tersebut di atur di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyalahgunaan Narkotika.
Selain mengatur tentang narkotika itu sendiri, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini juga mengatur mengenai Prekursor Narkotika.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009, Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
Narkotika. Prekursor Narkotika walaupun bukan termasuk di dalam Narkotika itu sendiri
namun peredarannya
tetap diatur
oleh Undang-Undang
dan penyalahgunaannya tetap dijatuhi sanksi.
Adapun ketentuan pidana mengenai tindak pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terdapat di dalam Bab XV Ketentuan
Pidana khususnya terdapat dalam pasal 111 sampai pasal 148. Berdasarkan beberapa golongan narkotika, maka tindak pidana Narkotika di dalam Undang-
Undang Narkotika dapat dibagi ke dalam 3 kriteria, yaitu 1. Tindak Pidana Narkotika Golongan I terdapat dalam pasal 111 sampai
dengan 116. 2. Tindak Pidana Narkotika Golongan II terdapat dalam pasal 117 sampai
dengan 121. 3. Tindak Pidana Narkotika Golongan III terdapat dalam pasal 122 sampai
dengan 126 .
B. Perbuatan-Perbuatan Pidana di Dalam Ketentuan Pidana Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
Penentuan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana haruslah melewati tahap kriminalisasi
, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana
”.
47
Teori- teori criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya
suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang factor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali.
48
Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan
kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari
sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem.
49
Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis,
yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat jangka pendek sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan
merugikan masyarakat itu sendiri. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela,
yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan
47
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002. Hal. 255.
48
Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Hal. 55
49
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005. Hal. 14
Universitas Sumatera Utara
perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya,
50
ini disebut legalitas dalam hukum pidana.
Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma- norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan
mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan
hukum pidana permusan delik mempunyai hubngan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum
pidana adalah melayani tegaknya terti hukum dalam suatu Negara.
51
Proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang- undangan Diana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana
tahap formulasi. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim tahap aplikasi dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana,
dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi tahap eksekusi.
52
Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya
sebagai berikut:
53
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
50
Ibid, hal. 5
51
Ibid
52
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983. hal 32
53
Ibid. hal. 44-48
Universitas Sumatera Utara
mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil danatau spiritual atas warga masyarakat;
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil cost benefit principle;
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas overblasting. Berangkat dari permasalahan di atas maka dalam Undang-Undang
Narkotika sendiri perlulah memiliki suatu kebijakan tertulis mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Seperti yang
telah dibahas sebelumnya, Ketentuan Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pada Bab XV Ketentuan Pidana yaitu pada
pasal 111 sampai pasal 148 Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika telah diatur pada kebijakan
Pidana dan Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu a. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan
precursor narkotika, meliputi:
Universitas Sumatera Utara
1 Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan narkotika golongan II
bukan tanaman,; 2 Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III,
yang tidak menaati ketentuan perundang-undang yang berlaku, seperti: a memproduksi,
mengimpor, mengekspor,
atau menyalurkan
narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III; b menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;
c membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;
d menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika
golongan I, golongan II, narkotika golongan III; e setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan golongan
III bagi diri sendiri; b. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja
tidak melapor atau setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129;
c. Dalam hal tindak pidana dalam pasal 111 sampai dengan 126, dan pasal 129 yang dilakukan oleh korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi;
Universitas Sumatera Utara
d. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam pasal 111 sampai dengan pasal 126 dan pasal 129 undang-undang ini;
e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja
tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut; f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan
dengan narkotika, meliputi: 1 Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban dalam
Pasal 45; 2 pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan; 3 pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,
menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
4 pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan,
atau 5 Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika
Golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau
Universitas Sumatera Utara
6 mengedarkan narkotika golongan II dan III, bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan danatau bukan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan; 7 nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28; 8 Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam pasal 88 dan pasal 89; 9 Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang
tidak melaksanakan ketentuan dalam pasal 87, pasal 89, pasal 90, pasal 91 ayat 2 dan ayat 3, dan Pasal 92 ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat
4; 10 Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan dalam pasal 91 ayat 1 dipidana penjara dan pidana denda;
11 Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil
pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;
g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika, meliputi:
1 Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam pasal 111 sampai dengan pasal
126 dan pasal 129;
Universitas Sumatera Utara
2 pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara 20 tahun; 3 menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan
pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika danatau tindak pidana precursor narkotika di muka sidang pengadilan;
4 Narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika, baik
berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang
diguakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dirampas untuk negara;
5 saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka pengadilan
dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda; 6 apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana
narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang
tidak dapat dibayar; 7 setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan
pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga.
Universitas Sumatera Utara
Melakukan kejahatan money Laundering, yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika, meliputi:
a. menempatkan, membayarkan,
atau membelanjakan,
menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan, menginvestasikan,
menyimpan, menghibahkan, mewariskan, danatau mentrasfer uang, harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika;
b. menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investasi, simpanan, atau
transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang
diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika;
Terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana Narkotika danatau tindak pidana prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya,
dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan setelah Warga negara Asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Negara
Republik Indonesia. Demikian pula, Warga Negara Asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika danatau tindak pidana prekursor narkotika di luar negeri,
dilarang memasuki wilayah Republik Indonesia. Kebijakan kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana menurut Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ialah
Universitas Sumatera Utara
a. Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
kekayaan dan harta benda istri, suami, anak dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana narkotika dan prekursor narkotika dan yang dilakukan tersangka atau terdakwa;
b. Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang, atau korporasi
bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan terdakwa;
c. Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang sedang dalam
pemeriksaan dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor;
d. Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika beserta keluarganya
wajib diberi perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, danatau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses
pemeriksaan perkara; e. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memutus untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabiitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti
bersalah melakukan tindak pidana narkotika dan menetapkan untuk
Universitas Sumatera Utara
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
C. Unsur – Unsur Tindak Pidana Narkotika yang dapat dikenakan Pidana