Rumusan Masalah Keaslian Penulisan Metode Penelitian

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai ruang lingkup pembahasan penulis di dalam penelitian ini: 1. Bagaimana kebijakan kriminal mengenai tindak pidana dalam undang- undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika? 2. Bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dengan tujuan pemidanaan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. b. Untuk mengetahui relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dengan tujuan pemidanaan.

2. Manfaat Penulisan

Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu: a. Teoritis Universitas Sumatera Utara 1 Penulisan ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Pidana dan khususnya masalah Pidana mati dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 mengenai narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan. 2 Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai Pidana mati dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 mengenai narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan. 3 Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat Undang-Undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut terhadap hukum Pidana Mati, terkhusus dalam tindak pidana Narkotika. b. Praktis 1 Penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi, civitas akademika dan pihak pemerintah Indonesia sendiri dalam upaya mengantisipasi terjadinya kejahatan penyalahgunaan Narkotika khususnya yang dapat dijatuhi pidana mati.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Relevansi Sanksi Pidana Mati Dalam Tindak Pidana Narkotika Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Dengan Tujuan Pemidanaan”. Sejauh pengamatan penulis pada Repository Universitas Sumatera Universitas Sumatera Utara Utara dan pencarian pada world wide web serta sepengetahuan tentang permasalahan yang menjadi penelitian skripsi ini belum pernah mendapati dan melihat kesamaan masalah pada penulisan skripsi ini dengan skripsi yang sudah ada terdahulu sehingga penulis ingin dan berani membuat judul di atas dan permasalahannya sebagai judul dan bahan dalam skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan.

6. Pengertian Hukum Pidana

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat Eropa mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut 14 :

a. Pompey, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan

aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

b. Apeldoorn, menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dan

diberikan arti: 1 Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya. 2 Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. 14 Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. Op.cit., hal. 4 Universitas Sumatera Utara Hukum pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan.

c. D. Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana

dalam arti: 1 Objektif ius poenale, yang meliputi: a Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak b Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Pentiensier. 2 Subjektif ius puniendi, yaitu: Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

d. VOS, menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan dalam arti

bekerjanya sebagai 15 : 1 Peraturan hukum objektif ius poenale yang dibagi menjadi: a Hukum Pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat- syarat bilamana, siapa dan bagaimana sesuatu dapat dipidana. b Hukum Pidana formal yaitu hukum acara pidana. 2 Hukum subjektif ius punaenandi, yaitu meliputi hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman 15 Ibid., hal. 5 Universitas Sumatera Utara pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. 3 Hukum pidana umum algemene strafrecht, yaitu dalam bentuknya sebagai ius special seperti hukum pidana militer, dan sebagai ius singular seperti hukum pidana fiscal.

e. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat

yang dipergunakan oleh seorang penguasa hakim untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana. Beberapa pendapat pakar Hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut 16 : a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: 1 Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 16 Ibid. hal. 6 Universitas Sumatera Utara 2 Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Poernomo, 1985: 19-22 b. Satochid Kartanegara, bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu: 1 Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan- keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. 2 Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. c. Soedarto, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dapat dikatakan mempunyai fungsi, yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan maatregelen, bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran justification pidana itu. Universitas Sumatera Utara d. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk 17 : 1 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya. 2 Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. e. Roeslan Saleh, mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu, sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan masyarakat. Sehingga isi pokok dari definisi Hukum Pidana itu dapat disimpulkan sebagai berikut: 1 Hukum Pidana sebagai hukum positif. 17 Ibid., hal. 8 Universitas Sumatera Utara 2 Substansi Hukum Pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya. f. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma- norma diluar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat. Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas, Teguh Prasetyo dalam bukunya 18 membuat kesimpulan, dan menyatakan Hukum Pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan, sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara. Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum public yang berisi ketentuan tentang: a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan- perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi 18 Ibid. hal. 9 Universitas Sumatera Utara pidana bagi yang melanggar larangan itu. Aturan umum hukum pidana dapat dilihat dalam KUHP maupun yang lainnya. b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana. Berisi tentang: 1 Kesalahanschuld 2 Pertanggungjawaban pidana pada diri si pembuattoerekeningsvadbaarheid. Dalam Hukum pidana dikenal asas geen straf zonder schuld tiada pidana tanpa kesalahan, artinya seseorang dapat dipidana apabila perbuatannya nyata melanggar larangan hukum pidana. Hal ini diatur pada Pasal 44 KUHP tentang tidak mampu bertanggung jawab bagi si pembuat atas perbuatannya, dan Pasal 48 KUHP tentang tidak dipidananya si pembuat karena dalam keadaan daya paksa overmacht, kedua keadaan ini termasuk dalam “alasan penghapus pidana”, merupakan sebagian dari bab II buku II KUHP. c. Tindakan dan upaya yang harus dilakukan negara melalui aparat hukum terhadap tersangkaterdakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka menentukan menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya serta upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh tersangkaterdakwa dalam usaha mempertahankan hak-haknya. Dikatakan sebagai hukum pidana dalam arti bergerak formal memuat aturan tentang bagaimana Universitas Sumatera Utara negara harus berbuat dalam rangka menegakkan hukum pidana dalam arti diam materiil sebagaimana dilihat pada angka 1 dan 2 di atas.

7. Pengertian Pidana Mati

Pidana berasal dari kata straf Belanda, yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan nestapa yang dikenakan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana 19 . Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana 20 . Pengertian Pidana menurut doktrin dapat diketahui dari pendapat para ahli yang dapat dikemukakan, antara lain: 21

a. van Hamel:

Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan negara. 22

b. Simons:

19 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, Medan: USU press, 2011. hal.2 20 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005, hal.1 21 Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit., hlm. 4 22 P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hal.34 Universitas Sumatera Utara “Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” yang dapat diartikan sebagai berikut: Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 23

c. Sudarto:

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 24

d. Roeslan Saleh:

Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu. 25

e. Ted Honderich:

“Punishment is an authority’s infliction of penalty something involving deprivation or distress on an offender for an offence.”, yang dapat diartikan sebagai berikut: Pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman Sesuatu yang meliputi pencabutan dan 23 Ibid., hal.35 24 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2 25 Ibid Universitas Sumatera Utara penderitaan yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran. 26 Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut 27 : 3 Pada Hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 4 Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang; 5 Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati merupakan pidana reaksi atas delik atau nestapa berupa kematian yang dikenakan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana atau pembuat delik. Kata “kematian” yang dimaksud berasal dari kata dasar “mati” yang berarti tidak bernyawa atau hilangnya nyawa tidak hidup lagi

8. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”. Dalam bahasa Indonesia di samping istilah “peristiwa pidana” untuk terjemahan “Strafbaar” atau “delict” itu sebagaimana yang dipakai 26 Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hal. 18 27 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1992, hal. 23 Universitas Sumatera Utara oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht dikenal pula beberapa terjemahan yang lain, seperti 28 :

a. Tindak pidana antara lain dalam Undang-Undang tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

b. Peristiwa pidana Prof. Mulyatmo, dalam pidato Dies Natalis

Universitas Gajah Mada VI pada tahun 1955 di Yogyakarta;

c. Pelanggaran Pidana Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok

Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta, 1955;

d. Perbuatan yang boleh dihukum Mr.Karni, Ringkasan tentang

Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959;

e. Perbuatan yang dapat dihukum Undang-Undang No.12Drt

Tahun 1951, pasal 3, tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere Strafberpalingen. Sebuah pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana, tindakan pidana atau delik pidana. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Meljatno 29 , yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istlah beliau yakni perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana 28 C. S. T. Kansil , Engelien R. Palendeng,, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009. Hal. 1 29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, Hal. 54 Universitas Sumatera Utara akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut; Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Suatu tindak pidana baru dapat disebut suatu perbuatan pidana jika telah memenuhi beberapa unsur, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan- keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan 30 . Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau Culpa; 2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasaan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 30 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 36. Universitas Sumatera Utara 5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Sifat melanggar hukum atau wederrechterlijkheid; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398n KUHP. 3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Seorang ahli hukum yakni Simons merumuskan tindak pidana sebagai berikut 31 : 1. Diancam dengan pidana oleh Hukum 2. Bertentangan dengan Hukum 3. Dilakukan oleh orang yang bersalah 4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

9. Tujuan Pemidanaan

Andi Hamzah dan A. Simangelipu menyatakan, bahwa pertanyaan yang berabad-abad belum terjawab adalah apakah sebenarnya tujuan penjatuhan pidana pemidanaan itu? Dari sekian banyak jawaban, belum ada yang memuaskan semua pihak. Ada yang 31 Andi Hamzah, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004. Hal.88 Universitas Sumatera Utara memberikan jawaban untuk memperbaiki si penjahat. Apabila memang hanya bertujuan untuk itu, maka tidaklah sesuai bagi penjatuhan pidana mati dan pidana seumur hidup. Oleh karena itu tindakan memasukan seorang anak yang melakukan kejahatan ke dalam pendidikan anak nakal merupakan contoh yang sesuai untuk disebut sebagai bertujuan untuk memperbaiki penjahat. Tujuan untuk memperbaiki penjahat menjadi warga negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama pelaku delik- deik tanpa korban victimless crime. Namun untuk kejahatan yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan, maka sulit untuk menghilangkan sifat penjeraan deterent ataupun sifat pembalasan revenge pidana yang akan dijatuhkan. 32 Menurut P.A.F. Lamintang pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu sebagai berikut 1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri; 2. untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan- kejahatan; 3. untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat- 32 Andi Hamzah dan A. Simangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Hal. 14-15. Universitas Sumatera Utara penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. 33 Dari beberapa Literatur dapat kita lihat bahwa ada beberapa tujuan pemidanaan sebagai berikut: 1. Pembalasan Retribution maksudnya bahwa tujuan pemidanaan adalah hanya pembalasan terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana. Terpidana yang melakukan suatu tindak pidana wajib menerima penderitaan atau nestapa yang setimpal dengan perbuatannya. Apabila seseorang melakukan pembunuhan maka pidana yang setimpal dengan perbuatannya adalah dibunuh, nyawa ganti nyawa dan gigi ganti gigi. Tujuan pemidanaan pembalasan ini merupakan yang tertua yang diperkirakan sudah ada sejak adanya manusia. 34 2. Prevensi Pencegahan atau Utility Manfaat maksudnya bahwa tujuan pemidanaan diusahakan bermanfaat atau member perlindungan bagi terpidana prevensi special maupun masyarakat prevensi general. Jadi dalam tujuan prevensi ini, untuk mencegah kejahatan dikenal istilah prevensi umumgeneral dan prevensi khususspecial. a Prevensi umumgeneral yaitu untuk menakut- nakutimencegah anggota masyarakat atau mereka yang 33 P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal.11. 34 Robin Reagan Sihombing, Op.Cit., Hal. 21 Universitas Sumatera Utara secara potensial melakukan tindak pidana supaya tidak melakukan tindak pidana. 35 b Prevensi khususspecial yaitu untuk mencegah terpidana agar jangan mengulangi lagi tindak pidana atau mencegah kejahatan dalam arti perbaikan atau merehabilitasi terpidana. Menurut Marry Negley 36 bahwa tujuan penghukuman pemidanaan adalah mencegah seseorang melakukan kejahatan tindak pidana dan bukan merupakan pembalasan dendam dari masyarakat. Bukan kekerasan, akan tetapi kepastian dan ketepatan dalam penjatuhan hukumanlah yang dapat menjamin hasil yang baik. Lembaga pemenjaraan, pertama kali diadakan atau didirkan agar pelaku jera. penutupan terpidana dalam kamar sel yang suram, terpidana dipaksa bekerja dengan fasilitas hidup yang relatif kurang memadai diharapkan terpidana tidak lagi melakukan tindak pidana dan suatu upaya untuk member perlindungan terhadap masyarakat. Asas Legalitas pertama kali dikemukakan oleh Von Feurbach juga bertujuan untuk menakut-nakuti psikologis seseorang. Jika seseorang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan suatu pidana apabila ia melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur oleh Undang-Undang, maka ia akan berpikir dua kali untuk melakukan suatu tindak pidana. 35 Ibid. 36 Marry Elmer Barnes Negley K. Teeters., New Horizon in Criminology, atau dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana. Terjemahan Romli Atmasasmita, Bandung: Alumni, 1971. hal. 5. Universitas Sumatera Utara Tujuan pemidanaan prevensi khusus ini termasuk memperbaiki atau merehabilitasi terpidana agar menjadi seseorang yang baik dan berguna bagi masyarakat. Pemidanaan harus diusahakan dapat merubah sikap dan pandangan terpidana sehingga tidak lagi melakukan tindak pidana pada masa yang akan datang, sehingga masyarakat pun akan mendapatkan manfaatnya apabila sang terpidana menjadi pribadi yang baik. 37 Dewasa ini lembaga pemenjaraan telah berubah fungsi menjadi tempat merehabilitasi, memperbaiki, meresosialisasi, mengintegrasi dan membina terpidana. Terpidana diharapkan tidak lagi melakukan tindak pidana setelah dipidana bahkan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan Negara.

10. Narkotika

Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba Narkotika dan Obat-Obatan berbahaya sedangkan oleh Departemen Kesehatan RI menyebutnya sebagai NAPZA Narkotika Psikotropika dan obat-obatan lainnya. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru.

a. Definisi Narkotika

37 Robin Reagan Sihombing, Op.Cit. Hal. 23 Universitas Sumatera Utara Secara Etimologi Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan narcocis yang berarti membius. Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan. Di Malaysia benda berbahaya ini disebut dengan dadah. Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat. Menurut Sudarto Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai “a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep an can produce addiction in varying degrees” sedang “drug” diartikan sebagai: Chemical agen that is used therapeuthically to treat diseaseMorebroadly, a drug maybe delined as any chemical agen attecis living protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan yang menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya 38 . Dalam buku narkotika Masalah dan Bahayanya, M. Ridha Ma ‟roef 1976: 14-15 mengutip beberapa pendapat Smith Kline dan French Clinical Staff dan Biro dan Bea Cukai Amerika Serikat menyangkut pengertian narkotika. 38 Djoko Prakoso. Bambang Riyadi Lany dan Muhksin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Hlm. 480 Universitas Sumatera Utara Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff 1968 39 membuat definisi sebagai berikut: “Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivaties morphine, codein, heroin and synthetic opiates meperidine, methadone”. Artinya lebih kurang sebagai berikut: “Narkotika adalah zat-zat obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu morphine, codein, heroine dan candu sintesis meperidine dan methadone.” Sedangkan definisi lainnya dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual” 1973 antara lain mengatakan: “Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda- benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashish, cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong Hallucinogen, Depressant dan Stimulant. Dari kedua definisi tersebut, M. Ridha Ma‟Roef menyimpulkan 40 : 1. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codeine, dan cocaine. Narkotika alam alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Sedang narkotika sintetis adalah termasuk pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk di dalamnya zat-zat obat yang tergolong dalam tiga jenis obat, yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant; 2. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan. 39 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Jember: Mandar Maju, 2003. Hlm 33 40 Ibid. Hal. 34 Universitas Sumatera Utara 3. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat- obat bius dan obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.

b. Jenis-Jenis Narkotika

Dalam UU No.35 Tahun 2009 sendiri telah disebutkan macam- macam narkotika yang telah diberikan penggolongan. Zatobat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 tiga golongan, yaitu sebagai berikut 41 : 1 Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan, yang menurut lampiran UU No.35 tahun 2009 terdiri dari: a Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya; b Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar moprhinnya; c Opium masak terdiri dari: 41 AR. Sujon. dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Hal Universitas Sumatera Utara i. candu, hasil yang diperoleh dari opim mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan; ii. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain; iii. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. d Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya; e Daun Koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythoxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia; f Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina; g kokaina, metal ester-1-bensoil ekgonina; h Tanaman ganja, semua tanaman genus-genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis; Universitas Sumatera Utara i Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya. 2 Narkotika Golongan II narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengkibatkan ketergantungan, yang menurut lampiran Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari : a Alfasetilmetadol b Alfameprodina c Alfametadol d Alfaprodina e Alfentanil f Allilprodina g Anileridina h Asetilmetdol i Benzetidin j Benzilmorfina k Betameprodina l Betametadol m Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas 3 Narkotika Golongan III narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan Universitas Sumatera Utara pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, yang menurut lampiran Undang- Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari : a Asetildihidrokodeina; b Dekstropropoksifena; c Dihidrokodeina; d Etilmorfina; e Kodeina; f Nikodikodina; g Nikokodina; h Norkodeina; i Polkodina; j Propiram; k Buprenorfina; l Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut diatas; m Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika; n Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Universitas Sumatera Utara Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahann pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini. 2. Data dan Sumber data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi bahan keperpustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan Hukum primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah: 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 2 Undang-Undang Dasar 1945 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Peraturan- Peraturan mengenai Narkotika. b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Universitas Sumatera Utara c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. 3. Metode Pengumpulan data Studi Kepustakaan Library Research, yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 4. Analisis Data Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.

G. Sistematika Penulisan

Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur Dan Penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan No:770/Pid.Su

1 85 157

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

0 85 174

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Kurir Narkotika dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kebumen Perkara Nomor 139/Pid.B/2010/PN.Kbm )

3 111 106

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

3 29 81

Sanksi tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 ditinjau dari hukum Islam

1 4 81

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA TANPA DILAKUKAN REHABILITASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009.

0 0 1

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1