Analisis Konsep Permulaan Pelaksanaan

3. Pembentuk Undang-undang tidak bermaksud untuk menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara Uitvoeringshandelingen seperti yang dimaksud diatas. 33 33

2. Analisis Konsep Permulaan Pelaksanaan

Mengenai permulaan pelaksanaan, Van Hammel bertitik tolak pada teori percobaan yang bersifat subyektif. Yang dijadikan ukuran oleh Van Hammel adalah telah ternyata sikap batin yang jahat dari si pembuat. Ukuran ini sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih baru yaitu yang bertujuan untuk memberantas kejahatan sampai keakar-akarnya. Menurut teori obyektif materiil Percobaan yang obyektif materiil,Simons berpendapat bahwa : Pada delik formil perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik, sedangkan pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai atau dilaksanakan dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain. Bertolak dari teori obyektif formil, Duynstee berpendapat bahwa perbuatan pelaksanaan, jika apa yang dilakukan termasuk dalam salah satu kelakuan yang merupakan rangkaian kelakuan seperti yang dilarang dalam rumusan delik. http:www.tanyahukum.compidana189permulaan-pelaksanaan-dalam-delik- percobaan Dalam menentukan adanya permulaanperbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan, Prof Moeljatno berpendapat bahwa ada dua faktor yang harus diperhatikan ; a. Sifat atau inti dari delik percobaan b. Sifat atau inti dari delik pada umunya Mengingat 2 faktor tersebut diatas, menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus memenuhi 3 syarat : a. Secara Objektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada kejahatan yang dituju b. Secara subyektif, tidak ada keragu-raguan lagi delik mana yang dituju c. Apa yang dilakukan terdakwa itu merupakan perbuatan yang melawan hukum. Menurut Kontorowicsz, Strafbare Handlung perbuatan pidana terdapat bilamana Handlung its also Rechtsfertigungs-grund fiele. Suatu perbuatan yang dirangkum oleh rumus undang-undang dan nyang tidak dibenarkan oleh dasar pembenar. jadi dalam pengertian perbuatan pidana tidaklah lagi dimasukkan sikap batin pembuatnya. Penjelasan Kantorowiszc itu dapat digambarkan sebagai berikut Strafbare Handlung + Schuld = Strafuoraussetzungen 34 34 Mr. H.A Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika , hal 44 Untuk menentukan terjadinya suatu tindak pidana, maka faktor-faktor esensial dari kejahatan dan faktor bathin adalah hal yang utama atau yang lebih dikeal dengan istilah Actus Reus dan Mens Rea Actus Reus Actus Reus atau Criminal Act, yaitu perbuatan kriminal, merupakan salah satu bagian essensial dari asas hukum actus Non facit reun nisi mens sit rea. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan uraian Clark dan Marshall sebagai berikut : “Actus non facit reum nisi sit rea is the product of an effort to capture a theoruy criminal responsibility reting upon and requiring concurrence of a wrongful intent and wrongful act in a maxim 35 Mens rea menyangkut dengan unsur-unsur pembuat delik, yaitu sikap batin, yang oleh pandangan monitistis tentang delik disebut unsur subyektif suatu delik atau keadaan psikis pembuat ” Mens rea 36 Kesalahan dalam menetapkan ini, maka bisa melanggar UUD 1945. Jika dilihat, tindak pidana Strafbaar feit itu adalah merupakan perbuatan yang oleh . Atau dapat dikatakan bahwa mens rea adalah unsur esensial dari kejahatan. Undang-undang Intelijen disebutkan bahwa, Intelijen berhak untuk melakukan penyadapan terhadap orang yang sebagai bukti permulaan yang cukup diduga melakukan kejahatan. Dan hal itu pun harus mempunyai Izin dari pengadilan. Dapat disimpulkan bahwa, dalam menentukan seorang sudah melakukan tindak pidana, maka komponen ICJS Integrated Criminal Justice System adalah merupakan bagian yang vital. Kesalahan komponen ICJS ini dalam menetapkan seseorang apakah dia sudah melakukan tindak pidana atau tidak sangatlah vital. Hal ini mengingat besarnya peluang untuk terjadinya pelanggran Hukum dan Hak Azasi serta Hak Sipil Masyarakat yang diakui dunia. 35 Mr. H.A Zainal Abidin Farid, Ibid, hal. 47 36 Mr. H.A Zainal Abidin Farid, Ibid, hal. 51 aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif melakukan sesuatau yang sebenarnya dialarang oleh hukum juga perbuatan yang pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum 37 Merumuskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana, karena asas legalitas, mewajibkan kepada pembuat Undang-undang untuk menentukan terlebih dahulu dalam Undang-undang, dan apa yang dimaksud dengan tindak pidana harus dirumuskan secara jelas. Karenanya pula rumusan tersebut mempunyai peranan yang menentukan mengenai apa yang dilarang atau apa yang harus dilakukan orang. . 38 37 Ibid, Teguh Prasetyo 38 Komariah Emong Sapardjaja Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia studi kasus tentang penerapan dan perkembangannya dalam yurisprudensi alumni, bandung 2002, hal 23 Sebelum masuk kepada pemahaman tentang tindak pidana, maka terlebih dahulu dipahami tentang Integrated Criminal Justice System sistem Peradilan Pidana. hal ini dikarenakan Sistem peradilan pidana berkaitan dengan pemeriksaan, penuntutan, pemeriksaan, putusan hakim, sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap. Hal ini sangat perlu mengingat bahwa, apabila orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme itu ditetapkan menjadi tersangka, maka jelas terjadi kesalahan dalam penerapan tindak pidana. Hal ini berakibat pada adanya pelanggaran Hak Azasi Manusia dan Hak sipil dan Politik. Muladi mengatakan bahwa makna Integrated Criminal Justice System adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselaran yang dapat dibedakan dalam : 1. Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antarlembaga penegak hukum; 2. Sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; 3. Sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 39 39 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP 1995, hal 1-2 Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa hubungan hukum positif dengan komponen sistem peradilan pidana, harus sesuai dan serampak. Artinya adalah bahwa tidak boleh adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan komponen sistem peradilan pidana dalam menerapkan hukum positif baik itu dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, merumuskan tindak pidananya serta memberikan hukumannya. Untuk memperjelas hubungan anatara komponen Integrated Criminal Justice System dan juga hukum positif, maka dapat dilakukan dengan 3 pendekatan. Bentuk pendekatan sistem peradilan pidana dikenal 3 bentuk pendekatan yaitu : A. Pendekatan Normatif memandang keempat aparatur penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehinggga keempat aparatur negara tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata ; B. Pendekatan Administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tesebut ; C. Pendekatan Sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. 40 berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak. Packer mempolarisasikan pendekatan normatif sehingga operasionalisasi kedua model yaitu Crime Control Model dan Due Process Model dalam asumsi sebagai berikut A. Penerapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas “ex post facto law” atau asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum atau law enforcement agencies tidak diperkenankan menyimpang dari asas tersebut ; B. Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang tersangka pelaku kejahatan C. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan 41 Dalam KUHP terdapat asas nullum delictum noela poena sini prevea lege poenale yang artinya adalah suatu perbuatan tidak dapat dihukum apabila belum ada hukum yang mengaturnya. Hal ini merupakan wujud dari penegakan Hak Azasi Manusia khususnya asas praduga tak bersalah. Maka untuk menyimpulkan 40 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2010, hal 7. 41 Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 8 seseorang telah melakukan sebuah kejahatan, maka harus lah dulu dilihat apakah kejahatan tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan atau belum. Apabila sudah ada, maka tahapan selanjutnya untuk menentukan seseorang telah melakukan suatu kejahatan adalah terpenuhinya unsur-unsur kejahatan yang dilakukan. Terjadinya suatu tindak pidana, harus memenuhi beberapa syarat yaitu : a. Harus ada suatu perbuatan ; b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum; c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan ; d. Harus berlawanan dengan hukum ; e. Harus terdapat ancaman hukumannya. Pompe mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, ada ketentuan di dalam hukum acara : 1. Tindakan yang dituduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan ; 2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusannya. Setelah ada kesimpulan bahwa seseorang tersebut melakukan sebuah kejahatan, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan mengenai sifat dan substansi perbuatannya itu. Di sinilah terdapat dasar hukum untuk memberi atau menjatuhkan hukuman pada seseorang. Paham sifat melawan hukum ada 2 yaitu 1. Perbuatan melawan hukum Formil, yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi sandarannya adalah hukum yang tertulis. 2. Perbuatan melawan hukum Materiil, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan hukum walaupun belum diatur undang-undang. Sandarannya adalah asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum. Pembuat Konsep KUHP Baru 1998 menegaskan dianutnya pandangan sifat melawan hukum materiil yang terdapat dalam pasal 17 yaitu : “ Perbuatan yang dituduhkan haruslah merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh suatu peraturan perundang-undangan dan perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hukum.” Penegasan ini dilanjutkan dalam pasal 18 yaitu : “ Setiap tindak pidana selalu bertentangan dengan pengaturan perundang- undangan atau bertentangan dengan hukum, kecuali terdapat alasan pembenar dan pemaaf.” Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat melawan hukum tidak hanya formale wedereechtelijkheid, yang diakui, tetapi juga materiele wederrechtelijkheid. Untuk menentukan apakah kejahatan yang dilakukan seseorang yang diduga melakukan terorisme itu adalah sebuah kejahatan, maka perlu dibuktikan berdasarkan delik nya. Menurut Prof. Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia yaitu berupa : a. Suatu tindakan ; b. suatu akibat dan ; c. keadaaan omstandigheid. Unsur subjektif dari unsur-unsur dari perbuatan dapat berupa: a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan Toerekeningvatbaarheid b. Kesalahan Schuld. 42 Badan Intelijen Negara adalah suatu lembaga negara atau instansi. Jadi kebijakannya masih tergantung pada kebijakan instansi. Karena berasal dari kebijakan instansi, maka akan sangat rawan terjadi pelanggaran hak konstitusional, dan yang paling utama adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyadapan merupakan bentuk Penjelasan diatas bisa kita lihat bahwa orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme itu, sama sekali belum memenuhi unsur atau delik suatu perbuatan kejahatan. Hal itu dikarenakan, perbuatannya itu masih diduga. Walaupun ada bukti permulaan yang cukup, bukti tersebut tidaklah cukup untuk membuktikan sesorang diduga melakukan kejahatan. Bisa saja barang bukti yang ditemukan itu digunakan untuk hal-hal yang lain yang sifatnya bukan untuk tindak pidana. Jika dilihat dari unsur-unsur tindak pidana, maka orang yang diduga melakukan terorisme itu sama sekali belum terbukti perbuatannya dan belum terbukti adanya kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan. Maka dapat disimpulkan bahwa penyadapan yang dilakukan Intelijen terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme adalah perbuatan melawan hukum oleh Intelijen Negara.

B. Konsep Pelanggaran Hak Azasi Manusia dan Hak Sipil dan Politik Warga Negara