2. Flokulasi.
Flokulasi merupakan proses dimana dua atau lebih partikel menjadi satu dan membentuk agregat tanpa kehilangan keutuhan masing-masing. Flokulasi bergantung pada
frekuensi tabrakan partikel dan efisiensi dari tabrakan itu sendiri. Agar dua partikel berflokulasi, energi potensial dari pasangan partikel harus negatif pada jarak yang terpisah.
Seberapa kuat partikel tersebut terikat satu sama lain bergantung pada kedalam dari potensial itu sendiri.
Interaksi tetesan-tetesan dapat ditingkatkan jika suatu senyawa ditambahkan ke dalam fase pendispersi yang akan menyebabkan penjembatanan antara dua tetesan. Faktor lain
yang meningkatkan ketertarikan antara dua tetesan adalah kehidrofobikan dari permukaan tetesan atau bergantung pada interaksi terjadi pada penambahan polimer ke dalam fase
pendispersi. Interaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi jika sifat-sifat antar-muka, seperti ketipisan lapisan atau densitas lapisan antar-muka, dari emulsi tersebut berubah.
3. Penggabungan Tetesan Coalescense.
Jika dua tetesan berdekatan dalam waktu yang lama, lapisan lapisan tipis yang memisahkan dua tetesan tersebut akan mulai semakin menipis secara perlahan-lahan.
Kecepatan dari penipisan lapisan tersebut bergantung pada sifat-sifat hidrodinamis dari lapisan, interaksi kolidal antara dua membran, dan kandungan membran itu sendiri.
Penggabungan tetesan sangat bergantung pada sifat-sifat antar-muka dari sistem. Jika antar-muka antara minyak dan air tidak dapat dengan sempurna ditutupi selama proses
homogenisasi, tetesan-tetesan dengan segera akan tergabung kembali recoalescense Weiss, 2002.
2.10. Surfaktan Emulsifier.
Surfaktan adalah suatu senyawa dengan struktur kimia secara khusus sehingga dapat bertahan di antar-muka yang disebut dengan surface active agents, atau disingkat menjadi
surfaktan Goodwin, 2004. Surfaktan merupakan suatu molekul yang memiliki gugus
Universitas Sumatera Utara
hidrofil dan gugus liofil secara bersama-sama, sehingga dapat menggabungkan cairan yang terdiri dari minyak dan air. Aktifasi surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekul-
molekulnya. Molekul surfaktan memiliki bagian polar yang suka air hidrofilik dan bagian nonpolar yang suka minyak lipofilik. Biasanya bagian nonpolar merupakan suatu rantai
aklil yang panjang, sedangkan bagian yang polar mengandung gugus hidroksil. Penggunaan surfaktan terbagi menjadi tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah
wetting agent, bahan pengemulsi emulsifying agent, dan bahan pelarut solubiliting agent. Pemakaian surfaktan berfungsi sebagai peningkat kestabilan emulsi dengan cara
menurunkan tegangan antar-muka antara fase pendispersi dan fase terdispersi. Surfaktan baik digunakan sebagai untuk emulsi minyak dalam air maupun untuk air dalam minyak.
Tegangan permukaan larutan akan turun bila dalam larutan ditambahkan surfaktan. Pada konsentrasi tertentu tegangan permukaan akan konstan walaupun dilakukan penambahan
konsentrasi surfaktan dan jika konsentrasi surfaktan berlebih akan membentuk misel. Titik terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration CMC dan tegangan
permukaan akan turun jika CMC tercapai. Saat CMC tercapai, maka tegangan permukaan larutan konstan dan jika tegangan antar muka menjadi jenuh akan terbentuk misel Rossen
M.J., 1994. Penggunaan surfaktan atau emulsifier juga bertujuan untuk membentuk
interaksi antara emulsifier dengan polimer yang dapat membentuk suatu ikatan yang kuat
dengan adanya gaya elektrostatis yang dominan yang dapat menyebabkan terjadi peningkatan viskositas, sehingga sistem emulsi menjadi lebih kental dan lebih stabil
Goddard, 1993.
2.11. Amonium Lauril Sulfat.
Amonium lauril sulfat CH3CH210 CH2OSO3NH4 adalah termasuk surfaktan anionik dimana surfaktan ini mengalami ionisasi sehingga gugus hidrofiliknya membawa
muatan negatif. Amonium lauril sulfat merupakan surfaktan detergen yang baik, karena garamnya berasal dari asam kuat dan larutannya hampir netral Bilmeyer, 1971.
Struktur amonium lauril sulfat secara umum adalah seperti gambar berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17. Srtuktur molekul amonium lauril sulfat
Karakteristik amonium lauril sulfat E. Merch, 2008. ● Rumus molekul
: C
12
H
29
NO
4
● Berat molekul : 283,43 gmol
S ● Titik didih
: 100 ● Densitas
: 0,998 gcm C
● Kelarutan : H
3 2
● Titik nyala : 93
O ● Kestabilan
: stabil dalam kondisi normal. C
2.12. Sodium Lauryl Sulfat SLS
Sodium lauryl sulfat SLS adalah diterjen dan surfaktan yang sering dijumpai dalam produk perawatan diri misalnya sampo, sabun, pasta gigi dan lain sebagainya.
Sodium lauryl sulfat terkadang disebut dengan sodium lauryl ether sulfat SLES, Sodium Dodecyl Sulfate SDS, Lauryl Sodium Sulfat dan Sodium N-dodecyl Sulfat. Bahan ini
tidak mahal dan sangat efektif dalam pembentukan buih Kurt Kosswig, 2005. Baik SLS, SLES dan ALS juga merupakan surfaktan yang sering digunakan dalam beberapa produk
kosmetik yang bersifat pembersih yang berbentuk emulsi, yang identik dengan sabun. Bahan ini sering digunakan dalam produk perawatan diri karena berbagai alasan, antara lain,
harganya murah, dapat membuat campuran mengembang sempurna dan merupakan pengental thickener yang baik. Namun penggunaan bahan ini juga memiliki efek samping
seperti : iritasi pada kulit dan selaput mata, tidak beracun pada pemakaian dosis rendah, tidak berinteraksi dengan DNA, tidak bersifat karsinogen dan tidak menyebabkan
kemandulan pada pemakaian dosisi rendah.
Universitas Sumatera Utara
Struktur Sodium lauril sulfat secara umum adalah seperti gambar berikut:
Gambar 2.18. Struktur kimia Sodium Lauryl Sulfat
Sodium Lauryl Sulfat merupakan jenis surfaktan anionik. Surfaktan ini dapat bertindak sebagai agen pembasah wetting agent dengan cara meningkatkan
penyebaranpenjalaran air ke atas permukaan melalui penurunan tegangan permukaan larutan berair. Mempunyai rumus molekul CH3-CH211-O-SO3-Na+ dengan berat
molekul sekitar : 420 gmol 288.38 + 44.05n g mol
−1
NICNAS, 2007.
2.13. Sifat Mekanis Bahan Polimer.
Penggunaan bahan polimer baik sebagai bahan industri maupun dalam kehidupan sehari-hari sangat tergantung pada sifat mekanisnya. Sifat mekanis khas untuk setiap bahan
polimer, hal ini dikarenakan adanya dua macam ikatam dalam baham polimer, yaitu ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai yang lebih lemah. Sifat mekanis
dipelajari dengan mengamati kekuatan tekan lentur dan kekuatan tarik. Kekuatan tekan ataupun tarik nerupakan sifat dasar bahan polimer yang penting dan
sering digunakan untuk karakterisasi suatu bahan polimer. Kuat tekantarik didefinisikan sebagai besarnya beban maksimum yang digunakan untuk memutuskanmematahkan
spesimen bahn dibagi dengan lus penampang awal.
maks
A F
= σ
Dengan : σ = tegangan kgfmm
2
F
max
A = beban maks kgf
= luas penampang awal mm
2
Na
+
Universitas Sumatera Utara
Bila bahan polimer dikenakan beban tariktekan yang disebut tegangan maka bahan tersebut akan mengalami regangan. Kurva tegangan Vs regangan merupakan gambaran
karakteristik dari sifat mekanik suatu bahan. Ketahanan lentur kering adalah merupakan sifat mekanik suatu bahan. Sifat mekanik bahan adalah hubungan antara respons atau
deformasi bahan terhadap beban yang bekerja. Sifat mekanik berkaitan dengan kekuatan, kekerasan dan kekuatan. Pengujian ketahanan lentur dimaksudkan untuk mengetahui
ketahanan papan patikel terhadap pembebanan pada tiga titik lentur dan juga untuk mengetahui keelastisan bahan. Ketahanan lentur adalah tegangan terbesar yang dapat
diterima bahan akibat pembebanan luar tanpa bahan tersebut mengalami deformasi yang besar. Besarnya kekuatan lentur bergantung pada bahan dan kuatnya beban. Pada pengujian
lentur, bagian atas spesimen akan mengalami tekanan dan bagian bawah bahan akan mengalami tegangan tarik. Kekuatan lentur dihitung dengan persamaan menurut SNI 03-
2015-2006. Untuk bahan polimer bentuk kurva tegangan regangan terlihat pada gambar berikut :
Gambar 2.19. Kurva Tegangan – Regangan Bahan Polimer
A B
C Tegangan
Regangan σ
σ
t
Universitas Sumatera Utara
2.14. Scanning Electron Microscopy SEM
SEM merupakan salah satu jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambarkan profil permukaan suatu bahan. Pada dasarnya kerja dari
SEM adalah dengan cara menembakkan arus elektron berenergi tinggi pada permukaan bahan yang dikenai arus elektron tersebut akan memantulkan berkas tersebut kesegala arah
dengan intensitas yang berbeda-beda. Detektor akan mendeteksi lokasi dan arah permukaan yang memantulkan elektron dengan intensitas yang paling tinggi dan memberi informasi
mengenai profil permukaan tersebut. Permukaan bahan yang ditembak dengan berkas elektron diamati dengan scanning. Berdasarkan arah pantulan berkas elektron pada
berbagai titik, maka profil permukaan dapat dibangun dengan program komputer. SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi dari pada mikroskopi optik, hal ini disebabkan panjang
gelombang optik lebih panjang dari pada panjang gelombang de Boglie. Agar SEM memberikan gambar yang baik maka permukaan bahan terebut harus dapat memantulkan
elektron atau dapat melepaskan elektron sekunder. Pada umumnya bahan yang demikian adalah logam. Untuk bahan yang bukan logam, agar profil permukaannya dapat diamati,
maka bahan tersebut harus dilapisi dengan film tipis logam. Metode pelapisan yang umum adalah cara evaporasi dan sputtering.
2.15. Spektroskopi Infra Merah
Untuk dapat mengidentifikasi data infra merah polimer, persyaratan yang harus dipenuhi adalah zat tersebut harus homogen secara kimia. Spektrum infra merah suatu zat polimer
pada dasarnya adalah serapan-serapan monomer dan pengaruh kopling antara monomer- monomer diabaikan. Seringkali suatu polimer mempunyai spektrum yang lebih sederhana
dari pada spektrum monomer-monomernya, meskipun polimer dapat mengadung 10
4
atom. Hal ini disebabkan tidak ada perubahan tetapan gaya pada kelompok-kelompok atom
sejenis. Atom-atom dalam kelompok ini akan selalu bervibrasi pada frekuensi yang sama dan tidak tergantung pada sistem molekul dimana atom-atom tersebut berada, bilamana
Universitas Sumatera Utara
syarat tetapan gaya pada kelompok tidak berubah dipenuhi. Faktor ini merupakan hal yang sangat penting untuk karaktererisasi spektrum infra merah.
Bila sinar infra merah dilewatkan melalui sample, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan frekuensi lain diteruskan tanpa diserap. Spektrum infra merah akan dihasilkan
bila dilukiskan persen seapan dengan frekuensi. Molekul hanya menyerap sinar infra merah jika dalam molekul ada transisi energi sebesar hν. Transisi yang terjadi di dalam serapan
infra merah berkaitan dengan perubahan vibrasi molekul. Frekuensi vibrasi dihitung dengan memakai hukum Hooke Kemp, W 1979.
2.16. Differensial Thermal Analysis DTA
Differensial Thermal Analysis DTA merupakan suatu metode yang paling akhir digunakan saat ini dalam penelitian kuantitatf terhadap perubahan panas bahan polimer,
karena karakteristik termal memegang peranan penting terhadap sifat bahan dan berkaitan erat dengan struktur bahan. Bahan jika dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang
mengakibatkan perubahan kapasitas panas atau energi thermal bahan tersebut. Teknik analisa thermal digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika penguapan dan perubahan
kimia dekomposisi suatu bahan yang ditunjukkan oleh penyerapan panas endotermis serta pengeluaran panas eksotermis. Proses termal meliputi antara lain perubahan fase
transisi gelas, pelunakan, pelelehan, oksidasi dan dekomposisi. Sifat termal suatu bahan menggambarkan karakteristik bahan tersebut ketika mendapat perlakuan panas
dipanaskandidinginkan. Dengan demikian pengetahuan tentang sifat termal suatu bahan menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan preses bahan menjadi barang jadi maupun
untuk kontrol kualitasnya. Dalam metode DTA, sampel polimer dan referensi inert dipanaskan dalam atmosfer
nitrogen kemudian perubahan panas dalam sampel dideteksi dan diukur. Ukuran sampel berkisar 0,5 – 10 mg, meskipun kedua metode memberi informasi yang sama namun
terdapat perbedaan dalam instrumentasinya. Dengan DTA, sampel dan referensi diberikan pemanasan masing-masing dan energi disuplai untuk menjaga suhu sampel referensi agar
tetap konstan. Dalam hal ini perbedaan daya listrik antara sampel dengan referensi
Universitas Sumatera Utara
d ∆Qdt dicatat. Data diplot sebagai d∆Qdt diatas ordinat versus temperatur diatas absis,
sehingga menghasilkan suatu grafik yang disebut dengan termogram Stevens, 2001.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan waktu
Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer FMIPA-USU, karakterisasi sifat mekanis dilakukan di Laboratorium Penelitian USU. Karakterisasi FTIR
dilakukan di labor kimia Organik UGM, uji ukuran partikel emulsi dilakukan melalui foto mikroskop digitan di lab BFS Biologi USU, Uji Morfologi permukaan dengan SEM
dilakukan di Lab Quarter ITB Bandung. Penelitian ini dimulai pada Juni 2011 dan
direncanakan selesai pada Mei 2012.
3.2. Alat-alat yang digunakan
Tabel 3.1. Alat-alat yang digunakan dan spesifikasinya
o Nama Alat
Merek Kegunaan
Internal Mixer Heles CR
52 Grafting Polystyrena dg
Maleat Anhidrida Spektrofotometer
FTIR Shimadzu
Analisa Gugus fungsi sampel
Neraca Analitis Mettler
Toledo Germany Menimbang sampel dan
bahan –bahan dalam penelitian Oven
Memmert Mengeringkan sampel
Universal Testing Machine
Type-20E MGF
Uji Sifat Mekanis Sampel
Analytical Scanning Elektron Mikroskop
JOEL Type JSM-6360LA
Analisa Morfologi Permukaan
Universitas Sumatera Utara
Pengaduk Stirrer -
Mengaduk campuran Lateks
Hidrolik Press -
Memadatkan sampel uji mekanis
Thermal Analyzer Dt-30
Shimadzu Analisa Termal sampel
Alat Shoklet Phyreck
Memurnikan PS-g-MA
1 Beaker Glass
Phyreck Wadah
pembuatanpencampuran lateks
2 Gelas Ukur
Phyreck Mengukur sampel cair
3 Labu Ukur
Phyreck Membuat larutan
3.3. Bahan-bahan yang digunakan
Bahan utama maupun bahan pembantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperti dalam tabel 3.2. berikut :
Tabel 3.2. Bahan-bahan yang digunakan dan spesifikasinya.
o Nama
Rumus Molekul Struktur
Bentuk dan Sifat
Suplie r
Polystyrene Granul,
bening berkilat. BrataC
hem Polyester tak
jenuh Yukalac
157 BQTN-EX Lelehan
kental, bening Justus
Kimia Raya
Maleat anhidrida
Serbuk berwarna putih
Pa. Merck
BrataChem
Universitas Sumatera Utara
Benzoil peroksida
Granul halus, putih
Pa Merck
Toluene C
6
H
5
CH Cairan
bening, berbau khas
3
Multi Medika
Dichloro methana DCM
CH
2
Cl Cairan
bening, bau khas, T.L: 39-40
2
Pa Merck
C Ammo. lauril
sulfat Cairan
bening, kental dan licin
BrataC hem
Sodium Lauryl Sulfat
Cairan bening, kental dan
licin BrataC
hem Kalium
hidroksida K-O-H
Kristal putih
Pa Merck
1 Lateks pekat
karet alam DRC 60
PTPN III
2 Hydrogen
Chorida H-Cl
Cairan bening, bau khas
Pa Merck
3 Penolphtalei
n C
6
H
10
C
2
O
2
OH Serbuk
putih
2
Pa Merck
4 Methanol
CH
3
Cairan bening, bau khas
OH Pa
Merck 6
Metal etil keton peroksida
MEKP Cairan
bening, bau khas Pa
Merck
Na
+
Universitas Sumatera Utara
3.4. Prosedur Kerja 3.4.1. Grafting Polystyrena dengan Anhidrida Maleat.
Proses grafting dilakukan dalam alat internal mixer. Pertama alat dipanaskan sampai mencapai suhu leleh PS 240
C, lalu dimasukkan butiran PS 95 gr, dilakukan proses pelelehan selama ± 10 menit, suhu dijaga pada 240
C dengan kecepatan putaran 20-50 rpm. Selanjutnya dimasukkan BPO 3 gr dan MA sebanyak 2 gr sebanyak ke dalam
internal mixer, proses dilanjutkan selama ± 10 menit Nasution D.Y., 2011. BPO dan maleat anhidrida sebelum dimasukkan kedalam internal mixer terlebih dulu dibungkus
dengan PS lembaran, agar dapat masuk kedalam internal mixer dengan baik Eddiyanto 2007. Setelah itu proses dihentikan dan hasil reaksi dikeluarkan dari internal mixer,
didinginkan pada tempat yang kering dan tertutup. Hasil reaksi dicuci untuk membersihkan maleat anhidrida yang tak bereaksi dan poli maleat anhidrida yang terbentuk menggunakan
seperangkat alat soklet dengan pelarut dichlorometana, selanjutnya dikarakterisasi dengan FTIR untuk menentukan gugus fungsi. Prosedur grafting polystyrena dengan maleat
anhidrida menggunakan inisiator benzoil peroksida dapat dilihat pada skema 1 halaman 49.
3.4.1.1. Uji Spektroskopi FTIR PS-g-MA
Analisis spektroskopi infra merah dilakukan terhadap PS-g-MA sebelum dan setelah dimurnikan, bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan bahwa telah terjadi grafting
anhidrida maleat pada PS dengan cara membandingkan kedua spectrum FT-IR tesebut. Sampel PS-g-MA yang diperoleh dicetak tekan sehingga diperoleh film dengan ketebalan
0,02 mm. Selanjutnya direkam spektrumnya dengan spektrofotometer infra merah FTIR.
3.4.1.2. Penentuan titik leleh PS-g-MA
Alat DTA dikondisikan selama 30 menit dengan menghidupkan unit kontrol dan amplifier. Ditimbang bahan pembanding serbuk alumina sebanyak 30 mg dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan mangkok platina sebagai tempat sampel. Ditimbang bahan yang PS-g-MA yang telah dicuci dengan etanol sebanyak 30 mg dengan menggunakan mangkok platina
sebagai tempat sampel. Diletakkan bahan pembanding dan sampel kedalam gagang sampel bahan pembanding diletakkan sebelah kiri dan sampel sebelah kanan. Detektor di set pada
posisi DTG dan Thermocouple di set pada posisi PR dan Program di set pada posisi UP dengan kecepatan pemanasan di set 10
o
C. Limit temperatur diset dibawah 1000
o
C. Saklar amplifier DTA, switch ON dan Range ± 100 sd ± 250µV. Recorder diatur, pada pen 1
untuk temperatur bahan pembanding pada titik nol dan pen 2 untuk temperatur sampel di set di titik nol serta range 15mV. Unit kontrol di switch ON. Start temperatur, set 2-3
o
C lebih kecil dari temperatur yang terbaca pada digital panel meter. Recorder, chart speed
dipilih yang dari 1,25 sd 40 mmmenit dan Chart SW di switch ON. Unit kontrol, Start SW, switch ON. Ditentukan titik leleh PS-g-MA dari kurva temperatur sampel versus
selisih temperatur bahan referensi dan temperatur sample. Dilakukan dengan prosedur yang sama untuk setiap sample polyester, soil stabilizer A, soil stabilizer B dan campuran tanah
pasir dengan soil stabilizerAB.
3.4.2. Pembuatan Lateks PS-g-MA
Polistyrena tergrafting Maleat Anhidrida PS-g-AM dipotong-potong, dimasukkan ke dalam beaker glas dan ditambahkan toluene dengan perbandingan 3070 wv,
perbandingan terbesar berat PS-g-MA yang dapat larut dalam toluene, diperoleh larutan polistyrena tergrafting. Selanjutnya larutan PS-g-MA ini dimasukkan dalam beaker glas
500 ml, diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit, di tambah aquades dan larutan surfaktan 10 sebanyak 10 ml, diaduk terus pada kerepatan 200 rpm selama 10 menit.
Lateks yang terbentuk disimpan dan diukur kestabilannya pada hari ke 1, 3, 5, 7, 14, 21 dan 28 hari. Lateks PS-g-MA yang stabil diamati ukuran partikelnya menggunakan
mikroskop optik. Skema 2 pada halaman 50 adalah prosedur pembuatan emulsi PS-g-
MA. Adapun perbandingan antara larutan PS-g-MA : aquadest : larutan ALS 10 adalah
seperti tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.3. Komposisi larutan PS-g-MA, aquades dan larutan ALS 10.
N o.
Lar.PS-g-MA 30 ml
Aquadest ml
Lar.ALS 10 ml
1 90
10 10
2 70
30 10
3 50
50 10
4 30
70 10
5 10
90 10
3.4.3. Pembuatan Lateks Polyester.
Polyester dilarutkan dengan dichloromethane dengan konsentrasi 50, selanjutnya dimasukkan ke dalam beaker glass, diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit.
Lalu ditambahkan aquades dan 10 ml larutan SLS 20. Adapun perbandingan antara larutan polyester 50 : aquadest : larutan SLS 20 adalah seperti tabel berikut:
Tabel 3.4. Komposisi larutan polyester 50, aquades dan larutan SLS 20.
N o.
Lar. polyester 50 ml
Aquadest ml
Lar.SLS 20 ml
1 90
10 10
2 70
30 10
3 50
50 10
4 30
70 10
5 10
90 10
Lateks yang terbentuk disimpan dan diukur kestabilannya pada hari ke 1, 3, 5, 7, 14, 21 dan 28 hari. Lateks polyester yang stabil diamati ukuran partikelnya menggunakan
mikroskop optic dan ukurannya ditentukan secara manual. Skema 3 pada halaman 51
adalah prosedur pembuatan emulsi polyester.
Universitas Sumatera Utara
3.4.4. Pembuatan Soil Stabilizer. 3.4.4.1. Soil Stabilizer Termoplast SSTP
Lateks pekat karet alam LPKA dengan kadar karet kering 60 dimasukkan dalam beaker glass diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit S. Chuayjujit, 2009.
Selanjutnya ditambahkan emulsi PS-g-MA dan 10 ml ALS 10. Diaduk terus dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Soil stabilizer yang diperoleh diamati secara visual
dan yang homogen dan stabil sampai hari ke 28 ditentukan densitas dan viskositasnya serta
uji termal, selanjutnya digunakan sebagai perekat tanah pasir soil binder. Skema 4 merupakan prosedur pencampuran lateks PS-g-MA dengan LPKA terdapat pada halaman
52 .
Tabel 3.5. Komposisi emulsi PS-g-MALPKAALS 10
N o
Lateks PS-g- MA ml
LPKA ml ALS 10
ml
1 90
10 10
2 70
30 10
3 50
50 10
4 30
70 10
5 10
90 10
3.4.4.2. Soil Stabilizer Termoset SSTS
Lateks pekat karet alam LPKA dengan kadar karet kering 60 dimasukkan dalam beaker glass diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit S. Chuayjujit, 2009.
Selanjutnya ditambahkan lateks Polyester dan 10 ml SLS 20. Diaduk terus dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Diperoleh emulsi berwarna putih susu. Soil stabilizer
yang diperoleh diamati secara visual, dan emulsi yang dapat bertahan tetap homogen sampai hari ke 28 ditentukan densitas dan viskositasnya serta dilakukan uji termal,
selanjutnya digunakan sebagai perekat tanah soil binder.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3.6. Komposisi lateks Polyester, Lateks pekat karet alam dan SLS 20
N o
Lateks PEs ml
LP KA ml SLS 20
ml
1 90
10 10
2 70
30 10
3 50
50 10
4 30
70 10
5 10
90 10
3.4.5. Aplikasi Soil Stabilizer sebagai Soil Binder
Agregat pasir sebanyak 200 gram dimasukkan dalam beaker glass 500 ml, lalu dimasukkan SSTP sebanyak 5 10 ml dan 10, 15, 20, 25, 30 dan 35, diaduk
perlahan menggunakan stirrer selama 15 menit. Setelah tercampur sempurna selanjutnya campuran dimasukkan ke dalam cetakan ukuran 5 x 5 x 5 cm sesuai standar ASTM D 1559
– 76 untuk uji kuat tekan compressive strength dan daya serap air serta cetakan ukuran 12 x 2 x 1 cm sesuai standar ASTM D-790 untuk uji kuat lentur flexure strength. Campuran
dicetak tekan pada suhu kamar dengan tekanan 76 KN.
Tabel 3.7. Komposisi agregat pasir dan Soil Stabilizer
N o
Agregat Tanah Pasir gr
Soil Stabilizer ml
1 200
5 = 10 ml 2
200 10 = 20 ml
3 200
15 = 30 ml 4
200 20 = 40 ml
5 200
25 = 50 ml 6
200 30 = 60 ml
7 200
35 = 70 ml
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya sampel disimpan dalam oven suhu 35 C selama beberapa jam.dan
dilakukan uji sifat fisik daya serap air, uji morfologi permukaan SEM, dan sifat mekanis uji kuat lentur dan kuat tekan. Prosedur yang sama dilakukan pula menggunakan SSTS,
tetapi pada penggunaan SSTS ditambahkan lagi katalisator larutan methyl ethil keton peroksida MEKP. MEKP berfungsi sebagai hardener polyester atau pencepat waktu
cuuring Pembuatan komposit terdapat pada skema 5 halaman 53.
3.4.6. Uji keteguhan lentur kering MoR dan modulus elastisitas lentur MoE
1 Contoh uji diukur panjang, lebar dan tebalnya;
2 Contoh diletakkan secara mendatar pada penyangga;
3 Beban diberikan pada bagian pusat contoh uji dengan kecepatan sekitar 10 mmmenit,
kemudian dicatat defleksi dan beban sampai beban maksimum B.
Gambar 3.1 Uji keteguhan lentur kering dan modulus elastisitas lentur
Keterangan gambar:
B :
adalah beban kgf. A
: adalah diameter 10 mm.
S : adalah jarak sangga mm.
T : adalah tebal papan partikel
Universitas Sumatera Utara
Keteguhan lentur dihitung dengan rumus :
2 2
2 3
cm kgf
LT BS
MoR lentur
Keteguhan =
B :
adalah beban maksimum kgf. T :
adalah tebal papan partikel cm. S :
adalah jarak sangga cm. L :
adalah lebar cm
Modulus elastisitas lentur dihitung dengan rumus :
4
2 3
3
cm kgf
y LT
BS MoE
lentur s
elastisita Modulus
=
S : adalah jarak sangga cm.
B :
adalah beban. T :
adalah tebal papan partikel. L :
adalah lebar cm. y :
adalah defleksi
3.4.7. Uji Daya Serap Air.
1 Sample uji ditimbang untuk mengetahui berat awal dengan ketelitian hingga 0,1 g,
sebagai massa kering Mk. 2
Sample uji direndam selama 24 jam, setelah itu sampel diangkat dan diseka. Sampel dimbang dengan ketelitian hingga 0,1 gr, sebagai massa basah Mb.
Daya Serap air dihitung dengan rumus :
Daya serap air WA
Universitas Sumatera Utara
WA = x 100
WA :
adalah daya serap air. Mb
: adalah berat sampel basah gram.
Mk :
adalah berat kering mutlak gram.
Universitas Sumatera Utara
3.5. Skema Proses Penelitian 3.5.1. Skema Modifilasi PS dengan MA
Sampel dipotong-potong, di refluks dg pelarut DCM.
Waktu ± 8 jam
Karakterisasi
Presipitat
larutan MA sisa BPO sisa
poli asam maleat
Dimasukkan ke dalam
Internal Mixer
Proses pelelehan PS dlm IM Suhu 240
C Kec.putaran 20-50 rpm
Kondisi proses tertutup
Waktu ± 10 mnt
Proses dihentikan Sampel dipindahkan dan didinginkan
ditempat yang kering dan tertutup Proses dilanjutkan
Suhu 240 C
Kec.putaran 50 rpm Sistem pencampuran tertutup
Waktu ± 10 mnt
Ditambahkan BPO 2 gr, dilanjutkan dg MA 3 gr
Hasil reaksi PS-g-MA
Polistyrena PS 100 gr
Dilarutkan dlm toluena panas 120-130
C Diendapkan dengan Metanol
MeOH dan disaring
Endapan
dicuci dengan aquades dikeringkan di oven suhu 35
C selama ± 8 jam
Gugus Fungsi FTIR
Uji Termal DTA
Universitas Sumatera Utara
3.5.2. Skema Pembuatan Lateks PS-g-MA
.
Larutan PS-g-MA
lar PS-g-MA
90 ml, Diaduk 200 rpm, waktu 15 mnt
Kestabilan Emulsi densitas
PS-g-MA 30 gr
Ditambahkan Toluen 70ml
,
dan diaduk
30 mnt
Emulsi
PS-g-MA
Aquadest 10 ml
10 ml Larutan ALS 10
Karakterisasi
Ukuran Partikel mikroskop optik
Universitas Sumatera Utara
3.5.3. Skema Pembuatan Lateks Polyester
Larutan Polyester
lar Polyester
90 ml, Diaduk 200 rpm, waktu 15 mnt
Kestabilan Emulsi densitas
Polyester 50 ml
Ditambahkan Dichloromethan 50 ml
,
dan diaduk
30 mnt
Emulsi
Polyester
Aquadest 10 ml
10 ml Larutan SLS 20
Karakterisasi
Ukuran Partikel mikroskop optik
Universitas Sumatera Utara
3.5.4. Skema Pembuatan SSTP
Emulsi PS-g-MA 10,30,50,70 dan 90
LPKA kkk 60
90, 70, 50, 30, 10 ml diaduk 200 rpm 15 mnt