pelanggaran Right of Privacy sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia yang dapat dibatasi. Putusan Mahkamah Kontitusi nomor 012-0160-019PUU-IV2006
menyatakan bahwa pembatasan HAM melalui penyadapan harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar
Hak Azasi Manusia. Walaupun demikian, penyadapan tetap lah melanggar kebebasan manusia.
Pada bagian ini akan dilihat, apakah penyadapan itu melanggar Hak Azasi Manusia dan melanggar Hak Sipil dan Politik Warga Negara atau tidak.
1. Perspektif Pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Badan Intelijen Negara adalah merupakan suatu lembaga negara. BIN bukanlah lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan
fungsi penegakan hukum, karena hal tersebut sudah dijalankan fungsinya oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Jika dilihat dari Undang-undang Intelijen Negara
Nomor 17 tahun 2011, diberikan kepada Badan Intelijen negara bukan untuk malakukan fungsi hukum. Dalam pasal 34 Undang-undang Intelijen Negara
Nomor 17 tahun 2011 dapat dilihat bahwa penyadapan itu dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen, atas perintah kepala Badan Intelijen Negara,
tanpa melakukan penangkapanpenahanan, dan bekerja sama dengan pihak hukum yang terkait. Namun bagaimana dengan penyadapan yang dilakukan sebelum
penahanan tetapi terhadap orang yang masih sebagai permulaan diduga melakukan terorisme?. Apakah termasuk pelanggaran Hak Azasi Manusia dan
Hak-hak Sipil dan Politik atau bukan?
Pengertian Hak Azasi Manusia
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia disebutkan bahwa Hak Azasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan Merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dihormati negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Manusia mempunyai hak yang menjadi miliknya sejak keberadaannya sebagai manusia diakui. Hak-hak tersebut melekat pada diri setiap manusia sebagaimana
ditegaskan dalam pembukaan UDHR : “... dan untuk mengkonfirmasi keyakinan terhadap HAM, dalam
kehormatan manusia, dalam persamaan hak setiap laki-laki dan perempuan dan negara-negara baik besar maupun kecil... “ and to reaffirm faith in fundamental
human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rihts of men and women and of nations large and small”.
43
43
O.C kaligis, Op. Cit, hal. 50
Pada prakteknya sering ditemukan juga pelanggaran HAM. pelanggaran HAM bisa terjadi karena adanya pembentukan strata atau golongan mulai dari Jabatan,
ataupun budaya, bahkan perbedaan keyakinan. Beberapa contoh dari pelanggaran HAM :
a. Penindasan atau membatasi hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang b. Hukum aturanUndang-undang diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi
c. Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan penguasa dan partai
tiran otoriter Apabila dikaji terhadap tindakan Badan Intelijen Negara yang melakukan
penyadapan terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme, maka dalam hal ini, kita dapat melihat Hak Azasi Manusia itu dari dua sisi.
Pertama adalah Hak Azasi manusia dari sisi korban kejahatan terorisme, dan yang kedua adalah Hak Azasi manusia dari sisi orang yang diduga sebagai permulaan
melakukan kegiatan terorisme. Jika kita melihat Hak Azasi Manusia dari sisi korban terorisme, maka benarlah bahwa terorisme itu merupakan sebuah
kejahatan yang melanggar Hak Azasi Manusia, terutama hak untuk hidup. Terorisme adalah sebuah tindak pidana dengan pelanggaran Hak Azasi Manusia
HAM yang berat karena menghilangkan nyawa. Jika dilihat dari Undang-undang Hak Azasi manusi nomor 39 tahun 1999, terkategori sebagai tindak pidana pada
Pelanggaran Hak Azasi Manusia HAM Berat adalah : A. Setiap orang orang perseorangan atau kelompok baik sipil maupun militer,
maupun polisi yang bertanggungjawab secara Indvidual. B. Yang melakukan pelanggaran berat atas Hak Azasi Manusia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999.
44
44
Aziz Syamsuddin, Op. Cit, hal 56
Ketentuan Undang- undang Nomor 39 tahun 1999 dapat dilihat bahwa Pelanggaran Berat atas Hak
Azasi Manusia diberikan hukuman yang berat berupa Pidana Mati, Pidana Seumur Hidup, dan Pidana Penjara.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita melihat Hak Azasi Manusia itu dari sisi penyadapan terhadap orang yang sebagai permulaan melakukan Terorisme itu?
Mengenai pengaturan Hak Azasi Manusia di Indonesia, dan hak-hak yang diakui di Indonesia, pertama sekali dapat dilihat terlebih dahulu tabel tentang
undang-undang yang mengatur dan berkaitan dengan Hak Azasi Manusia dan Konvensi-konvensi Internasional yang diratifikasi yang menyangkut tentang Hak
Azasi Manusia.
Pembentukan Undang-undang atau perubahan Konstitusi atau penerbitan
kebijakan di bidang eksekutif eksekutif order seperti Keprres, PP
dan lainnya Ratifikasi
1. UUD 1945, Amandemen II tentang Hak Azasi Manusia
2. Undang-undang Nomor 68 tahun 1958 tentang Hak-hak Politik
Perempuan 3. Undang-undang Nomor 25 tahun
2000 tentang Program Pembangunan Nasional: Perpres nomor 7 tahun 2005
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009
4. Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi manusia
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keppres 36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention On the Rights
on the Child 3. Undang-undang Nomor 5 tahun
1994 tentang Pengesahan UN Convention on Biological Diversity
4. Keppres 83 tahun 1998 tentang Pengesahan “Convention Againts
5. Undang-undang Nomor 24 tahun 200 tentang Perjanjian Internasional
6. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi
Manusia 7. Undang-undang Nomor 31 tahun
2002 tentang Partai Politik 7. Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak 8. Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas 9. Undang-undang Nomor 13 tahun
2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
10. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga 11. Undang-undang Nomor 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
12. Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik 13. Keputusan Presiden Nomor 87
Torture And Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment”
5. Undang-undang Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention Number 105 Concerning the Abolition of Forced Labour
6. Undang-undang nomor 20 tahun 1999
tentang pengesahan ILO Convention Number 138 Concerning
Minimum Age for Admission to Employment
7. Undang-undang Nomor 21 tahun 1999
tentang Pengesahan “ILO Convention Number 111 Concerning
Discrimination on Respect of Empolyment and Occupation
8. Undang-undang Nomor 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
9. Undang-undang nomor 21 tahun 2004 tentang pengesahan Cartagena
Protocol on the Protection of Biodiversity
tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional RAN Penghapusan
Ekpsloitasi Seksual Komersial Anak 14. Perpres nomor 23 tahun 2011
tentang Rencana Aksi nasional RANHAM 2011-2014
10. Undang-undang nomor 11 tahun 2005 tentang pengesahan Internasional
on Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
11. Undang-udnang nomor 12 taun 2005 tentang Ratifikasi International
on Covenant on Civil and Political Rights
12. Undang-undang Nomor 6 tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi
Internasional Mengenasi Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan
Keluarganya 13. Undang-undang Nomor 19 tahun
2011 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas.
Sumber : ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 undang-undang nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Artinya adalah, bahwa orang yang diduga melakukan
terorisme itu juga berhak atas jaminan, perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum. Orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan
terorisme itu adalah sama dengan orang sipil yang selain daripada dia sendiri. Orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme itu, sama sekali
belum melakukan sebuah tindakan. Sehingga belum adanya kesalahan yang terpenuhi. Bisa disimpulkan, orang yang diduga melakukan kegiatan terorisme itu
adalah orang sipil. Dan orang-orang sipil mempunyai Hak Azasi Manusia sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 dan Undang-undang nomor 39
tahun 1999. Universal Declaration of Human Right UDHR dalam Pasal 1 dinyatakan
bahwa setiap orang memiliki hak-hak yang sama all human beings are equal in rights. Dilihat dari pasal ini, maka yang diduga melakukan terorisme itu sama
dengan warga sipil yang mana terhadap warga sipil sebelum ditentukan kesalahannya terlebih dulu dianggap tidak bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap. Pasal 1 UDHR ini selanjutnya dikonkritisasikan dalam persamaan kedudukan dihadapan hukum equality before
the law dalam pasal 7 serta asas praduga tak bersalah presumption of inocence pada pasal 11 ayat 1 UDHR. Ketentuan pasal 7 UDHR antara lain menegaskan
setiap orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa perbedaan all men are equal before the law and are entitled
without any discrimination to equal protection of the law.
45
Melihat dari tindakan penyadapan yang dilakukan Intelijen terhadap orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme, pada pasal 32
undang-undang nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa kemerdekaan dan rahasia dalam surat menyurat melalui surat elektronik tidak boleh diganggu kecuali atas
45
O. C Kaligis, Op. Cit, hal 23
perintah hakim, atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Artinya adalah merupakan suatu tindakan larangan terhadap Badan
Intelijen Negara mencampuri surat-menyurat sesorang. hal ini disebabkan karena hal surat-menyurat itu adalah hal yang sifatnya pribadi. Jika di analisis, tentunya
hal ini akan melanggar asas persamaan dalam kedudukan hukum. Karena, adanya pelanggaran atau pembatasan dan pengurangan hak sipil terhadap mereka dengan
cara adanya campur tangan terhadap informasi-informasi yang menyangkut pribadi yang diketahui oleh negara.
Pembatasan atau pengurangan Hak dapat dilakukan apabila : a. Diperbolehkan pada saat terjadi keadaan darurat yang mengancam negara ;
b. Diperbolehkan demi menjaga kepentingan umum ; c. Diperbolehkan demi melindungi hak-hak orang lain.
Penjelasan diatas kita lihat bahwa ternyata orang yang sebagai permulaan yang diduga melakukan kegiatan terorisme sama sekali belum mengancam
kepentingan negara, merusak kepentingan umum dan melanggar hak orang lain. Orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme belum melaksanakan
suatu perbuatan. Sehingga, suatu kesalahan pun jelas belum bisa didapatkan atau disimpulkan.
Jika dilihat ke atas, penyadapan orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme itu juga termasuk dalam pelanggaran Hak Azasi Manusia. Hal
merupakan kesimpulan bahwa orang yang sebagai permulaan diduga melakukan kegiatan terorisme itu adalah korban. Korban yang dimaksudkan adalah korban
dari aparat penegak hukum.
Pasal 1 ayat 6 pelanggaran Hak Azasi Manusia yaitu setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun
tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan ataupun mencabut Hak Azasi Manusia seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang nomor 39 tahun 1999, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan akan tidak mempunyai penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekasnisme hukum yang berlaku. Penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Negara adalah salah satu bentuk
pengurangan atau pembatasan Hak Azasi Manusia oleh Aparat. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana Pasal 1 butir 14 KUHAP.
Pasal 1 butir 20 KUHAP tercantum kalimat bahwa “terdapat cukup bukti dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Dari rangkaian kalimat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa cukup bukti menurut KUHAP adalah sama dengan alat bukti minimal sebagaimana diatur dalam pasal 183 dan 184 KUHAP.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah sama dengan alat bukti yang sah.
46
46
HMA Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktek Hukum, UMM Press, Malang 2008 hal 28
Jika dikaitkan dengan pasal 32 ayat 3 Undang-undang Intelijen negara nomor 17 tahun 2011, bahwa memang benar bahwa apabila sudah ada bukti permulaan
yang cukup dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Namun yang menjadi permasalahan adalah orang tersebut sama sekali belum melakukan kejahatan atau
masih diduga.
Penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara terhadap orang yang diduga melakukan terorisme adalah bertentangan dengan Hak Azasi
Manusia. Dari sisi perbuatannya jelas, pelaku yang disadap itu belum melakukan tindak pidana. Jadi disini belum ada unsur kesalahan. Kemudian jika dilihat dari
sisi perbuatannya, sama sekali perbuatan terorisme itu belum ada. Sehingga jelas belum ada akibat yang ditimbulkan. Dalam pelanggaran Hak Azasi Manusia,
dapat kita lihat pelanggaran itu terjadi apabila ada pembatasan dan pengurangan hak warga negara. Artinya, ada akibat yang ditimbulkan, yaitu pengurangan hak.
Sedangkan orang yang sebagai permulaan diduga melakukan terorisme, sama sekali belum menimbulkan akibat.
Maka dengan demikian, pasal 32 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang mengatur tentang kebebasan dalam bertukar informasi, apabila diterapkan
pada orang yang sebagai permulaan diduga terorisme adalah merupakan pelanggaran Hak Azasi Manusia. Karena adanya hak yang dibatasi yaitu hak
untuk bertukar informasi. Kemudian dipertegas dalam pasl 1 ayat 6 undang- undang nomor 39 tahun 1999 bahwa jika ada pembatasan hak yang dilakukan oleh
negara, maka hal itu adalah pelanggaran Hak Azasi Manusia. Hal ini tentu saja bertentangan dengan UDHR yang menjunjung asas persamaan
di depan hukum equality before the law sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 UDHR.
2. Perspektif Pelanggaran Hak Sipil dan Politik