B. Rumusan Masalah
Berdasarkan  uraian  latar  belakang  permasalahan  di  atas  maka  dapat dirumuskan  permasalahan  sebagai  ruang  lingkup  pembahasan  penulis  di  dalam
penelitian ini: 1.  Bagaimana kebijakan kriminal mengenai tindak pidana dalam undang-
undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika? 2.  Bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dengan tujuan pemidanaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a.  Untuk  mengetahui  pengaturan  hukum  mengenai  tindak  pidana
narkotika  menurut  undang-undang  nomor  35  tahun  2009  tentang narkotika.
b.  Untuk  mengetahui  relevansi  sanksi  pidana  mati  dalam  tindak pidana narkotika Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dengan
tujuan pemidanaan.
2. Manfaat Penulisan
Dari  pembahasan  skripsi  ini,  diharapkan  memberikan  manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu:
a.  Teoritis
Universitas Sumatera Utara
1  Penulisan  ini  diharapkan  dapat  memberikan  pemikiran  dalam rangka
perkembangan ilmu
hukum pada
umumnya, perkembangan  Hukum  Pidana  dan  khususnya  masalah  Pidana
mati  dalam  Undang-Undang  nomor  35  tahun  2009  mengenai narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan.
2  Hasil  penulisan  diharapkan  dapat  memberikan  sumbangan informasi  kepada  pendidikan  ilmu  hukum  mengenai  Pidana
mati  dalam  Undang-Undang  nomor  35  tahun  2009  mengenai narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan.
3  Penulisan  ini  diharapkan  dapat  memberikan  sumbangan pemikiran kepada pembuat Undang-Undang dalam menetapkan
kebijaksanaan  lebih  lanjut  terhadap  hukum  Pidana  Mati, terkhusus dalam tindak pidana Narkotika.
b.  Praktis 1  Penulisan  ini  diharapkan  dapat  memberikan  masukan  kepada
praktisi,  civitas  akademika  dan  pihak  pemerintah  Indonesia sendiri  dalam  upaya  mengantisipasi  terjadinya  kejahatan
penyalahgunaan  Narkotika  khususnya  yang  dapat  dijatuhi pidana mati.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi  ini  berjudul  “Relevansi  Sanksi  Pidana  Mati  Dalam  Tindak Pidana  Narkotika  Undang-Undang  Nomor  35  tahun  2009  Dengan  Tujuan
Pemidanaan”. Sejauh pengamatan penulis pada Repository Universitas Sumatera
Universitas Sumatera Utara
Utara  dan  pencarian  pada  world  wide  web  serta  sepengetahuan  tentang permasalahan  yang  menjadi  penelitian  skripsi  ini  belum  pernah  mendapati  dan
melihat  kesamaan  masalah  pada  penulisan  skripsi  ini  dengan  skripsi  yang  sudah ada  terdahulu  sehingga  penulis  ingin  dan  berani  membuat  judul  di  atas  dan
permasalahannya sebagai judul dan bahan dalam skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan.
6. Pengertian Hukum Pidana
Beberapa  pendapat  pakar  hukum  dari  barat  Eropa  mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut
14
:
a. Pompey, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah  keseluruhan
aturan  ketentuan  hukum  mengenai  perbuatan-perbuatan  yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
b. Apeldoorn,  menyatakan  bahwa  Hukum  Pidana  dibedakan  dan
diberikan arti: 1  Bagian  objektif  merupakan  suatu  perbuatan  atau  sikap  yang
bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum  yang menyebabkan tuntutan hukum dengan
ancaman pidana atas pelanggarannya. 2  Bagian  subjektif  merupakan  kesalahan  yang  menunjuk
kepada  pelaku  untuk  dipertanggungjawabkan  menurut hukum.
14
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Op.cit., hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Hukum  pidana  formal  yang  mengatur  cara  bagaimana  hukum pidana materiil dapat ditegakkan.
c. D. Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana
dalam arti: 1  Objektif ius poenale, yang meliputi:
a  Perintah  dan  larangan  yang  pelanggarannya  diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak
b  Ketentuan-ketentuan  yang  mengatur  upaya  yang  dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar,  yang dinamakan
Hukum Pentiensier. 2  Subjektif ius puniendi, yaitu:
Hak  negara  menurut  hukum  untuk  menuntut  pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
d. VOS,  menyatakan  bahwa  Hukum  Pidana  diberikan  dalam  arti
bekerjanya sebagai
15
: 1  Peraturan hukum objektif ius poenale yang dibagi menjadi:
a  Hukum  Pidana  materiil  yaitu  peraturan  tentang  syarat- syarat  bilamana,  siapa  dan  bagaimana  sesuatu  dapat
dipidana. b  Hukum Pidana formal yaitu hukum acara pidana.
2  Hukum  subjektif  ius  punaenandi,  yaitu  meliputi  hukum yang  memberikan  kekuasaan  untuk  menetapkan  ancaman
15
Ibid., hal. 5
Universitas Sumatera Utara
pidana,  menetapkan  putusan  dan  melaksanakan  pidana  yang hanya  dibebankan  kepada  negara  atau  pejabat  yang  ditunjuk
untuk itu. 3  Hukum  pidana  umum  algemene  strafrecht,  yaitu  dalam
bentuknya  sebagai  ius  special  seperti  hukum  pidana  militer, dan sebagai ius singular seperti hukum pidana fiscal.
e. Algra  Janssen,  mengatakan  bahwa  hukum  pidana  adalah  alat
yang  dipergunakan  oleh  seorang  penguasa  hakim  untuk memperingati  mereka  yang  telah  melakukan  suatu  perbuatan
yang  tidak  dibenarkan,  reaksi  dari  penguasa  tersebut  mencabut kembali  sebagian  dari  perlindungan  yang  seharusnya  dinikmati
oleh  terpidana  atas  nyawa,  kebebasan,  dan  harta  kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.
Beberapa  pendapat  pakar  Hukum  Indonesia  mengenai  Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut
16
: a.
Moeljatno  mengatakan  bahwa  Hukum  Pidana  adalah  bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: 1  Menentukan  perbuatan  mana  yang  tidak  boleh  dilakukan,
yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
16
Ibid. hal. 6
Universitas Sumatera Utara
2  Menentukan  kapan  dan  dalam  hal-hal  apa  kepada  mereka yang  telah  melanggar  larangan-larangan  itu  dapat  dikenakan
atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3  Menentukan  dengan  cara  bagaimana  pengenaan  pidana  itu
dapat  dilaksanakan  apabila  ada  orang  yang  disangka  telah melanggar larangan tersebut. Poernomo, 1985: 19-22
b. Satochid  Kartanegara,  bahwa  Hukum  Pidana  dapat  dipandang
dari beberapa sudut, yaitu: 1  Hukum  Pidana  dalam  arti  objektif,  yaitu  sejumlah  peraturan
yang  mengandung  larangan-larangan  atau  keharusan- keharusan
terhadap pelanggarannya
diancam dengan
hukuman. 2  Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan
yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
c. Soedarto,  mengatakan  bahwa  hukum  pidana  merupakan  sistem
sanksi  yang  negatif,  ia  diterapkan,  jika  sarana  lain  sudah  tidak memadai,  maka  hukum  pidana  dapat  dikatakan  mempunyai
fungsi,  yang  subsider.  Pidana  termasuk  juga  tindakan maatregelen, bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan,
sesuatu  yang dirasakan tidak enak oleh orang lain  yang dikenai, oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk
memberikan alasan pembenaran justification pidana itu.
Universitas Sumatera Utara
d. Martiman  Prodjohamidjojo,  Hukum  Pidana  adalah  bagian  dari
keseluruhan  hukum  yang  berlaku  di  suatu  negara,  yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
17
: 1  Menentukan  perbuatan-perbuatan  mana  yang  tidak  boleh
dilakukan,  yang  dilarang,  dengan  disertai  ancaman  atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2  Menentukan  kapan  dan  dalam  hal  apa  kepada  mereka  yang telah  melakukan  larangan-larangan  itu  dapat  dikenakan  atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3  Menentukan  dengan  cara  bagaimana  pengenaan  pidana  itu
dapat  dilaksanakan  apabila  orang  yang  diduga  telah melanggar ketentuan tersebut.
e. Roeslan  Saleh,  mengatakan  bahwa  setiap  perbuatan  yang  oleh
masyarakat  dirasakan  sebagai  perbuatan  yang  tidak  boleh  atau tidak  dapat  dilakukan  sehingga  perlu  adanya  penekanan  pada
perasaan  hukum  masyarakat.  Oleh  karena  itu,  sesuatu  perbuatan pidana  berarti  perbuatan  yang  menghambat  atau  bertentangan
dengan  tercapainya  tatanan  dalam  pergaulan  yang  dicita-citakan masyarakat.  Sehingga  isi  pokok  dari  definisi  Hukum  Pidana  itu
dapat disimpulkan sebagai berikut: 1  Hukum Pidana sebagai hukum positif.
17
Ibid., hal. 8
Universitas Sumatera Utara
2  Substansi  Hukum  Pidana  adalah  hukum  yang  menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan
bagi pelakunya. f.
Bambang  Poernomo,  menyatakan  bahwa  Hukum  Pidana  adalah hukum  sanksi.  Definisi  ini  diberikan  berdasarkan  ciri  hukum
pidana  yang  membedakan  dengan  lapangan  hukum  yang  lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma
sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-
norma  diluar  hukum  pidana.  Secara  tradisional  definisi  hukum pidana  dianggap  benar  sebelum  hukum  pidana  berkembang
dengan pesat. Berdasarkan  pendapat  ahli  dan  pakar  hukum  di  atas,  Teguh
Prasetyo  dalam  bukunya
18
membuat  kesimpulan,  dan  menyatakan Hukum Pidana adalah sekumpulan peraturan hukum  yang dibuat oleh
negara,  yang  isinya  berupa  larangan  maupun  keharusan,  sedang  bagi pelanggar  terhadap  larangan  dan  keharusan  tersebut  dikenakan  sanksi
yang dapat dipaksakan oleh negara. Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum public yang berisi
ketentuan tentang: a.
Aturan  hukum  pidana  dan  larangan  melakukan  perbuatan- perbuatan  tertentu  yang  disertai  dengan  ancaman  berupa  sanksi
18
Ibid. hal. 9
Universitas Sumatera Utara
pidana  bagi  yang  melanggar  larangan  itu.  Aturan  umum  hukum pidana dapat dilihat dalam KUHP maupun yang lainnya.
b. Syarat-syarat  tertentu  yang  harus  dipenuhi  bagi  si  pelanggar
untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana. Berisi tentang: 1  Kesalahanschuld
2  Pertanggungjawaban pidana
pada diri
si pembuattoerekeningsvadbaarheid.  Dalam  Hukum  pidana
dikenal  asas  geen  straf  zonder  schuld  tiada  pidana  tanpa kesalahan,  artinya  seseorang  dapat  dipidana  apabila
perbuatannya  nyata  melanggar  larangan  hukum  pidana.  Hal ini  diatur  pada  Pasal  44  KUHP  tentang  tidak  mampu
bertanggung  jawab  bagi  si  pembuat  atas  perbuatannya,  dan Pasal 48 KUHP tentang tidak dipidananya si pembuat karena
dalam  keadaan  daya  paksa  overmacht,  kedua  keadaan  ini termasuk  dalam  “alasan  penghapus  pidana”,  merupakan
sebagian dari bab II buku II KUHP. c.
Tindakan dan upaya yang harus dilakukan negara melalui aparat hukum  terhadap  tersangkaterdakwa  sebagai  pelanggar  hukum
pidana dalam
rangka menentukan
menjatuhkan dan
melaksanakan  sanksi  pidana  terhadap  dirinya  serta  upaya-upaya yang  dapat  dilakukan  oleh  tersangkaterdakwa  dalam  usaha
mempertahankan  hak-haknya.  Dikatakan  sebagai  hukum  pidana dalam  arti  bergerak  formal  memuat  aturan  tentang  bagaimana
Universitas Sumatera Utara
negara  harus  berbuat  dalam  rangka  menegakkan  hukum  pidana dalam arti diam materiil sebagaimana dilihat pada angka 1 dan
2 di atas.
7. Pengertian Pidana Mati
Pidana  berasal  dari  kata  straf  Belanda,  yang  pada  dasarnya dapat  dikatakan  sebagai  suatu  penderitaan  nestapa  yang  dikenakan
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana
19
. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah  hukuman  yang  berasal  dari  kata  straf,  merupakan  istilah  yang
konvensional.  Moeljatno  menggunakan  istilah  yang  inkonvensional, yaitu pidana
20
. Pengertian Pidana menurut doktrin dapat diketahui dari pendapat
para ahli yang dapat dikemukakan, antara lain:
21
a. van Hamel:
Suatu  penderitaan  yang  bersifat  khusus,  yang  telah  dijatuhkan oleh  kekuasaan  yang  berwenang  untuk  menjatuhkan  pidana  atas
nama  negara  sebagai  penanggung  jawab  dari  ketertiban  hukum umum  bagi  seorang  pelanggar,  yakni  semata-mata  karena  orang
tersebut  telah  melanggar  suatu  peraturan  hukum  yang  harus ditegakkan negara.
22
b. Simons:
19
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, Medan: USU press, 2011. hal.2
20
Muladi  dan  Barda  Nawawi  Arief,  Teori-Teori  dan  Kebijakan  Pidana,  Bandung: Alumni, 2005, hal.1
21
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit., hlm. 4
22
P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hal.34
Universitas Sumatera Utara
“Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm  verbonden,  data  an  den  schuldige  bij  rechterlijk  vonnis
wordt opgelegd.” yang dapat diartikan sebagai berikut: Suatu  penderitaan  yang  oleh  Undang-Undang  pidana  telah
dikaitkan  dengan  pelanggaran  terhadap  suatu  norma,  yang dengan  suatu  putusan  hakim  telah  dijatuhkan  bagi  seseorang
yang bersalah.
23
c. Sudarto:
Pidana  adalah  penderitaan  yang  sengaja  dibebankan  kepada orang  yang  melakukan  perbuatan  yang  memenuhi  syarat-syarat
tertentu.
24
d. Roeslan Saleh:
Pidana  adalah  reaksi  atas  delik  dan  ini  berwujud  suatu  nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
25
e. Ted Honderich:
“Punishment  is  an  authority’s  infliction  of  penalty  something involving deprivation or distress on an offender for an offence.”,
yang dapat diartikan sebagai berikut: Pidana  adalah  suatu  penderitaan  dari  pihak  yang  berwenang
sebagai  hukuman  Sesuatu  yang  meliputi  pencabutan  dan
23
Ibid., hal.35
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2
25
Ibid
Universitas Sumatera Utara
penderitaan  yang  dikenakan  kepada  seorang  pelaku  karena sebuah pelanggaran.
26
Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut
27
: 3  Pada  Hakikatnya  merupakan  suatu  pengenaan  penderitaan  atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 4  Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan oleh yang berwenang; 5  Dikenakan  kepada  seseorang  yang  telah  melakukan  tindak  pidana
menurut Undang-Undang Hukum Pidana.
Berdasarkan  penjelasan  di  atas,  maka  dapat  disimpulkan  bahwa pidana mati  merupakan  pidana reaksi  atas delik atau nestapa berupa
kematian  yang  dikenakan  kepada  orang  yang  telah  melakukan  tindak pidana  atau  pembuat  delik.  Kata  “kematian”  yang  dimaksud  berasal
dari  kata  dasar  “mati”  yang  berarti  tidak  bernyawa  atau  hilangnya nyawa tidak hidup lagi
8. Pengertian Tindak Pidana
Istilah  “peristiwa  pidana”  atau  “tindak  pidana”  adalah  sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”. Dalam
bahasa  Indonesia  di  samping  istilah  “peristiwa  pidana”  untuk terjemahan  “Strafbaar”  atau  “delict”  itu  sebagaimana  yang  dipakai
26
Muhammad  Taufik  Makarao,  Pembaharuan  Hukum  Pidana  Indonesia,  Studi  tentang Bentuk-Bentuk  Pidana  Khususnya  Pidana  Cambuk  Sebagai  Suatu  Bentuk  Pemidanaan,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hal. 18
27
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992, hal. 23
Universitas Sumatera Utara
oleh Mr. R. Tresna dan  E. Utrecht dikenal  pula beberapa terjemahan yang lain, seperti
28
:
a. Tindak  pidana  antara  lain  dalam  Undang-Undang  tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. Peristiwa  pidana  Prof.  Mulyatmo,  dalam  pidato  Dies  Natalis
Universitas Gajah Mada VI pada tahun 1955 di Yogyakarta;
c. Pelanggaran  Pidana  Mr.  M.H.  Tirtaamidjaya,  Pokok-Pokok
Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta, 1955;
d. Perbuatan  yang  boleh  dihukum  Mr.Karni,  Ringkasan  tentang
Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959;
e. Perbuatan  yang  dapat  dihukum  Undang-Undang  No.12Drt
Tahun  1951,  pasal  3,  tentang  Mengubah  Ordonnantie  Tijdelijk Bijzondere Strafberpalingen.
Sebuah  pidana  diberikan  kepada  orang  yang  telah  melakukan suatu  perbuatan  pidana,  tindakan  pidana  atau  delik  pidana.  Seperti
yang  diungkapkan  oleh  seorang  ahli  hukum  pidana  yaitu  Meljatno
29
, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istlah
beliau  yakni  perbuatan  pidana  adalah  perbuatan  yang  dilarang  oleh suatu  aturan  hukum  larangan  mana  disertai  ancaman  sanksi  yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Sehubungan  dengan  hal  pengertian  tindak  pidana  ini  Bambang
Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana
28
C.  S.  T.  Kansil  ,  Engelien  R.  Palendeng,,  dan  Altje  Agustin  Musa,  Tindak  Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009. Hal. 1
29
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Hal. 54
Universitas Sumatera Utara
akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut; Bahwa perbuatan pidana  adalah  suatu  perbuatan  yang  oleh  suatu  aturan  hukum  pidana
dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
Suatu  tindak  pidana  baru  dapat  disebut  suatu  perbuatan  pidana jika  telah  memenuhi  beberapa  unsur,  baik  unsur  subjektif  maupun
unsur objektif.  Unsur subjektif adalah unsur-unsur  yang melekat  pada diri  si  pelaku  atau  yang  berhubungan  dengan  diri  si  pelaku,  dan
termasuk ke dalamnya  yaitu segala sesuatu  yang terkandung di dalam hatinya.  Sedangkan  unsur  objektif  adalah  unsur-unsur  yang  ada
hubungannya  dengan  keadaan-keadaan,  yaitu  di  dalam  keadaan- keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan
30
.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.  Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau Culpa; 2.  Maksud  atau  Voornemen  pada  suatu  percobaan  atau  pogging
seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP; 3.  Macam-macam  maksud  atau  oogmerk  seperti  yang  terdapat
misalnya  di  dalam  kejahatan-kejahatan  pencurian,  penipuan, pemerasaan, pemalsuan dan lain-lain;
4.  Merencanakan  terlebih  dahulu  atau  voorbedachte  raad  seperti yang  terdapat  di  dalam  kejahatan  pembunuhan  menurut  Pasal
340 KUHP;
30
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
5.  Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.  Sifat melanggar hukum atau wederrechterlijkheid; 2.  Kualitas  dari  si  pelaku,  misalnya  keadaan  sebagai  seorang
pegawai  negeri  di  dalam  kejahatan  jabatan  menurut  pasal  415 KUHP  atau  keadaan  sebagai  pengurus  atau  komisaris  dari  suatu
Perseroan  Terbatas  di  dalam  kejahatan  menurut  Pasal  398n KUHP.
3.  Kausalitas  yakni  hubungan  antara  suatu  tindak  pidana  sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang  ahli  hukum  yakni  Simons  merumuskan  tindak  pidana sebagai berikut
31
: 1.  Diancam dengan pidana oleh Hukum
2.  Bertentangan dengan Hukum 3.  Dilakukan oleh orang yang bersalah
4.  Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
9. Tujuan Pemidanaan
Andi  Hamzah  dan  A.  Simangelipu  menyatakan,  bahwa pertanyaan  yang  berabad-abad  belum  terjawab  adalah  apakah
sebenarnya  tujuan  penjatuhan  pidana  pemidanaan  itu?  Dari  sekian banyak jawaban, belum ada yang memuaskan semua pihak. Ada yang
31
Andi Hamzah, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004. Hal.88
Universitas Sumatera Utara
memberikan jawaban untuk memperbaiki si penjahat. Apabila memang hanya  bertujuan  untuk  itu,  maka  tidaklah  sesuai  bagi  penjatuhan
pidana  mati  dan  pidana  seumur  hidup.  Oleh  karena  itu  tindakan memasukan  seorang  anak  yang  melakukan  kejahatan  ke  dalam
pendidikan  anak  nakal  merupakan  contoh  yang  sesuai  untuk  disebut sebagai  bertujuan  untuk  memperbaiki  penjahat.  Tujuan  untuk
memperbaiki  penjahat  menjadi  warga  negara  yang  baik,  sesuai  jika terpidana  masih  ada  harapan  untuk  diperbaiki,  terutama  pelaku  delik-
deik  tanpa  korban  victimless  crime.  Namun  untuk  kejahatan  yang sangat  menyinggung  asas-asas  kemanusiaan,  maka  sulit  untuk
menghilangkan  sifat  penjeraan  deterent  ataupun  sifat  pembalasan revenge pidana yang akan dijatuhkan.
32
Menurut  P.A.F.  Lamintang  pada  dasarnya  terdapat  tiga  pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan,
yaitu sebagai berikut 1.  untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;
2.  untuk  membuat  orang  menjadi  jera  untuk  melakukan  kejahatan- kejahatan;
3.  untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk  melakukan kejahatan-kejahatan  yang lain,  yakni  penjahat-
32
Andi Hamzah dan A. Simangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Hal. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
penjahat  yang  dengan  cara-cara  yang  lain  sudah  tidak  dapat diperbaiki lagi.
33
Dari  beberapa  Literatur  dapat  kita  lihat  bahwa  ada  beberapa tujuan pemidanaan sebagai berikut:
1.  Pembalasan  Retribution  maksudnya  bahwa  tujuan  pemidanaan adalah  hanya  pembalasan  terhadap  terpidana  yang  melakukan
tindak  pidana.  Terpidana  yang  melakukan  suatu  tindak  pidana wajib  menerima  penderitaan  atau  nestapa  yang  setimpal  dengan
perbuatannya.  Apabila  seseorang  melakukan  pembunuhan  maka pidana  yang  setimpal  dengan  perbuatannya  adalah  dibunuh,
nyawa  ganti  nyawa  dan  gigi  ganti  gigi.  Tujuan  pemidanaan pembalasan  ini  merupakan  yang  tertua  yang  diperkirakan  sudah
ada sejak adanya manusia.
34
2. Prevensi Pencegahan atau Utility Manfaat maksudnya bahwa
tujuan  pemidanaan  diusahakan  bermanfaat  atau  member perlindungan  bagi  terpidana  prevensi  special  maupun
masyarakat  prevensi  general.  Jadi  dalam  tujuan  prevensi  ini, untuk mencegah kejahatan dikenal istilah prevensi umumgeneral
dan prevensi khususspecial. a  Prevensi
umumgeneral yaitu
untuk menakut-
nakutimencegah  anggota  masyarakat  atau  mereka  yang
33
P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal.11.
34
Robin Reagan Sihombing, Op.Cit., Hal. 21
Universitas Sumatera Utara
secara  potensial  melakukan  tindak  pidana  supaya  tidak melakukan tindak pidana.
35
b  Prevensi  khususspecial  yaitu  untuk  mencegah  terpidana agar  jangan  mengulangi  lagi  tindak  pidana  atau  mencegah
kejahatan dalam arti perbaikan atau merehabilitasi terpidana. Menurut  Marry    Negley
36
bahwa  tujuan  penghukuman pemidanaan  adalah  mencegah  seseorang  melakukan  kejahatan
tindak  pidana  dan  bukan  merupakan  pembalasan  dendam  dari masyarakat.  Bukan  kekerasan,  akan  tetapi  kepastian  dan  ketepatan
dalam penjatuhan hukumanlah yang dapat menjamin hasil yang baik.
Lembaga pemenjaraan, pertama kali diadakan atau didirkan agar pelaku  jera.  penutupan  terpidana  dalam  kamar  sel  yang  suram,
terpidana  dipaksa  bekerja  dengan  fasilitas  hidup  yang  relatif  kurang memadai diharapkan terpidana tidak lagi melakukan tindak pidana dan
suatu upaya untuk member perlindungan terhadap masyarakat. Asas  Legalitas  pertama  kali  dikemukakan  oleh  Von  Feurbach
juga  bertujuan  untuk  menakut-nakuti  psikologis  seseorang.  Jika seseorang  mengetahui  bahwa  ia  akan  mendapatkan  suatu  pidana
apabila  ia  melakukan  suatu  tindak  pidana  yang  telah  diatur  oleh Undang-Undang,  maka  ia  akan  berpikir  dua  kali  untuk  melakukan
suatu tindak pidana.
35
Ibid.
36
Marry  Elmer  Barnes    Negley  K.  Teeters.,  New  Horizon  in  Criminology,  atau  dari
Pemenjaraan  ke  Pembinaan  Narapidana.  Terjemahan  Romli  Atmasasmita,  Bandung:  Alumni, 1971. hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan  pemidanaan  prevensi  khusus  ini  termasuk  memperbaiki atau  merehabilitasi  terpidana  agar  menjadi  seseorang  yang  baik  dan
berguna  bagi  masyarakat.  Pemidanaan  harus  diusahakan  dapat merubah sikap dan pandangan terpidana sehingga tidak lagi melakukan
tindak  pidana  pada  masa  yang  akan  datang,  sehingga  masyarakat  pun akan mendapatkan manfaatnya apabila sang terpidana menjadi pribadi
yang  baik.
37
Dewasa  ini  lembaga  pemenjaraan  telah  berubah  fungsi menjadi
tempat merehabilitasi,
memperbaiki, meresosialisasi,
mengintegrasi dan membina terpidana. Terpidana diharapkan tidak lagi melakukan tindak pidana setelah dipidana bahkan menjadi orang yang
berguna bagi masyarakat dan Negara.
10. Narkotika
Masyarakat  luas  mengenal  istilah  Narkotika  yang  kini  telah menjadi  fenomena    berbahaya    yang    populer    di    tengah  masyarakat
kita.  Ada    pula  istilah    lain  yang  kadang  digunakan  adalah  Narkoba Narkotika  dan  Obat-Obatan  berbahaya  sedangkan  oleh  Departemen
Kesehatan  RI  menyebutnya  sebagai  NAPZA  Narkotika  Psikotropika dan obat-obatan lainnya. Dengan hadirnya Undang-Undang  Nomor 35
tahun  2009  maka  beberapa  pengaturan  mengenai  psikotropika  dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru.
a. Definisi Narkotika
37
Robin Reagan Sihombing, Op.Cit. Hal. 23
Universitas Sumatera Utara
Secara Etimologi Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan narcocis yang berarti membius.
Sifat  zat  tersebut  terutama  berpengaruh  pada  otak  sehingga menimbulkan  perubahan  pada  perilaku,  perasaan,  pikiran,  persepsi,
kesadaran,  halusinasi,  di  samping  dapat  digunakan  untuk  pembiusan. Di  Malaysia  benda  berbahaya  ini  disebut  dengan  dadah.  Dulu  di
Indonesia dikenal dengan sebutan madat. Menurut Sudarto Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani
“Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai
“a  drug  that  dulls  the  senses,  relieves  pain  induces  sleep  an  can produce  addiction  in  varying  degrees”  sedang  “drug”  diartikan
sebagai:  Chemical  agen  that  is  used  therapeuthically  to  treat diseaseMorebroadly,  a  drug  maybe  delined  as  any  chemical  agen
attecis  living  protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan  yang menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya
38
. Dalam  buku  narkotika  Masalah  dan  Bahayanya,  M.  Ridha
Ma ‟roef 1976: 14-15 mengutip beberapa pendapat Smith Kline dan
French  Clinical  Staff  dan  Biro  dan  Bea  Cukai  Amerika  Serikat menyangkut pengertian narkotika.
38
Djoko  Prakoso.  Bambang  Riyadi  Lany  dan  Muhksin,  Kejahatan-Kejahatan  yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Hlm. 480
Universitas Sumatera Utara
Menurut  Smith  Kline  dan  French  Clinical  Staff  1968
39
membuat definisi sebagai berikut: “Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due
to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivaties morphine, codein,
heroin and synthetic opiates meperidine, methadone”. Artinya lebih kurang sebagai berikut:
“Narkotika  adalah  zat-zat  obat  yang  dapat  mengakibatkan ketidaksadaran  atau  pembiusan  dikarenakan  zat-zat  tersebut
bekerja  mempengaruhi  susunan  syaraf  sentral.  Dalam  definisi narkotika  ini  sudah  termasuk  jenis  candu  dan  turunan  candu
morphine, codein,  heroine dan candu sintesis  meperidine dan
methadone.” Sedangkan  definisi  lainnya  dari  Biro  Bea  dan  Cukai  Amerika
Serikat dalam  buku  “Narcotic  Identification  Manual”  1973  antara
lain mengatakan: “Bahwa  yang  dimaksud  dengan  narkotika  ialah  candu,  ganja,
cocaine,  zat-zat  yang  bahan  mentahnya  diambil  dari  benda- benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashish, cocaine.
Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat  yang  tergolong  Hallucinogen,  Depressant  dan
Stimulant.
Dari kedua
definisi tersebut,
M. Ridha
Ma‟Roef menyimpulkan
40
: 1.  Bahwa  narkotika  ada  dua  macam,  yaitu  narkotika  alam  dan
narkotika  sintesis.  Yang  termasuk  narkotika  alam  ialah  berbagai jenis  candu,  morphine,  heroin,  ganja,  hashish,  codeine,  dan
cocaine.  Narkotika  alam  alam  ini  termasuk  dalam  pengertian narkotika  sempit.  Sedang  narkotika  sintetis  adalah  termasuk
pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk di  dalamnya  zat-zat  obat  yang  tergolong  dalam  tiga  jenis  obat,
yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant;
2.  Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang
akibatnya dapat
menimbulkan ketidaksadaran
atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan.
39
Hari  Sasangka,    Narkotika  dan  Psikotropika  Dalam  Hukum  Pidana,  Jember:  Mandar Maju, 2003. Hlm 33
40
Ibid. Hal. 34
Universitas Sumatera Utara
3.  Bahwa  narkotika  dalam  pengertian  di  sini  adalah  mencakup  obat-
obat  bius  dan  obat-obat  berbahaya  atau  narcotic  and  dangerous drugs.
b. Jenis-Jenis Narkotika
Dalam  UU  No.35  Tahun  2009  sendiri  telah  disebutkan  macam- macam  narkotika  yang  telah  diberikan  penggolongan.  Zatobat  yang
dikategorikan  sebagai  narkotika  dalam  UU  No.35  tahun  2009  tentang Narkotika  digolongkan  menjadi  3  tiga  golongan,  yaitu  sebagai
berikut
41
: 1  Narkotika  Golongan  I  Narkotika  yang  hanya  dapat  digunakan
untuk  tujuan  pengembangan  ilmu  pengetahuan  dan  tidak digunakan  dalam  terapi  serta  mempunyai  potensi  yang  sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan, yang menurut lampiran UU No.35 tahun 2009 terdiri dari:
a  Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya;
b  Opium  mentah,  yaitu  getah  yang  membeku  sendiri,  diperoleh dari  buah  tanaman  Papaver  Somniferum  L  yang  hanya
mengalami  pengolahan  sekedar  untuk  pembungkus  dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar moprhinnya;
c  Opium masak terdiri dari:
41
AR.  Sujon.  dan  Bony  Daniel,  Komentar  dan  Pembahasan  Undang-Undang  No.  35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Hal
Universitas Sumatera Utara
i. candu, hasil yang diperoleh dari opim mentah melalui suatu
rentetan pengolahan
khususnya dengan
pelarutan, pemanasan  dan  peragian  dengan  atau  tanpa  penambahan
bahan-bahan  lain,  dengan  maksud  mengubahnya  menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan;
ii. jicing,  sisa-sisa  dari  candu  setelah  dihisap,  tanpa
memperhatikan  apakah  candu  itu  dicampur  dengan  daun atau bahan lain;
iii. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
d  Tanaman  koka,  tanaman  dari  semua  genus  Erythroxylon  dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya;
e  Daun  Koka,  daun  yang  belum  atau  sudah  dikeringkan  atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus  Erythroxylon
dari  keluarga  Erythoxylaceae  yang  menghasilkan  kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia;
f  Kokain  mentah,  semua  hasil-hasil  yang  diperoleh  dari  daun koka  yang  dapat  diolah  secara  langsung  untuk  mendapatkan
kokaina; g  kokaina, metal ester-1-bensoil ekgonina;
h  Tanaman  ganja,  semua  tanaman  genus-genus  cannabis  dan semua  bagian  dari  tanaman  termasuk  biji,  buah,  jerami,  hasil
olahan  tanaman  ganja  atau  bagian  tanaman  ganja  termasuk damar ganja dan hasis;
Universitas Sumatera Utara
i  Tetrahydrocannabinol,  dan  semua  isomer  serta  semua  bentuk stereo kimianya.
2 Narkotika  Golongan  II  narkotika  yang  berkhasiat  pengobatan
digunakan  sebagai  pilihan  terakhir  dan  dapat  digunakan  dalam terapi  danatau  untuk  tujuan  pengembangan  ilmu  pengetahuan
serta  mempunyai  potensi  tinggi  mengkibatkan  ketergantungan, yang  menurut  lampiran  Undang-Undang  nomor  35  Tahun  2009
terdiri dari : a  Alfasetilmetadol
b  Alfameprodina c  Alfametadol
d  Alfaprodina e  Alfentanil
f  Allilprodina g  Anileridina
h  Asetilmetdol i  Benzetidin
j  Benzilmorfina k  Betameprodina
l  Betametadol m  Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
3 Narkotika  Golongan  III  narkotika  yang  berkhasiat  pengobatan
dan  banyak  digunakan  dalam  terapi  danatau  untuk  tujuan
Universitas Sumatera Utara
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, yang menurut lampiran Undang-
Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari : a  Asetildihidrokodeina;
b  Dekstropropoksifena; c  Dihidrokodeina;
d  Etilmorfina; e  Kodeina;
f  Nikodikodina; g  Nikokodina;
h  Norkodeina; i  Polkodina;
j  Propiram; k  Buprenorfina;
l  Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut diatas; m  Campuran  atau  sediaan  difenoksin  dengan  bahan  lain  bukan
narkotika; n  Campuran  atau  sediaan  difenoksilat  dengan  bahan  lain  bukan
narkotika.
F. Metode Penelitian
Metode  yang  digunakan  untuk  menjawab  permasalahan  yang  terdapat dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut:
1.  Jenis Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif.  Penelitian  hukum  normatif  yaitu  penelitian  yang  menggunakan
bahann pustaka atau data sekunder  yang diperoleh dari berbagai  literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.
2.  Data dan Sumber data Data  yang  dipergunakan  dalam  penelitian  ini  berupa  data  sekunder.  Data
sekunder  yaitu,  data  dari  bahan-bahan  kepustakaan  yang  antara  lain  meliputi bahan  keperpustakaan  seperti  buku-buku,  literatur,  koran,  majalah,  jurnal
maupun  arsip-arsip  yang  sesuai  dengan  permasalahan  yang  akan  diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a.  Bahan  hukum  Primer,  yaitu  bahan  hukum  yang  isinya  mempunyai kekuatan  hukum  mengikat,  dalam  hal  ini  adalah  norma  atau  kaidah
dasar  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku.  Bahan  Hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah:
1  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 2  Undang-Undang Dasar 1945
3  Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2009  tentang  Peraturan- Peraturan mengenai Narkotika.
b.  Bahan  Hukum  sekunder,  yaitu  bahan-bahan  yang  erat  hubungannya dengan  bahan  hukum  primer  dan  dapat  membantu  menganalisis  serta
memahami  bahan  hukum  primer,  berupa  buku-buku,  hasil  penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
Universitas Sumatera Utara
c.  Bahan  hukum  tersier,  yaitu  bahan-bahan  hukum  yang  mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman  dan  pengertian  atas  bahan  hukum  lainnya.  Bahan  hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan Kamus Hukum. 3.  Metode Pengumpulan data
Studi  Kepustakaan  Library  Research,  yakni  studi  dokumen  dengan mengumpulkan  dan  mempelajari  buku-buku  hukum,  literatur,  tulisan-tulisan
ilmiah,  peraturan  perundang-undangan  dan  bacaan  lainnya  yang  berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
4.  Analisis Data Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.
Maka  pengolahan  data  pada  hakekatnya  merupakan  kegiatan  untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis
data  yang  digunakan  adalah  teknik  analisis  data  kualitatif,  yaitu  dengan mengumpulkan  data,  mengkualifikasikan,  kemudian  menghubungkan  teori
yang  berhubungan  dengan  masalah  dan  akhirnya  menarik  kesimpulan  untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.
G. Sistematika Penulisan