Responden petambak 3. Aktor rehabilitasi mangrove Umur, pendidikan,

jenis pekerjaan utama Survey: karakteristik

Informan rehabilitasi mangrove

4. Persepsi penduduk

Pemberian skor oleh responden terhadap pernyataan mencakup rehabilitasi mangrove Kuesioner Responden (petambak dan non petambak)

3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan pengkajian terhadap hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus selama pengambilan data penelitian.

Data kualitatif dikumpulkan terlebih dahulu kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif dengan penyajian data dan penarikan kesimpulan untuk melihat bagaimana sejarah lokal konversi mangrove, tujuan konversi mangrove, keuntungan dan kerugian dari konversi mangrove dan semacamnya. Selanjutnya data kuantitatif yang dilakukan dengan teknik pengisian kuesioner dan telah terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi yang diolah


(48)

menggunakan MS EXCEL 2007, kemudian data diterjemahkan dalam bentuk uraian, penjelasan, presentase, kesimpulan, dan dipaparkan secara deskriptif. Teknik ini digunakan untuk mengetahui karakteristik dan persepsi penduduk lokal mengenai konversi dan rehabilitasi mangrove di Desa Karangsong.


(49)

BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1. Profil Desa Karangsong

Sebelum menjadi Desa Karangsong, lokasi penelitian merupakan bagian dari Desa Brondong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu. Pada tahun 1985, terjadi pemekaran Desa Brondong yang terbagi menjadi tiga desa, yaitu Desa Brondong, Desa Pabean Udik dan Desa Karangsong.

Desa Karangsong merupakan area pesisir pantai utara Jawa Barat. Secara administrasi, sebelah utara Desa Karangsong berbatasan dengan desa Pabean Udik, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tambak, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Paoman, dan sebelah barat dibatasi oleh Laut Jawa.

Total Luas Desa Karangsong adalah 243,067 ha. Dari luas total tersebut, dominan pemandangan yang ada di desa ini adalah luasnya hamparan lahan tambak/empang milik sebagian warga Desa Karangsong dengan komposisi luas lahan sebesar 204,067 ha. Selain itu, luas lainnya terdiri dari perumahan seluas 7,862 ha, dan pekarangan seluas 23,872 ha. Sedangkan sisanya digunakan untuk sarana prasarana umum seperti tanah wakaf dan tanah kuburan.

Data monografi Desa Karangsong tahun 2010 mencatat jumlah penduduk Desa Karangsong sebanyak 4.677 jiwa, yang terdiri dari 1.890 laki-laki, 2.787 perempuan dan terbagi kedalam 1.532 kepala keluarga. Sebagian besar penduduk Desa Karangsong menganut agama Islam yaitu sebanyak 4.498 orang, 6 orang beragama Kristen dan 6 orang lainnya beragama Hindu.

Pada tabel 2 disajikan mata data penduduk usia sekolah pada bulan Maret 2012 Desa Karangsong yang diambil dari data monografi desa tahun 2010.

Tabel 2. Data Penduduk menurut Usia Sekolah pada Bulan Maret 2011

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Taman Kanak-Kanak 25 2,27 Sekolah Dasar 263 23,87 Sekolah Menengah Pertama 90 8,17 Sekolah Menengah Atas 516 46,82 Perguruan Tinggi 6 0,54 Belum / Tidak Sekolah 202 18,33


(50)

Sarana dan prasarana yang dimiliki Desa Karangsong terdiri dari sarana/prasarana pendidikan yaitu 2 unit BKB, 3 unit SD, dan 5 unit Madrasah. Sarana/prasarana kesehatan terdiri dari 7 unit Posyandu, 1 unit Poskesdes, 1 unit Puskesmas, 2 orang Bidan Desa, dan 42 orang Kader Posyandu. Sedangkan sarana/prasarana ekonomi yang ada di Desa Karangsong terdiri dari 3 pasar tradisional, 1 Bank Desa, dan 1 KPL (Koperasi Perikanan Laut) Mina Sumitra. 4.2. Aksesibilitas

Akses untuk menuju Desa Karangsong dari pusat Kota Indramayu dapat ditempuh dengan waktu sekitar 5 menit menggunakan kendaraan bermotor roda dua maupun menggunakan kendaraan umum seperti angkutan kota (Angkot) dengan keadaan jalan raya beraspal yang masih cukup bagus hingga pertigaan antara Desa Paoman, Pabean Udik dan Karangsong, namun keadaan jalan Desa Karangsong sendiri rusak dan cukup mengganggu perjalanan untuk dapat sampai ke lokasi penelitian. Selain Angkot, terdapat juga kendaraan umum berupa becak yang bisa dimanfaatkan untuk dapat menuju Desa Karangsong dari pusat Kota Indramayu.

4.3. Sistem Penghidupan Penduduk

Penduduk Desa Karangsong sebagian besar adalah nelayan laut, diantaranya yaitu nelayan dengan perahu besar yang melaut sampai perbatasan Negara Indonesia hingga memakan waktu berbulan-bulan berada di tengah laut, dan nelayan harian yang melaut menggunakan perahu kecil. Mereka membuat sendiri perahu besar atau perahu kecil yang akan dipakai melaut dengan bantuan jasa dari nelayan lain atau ABK (Anak Buah Kapal). Pemilik perahu besar biasanya disebut sebagai “Bos Perahu” karena memiliki modal yang besar untuk membuat perahu. Perahu-perahu besar yang sedang dibuat dapat dilihat di samping aliran sungai menuju laut yang menjadi pembatas antara Desa Karangsong dan Desa Pabean Udik. Pemandangan nelayan yang membuat perhahu dapat dilihat pada Gambar 2.


(51)

Gambar 2. Kegiatan Nelayan dalam Membuat Perahu

Seperti yang telah dijelaskan pada profil Desa Karangsong berdasarkan data monografi Desa Karangsong tahun 2010, sebagian besar luas lahan sebesar 204,067 ha dari total luas 243,067 ha di Desa Karangsong dimanfaatkan sebagai tambak/empang budidaya ikan bandeng dan udang windu. Lahan yang dimanfaatkan merupakan tanah milik, namun tidak jarang sebagian dari mereka juga menyewa lahan yang sudah menjadi tambak. Masyarakat yang tidak memiliki dan tidak mampu untuk menyewa tambak, mereka sering kali memanfaatkan aliran sungai atau saluran irigasi tambak untuk mencari ikan atau udang dengan cara menjaring, memasang bubuh, dan anco. Selain itu, masyarakat yang tidak memiliki tambak juga bisa mencari nafkah dengan menjadi buruh atau penggarap tambak dengan tugas mengurusi tambak, memberi makan bandeng/udang, dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan dalam budidaya bandeng maupun udang pada tambak.

Pada tabel 3 disajikan mata pencaharian secara keseluruhan penduduk Desa Karangsong yang diambil dari data monografi desa tahun 2010.


(1)

Lampiran 2. Kerangka Sampling Petani Tambak Berdasarkan Data Nama Petani Tambak Penerima Ganti Rugi Akibat Kebocoran Floating Hose SBM 150.000 DWT PT. PERTAMINA (persero) RU VI Balongan 2010

No. Petani tambak No. Petani tambak No. Petani tambak

1 CSM 28 PRD 55 TFK

2 KND 29 KBW 56 SLH

3 DRK 30 KSD 57 KBN

4 YMN 31 KMN 58 WBT 5 MJN 32 KBK 59 TRA 6 CST 33 DBM 60 TLH 7 WLN 34 CBS 61 KDM

8 RSM 35 RBR 62 TLM 9 TRS 36 SMR 63 DJY

10 SRT 37 WNL 64 TBS

11 DRJ 38 TBR 65 TBD

12 SJN 39 RBK 66 MBR

13 DRM 40 SLI 67 RML

14 ALT 41 JBR 68 KMT 15 SSD 42 KBR 69 JBM 16 DRT 43 KSN 70 DBK

17 TSM 44 KRM 71 SNY 18 DMI 45 SSR 72 RBW 19 OAR 46 SBD 73 AML 20 SRN 47 DSK 74 CBM

21 STM 48 SBS 75 MBK

22 RSW 49 RBK 76 RBA 23 JHR 50 KNR 77 MHD

24 NRS 51 CBT 78 CSN

25 WRD 52 CBK 79 RBR 26 ELS 53 YBS 80 RBS

27 WTB 54 SBJ

Keterangan:


(2)

Lampiran 3. Tabel Penghitungan Skor Persepsi

Tabel Penghitungan Skor Persepsi pada Responden Petambak No.

Responden

Kode Persepsi

Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 0 1 0 0 0 0 1 2 0 4

2 0 1 0 1 1 0 0 0 0 3

3 2 2 2 0 0 2 2 2 2 14

4 2 2 2 2 2 2 2 2 2 18

5 0 2 2 0 0 2 2 2 0 10

6 2 2 2 0 0 1 2 2 1 12

7 2 2 2 1 1 0 2 0 0 10

8 0 2 0 1 1 0 1 1 1 7

9 1 2 2 0 0 2 2 0 0 9

10 0 2 2 1 0 2 1 2 2 12

11 2 2 2 0 0 0 2 2 0 10

12 0 2 2 1 1 2 2 2 0 12

13 2 2 2 1 1 1 1 1 1 12

14 2 2 2 1 1 0 2 0 0 10

15 2 2 2 1 1 0 2 2 1 13

16 2 1 2 1 1 1 2 2 2 14

17 2 2 2 1 1 2 2 2 2 16

18 0 2 2 1 1 2 2 0 0 10

19 2 2 2 1 1 0 2 2 1 13

20 0 1 1 0 0 1 2 2 1 8

21 2 2 2 0 0 1 2 2 0 11

22 2 2 2 2 1 0 2 2 0 13

23 1 2 1 0 1 1 2 0 1 9

Tabel Penghitungan Skor Persepsi pada Responden Non Petambak No.

Responden

Kode Persepsi

Skor 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 18

2 2 2 2 1 1 1 2 2 0 13

3 1 2 1 1 1 1 2 1 0 10

4 2 2 2 1 1 1 1 1 1 12

5 2 2 2 0 0 0 2 2 0 10

6 2 2 2 2 2 2 2 2 2 18

7 1 2 2 0 1 0 2 2 2 12

8 0 2 0 1 1 2 2 0 1 9

9 1 2 1 1 1 1 1 1 1 10

10 2 2 2 2 2 2 2 2 2 18


(3)

Lampiran 4. Dokumentasi


(4)

(5)

RINGKASAN

KONNY RUSDIANTI. KONVERSI LAHAN HUTAN MANGROVE SERTA UPAYA PENDUDUK LOKAL DALAM MEREHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE (Kasus Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). (Dibawah Bimbingan SATYAWAN SUNITO)

Ekosistem mangrove memiliki berbagai manfaat baik segi ekologi maupun ekonomi karena mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir dan laut. Berbagai alternatif pengelolaan dapat dilakukan terhadap hutan mangrove sesuai dengan kebutuhan hidup, kemampuan mereka dan pandangan mereka atau persepsi tentang hutan mangrove. Namun masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove, seperti mengeksploitasi lahan hutan mangrove dan mengkonversinya menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian, dan sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat juga pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan fungsi dan manfaat mangrove yang rusak tersebut, maka diperlukan adanya upaya pengelolaan melalui rehabilitasi dan konservasi mangrove. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengkaji kronologi konversi mangrove menjadi tambak yang terjadi di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu; 2) Mengetahui aktor dan peran masing-masing dalam proses konversi maupun aktor dalam proses rehabilitasi dan konservasi mangrove; (3) Menganalisis persepsi penduduk lokal terhadap program rehabilitasi dan konservasi mangrove serta mengetahui perspektif kegiatan rehabilitasi dan konservasi dalam kondisi konversi yang ada sekarang; (4) Mengetahui bentuk dan perkembangan partisipasi penduduk dalam usaha rehabilitasi mangrove.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konversi mangrove pada awalnya diperkenalkan oleh penduduk pendatang dari Kecamatan Losari, Cirebon. Seiring berjalannya waktu, secara tidak langsung penduduk Desa Karangsong mengamati dan mempelajari budidaya ikan pada tambak, kemudian Pemerintah Desa Karangsong pun memfasilitasi kawasan tanah timbul pada mangrove untuk dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan tambak. Semakin berkembangnya


(6)

budidaya ikan dan udang pada tambak, semakin luas pula konversi lahan mangrove dilakukan sehingga menyebabkan penurunan luas hutan mangrove dan berakibat juga pada penurunan fungsi dan manfaat mangrove bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Kerusakan mangrove yang semakin besar, membuat beberapa penduduk lokal yang dipelopori oleh seorang Kepala Desa pada masa itu menyadari kerusakan tersebut dan berinisiatif membentuk sebuah kelompok yang menangani rehabilitasi mangrove atas dasar kesadaran bahwa mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai peranan penting dalam upaya pemanfataan berkelanjutan sumberdaya pesisir, laut dan penduduk sekitarnya. Sebagian besar persepsi responden berada pada kategori “Sedang” yaitu persepsi dengan jumlah skor yang diperoleh dari skor ragu-ragu yang tinggi terhadap adanya kegiatan rehabilitasi mangrove dalam kondisi konversi yang ada sekarang di Desa Karangsong. Hal tersebut dapat mempengaruhi inisiatif mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan rehabilitasi. Oleh karena itu, hanya 5-10% diluar aktor rehabilitasi saja yang mau berpartisi secara sukarela dalam merehabilitasi ekosistem mangrove, dan selebihnya berpartisipasi dengan tujuan mendapatkan upah. Peraturan Desa mengenai pengelolaan daerah perlindungan mangrove yang ada juga tidak begitu jelas diketahui responden. Dari 34 responden yang diwawancarai, hampir seluruhnya tidak mengetahui apa saja Peraturan Desa tersebut.