Tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakukan Kegiatan Terorisme

(1)

TINDAKAN PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA TERHADAP ORANG YANG SEBAGAI PERMULAAN DIDUGA MELAKUKAN

KEGIATAN TERORISME

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 090200342

MARTHIN FRANSISCO MANIHURUK

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINDAKAN PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA TERHADAP ORANG YANG SEBAGAI PERMULAAN DIDUGA

MELAKUKAN KEGIATAN TERORISME

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM: 090200342

MARTHIN FRANSISCO MANIHURUK

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP : 195703261986011001 Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S

NIP : 196303311987031001 NIP : 197302202002121001 Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala hormat dan puji syukur bagi Tuhan, yang oleh karena berkat-Nya penulis diperkenankan untuk menulis dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “ Tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakukan Kegiatan Terorisme”, yang mana hal ini adalah sebagai salah satu syarat penyelesaian studi di almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu, penulis juga berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat, pemerintah, dan juga mahasiswa yang tertarik untuk memahami lebih dalam mengenai Penyadapan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kelemahan dan kekurangan oleh karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, namun dengan segala kerendahan hati, perkenankanlah penulis mengajukan hasil penulisan ini.

Dengan hormat penulis mengucapkan terima kasih buat banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terkhusus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, Bapak Syafruddin, S.H, M.H, DFM, Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H, yang masing-masing


(4)

adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III Faklutas Hukum Unversitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada penulis. 4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, selaku Dosen Pembimbing I

dalam penulisan Skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik..

6. Bapak M. Siddik, S.H, M.Hum selaku Dosen Wali Penulis.

7. Seluruh Staf Pengajar dan Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih untuk ilmu dan bantuannya.

Akhirnya dengan penuh haru, penulis haturkan terima kasih yang terdalam kepada kedua orangtua Penulis Bapak M. Manihuruk dan Ibu R. Gultom yang dengan tulus dan tak terbatas telah memberi inspirasi arti cintakasih dan pengorbanan bagi penulis. Terima kasih juga buat Kakak Sondang Manihuruk, S.Pd dan Lae Sahat Pakpahan, S.Pd, kepada Abang Stevan Ivana Manihuruk, S. Sos, Kakak Riana Fatmayanti Manihuruk, S.H dan Lae dr. Belman Silalahi, juga kepada bere-bere ku Melanie Pakpahan dan Manuel Pakpahan yang telah banyak memotivasi Penulis.


(5)

Buat kawan-kawan UKM KMK UP FH USU; PKK, AKK, dan Alumni yang tidak tersebutkan satu persatu, terima kasih untuk doa dan dukungannya. Selanjutnya untuk kawan-kawan seperjuangan di KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial) Medan dimana penulis banyak memperoleh pelajaran dan pengalaman yang berharga. Senang bisa bertemu dengan kalian untuk memperjuangkan nasib kaum-kaum tertindas. Salam Satu Jiwa. Vor Veritas!!!

Buat Kelompok Kecil kami Marthin Manihuruk, Sahat Lumban Gaol dan Kak Christina Hutauruk thanks atas dukungan dan doanya. Juga buat Adikku Welsa Manihuruk, Andan Galingging, terima kasih buat dukungan dan doanya.

Akhirnya terima kasih buat teman-teman kampus khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2009 (Sastro, Sahat, Remi, Husen, Jefri, Joel, Junitin, Fredrigk, Montes, Dwi, Edak, Yogi, Doly, dan lainnya yang tidak tersebutkan satu persatu ), thanks untuk dukungannya.

Medan, 22 April 2013 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Perumusan Masalah ...12

C. Tujuan Penulisan ... 13

D. Manfaat Penulisan ...13

E. Keaslian Penulisan ...14

F. Tinjauan Kepustakaan ...16

a. Pengertian Penyadapan ...16

b. Pengertian Tindak Pidana ... 20

c. Pengertian Terorisme ... 22

G. Metode Penelitian ...25

H. Sistematika Penulisan ...27

BAB II : REGULASI MENGENAI PENYADAPAN OLEH BADAN INTELIJEN NEGARA ... 30

A. Wewenang Penyadapan Oleh Badan Intelijen Negara ... 31

B. Bentuk Kejahatan Yang dapat dilakukan Penyadapan Oleh Badan Intelijen Negara ... 38

1. Terorisme ... 38

2. Separatisme ... 44

3. Spionase ... 46


(7)

BAB III : PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM

PENYADAPAN………..….. 49

A. Konsep Perbuatan Melawan Hukum ... 52

1. Konsep Permulaan Pelaksanaan ... 54

2. Analisis Konsep Permulaan Pelaksanaan ... 57

B. Konsep Pelanggaran Hak Azasi Manusia dan Hak Sipil dan Politik Warga Negara... 65

1. Perspektif Pelanggaran Hak Azasi Manusia ... 66

2. Persepektif Pelanggaran Hak-hak Sipil dan Politik .. 75

BAB IV : PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81


(8)

ABSTRAKSI

Marthin Fransisco Manihuruk* Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S** Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum***

Terorisme adalah merupakan salah satu kejahatan sering terjadi di Indonesia. Banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara Transit para teroris yang berasal dari luar negeri. Tak hanya itu, Indonesia menjadi pusat dari pertumbuhan dan berkembangnya aksi-aksi teroris. Biasanya aksi terorisme di Indonesia, ditandai dengan adanya aksi-aksi pengeboman di tempat-tempat ramai. Aksi terorisme ini tentu saja memakan banyak korban, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Maka untuk itu, Indonesia pun membuat regulasi-regulasi yang seyogyanya diperuntukkan guna mengantisipasi tindakan terorisme tersebut. Namun sering terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan regulasi yang terkait dengan Terorisme tersebut. Pelanggaran-pelanggaran itu sering terjadi pada hak-hak pada orang-orang sipil yang diduga melakukan terorisme.

Dalam skripsi ini, penulis memberikan judul “Tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakukan Terorisme”. Penulis memberikan deskripsi bahwa orang-orang yang masih sebagai permulaan diduga terorisme, adalah sama dengan warga sipil. Maka untuk itu, hak-hak nya sebagai warga sipil pun harus dihormati sebagaimana warga sipil lainnya. Hal ini merupakan perwujudan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang mana mengedepankan kepastian hukum dan Hak Azasi Manusia ataupun Hak Politik nya. Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder kemudian diolah dan disusun secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan akhir penelitian.

Hasil dari penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa Tindakan Penyadapan Yang Dilakukan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakuka Terorisme, merupakan seuatu perbuatan yang melawan hukum dan melanggar Hak Azasi Manusia serta Hak-Hak Sipil dan Politik warga negara. Karena tindakan permulaan itu, harus dibuktikan dengan terpenuhinya unsur suatu kejahatan dan dibuktikan adanya suatu kesalahan (Schuld).

Penulis juga membuat suatu analisis pentingya penegakan hukum melalui regulasi yang sudah diterapkan di Indonesia, maupun peraturan internasional yang sudah diratifikasi di Indonesia. Hal ini untuk lebih menjamin kepastian hukum baik dari korban, tersangka, terduga atau terdakwa, serta juga Lembaga negara yang diberkan kewenangan dalam penegakan hukum.

_________________________ * Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(9)

ABSTRAKSI

Marthin Fransisco Manihuruk* Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S** Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum***

Terorisme adalah merupakan salah satu kejahatan sering terjadi di Indonesia. Banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara Transit para teroris yang berasal dari luar negeri. Tak hanya itu, Indonesia menjadi pusat dari pertumbuhan dan berkembangnya aksi-aksi teroris. Biasanya aksi terorisme di Indonesia, ditandai dengan adanya aksi-aksi pengeboman di tempat-tempat ramai. Aksi terorisme ini tentu saja memakan banyak korban, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Maka untuk itu, Indonesia pun membuat regulasi-regulasi yang seyogyanya diperuntukkan guna mengantisipasi tindakan terorisme tersebut. Namun sering terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Pemasyarakatan dalam menjalankan regulasi yang terkait dengan Terorisme tersebut. Pelanggaran-pelanggaran itu sering terjadi pada hak-hak pada orang-orang sipil yang diduga melakukan terorisme.

Dalam skripsi ini, penulis memberikan judul “Tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakukan Terorisme”. Penulis memberikan deskripsi bahwa orang-orang yang masih sebagai permulaan diduga terorisme, adalah sama dengan warga sipil. Maka untuk itu, hak-hak nya sebagai warga sipil pun harus dihormati sebagaimana warga sipil lainnya. Hal ini merupakan perwujudan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang mana mengedepankan kepastian hukum dan Hak Azasi Manusia ataupun Hak Politik nya. Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder kemudian diolah dan disusun secara sistematis sehingga diperoleh kesimpulan akhir penelitian.

Hasil dari penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa Tindakan Penyadapan Yang Dilakukan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakuka Terorisme, merupakan seuatu perbuatan yang melawan hukum dan melanggar Hak Azasi Manusia serta Hak-Hak Sipil dan Politik warga negara. Karena tindakan permulaan itu, harus dibuktikan dengan terpenuhinya unsur suatu kejahatan dan dibuktikan adanya suatu kesalahan (Schuld).

Penulis juga membuat suatu analisis pentingya penegakan hukum melalui regulasi yang sudah diterapkan di Indonesia, maupun peraturan internasional yang sudah diratifikasi di Indonesia. Hal ini untuk lebih menjamin kepastian hukum baik dari korban, tersangka, terduga atau terdakwa, serta juga Lembaga negara yang diberkan kewenangan dalam penegakan hukum.

_________________________ * Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UUD 1945, jelas mengatur bahwa Negara harus menjunjung tinggi dan mengakui HAM sebagai hak yang tertinggi yang dimiliki oleh manusia. Salah satu yang termasuk dalam HAM adalah hak untuk tidak diperlakukan semena-mena oleh negara. Apabila terjadi perlakuan yang semena-mena oleh negara terhadap warga negaranya, maka negara dalam hal ini sebagai pejabat publik, sudah melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechtellijkmatigheid).

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum yang mengedepankan Kepastian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Mengedepankan Kepastian Hukum dan Hak Azasi Manusia jelas menganut asas Equality before the law (asas persamaan kedudukan di dalam hukum). Ketentuan mengenai HAM dalam UUD 1945 terdapat dalam bab X Pasal 28-28 J UUD 1945. Hal ini terlihat dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Salah satu bentuk kepastian hukum itu adalah tindakan penyadapan yang dilakukan dengan tidak semena-mena oleh aparat negara terhadap orang yang belum jelas diketahui akan melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan akan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 28-28 J UUD 1945 dan juga pasal 1 ayat (1) KUHP yang menganut asas legalitas (Nullum delictum nulla poena sine prevea lege poenali). Kepastian Hukum yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP ditunjukkan dalam tujuan dari asas tersebut yaitu :


(11)

1. Menegakkan kepastian hukum.

2. Mencegah kesewenang-wenangan penguasa.

Berdasarkan tujuan dari asas legalitas diatas, maka dalam melaksanakan penyadapan, negara harus memperhatikan aspek-aspek hukum yang terkait sehingga tidak adanya pelanggaran HAM. Penyadapan dalam hal ini bisa saja dalam bentuk apapun. Akibat yang ditimbulkan oleh penyadapan ini dapat secara langsung ataupun tidak langsung merugikan dan menggangu kebebasan orang lain. Maka dalam hal ini, diperlukan kejelasan negara dalam memberikan dasar hukum dilaksanakannya penyadapan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Namun, harus diketahui penyadapan tidak boleh dilakukan untuk semua orang. Hanya kualifikasi kejahatan-kejahatan yang dianggap dapat dilakukan penyadapan lah baru dapat dilaksanakan penyadapan, misalnya yang membahayakan kepentingan negara , mengancam kepentingan negara, kejahatan luar biasa, kejahatan yang menyangkut dengan nyawa dan lainnya.

Penyadapan di Indonesia memang sudah sering dilakukan. Tindakan penyadapan ini berhasil membongkar kejahatan yang dianggap serius oleh pemerintah Indonesia. Beberapa yang diantaranya berhasil adalah dalam kasus Tindak pidana Korupsi. Kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima uang Rp. 6 Milyar dari Artalyta Suryani dalam kasus Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Atas nama Syamsul Nursalim. Kemudian juga kasus kriminalisasi pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto dalam kasus korupsi Anggodo Widjojo


(12)

dengan pejabat Kejaksaan dan Kepolisian yang berhasil dibongkar melalui tindakan penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Penyadapan memang selalu dibutuhkan untuk dijadikan salah satu jenis alat bukti di Pengadilan mengenai suatu tindak pidana. Pembuktian sangat penting dalam menentukan apakah suatu perbuatan itu termasuk dalam perbuatan pidana atau bukan. Hal ini juga berkaitan dengan sistem pembuktian negatif yang dianut oleh Indonesia, yaitu sistem pembuktian yang menitikberatkan pada hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan ditambah keyakinan (nurani) hakim sendiri.1

Penyadapan yang dilakukan secara langsung oleh lembaga yang ditunjuk negara seperti halnya Badan Intelijen Negara, memang mempunyai fungsi yang sangat baik. Penyadapan ini dilakukan juga untuk memperkuat alat bukti. Sesuai dengan pasal 183 KUHAP, maka penyadapan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti yang sah selain daripada keterangan saksi. Alat bukti penyadapan ini bisa sebagai alternatif atau pengganti yang kuat daripada keterangan

Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan terdakwa yang dinyatakan bersalah melakukannya. Dengan demikian hasil penyadapan yang dijadikan sebagai alat pembuktian di pengadilan, berpengaruh terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang dijadikan tersangka dalam suatu tindak pidana.

1

Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung, Mandar Maju, 2003, hal 13.


(13)

testimonium de auditu2

Selain kejahatan korupsi, terorisme juga termasuk salah satu kejahatan yang dapat mengancam pertahanan dan keamanan negara. Dikatakan sebagai kejahatan yang mengancam pertahanan dan keamanan negara karena kejahatan ini menimbulkan korban yang bersifat acak dan massal.

yaitu keterangan saksi yang diperoleh dari keterangan orang lain. Sebab keterangan tersebut tidak sah dalam pembuktian hukum pidana.

3

KUHP, terdapat jenis ketentuan yang diatur dalam 3 buku. Ketiga buku itu adalah bagian Ketentuan Umum, Kejahatan, Pelanggaran. Namun dalam KUHP sendiri yang mengatur mengenai kejahatan terhadap nyawa yang dirumuskan dalam pasal 338-350 buku II KUHP, masih mengatur tindak pidana kejahatan terhadap nyawa secara umum. Akan tetapi sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat, baik dari faktor sosial, budaya, politik, tingkatan sosial, pendidikan, teknologi dan sebagainya, menyebabkan timbulnya kejahatan-kejahatan yang baru yang pengaturannya tidak ada dalam KUHP. Kejahatan seperti Terorisme, Pencucian Uang, Perdagangan Orang, Kejahatan terhadap Anak adalah beberapa contoh kejahatan yang tidak diatur secara spesifik diatur dalam KUHP. Sehingga, oleh pembuat perundang-undangan, kejahatan ini digolongkan secara khusus pengaturannya. Berdasarkan pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VII KUHP juga

Terorisme dan korupsi juga adalah 2 jenis kejahatan yang merupakan tindak pidana khusus yang peraturan mengenai pidananya juga diatur secara Khusus.

2

Testimonium de Auditu yaitu keterangan yang diperoleh dengan mendengar keterangan orang lain. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa Testimonium de Auditu adalah keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga.Testimonium de Auditu bukanlah merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berpikir. Sehingga, oleh karena itu Testimonium de Auditu tidak dapatdijadikan alat bukti yang sah.

3

Ali Masyhar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Bandung, Mandar Maju, 2009, hal. 4


(14)

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Artinya perbuatan yang diluar dari Ketentuan Umum KUHP dapat mempergunakan undang-undang tersendiri/khusus dengan mengesampingkan KUHP (Asas Lex Specialis de rogat Lex Generalis). Dengan demikian, kejahatan terorisme yang diatur dalam Undang-undang nomor 15 tahun 2003 adalah salah satu bentuk undang-undang tindak pidana khusus.

Oleh karena ancaman yang ditimbulkannya menyangkut dengan pertahanan dan keamanan negara, maka kejahatan terorisme dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime (kejahatan Luar Biasa). Selain menimbulkan korban yang acak dan massal, Terorisme juga merupakan kejahatan yang melanggar Hak Azasi Manusia sebagai mana yang diatur dalam bab X Pasal 28-28 J UUD 1945, Universal Declaration of Human Right, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.

Terorisme sejak lama sudah banyak terjadi, namun peristiwa 11 September 2011 adalah peristiwa yang paling populer di dunia. Di Indonesia peristiwa terorisme ini juga sudah terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002, yang pada saat peristiwa tersebut terjadi, undang-undang tentang tindak pidana terorisme belum diatur.4

4

Ali Masyhar, Op.cit, hal. 5

Oleh karena adanya kekosongan hukum ini maka oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2002, mengundangkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan tak hanya itu, Perppu Nomor 2 tahun 2002 Tentang pemberlakuan Perppu nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan


(15)

Tindak Pidana Terorisme juga disahkan. Terorisme adalah kejahatan yang terorganisir. Kegiatan terorisme ini mempunyai sistem kerja yang teratur. Sangat sulit untuk mengetahui bahwa adanya suatu kegiatan terorisme. Hal ini dikarenakan, terorisme hanya menggunakan bahan peledak sebagai bentuk kejahatannya, dan pelakunya sama sekali tidak bisa di identifikasi dengan jelas. Sangat sulit dibuktikan karena yang dapat diselidiki dari sesudah dilakukannya kegiatan terorisme hanyalah bahan peledak ataupun bekas-bekas senjata yang diapakai. Berbeda dengan kejahatan lainnya yang secara langsung dapat ditentukan pelakunya hanya dengan berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan ataupun hasil forensik. Maka untuk mencegah terjadinya kejahatan terorisme atau menuduh seseorang melakukan kegiatan terorisme, maka sangat diperlukan tindakan penyadapan. Tindakan penyadapan ini berfungsi untuk mendapatkan hasil informasi yang akurat dan benar tentang orang yang diduga melakukan kegiatan terorisme untuk dijadikan alat bukti.

Intelijen sebagai lembaga negara, diberikan kewenangan oleh negara untuk melakukan kegiatan penyadapan. Tujuannya adalah memberikan informasi yang akurat kepada negara tentang adanya tindakan atau ancaman yang akan menimbulkan terganggunya stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Kewenangan Tindakan penyadapan ini diatur dalam undang-undang Intelijen Nomor 7 tahun 2011.

Undang-undang No 7 tahun 2011 Pasal 31 huruf b menyatakan bahwa Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian Informasi terhadap sasaran yang terkait dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam


(16)

keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum. Artinya Badan Intelijen Negara mempunyai wewenang melakukan penyadapan apabila ditemukan hal-hal seperti yang diatur dalam pasal 31 huruf b undang-undang Intelijen Negara nomor 7 tahun 2011. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa Badan Intelijen Negara mempunyai kewenangan untuk menafsirkan suatu kejahatan yang dapat dilakukan penyadapan berdasarkan undang-undang Intelijen Negara nomor 7 tahun 2011.

Berdasarkan undang-undang Intelijen Negara, tindakan penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Negara, dibatasi oleh Undang-undang Intelijen Negara Nomor 7 tahun 2011. Dalam Undang-undang no 7 tahun 2011 pasal 32 ayat (3) disebutkan bahwa Penyadapan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Badan Intelijen Negara hanya dapat melakukan penyadapan apabila telah mempunyai bukti permulaan yang cukup yang berkaitan dengan masalah ancaman keselamatan dan keamanan nasional.

Kejahatan yang masih sebagai permulaan diatur juga dalam KUHP dan KUHAP yang mana diancam perbuatannya dengan tujuan agar dapat dicegah terjadinya korban.5

5

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo, 2012 hal. 153

Pasal 53 KUHP mensyaratkan bahwa adanya percobaan melakukan kejahatan, dapat dipidana apabila telah terpenuhi niat dan adanya pelaksanaan perbuatan. Pasal 17 KUHAP menerangkan bahwa seseorang hanya dapat ditangkap apabila diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal ini dijelaskan juga pada pasal I butir 14 yang mengatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya,


(17)

berdasarkan bukti permulaan diduga sebagai pelaku tindak pidana. Jadi dari hal ini, bukti permulaan adalah merupakan suatu unsur yang menjelma menjadi kesalahan untuk memenuhi syarat terjadinya suatu tindak pidana. Adagium “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld) mengartikan bahwa selain sifat melawan hukum, unsur kesalahan juga merupakan unsur utama, yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pelaku terhadap perbuatannya. Kesalahan menurut Simons adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Sedangkan menurut Van Hamel kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, berhubungan dengan keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum. Seseorang dibuktikan bersalah apabila memiliki beberapa unsur :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal

2. Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya, baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa)

3. Tidak adanya alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan6

6

Teguh Prasetyo, Ibid, hal. 82

Untuk menyatakan suatu kesalahan, harus memenuhi 3 unsur tersebut. Apabila ketiga unsur itu dipenuhi maka dapat dinyatakan pidana. Artinya sesorang tidak dapat dipidana apabila belum dapat dibuktikan bersalah.


(18)

Penyadapan berdasarkan KUHAP adalah hal yang dilarang. Akan tetapi boleh dilakukan oleh lembaga penegak hukum sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Penyadapan hanya boleh dilakukan untuk kejahatan yang tergolong serius dan berat. Terorisme adalah termasuk salah satu kejahatan yang yang tergolong serius dan berat. Terorisme ini adalah salah satu kejahatan yang berbeda dengan kejahatan yang lainnya. Faktor pembeda terorisme dengan kejahatan lainnya adalah dari sisi motif dilakukannya kejahatan terorisme. Terorisme biasanya dilakukan dengan motif agama, ideologi, memerdekakan diri sendiri. Hal ini muncul dikarenakan mereka merasa adanya ketidakadilan yang merata terhadap mereka oleh suatu kelompok tertentu, sehingga mereka mempergunakan ideologinya untuk memberikan suatu penafsiran representatif bahwa hak mereka telah dilanggar.

Menurut pasal 31 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat Publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetik. Penyadapan seyogyanya memang diterapkan untuk memperoleh bukti yang cukup untuk menentukan sebuah kejahatan.

Harus disadari juga, penyadapan juga dapat melanggar Hak Azasi Manusia, disebabkan karena, pada proses penyadapan, ada hal yang bersifat pribadi yang seharusnya tidak boleh diketahui orang lain, menjadi diketahui oleh orang lain. Hal pribadi ini lah yang dimanifestasikan sebagai Hak Azasi Manusia


(19)

yang harus dihormati. Kebebasan untuk berkomunikasi yang sifatnya pribadi adalah suatu hak yang diakui di Indonesia juga. Pasal 28F UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Berdasarkan hal ini, dapat dilihat bahwa setiap orang dapat menggunakan segala media untuk berkomunikasi tanpa ada orang yang mengetahui segala yang menyangkut dengan kepribadiannya. Sedangkan penyadapan diketahui adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui hal yang bersifat pribadi orang tertentu. Sehingga dalam hal ini seolah-olah penyadapan itu bertentangan dengan UUD 1945. Seperti yang diketahui bahwa sumber hukum yang tertinggi di Indonesia adalah UUD 1945. Artinya bahwa seluruh ketentuan perundang-undangan yang berada di bawah UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Apabila dalam undang-undang tersebut mengatur sebuah aturan pidana yang bertentangan dengan UUD 1945, maka aturan tersebut tidak berlaku dan sistem pemidanaan juga tidak berlaku.

Timbul suatu pertanyaan apakah penyadapan terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak. Memang benar dalam pasal 4 undang-undang Intelijen Negara menyebutkan bahwa intelijen melakukan pekerjaan untuk melakukan deteksi dini dalam rangka pencegahan, penangkalan dan penanggulangan ancaman dari ancaman yang mengancam kepentingan nasional. Artinya intelijen disini melakukan suatu bentuk usaha preventif untuk mencegah


(20)

suatu perbuatan yang mengancam pertahanan dan keamanan negara. Hal ini sama halnya dengan tujuan pidana yaitu sebagai fungsi Prevensi Umum yaitu mencegah orang melakukan kejahatan.

Hukum pidana menyebutkan bahwa salah satu unsur tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum.7

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Dalam ilmu hukum, dikenal 3 kategori perbuatan melawan hukum :

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan ( tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)

8

7

Teguh Prasetyo, Op.cit hal. 67

8

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010

Kasus terorisme, dapat dikelompokkan menjadi perbuatan melawan hukum karena kesengajaan. Artinya adalah bahwa sudah ada kehendak dari orang yang dituduh tersebut untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Pompe mengatakan bahwa untuk dapat dipidananya seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, setidaknya harus memenuhi 2 syarat yaitu :

1. Tindak pidana yang dituduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan ;

2. Tindak pidana itu dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusannya.

Penyadapan yang dilakukan adalah sebagai upaya untuk mencegah kegiatan terorisme sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Namun, untuk membuktikan adanya permulaan dari kejahatan terorisme itu, maka semua unsur pidana dalam rumusannya harus terpenuhi. Unsur yang dipenuhi adalah unsur yang objektif. Unsurnya antara lain adalah, :


(21)

1. Apakah orang yang akan melakukan permulaan pelaksanaan kejahatan terorisme itu mempunyai senjata api

2. Mempunyai senjata dalam jumlah yang tidak wajar 3. Penyimpanan senjata api di rumah

4. Dipunyai oleh sekelompok orang yang saling kenal satu sama lain 5. Tidak mempunyai surat izin kepemilikan senjata

6. Mempunyai bahan peledak selain daripada senjata

7. Melakukan kegiatan-kegiatan semi militer/militer di tempat-tempat tertentu yang sama sekali tidak diketahui publik, contohnya seperti di hutan

8. Melakukan kegiatan-kegiatan semi militer/militer pada malam hari di tempat tertentu.

Apabila semua unsur-unsur ini telah dipenuhi, maka dapatlah disimpulkan terjadinya suatu tindak pidana. Namun, apakah suatu perbuatan melawan hukum jika intelijen malakukan penyadapan terhadap kegiatan terorisme jika pada unsur diatas hanya terpenuhi beberapa unsur seperti, memiliki senjata dan memiliki bahan peledak sebagai bukti permulaan.

Dari pemaparan awal yang diberikan penulis diatas, penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penulisan skripsi yang berjudul : Tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang Yang Sebagai Permulaan Diduga Melakukan Kegiatan Terorisme.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, yang menjadi perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :


(22)

1. Bagaimana Regulasi penyadapan oleh Badan Intelijen Negara berdasarkan Undang-undang Intelijen Negara Nomor 7 tahun 2011?

2. Apakah Tindakan penyadapan oleh Badan Intelijen Negara terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme termasuk perbuatan melawan hukum?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui regulasi penyadapan oleh Badan Intelijen negara 2. Untuk memberikan analisa hukum apakah penyadapan yang dilakukan

Badan Intelijen Negara tersebut termasuk perbuatan melawan hukum atau tidak.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan yang diharapkan dari hasil penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat secara teoritis.

Hasil dari penulisan skripsi ini mampu memberikan kontribusi bagi

Informasi-informasi dan pengetahuan tentang hukum pada umumnya dan sumbangsih pemikiran pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum pidana. Terlebih khusus untuk menambah pengetahuan penulis tentang analisis tindakan penyadapan oleh badan Intelijen Negara terhadap orang yang diduga melakukan kegiatan terorisme. Kiranya skripsi ini juga dapat memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin mengetahui ataupun sedang


(23)

mendalami pengetahuan tentang Penyadapan baik mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas.

2. Manfaat secara Praktis

Skripsi ini dapat memberikan Informasi dan tambahan, serta masukan serta kontribusi pemikiran bagi aparat penegak hukum, secara khusus kepada lembaga penegak hukum yaitu, Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan, Advokat ataupun institusi lain dan juga kepada masyarakat umum dalam mengawasi tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum. Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi yang berjudul “TINDAKAN PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA TERHADAP ORANG YANG SEBAGAI PERMULAAN DIDUGA MELAKUKAN KEGIATAN TERORISME” terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas sumatera Utara melalui surat tertanggal 21 Desember 2012 (terlampir) menyatakan ada tiga judul yang memiliki sedikit kesamaan. adapun ketiga judul tersebut adalah :


(24)

15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana Terorisme (studi kasus penyidikan peledakan bom di kantor Walikota Medan) yang ditulis oleh Rahayu Sri Wahyuni/990200141

2. Peranan Laboratorium Forensic dalam pembuktian tindak pidana terorisme di Kota Medan yang ditulis oleh Herri Okstarizal/990200067

3. Penyadapan (Wiretapping): Suatu Tinjauan tentang legalitas sebagai alat bukti dalam pelaksanaan penyidikan oleh KPK guna menangani perkara tindak pidana Korupsi yang ditulis oleh Corry Aruan/060200203

Surat dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menerima judul yang diajukan penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul diatas.

Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai karya-karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(25)

F. Tinjauan Kepustakaan

Kepustakaan dalam skripsi Tindakan Penyadapan Badan Intelijen Negara Terhadap Orang yang Sebagai Permulaan Diduga Melakukan Kegiatan Terorisme ini adalah sebagai berikut :

A. Pengertian Penyadapan

Dalam Undang-undang Narkotika nomor 35 tahun 2009 Pasal 1 Angka 19 disebutkan bahwa Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/ atau alat komunikasi elektronik lainnya.

Jika dilihat dari Subyek dan Kewenangannya maka :

A. Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika :

Dalam Pasal 55 Undang-undang nomor 5 tahun 1997 huruf C disebutkan

bahwa yaitu selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dapat

menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika

lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras

membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika.

Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Penjelasan Pasal 55

Pelaksanaan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung serta penyadapan pembicaraan melalui telepon dan/atau alat-alat telekomunikasi elektronika lainnya hanya dapat dilakukan atas perintah


(26)

tertulis Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya.

B. Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Pasal 12

Pada Ayat 1 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c pada

bagian huruf A, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

C. Undang-undang nomor 15 tahun 2003

Pasal 31

Dalam ayat 1 disebutkan bahwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup

sebagaimana dimaksud pasal 26 ayat 4 penyidik berhak: menyadap pembicaraan

melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk

mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

D. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Pasal 31

Dalam ayat 1 disebutkan bahwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup

penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga

digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana


(27)

E. Undang-undang nomor 35 tahun 1999

Pasal 75

Dalam pasal 75 disebutkan bahwa dalam rangka melakukan penyidikan,

penyidik BNN berwenang: melakukan penyadapan yang terkait dengan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah

terdapat bukti awal yang cukup;

Penjelasan Pasal 75

Huruf i

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan

atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara

menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan teknologi terhadap

pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi

elektronik lainnya. Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik

dengan cara antara lain:

a. Pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam

semua pembicaraan (bugging);

b. Pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak

keberadaannya (bird dog);

c. Intersepsi internet;

d. Cloning Pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;

e. CCTV(Close Circuit Television);


(28)

Tata Cara Penyadapan :

A. Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Pasal 42

1. Pada ayat 2 dikatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana,

penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan

atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan

informasi yang diperlukan atas :

a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik

Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-

undang yang berlaku.

Penjelasan Pasal 42

Dalam ayat 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan proses peradilan

pidana dalam ketentuan ini mencakup penyidikan, penuntutan, dan penyidangan.

a. Dalam ayat 2 huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana

tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5(lima)

tahun ke atas, seumur hidup atau mati.

b. Kemudian dalam ayat 2 huruf b disebutkan bahwa contoh tindak pidana

tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku ialah tindak pidana yang

sesuai dengan Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang sesuai


(29)

B. Undang-undang nomor 15 tahun 2003

Pasal 31

1. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 huruf b hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan

Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

2. Ayat (3) mengatakan bahwa Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan

penyidik.9

Perbuatan pidana (Strafbaarfeit) adalah adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.

B. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

1. Menurut Prof Mulyatno

10

Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga 2. Menurut Prof Teguh Prasetyo

9

10


(30)

perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).11

11

Teguh Prasetyo Ibid, hal 50

3. Menurut W.P.J Pompe

Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap ketertiban hukum) yag dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum. 4. Menurut Van Hamel

Tindak pidana adalah suatu kelakuan orang ( minselijkegedreging) yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

5. Menurut D. Simons

Tindak Pidana adalah perbuatan salah (met schuld in verband staand) dan melawan hukum (onrechmatig) yang diancam pidana (strafbaar gesteld) yang mana oleh seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon). 6. Menurut M. Andi Zainal Abidin

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancam pidana,melawan hukum dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu.

7. Menurut Jonkers

Tindak pidana adalah suatu kelakuan yang dapat diancam pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.


(31)

8. Menurut J. Baumann

Tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan

9. Menurut Roeslan Saleh

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan

C. Pengertian Terorisme

Beberapa pengertian Terorisme diantaranya adalah :

1. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) terorisme diartikan penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).

2 . US Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing

3. The Arab Convention on the Suppression of Terorism (1998)

Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjualankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun harta pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan utnuk mengancam sumber daya nasional.


(32)

d. Konvensi PBB tahun 1973

Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok masyarakat luas.12

12

Abdul Wahid, Ibid ,hal 24-29

e. Webster’s New World College Dictionary (1996)

Terorisme adalah “the use of force threats or to demoralized, intimidated, subjugate”.

f. Black Laws Dictionary

Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan yang melanggar hukum pidana yang jelas dimaksudkan untuk :

a. Untuk mengintimidasi penduduk sispil b. Mempengaruhi kebijakan pemerintah

c. Mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan atau pembunuhan

g. Menurut US Central Intelligence Agency (CIA)

Terorisme Internasioanal adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing

h. Menurut Terorism Act

Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut :


(33)

1. Aksi yang melibatkan Kekerasan serius pada seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik 2. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau

untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik

3. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi

4. Penggunaan atau ancaman yang masuk subseksi yang melibatkan penggunaan senjata api dan bahan peledak.

i. Menurut Treaty on Cooperation among the States Of the Commonwealth of Independent States in Combating terorism, 1999

Terorisme adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilalukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau meneror penduduk dan mengambil bentuk :

1. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum

2. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain

3. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat


(34)

mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut

5. Menyerang perwakilan negara asing atau staf organisasi internasional

yang dilindungi secara Internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara Internasional

6. Tindakan yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui internasioal yang bertujuan memerangi terorisme.

Sedangkan menurut beberapa ahli yaitu 1. Evans dan Murphy

Terorisme adalah pengunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaran-sasaran yang dimiliki atau dibawah tanggungjawab pihak yang diserang.

2. Syed Hussein Alatas

Terorisme adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilalukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.

G. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik yang bertujuan untuk memberikan suatu gambaran mengenai Analisis hukum yang jelas


(35)

1. Pendekatan Penelitian

Penulisan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder. Metode penelitian hukum normatif pada penulisan skripsi ini menggunakan beberapa penelitian hukum yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan penelitian untuk menemukan hukum in concreto. Menemukan hukum in concreto hanya mungkin dilakukan apabila sudah terlebih dahulu memiliki koleksi menyeluruh dari pengetahuan norma-norma hukum in abstracto pada saat ini, melalui proses silogisme akan diperoleh lah sebuah konklusi , yaitu hukum in concreto.13

Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung dari objek penelitian. Data yang diperoleh adalah berasal dari undang-undang, buku-buku, artikel yang diperoleh dari media cetak maupun informasi-informasi dari media elektronik. Data yang diperoleh tersebut berasal dari proses identifikasi, koreksi dan mengorganisasikan data yang telah diperoleh dan dikumpulkan ke dalam suatu sistem yang komprehensif

2. Jenis data dan Sumber Data

14

Penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder yaitu data-data yang digali dari berbagai sumber 3. Teknik Pengumpulan Data

13

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 94

14


(36)

seperti buku-buku, koran, artikel, perundang-undangan mauapun dokumen lainnya baik dari media cetak maupun elektronik yang relevan dengan masalah yang dibahas oleh penulis. Kemudian memadukan, mengumpulkan, menafsirkan dan melakukan pemilahan terhadap bahan yang relevan dengan judul skripsi diatas.

4. Teknik Analisis Data

Pada penelitian hukum Normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang diperoleh, memilah terhadap masalah yang dibahas, diolah dan di interpretasikan sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang menunjukkan hasi akhir penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus terdapat keteraturan agar terciptanya suatu karya ilmiah yang baik. Maka dari itu penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena sifat dari isi skripsi ini berkesinambungan antara bab yang satu dengan yang lainnya.

Penulisan dalam skripsi ini dibagi ke dalam 4 bab yang disusun secara sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut :


(37)

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan. Dimulai dari latar belakang, penulis menyajikan suatu gambaran/deskripsi umum tentang penyadapan yang dilakukan di Indonesia dan Kegiatan teroris yang terjadi Indonesia, dan bagaimana jika penyadapan diterapkan untuk orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme. Kemudian, dari tujuan penulisan sampai kepada sistematika penulisan, penulis ingin menyampaikan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dan juga berserta dengan teori hukum yang sesuai dengan judul skripsi diatas.

BAB II : REGULASI PENYADAPAN OLEH BADAN INTELIJEN NEGARA

Pada bab ini diuraikan yaitu :

a. Pada bagian pertama diuraikan tentang wewenang penyadapan oleh negara.

b. Pada bagian kedua diuraikan tentang bentuk kejahatan yang dapat dilakukan penyadapan oleh badan intelijen negara

BAB III : PELANGGARAN HUKUM DALAM PENYADAPAN Pada bagian diuraikan 2 bagian yaitu


(38)

a. Pada bagian pertama diuraikan tentang konsep perbuatan melawan hukum. Disini penulis menguraikan tentang makna dari konsep pengertian perbuatan melawan hukum, bentuk- bentuk, dan diskualifikasi daripada perbuatan melawan hukum. Diskualifikasi perbuatan melawan hukum yang dipaparkan adalah perbuatan melawan hukum Pidana.

b. Pada bagian kedua menguraikan tentang tinjauan yuridis. Tinjauan yuridis yang penulis paparkan adalah tinjauan yuridis dari tindakan penyadapan oleh badan Intelijen negara yang melakukan penyadapan. Tinjauan yuridis tersebut untuk menentukan : apakah penyadapan yang dilakukan badan Intelijen negara tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, atau tidak.

BAB IV : PENUTUP

Pada bagian ini diuraikan kesimpulan hukum dari analisa hukum dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan sesuai dengan masalah yang dibahas.


(39)

BAB II

REGULASI MENGENAI PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA

Seperti diketahui, saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada instansi penegak hukum, dengan mekanisme dan cara yang berbeda-beda. Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII KUHP tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disahkan menjadi Undang-undang nomor 15 tahun 2003, (6) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pengaturan penyadapan ini penting diatur diatur, karena penyadapan merupakan salah satu cara untuk memperoleh alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apabila terjadi penyadapan, maka sangat jelas adanya pembatasan atau pengurangan hak dari seseorang yaitu, hak untuk memberikan informasi kepada orang lain atau salaing bertukar informasi dengan orang lain.

Badan Intelijen Negara adalah salah satu lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan pasal 31 Undang-undang nomor 17 tahun 2011. Secara prinsipil, dilihat dari fungsi dan kewenangannya,


(40)

lembaga Intelijen Negara sudah sepatutnya diberikan wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi yaitu penyadapan. Penyadapan ini berfungsi untuk memudahkan Negara dalam menyelidiki suatu tidak kejahatan terhadap keamanan Negara. Akan tetapi, penyadapan rentan dengan pelanggaran privasi seseorang. Maka itu, sebenarnya dalam praktik internasional, undang-undang nasional yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut ini: (1) tindakan intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan dalam melakukan intersepsi, (3) kelompok objek dan individu yang dapat dilakukan intersepsi, (4) batas kecurigaan atau bukti permulaan, yang diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi perijinan, dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan.

Pada bab ini akan dibahas mengenai bagaimana wewenang penyadapan oleh Badan Intelijen Negara itu dan apa saja kejahatan yang dapat dilakukan tindakan penyadapan.

A. Wewenang Mengenai Penyadapan oleh Badan Intelijen Negara.

Penyadapan diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. antara lain adalah Undang-undang Kamnas (Keamanan Nasional), UU Narkotika, UU KPK, UU Kejaksaan, UU Terorisme, UU Kepolisian dan Undang-undang Intelijen Negara.

Peraturan terkait dengan kewenangan penyadapan : 1. Undang-undang no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika


(41)

2. Undang- undang nomor 22 tahun 1997 (diubah dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009) tentang Narkotika

3. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 5. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana korupsi

6. Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 7. Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat

8. Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi

9. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

10. Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

11. KUHP pasal 430 ayat 2

12. Permenkominfo nomor 11 tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

Di Indonesia, ada terdapat beberapa lembaga negara yang memiliki kewenangan penyadapan. Contohnya adalah KPK. Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Namun berbeda


(42)

penyadapan KPK dengan Badan Intelijen Negara. Penyadapan di KPK digunakan sebagai fungsi penegakan hukum, sedangkan Badan Intelijen Negara bukanlah menjalankan fungsi penegakan hukum.

Badan Intelijen Negara

Wewenang mengenai penyadapan, baik itu di dalam UU ITE, UU narkotika, dan Undang-undang lainnya, terdapat pengaturan regulasi mengenai penyadapan. Regulasi ini dimaksudkan untuk memberikan adanya kepastian hukum kepada masyarakat sipil. Berbicara mengenai wewenang mengenai Penyadapan oleh BIN, hal ini dimaksudkan agar Intelijen bisa melakukan deteksi sejak awal dari sebuah ancaman. Penyadapan hanya boleh dilakukan ketika ada indikasi yaitu berupa sebuah ancaman kepada negara. Biasanya, lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, ataupun yang lainnya diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Tak berbeda dengan Intelijen negara yang juga diberikan kewenangan tersebut.

Kewenangan penyadapan oleh BIN dapat dilihat yaitu menyadap, memeriksa aliran dana, dan penggalian informasi dengan meminta keterangan kepada kementerian lembaga pemerintah non kementerian dan atau lembaga lain.15

Badan Intelijen negara adalah merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan intelijen. Kegiatan Intelijen yang dilakukan Badan Intelijen Negara ini, sebagaimana tercantum dalam pasal 10 ayat

15

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=267284:bi n-berwenang-lakukan-penyadapan&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91


(43)

(1) Undang-undang Intelijen negara nomor 17 tahun 2011, yaitu menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri.

Tugas Badan Intelijen negara adalah untuk melaksanakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 17 tahun 2011. Tugas dari Badan Intelijen Negara yang dimuat dalam Pasal 29 antara lain adalah melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan dan pelaksanaan aktivitas intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing dan memberikan pertimbangan saran, rekomendasi tentang pengamanan penyeleggaraan pemerintahan.

Intelijen dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 Undang-undang nomor 17 tahun 2011, maka Badan Intelijen Negara diberikan wewenang. Wewenang Badan Intelijen Negara tercantum dalam pasal 30 dan 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011. Kewenangan itu dalam Pasal 30 yaitu menyusun rencana dan kebijakan nasional di bidang intelijen secara menyeluruh, meminta bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, dan atau lembaga lain sesuai dengan kepentingan dan prioritasnya, melakukan kerjasama intelijen dengan negara lain, membentuk satuan tugas.

Selain daripada kewenangan yang tercantum dalam pasl 30 tersebut, BIN juga diberikan kewenangan oleh negara seperti yang tercantum dalam Pasal 31 undang-undang Intelijen Negara nomor 17 tahun 2011. Kewenangan tersebut


(44)

adalah melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan :

a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup dan atau :

b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Undang-undang nomor 7 tahun 2011 yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegatan dan tindakan baik dari dalam ataupun luar negeri yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional, baik ideologi politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Ancaman ini, termasuk juga sebagai kejahatan terhadap kepentingan hukum negara.16

Tindak pidana yang termasuk dalam kategori mengancam kepentingan negara adalah tindak pidana yang diatur dalam Bab I, II, III, IV, VIII, IX, dan XXVIII Buku II KUHP. Dalam buku II KUHP dapat dilihat bahwa kejahatan yang diatur yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap negara (atau menyangkut ketatanegaraan). Menurut Simons, kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam buku II KUHP bukanlah merupakan satu-satunya jenis kejahatan yang

16

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Kepentingan Negara, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 3


(45)

dapat dipandang sebagai kejahatan yang ditujukan terhadap kepentingan-kepentingan hukum dari negara, karena disamping kejahatan-kejahatan tersebut masih terdapat kejahatan lain yang dapat dimasukkan kedalam pengertiannya. Kejahatan tersebut antara lain :

a. kejahatan yang ditujukan terhadap pegawai negeri dalam melaksanakan tugas jabatan mereka yang sah ;

b. kejahatan yang ditujukan terhadap lembaga-lembaga yang secara langsung ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan ;

c. kejahatan yang ditujukan pada pelaksanaan tugas peradilan ; d. kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam jabatan.17

Undang-undang Intelijen Negara dalam Pasal 32 ayat 3 disebutkan bahwa penyadapan baru hanya dapat dilakukan terhadap sasaran yang telah mempunyai Dapat dilihat bahwa penyadapan merupakan kewenangan yang diberikan kepada negara kepada intelijen apabila sudah mempunyai bukti permulaan yang cukup. Pengaturan tentang penyadapan tak hanya diatur dalam Undang-undang Intelijen Negara dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dalam pasal 32 ayat 2 bahwa penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011 dilaksanakan dangan ketentuan :

Untuk penyelenggaraan fungsi intelijen a. Atas perintah kepala badan intelijen

b. Jangka waktu penyadapan paling lama 6(enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

17


(46)

bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

Meskipun demikian, penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara adalah bukan merupakan fungsi penegakan hukum. Hal itu diperjelas dalam pasal 34 Undang-undang Nomor 17 tahun 2011 yang mengatakan bahwa penyadapan itu hanya dapat dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi intelijen, perintah kepala Badan Intelijen Negara, tanpa melakukan penahanan/penangkapan, dan bekerja sama dengan penegak hukum yang terkait.

B. Bentuk Kejahatan Yang Dapat Dilakukan Penyadapan oleh Badan Intelijen Negara

Pasal 31 Undang-undang nomor 17 tahun 2011, Badan Intelijen Negara diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan oleh negara. Dalam pasal ini disebutkan bahwa Badan Intelijen Negara memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan :

a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, meliputi

ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup dan atau :

b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase dan sabotase yang mengancam

keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.


(47)

Pasal 31 huruf b undang-undang Intelijen Negara dapat kita lihat uraiannya sebagai berikut :

1. Terorisme

Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil. Sedangkan perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan), dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.

Kegiatan terorisme mempuyai tujuan untuk membuat orang lain takut sehingga demikian dapat menarik perhatian orang kelompok atau suatu bangsa. Dalam Undang-undang terorisme nomor 15 tahun 2003, tidak disebutkan secara eksplisit pengertian terorisme. Namun, dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 yang selanjutnya diubah menjadi undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan rumusan :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas keerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitias internasional.”

Dari pengertian pasal 6 tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hubungannya dengan tindak pidana lain adalah sebagai delik genus dari tindak pidana terorisme.


(48)

Sebagai delik genus, maka semua tindak pidana yang termasuk kategori terorisme harus mengandung/memuat sifat utama dari genus tindak pidana terorisme.18

Terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Againts State menjadi Crimes againts Humanity. Crimes againts Humanity tersebut meliputi tindak pidana untuk menciptakan sesuatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror. Dalam kaitan Hak Azasi Manusia, crimes agints humanity termasuk dalam kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa tak bersalah (public by Innocent).

Pengertian terorisme secara ekplisit memang belum ada. Dan hingga saat ini, pengertian terorisme menurut hukum Internasional juga belum ada. Pengertian Terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppresion of Teorism (ECST) di Eropa tahun 1977.

19

18

Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia RI,

Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Korban Terorisme, Jakarta, 2008, hal 13.

19

Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004

Namun, ada beberapa pengertian Terorisme dari beberapa lembaga ataupun pakar yaitu :

1. Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan

dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing


(49)

2. The Arab Convention on the Suppressioon of Terorism (1998)

Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjualankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun harta pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.

3. Konvensi PBB tahun 1973

Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud mencipatakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok masyarakat luas.20

persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama Sedangkan menurut beberapa ahli yaitu

1. Evans dan Murphy

Terorisme adalah pengunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaran-sasaran yang dimiliki atau dibawah tanggungjawab pihak yang diserang. 2. Syed Hussein Alatas

Terorisme adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata

20


(50)

atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.

National Advisory Committee dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terorism sebagaimana dikutip Muladi, terorisme dibagi dalam 5 tipologi yaitu :

a. Terorisme Politik ; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan

kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis;

b. Terorisme Nonpolitik ; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi;

c. Quasi Terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat insidental untuk

melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya ;

d. Terorisme Politik Terbatas; menunjuk kepada pembuatan terorisme yang

dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk menguasai pengendalian negara ;

e. Terorisme Pejabat atau Negara (official or state terorism), terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.21

Organisasi teroris ini semacam organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak didukung oleh salah satu negara. Organisasi Karakteristik daripada organisasi terorisme adalah :

1. Nonstate-supported Group.

21


(51)

terorisme non state-supported ini adalah kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok anti korupsi, kelompok anti globalisasi dan lainnya. hanya saja dalam menjalankan aksi “anti” nya, kelompok ini menggunakan cara teror seperti pembakaran, penjarahan dan penyanderaan. Terlihat dari isu terornya, organisasi ini merupakan organisasi teror yang menekankan pada aspek perjuangan ideologi, dengan menciptakan kekacauan ideologi (disorder ideology) dalam tatanan masyarakat. Kelompok organisasi teroris dalam kategori ini, memiliki kemampuan terbatas, dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan dukungan atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya dalam periode waktu tertentu

2. State-sponsored Groups.

Organisasi terorisme jenis ini memperoleh dukungan baik berupa logistik, pelatihan militer, maupun dukungan administratif dari negara lain. Berbeda dengan Nonstate sponsored Group, kelompok ini bersifat profesional, artinya memiliki struktur organisasi yang jelas meskipun bersifat rahasia atau tertutup (clandestine). Selain itu cara yang dipergunakan dalam melakukan teror lebih terorganisir dan terencana. Contoh kelompok teroris yang termasuk dalam golongan ini adalah Provisonal Irish Republican Army (PIRA) yang dibentuk pada tahun 1970 dengan jumlah anggota dua ratus sampai dengan empat ratus yang memiliki daerah operasi di Irlandia utara. PIRA merupakan kelompok teroris yang bertanggungjawab atas pembunuhan Rev. Robert Bradfort, anggota parlemen Inggris di Belfast dan juga pada peristiwa peledakan bom di pintu belakang Royal Courts. Kelompok ini mendapatkan sponsor dari Libya berupa pasokan senjata,


(52)

tempat pelatihan, dan logistik dalam menjalankan aksinya. Contoh teraktual dari kelompok dalam kategori ini adalah kelompok teroris yang diberi nama Jamaah Islamiah yang diduga memiliki hubungan yang erat dengan kelompok al-Qaeda dan bertanggungjawab atas peledakan bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang.

3. State-directed Groups.

Organisasi kelompok teroris ini berupa organisasi yang didukung langsung oleh suatu negara. Berbeda dengan State-sponsored Groups negara memberikan dukungannya secara terang-terangan, bahkan negara tersebut yang membentuk organisasi teroris tersebut, meskipun negara tersebut tidak pernah mengklaim organisasi bentukannya merupakan organisasi teror. Contoh dari organisasi ini adalah organisasi Special Force yang dibentuk Iran pada 1984, untuk tujuan penyebaran paham Islam Fundamentalis di wilayah teluk Persiadan Afrika Utara.

Sifat, tindakan pelaku dan tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, serta target-target metode terorisme kini semakin luas dana bervariasi. sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia ( crime aginst peace and security of mankind). Muladi berpendapat bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala par se atau mala in se yaitu tergolong kejahatan terhadap hati nurani menjadi suatu yang jahat bukan karena diatur atau dialrang undang-undang melainkan pada dasarnya tergolng sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves, bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang.


(53)

2. Separatisme

Separatisme dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai paham atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan negara sendiri). Separatisme sendiri biasanya dilakukan atas dasar nasionalisme atau kegiatan religius. selain itu juga separatisme bisa terjadi karena kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok.22

Gerakan separatisme bukanlah hal yang asing bagi dunia internasional. Separatisme merupakan ancaman bagi setiap negara khususnya bagi negara yang bentuknya negara kesatuan. Negara superpower seperti USSR (Union of soviet socialist Republic) telah mengalami kerugian daripada ancaman gerakan seperatisme ini yang menyebabkan negaranya pecah. Tak hanya itu, negara-negara seperti Yugoslavia, Cina, India, dan banyak negara-negara lainnya juga pernah mengalaminya. Bahkan jika dilihat dari persamaanya dengan Indonesia, maka dapat dilihat bahwa negara Indonesia juga pernah mengalami hal yang sama. Contohnya adalah lepasnya provinsi Timor-timor dari Indonesia yang kini mendirikan suatu negara yang berdauat sendiri dengan nama Republik Demokratik Timor Leste pada tahun 2002.

Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya manusia dengan kesadaran kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain).

23

Separatisme adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap negara (makar). Digolongkannya separatisme sebagai kejahatan terhadap keamanan negara adalah

22

http://id.wikipedia.org/wiki/Separatisme

23

http://lk2fhui.wordpress.com/2010/03/01/separatisme-bentuk-kekecewaan-terhadap-negara/


(54)

karena separatisme memenuhi unsur kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 106 KUHP. Pasal 106 KUHP mengatakan bahwa :

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Dapat dilihat dari pasal 106 bahwa yang menjadi objek penyerangan adalah kedaulatan negara. Dan dari cara yang disebutkan dalam pasal 106 KUHP tersebut kedaulatan negara dapat dirusak atau terganggu keamanannya melalui 2 cara yaitu :

Pertama adalah menaklukkan, kemudian menyerahkan seluruh daerah negara atau bagiannya kepada negara asing dan yang kedua adalah memisahkan sebahagian daerah dari negara itu kemudian membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri.24

Kejahatan separatisme ini, berhasil atau tidaknya ditentukan oleh faktor yang ada. Tindakan separatisme yang berhasil itu biasanya dipermudah dengan faktor seperti sejarah pembentukan negara yang diapksakan seperti Uni Soviet,

Separatisme juga sama dengan kejahatan yang lain. Namun, tindakan separatisme tidak ditentukan berdasarkan berhasil atau tidaknya kejahatan tersebut untuk dikategorikan sebagai kejahatan. Berbeda dengan kejahatan misalnya pembunuhan, walapun sudah ada pelaksanaan, dan apabila tindakannya gagal dan tidak menyebabkan kematian orang, maka hal itu bukanlah kejahatan pembunuhan.

24

http://alsaindonesia.org/site/gerakan-separatis-sebagai-bentuk-perbuatan-makar-yang-mengancam-keutuhan-negara/


(55)

atau karena terdiri dari satu kesatuan politik tradisional. Faktor yang paling besar menentukan besarnya keberhasilan separatisme adalah faktor kekuasaan baik di dalam ataupun luar negeri. Selain itu, separatisme juga dipengaruhi oleh dukungan Internasional. Iwan Gardono Sudjatmiko membuat tipologi daripada tindakan separatisme ini.

1. Yang pertama adalah pusat dan Internasional tidak mendukung separatisme dalam hal ini gerakasn separatisme akan sulit dalam melakukan kejahatannya. 2. Yang kedua adalah kombinasi antara pemerintah yang memberikan izin bagi daerah untuk melakukan separatisme dan lingkungan internasional menolaknya 3. Yang Ketiga adalah pusat yang menolak separatisme dan daerah mendapatkan dukungan internasional. Dalam hal ini, separatisme bisa berhasil atau gagal. 4.Yang keempat adalah kombinasi antara pusat yang memberikan izin separatisme

ataupun tidak mampu mencegahnya dan lingkungan internasional yang netral dan mendukung.25

Spionase (pengintaian) adalah suatu praktik untuk mengumpulkan informasi mengenai sebuah organisasi atau lembaga yang dianggap rahasia tanpa izin dari pemilik yang sah dari informasi tersebut.

Keempat tipologi separatisme ini menunjukkan bahwa kegiatan separatis itu bergantung pada faktor dari laur negeri dan dalam negeri terutama faktor politik.

3. Spionase

26

25

http://alkablog.multiply.com/journal/item/60/Republik-Dicakar-Politik-Identitas?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

26

http://id.wikipedia.org/wiki/Spionase

Istilah spionase biasanya dianggap sebagai suatu keadaan memata-matai musuh potensial atau aktual, terutama untuk tujuan militer, dan kini telah berkembang sebagai suatu keadaan


(56)

memata-matai perusahaan, yang dikenal sebagai Spionase Industrial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia spionase diartikan sebagai penyelidikan secara rahasia terhadap data kemiliteran dan data ekonomi negara lain.

4. Sabotase

Sabotase adalah tindakan pengerusakan yang dilakukan secara terencana, disengaja dan tersembunyi dari peralatan, personel dan aktivitas dari bidang sasaran yang ingin dihancurkan yang berada di tengah-tengah masyarakat dan kehancuran itu menimbulkan efek psikologis yang besar.27

Sabotase dalam level besar mempunyai efek yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Contoh dari sabotase level besar ini adalah sabotase di level hukum, sabotase di level Ekonomi dan sabotase di level Informasi.

Sabotase sering digunakan untuk melumpuhkan lawan-lawan politik yang sedang menguasai wilayah tertentu. Jika dibagi, maka ada dua bentuk sabotase, yaitu sabotase dalam level besar dan sabotase dalam level kecil.

28

27

http://id.wikipedia.org/wiki/Sabotase

28

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/03/21/0011.html

Kalau sabotase di level hukum dan Ekonomi, biasanya adalah sabotase yang dilakukan melalui proses-proses politik. Efek yang ditimbulkannya tidak secara langsung merusak tatanan keamanan dan kedaulatan negara. Namun untuk sabotase Informasi, biasanya dilakukan untuk merusak tatanan negara. Sabotase Informasi ini digunakan sebagai alat untuk menutup atau membocorkan rahasia negara yang mengakibatkan bocornya rahasia negara dan mengakibatkan terancamnya kedaulatan negara.


(57)

Sabotase Informasi adalah salah satu jenis sabotase yang paling sering digunakan untuk mengancam keutuhan negara. Sabotase Informasi biasanya memakai kerjasama dengan pihak-pihak lain yang kontra terhadap suatu negara. Maka tak jarang sabotase juga melibatkan pihak luar. Tak hanya itu, dilakukannya sabotase ini adalah karena faktor sulitnya untuk membuktikan telah terjadinya kejahatan.

Sedangkan Sabotase di Level yang kecil memepunyai sasaran yang kecil juga. Sabotase ini pernah dilakukan semasa Zaman Orde baru dengan istilah “subversif” yang melibatkan anggota Intelijen.


(1)

darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara dalam pihak kovenan dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban mereka berdasarkan kovenan ini sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung dikriminasi semata-mata berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. Jika melihat kepada orang yang diduga melakukan kegiatan terorisme, maka pasal ini jelaslah tidak dapat diberlakukan sebagai dasar hukum dilakukannya penyadapan. Hal itu dikarenakan orang yang seagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme sama sekali belum mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya.

Pasal 14 ayat 2 ICCPR disebutkan bahwa “setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.”Berkaitan dengan pasal ini bahwa ada asas praduga tak bersalah yang dikedepankan. Sejalan dengan itu, Pasal 7 UDHR menyatakan bahwa semua orang dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan.

Berdasarkan hal ini, maka penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Negara adalah melanggar Hak-hak sipil dan politik disebabkan adanya anggapan kesalahan dari badan Intelijen Negara terhadap orang yang diduga melakukan kegiatan terorisme.


(2)

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari Pemaparan yang penulis paparkan jelas bahwa Penyadapan terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan aksi terorisme itu merupakan suatu perbuatan melawan hukum, melanggar HAM dan melanggar hak sipil dan politik. Kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan ini adalah :

1. Regulasi mengenai penyadapan oleh Badan Intelijen Negara yanng diatur

dalam Undang-undang Intelijen Negara nomor 17 tahun 2011 hanya dapat dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan yang cukup dan atas Izin Ketua Pengadilan Negeri dan hanya diberlakukan untuk kejahatan yang dianggap membahayakan pertahanan dan keamanan Negara.

2. Penyadapan terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan

kegiatan terorisme adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum, melangggar Hak Azasi Manusia dan melanggar hak-hak sipil dan politik warga negara.

3. Jika dilihat dari unsur-unsur tindak pidana, maka orang yang diduga melakukan terorisme itu sama sekali belum terbukti perbuatannya dan belum terbukti adanya kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan.

4. Bahwasanya orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme ini sama sekali belum melakukan tindakan yang mengancam kepentingan negara.


(3)

B. SARAN

Demi tercapainya pemenuhan Hak Azasi Manusia & Hak sipil dan Politik dan mengantisipasi terjadinya pelanggaran terhadapnya, maka seharusnya dalam proses penyadapan hendaknya memperhatikan :

1. Perlu hendaknya pengaturan mengenai kewenangan peyadapan oleh Badan Intelijen Negara dengan memperhatikan aspek HAM dan Hak-hak Sipil dan Politik warga negara

2. Perlu untuk membuktikan kesalahan awal/permulaan dari terduga untuk memberikannya tindakan hukum. Sebab permulaan itu, harus dibuktikan dengan terpenuhinya unsur suatu kejahatan dan dibuktikan adanya suatu kesalahan (Schuld).

3. Perlu hendaknya jika melakukan penyadapan harus dilihat secara objektif apakah perbuatan tersebut sudah mengarah kepada suatu kejahatan terorisme atau bukan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media

Group, Jakarta 2010

Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Korban Terorisme, Jakarta, 2008

Farid, Mr. H.A Zainal Abidin Hukum Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika, 2007

Fuady, Munir Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010

Kaligis, O.C. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung, Alumni

Kuffal, HMA, Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, UMM Press, Malang 2008

Komariah Emong Sapardjaja Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia studi kasus tentang penerapan dan perkembangannya dalam yurisprudensi alumni, bandung 2002

Lamintang , P.A.F & Lamintang, Theo Kejahatan Terhadap Kepentingan Negara, Jakarta, Sinar Grafika

Marpaung , Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika Jakarta, 2005


(5)

Masyhar, Ali Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Bandung, Mandar Maju, 2009

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP 1995

Prasetyo, Teguh Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo, 2012

Sapardjaja , Komariah Emong Ajaran, Sifat Melawan Hukum Materiildalam hukum pidana Indonessia studi kasus tentang penerapan dan perkembangannya dalam yurisprudens,i alumni, bandung 2002

Sasangka, Hari & Rosita, Lily Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Bandung, Mandar Maju, 2003

Sunggono, Bambang Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001

Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika, 2011

Wahid, Abdul & Sunardi, & Imam Sidik, Muhammad, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004

Situs Internet


(6)

2013